Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dunia Di Ujung Tanah Kelam

🇮🇩Navy_Kaze
--
chs / week
--
NOT RATINGS
455
Views
Synopsis
Ketika hidup tak lebih dari sekadar penantian tanpa akhir, harapan menjadi ilusi yang nyaris tak berarti. Sagara, seorang pemuda berumur 23 tahun, terperangkap dalam kehidupan yang tak diinginkannya. Terasing dari keluarga, diabaikan oleh teman-teman, dan hanyut dalam kehampaan teknologi, hari-hari Sagara hanyalah rutinitas monoton di balik layar komputer. Suatu malam, tanpa peringatan, Sagara terbangun di dunia yang tidak ia kenal—dunia yang tampaknya tercipta dari mimpi buruk. Langit berwarna merah darah, tanah tandus yang tak berujung, dan hutan penuh pohon mati yang tampak hidup namun mengerikan. Ini bukanlah dunia fantasi impiannya. Hewan-hewan buas yang berkeliaran tidak menanti untuk dilindungi atau ditaklukkan, melainkan menjadi ancaman yang nyata. Setiap langkah yang diambil di dunia ini penuh dengan bahaya dan misteri, dan tidak ada petunjuk tentang bagaimana ia bisa kembali atau apa yang harus ia lakukan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1:Lemah Diantara Kuat

"Apa artinya hidup ketika kau hanyalah sebuah noda di pinggir jalan?"

Itulah yang selalu terlintas di benak Sagara, seorang pemuda berumur 23 tahun yang tidak pernah memiliki masa depan. Hari-harinya hanya dihabiskan di kamar kecil, memandangi layar komputer, berharap suatu hari bisa lari dari dunia yang dingin dan tidak peduli padanya. Keluarganya mengabaikannya, teman-temannya menjauh, dan hidupnya hanyalah sebuah siklus kehampaan tanpa arah.

Namun, suatu hari, semuanya berubah. Saat Sagara sedang tertidur lelap, dia mendapati dirinya terbangun di dunia asing. Langit berwarna merah, pohon-pohon mati yang menyelimuti cakrawala, dan hewan-hewan buas berlarian di kejauhan. Sebuah dunia fantasi—atau begitulah yang dia kira. Apakah ini isekai? Apakah inilah dunia baru yang akan memberinya kesempatan untuk menjadi seorang pahlawan?Sagara menatap dunia itu dengan penuh takjub

Sagara segera menyadari betapa salahnya anggapannya. Tidak ada petunjuk tentang kekuatan yang tiba-tiba muncul. Tidak ada pesan dari dewa-dewa. Tubuhnya tetap lemah dan rapuh seperti di dunia nyata, bahkan lebih buruk karena perbekalan makanan dan air yang sangat terbatas. Penduduk di dunia ini? Mereka memandangnya dengan tatapan dingin dan curiga, seorang "Pendatang" yang dianggap sebagai pembawa malapetaka.

Di tengah jalan tanah yang berdebu, seorang pria paruh baya dengan wajah keras mendekati Sagara. "Apa yang kau lakukan di sini, Pendatang?" tanyanya tanpa basa-basi, sorot matanya tajam, mengintimidasi. "Kami tak butuh masalah tambahan. Desa ini sudah cukup menderita."

Sagara terdiam sejenak, menahan napas. Dia tahu, tak ada jawaban yang bisa mengubah kecurigaan mereka. "Aku… hanya ingin bertahan hidup, sama seperti kalian," katanya perlahan, mencoba menenangkan ketegangan. Namun, kata-katanya tenggelam di antara suara-suara penduduk desa yang berkumpul, berbisik-bisik tentang dirinya.

Di sebuah desa terpencil, Sagara mencoba bertahan hidup. Dia tidak pernah mendapatkan keterampilan tempur atau sihir yang sering terlihat di cerita-cerita isekai. Hanya tangan kosong dan keinginan untuk bertahan hidup. Orang-orang di desa itu juga sama—bukan pahlawan, tetapi rakyat jelata yang bergelut setiap hari melawan kelaparan dan kemiskinan.

Suatu malam, di dekat api unggun yang hampir padam, Sagara duduk di samping seorang perempuan tua. "Kau terlihat putus asa, Nak," ucapnya dengan suara lembut namun bergetar karena usia. Perempuan itu memandang jauh ke arah bintang-bintang. "Aku pernah bertemu dengan seseorang sepertimu, dulu. Dia datang, berharap menemukan kekuatan di sini. Tapi dunia ini hanya memberimu satu pelajaran—bertahan hidup adalah satu-satunya sihir yang nyata."

Sagara menatap api yang berkedip lemah. "Apakah dia berhasil?" tanyanya pelan.

Perempuan itu hanya tersenyum samar, menggelengkan kepala. "Tidak semua yang datang kesini bertahan lama. Ini bukan dunia untuk para pahlawan, Nak."

Keheningan jatuh di antara mereka, menyelimuti percakapan itu. Sagara merasa semakin tenggelam dalam kenyataan pahit tempat barunya ini—bahwa di dunia ini, kekuatan tidak diberikan, hanya diambil. Dan untuk seseorang sepertinya yang lemah, tidak ada jalan mudah untuk bertahan.

Hari-hari berlalu, dan penduduk desa mulai menatapnya dengan sedikit lebih banyak belas kasih, tetapi tetap curiga. Setiap kali Sagara bekerja keras membantu di ladang atau memperbaiki rumah, beberapa orang diam-diam mengawasinya dari sