Bab 1: Batas Antara Alam
Ruangan itu penuh dengan desis alat-alat elektronik. Monitor-monitor besar memproyeksikan data yang terus bergerak cepat, sementara suara dengung rendah dari mesin pemercepat partikel terdengar di latar belakang. Nero berdiri di depan layar utama, matanya tak lepas dari angka-angka yang bergerak liar di sana. Sementara jari-jarinya cepat mengetuk keyboard, matanya hanya terfokus pada satu hal: menyeimbangkan energinya.
"Kurang sedikit lagi…," bisiknya dengan penuh keyakinan. Tangan kirinya menggenggam kalung kecil yang menggantung di lehernya, sebuah hadiah dari Amara. Hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu, hasil dari bertahun-tahun penelitian mereka.
Panggilan video terbuka di sudut layar, menampilkan wajah Amara. "Nero, gravitasi lokal mulai meningkat. Kau yakin akan melanjutkannya?"
"Aku yakin. Ini adalah saatnya," jawab Nero sambil memperhatikan parameter terakhir.
Amara mengangguk, meski di balik senyumnya ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan. "Oke, aku di sini kalau ada yang salah."
Nero menghembuskan napas dalam-dalam, seolah mencoba menenangkan pikirannya. Seluruh hidupnya, seluruh ambisinya, berpuncak pada satu momen ini. Mereka telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari multiverse, teori yang mengatakan bahwa alam semesta kita hanyalah salah satu dari tak terhitung banyaknya alam semesta lain. Sebuah hipotesis yang begitu berani, begitu kompleks, dan... begitu berbahaya. Namun, hari ini adalah hari di mana semua itu akan dibuktikan.
"Protokol stabilisasi dimulai," kata Nero sambil menekan tombol terakhir.
Ruangan itu tiba-tiba terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan mereka dari segala arah. Medan gravitasi mulai meningkat, menyebabkan monitor bergetar. Detektor medan Higgs menunjukkan adanya fluktuasi yang ekstrim, tanda bahwa mereka benar-benar sedang memengaruhi struktur dasar ruang-waktu.
Celah kecil mulai terbentuk di pusat ruangan, sebuah distorsi di udara yang tampak menguap, menggeliat seperti asap. Mata Nero membelalak, terpaku oleh keindahan mengerikan itu. Mereka telah berhasil. Dimensi lain perlahan terbuka di hadapan mereka, sebuah jendela ke alam semesta yang tak pernah mereka bayangkan.
Namun, hanya dalam hitungan detik, segalanya mulai berubah. Alat pendeteksi gravitasi berbunyi keras, menandakan ketidakstabilan mendadak.
"Gravitasi melonjak di luar perkiraan!" seru Amara dari monitor. "Nero, kau harus menghentikannya!"
Nero menggertakkan giginya. "Tidak! Ini hanya lonjakan kecil! Kita bisa menyeimbangkannya!" Ia terus mengetikkan perintah-perintah dengan cepat, berusaha menstabilkan portal. Tapi lonjakan itu semakin membesar, gravitasi di sekitar ruangan menjadi aneh. Semua benda yang tak tertambat mulai terangkat, melayang-layang di udara.
Amara berlari masuk ke ruang kontrol. "Nero, dengarkan aku! Ini terlalu berbahaya!"
"Aku bisa mengendalikannya!" Nero membalas, suaranya nyaris putus asa. Tangannya terus bekerja di atas keyboard, jari-jarinya menari di antara tombol-tombol, mencoba meredam lonjakan energi yang semakin menggila. Namun, gravitasi seolah memiliki kehendaknya sendiri. Ruangan bergetar semakin keras, dan portal di tengahnya mulai membesar, menghisap semua benda yang ada di sekitarnya.
"Amara, keluar dari sini!" Nero berteriak, namun sudah terlambat.
Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Amara terseret ke dalam distorsi ruang-waktu. Matanya membelalak dalam ketakutan, sementara tubuhnya terhisap ke dalam celah yang kini membengkak. "NERO!!" teriakannya menggema, sebelum akhirnya menghilang ke dalam kekosongan.
Nero hanya bisa menatap, terpaku. Pikirannya berhenti, terjebak antara kenyataan dan kehancuran yang baru saja terjadi di depan matanya. Segalanya terasa lambat, seolah waktu itu sendiri ikut retak bersama ruang di sekitarnya.
Kemudian, tanpa peringatan, portal itu menghilang, menutup dengan suara desis yang pelan. Ruangan menjadi sunyi. Nero berdiri di sana, sendirian di tengah kehancuran yang ia ciptakan.
---
Tiga bulan kemudian, Nero duduk di laboratorium yang sama, tapi sekarang jauh lebih sunyi. Alat-alat canggih masih menyala, tapi tidak ada lagi suara monitor yang bergemuruh atau mesin yang bekerja dengan keras. Ruangan itu seolah berubah menjadi monumen dari tragedi yang tak akan pernah hilang dari ingatannya.
Amara telah menghilang. Diambil oleh portal yang ia ciptakan. Selama tiga bulan terakhir, Nero tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Semua orang menyalahkannya—dan, tentu saja, mereka benar. Sebuah komisi ilmiah telah menutup proyek tersebut, menyegel akses ke collider, dan melarang Nero melanjutkan penelitiannya.
Tapi itu tidak menghentikan Nero.
Ia tidak peduli pada larangan atau ancaman dari komisi. Satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya adalah membuka kembali portal itu, menemukan Amara, dan membawanya kembali. Nero yakin, di luar sana, di dimensi lain, Amara masih hidup. Mungkin terjebak, mungkin hilang di antara waktu dan ruang, tapi dia masih di sana. Dan Nero akan menemukannya.
Ia membuka laptopnya, mengaktifkan kembali simulasi medan gravitasi dan memanggil kembali data terakhir dari percobaan itu. Ia telah mempelajari kesalahan-kesalahannya—fluktuasi tak terduga dalam medan Higgs yang menyebabkan lonjakan gravitasi liar. Sekarang, dia punya solusi baru, cara yang lebih halus dan terukur untuk menyeimbangkan energi.
Tapi ketika ia akan memulai kembali analisisnya, pintu laboratorium terbuka. Seorang pria tua berjubah panjang masuk, langkahnya perlahan tapi penuh wibawa.
"Nero," kata pria itu dengan suara dalam yang penuh kebijaksanaan. "Namaku Mistral. Aku datang untuk memperingatkanmu."
Nero menatap pria itu tanpa ekspresi. "Aku tak butuh peringatan. Aku tahu apa yang kulakukan."
Mistral tersenyum tipis, matanya yang berkilat menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau bermain dengan kekuatan yang jauh melampaui ilmumu, Nero. Apa yang kau sebut sebagai celah dimensi adalah lebih dari sekadar ketidakseimbangan gravitasi atau medan kuantum. Itu adalah gerbang ke alam yang tak pernah kau bayangkan. Dan sihir—sihir yang selama ini kau tolak—adalah kunci untuk menyeimbangkan apa yang telah kau ganggu."
"Sihir?" Nero mengerutkan alis. "Aku ilmuwan. Aku bekerja dengan fakta, bukan takhayul."
Mistral mendekat, menatap mata Nero dengan serius. "Kau ilmuwan, ya, tapi kenyataannya jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Kau telah mengganggu hukum keseimbangan antara dunia kita dan dunia lain. Dan jika kau melanjutkan eksperimenmu... kau tak hanya akan kehilangan lebih banyak lagi, tapi kau bisa menghancurkan seluruh alam semesta ini."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dengan ancaman. Tapi bagi Nero, hanya satu hal yang berarti. Amara.
"Aku tak peduli," jawabnya dengan dingin. "Aku akan membuka portal itu lagi. Aku akan menemukannya. Dan tak ada yang bisa menghentikanku."
Mistral diam sejenak, memperhatikan Nero yang begitu keras kepala. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut, hampir seperti seorang guru yang berbicara kepada muridnya yang tersesat.
"Nero, kau berpikir ilmumu bisa memberimu kekuatan untuk menentang alam semesta itu sendiri, tapi kau hanya melihat sebagian kecil dari gambaran besar." Dia mengeluarkan sebuah bola kristal kecil dari sakunya—bukan seperti kristal yang bersinar dalam film-film sihir klise, melainkan sebuah struktur geometris kompleks yang berpendar samar, memantulkan cahaya seperti prismatik kuantum. "Ini bukan sihir yang kau bayangkan. Ini adalah ilmu yang sudah ada jauh sebelum manusia bisa memahami angka dan rumus. Dan ini mungkin satu-satunya hal yang bisa menyeimbangkan apa yang telah kau hancurkan."
Nero menyipitkan matanya, menolak percaya. "Aku tidak butuh sihir. Yang aku butuhkan adalah data, algoritma, dan stabilisasi gravitasi. Aku hampir berhasil, Mistral. Amara... dia ada di luar sana. Aku bisa merasakannya."
Mistral menunduk, seolah memahami keteguhan hati Nero. "Rasa bersalah adalah bahan bakar yang kuat, Nero, tetapi itu juga bisa membutakanmu dari kenyataan. Kau memang hampir berhasil, namun hampir itu telah membuka celah di antara dunia-dunia yang bahkan kau tidak pahami sepenuhnya. Dimensi tempat Amara tersedot bukanlah sekadar ruang kosong antara multiverse, tapi tempat di mana hukum-hukum yang kau pelajari tak lagi berlaku."
Nero terdiam sejenak, dadanya naik-turun menahan amarah dan kebingungan. Ada sesuatu dalam ucapan Mistral yang menyinggung sisi skeptisnya. Ia merasa seperti sedang didorong ke sebuah tebing yang tak pernah ia akui keberadaannya. "Apa yang sebenarnya kau tahu tentang tempat itu?"
Mistral mengangguk pelan, lalu mulai berjalan ke arah jendela laboratorium, melihat keluar ke langit malam yang dipenuhi bintang. "Lebih dari yang kau bayangkan. Dimensi yang kau buka adalah bagian dari Entropi Kuno—suatu ruang antara eksistensi, di mana segala sesuatu yang pernah ada dan akan ada menjadi satu. Itu adalah tempat di mana waktu dan ruang bergabung dalam bentuk paling mentah. Kau melihatnya sebagai fluktuasi gravitasi, tapi yang sebenarnya kau hadapi adalah sesuatu yang lebih besar dari ilmumu."
Nero mengepalkan tangannya. "Lalu apa? Kau ingin mengatakan aku salah? Bahwa tidak ada cara ilmiah untuk menyelamatkannya?"
Mistral tersenyum tipis, matanya berkilat dengan kebijaksanaan yang mendalam. "Tidak, kau tidak sepenuhnya salah. Tapi caramu terlalu terbatas. Untuk menstabilkan celah itu, kau butuh sesuatu yang lebih dari sekadar rumus dan teknologi. Kau butuh pemahaman akan Eter—esensi dari dimensi lain itu sendiri. Dan eter ini hanya bisa disentuh dengan perpaduan antara sains dan sihir."
Nero menggeleng, merasa frustrasi. "Aku tidak percaya dengan konsep mistis seperti itu. Eter? Sihir? Ini semua omong kosong."
Mistral memutar bola kristal di tangannya, dan dalam sekejap, ruangan di sekitar mereka berubah. Cahaya biru lembut melingkari mereka, melayang seperti partikel cahaya yang tak terlihat sebelumnya. Layar-layar di belakang Nero berpendar lebih terang, seolah merespons kekuatan yang tak kasat mata. Data yang sebelumnya stagnan di layar mulai berubah dengan sendirinya, menampilkan pola-pola baru yang tak bisa dijelaskan oleh logika sains biasa.
Nero menatap layar dengan penuh ketidakpercayaan. "Apa yang kau lakukan?"
"Ini bukan omong kosong," jawab Mistral tenang. "Ini adalah bagian dari kenyataan yang lebih luas. Ilmu yang kau pahami hanyalah satu sisi koin. Sisi lainnya adalah sesuatu yang telah dilupakan oleh banyak orang di dunia ini, sesuatu yang telah lama hilang di balik kesombongan pengetahuan modern. Sains dan sihir, seperti dua kutub dari medan elektromagnetik, harus ada bersama-sama untuk memahami keseluruhan medan."
Nero terdiam, pikirannya kacau. Ia tidak bisa menolak bukti yang sekarang terpampang jelas di depannya—data ilmiah yang berubah tanpa campur tangan algoritmanya. Namun, bagian dari dirinya yang penuh kebanggaan sebagai ilmuwan menolak untuk menerima konsep ini. "Jika itu benar," katanya pelan, "lalu bagaimana caranya aku bisa menyelamatkannya?"
Mistral kembali mendekat, kali ini wajahnya lebih serius. "Untuk menstabilkan celah, kau harus memadukan ilmumu dengan kekuatan sihir kuno. Aku bisa mengajarimu, Nero, jika kau bersedia mendengar dan memahami. Ada metode, formula kuno, yang bekerja dengan hukum alam yang lebih besar dari sekadar gravitasi dan massa. Tapi kau harus melepaskan ego ilmuwanmu dan belajar dengan cara yang baru."
Nero menunduk, berpikir keras. Di satu sisi, ia tahu bahwa melanjutkan jalannya yang sekarang bisa membawa kehancuran yang lebih besar. Tetapi di sisi lain, seluruh hidupnya telah didedikasikan untuk logika, eksperimen, dan bukti empiris. Namun, saat ia mengingat wajah Amara yang tersedot ke dalam kehampaan, hatinya mulai berbisik bahwa ia tak punya pilihan lain.
"Apa yang harus kulakukan?" Akhirnya, suaranya keluar, terdengar lebih rapuh daripada biasanya.
Mistral tersenyum tipis, menunjukkan harapan kecil di wajahnya. "Langkah pertama adalah memahami batasan ilmu pengetahuanmu. Dan kemudian, kita akan melangkah ke apa yang ada di luar itu—ke dalam realm sihir dan eter. Kau bukan hanya ilmuwan, Nero. Kau adalah penjaga dari sesuatu yang jauh lebih besar."
Nero mengangguk pelan, rasa skeptisnya masih ada, tapi kini disertai oleh rasa ingin tahu yang kuat. Jika ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Amara—untuk memperbaiki kesalahannya—maka ia harus melakukannya. Terlepas dari apapun yang akan dihadapinya.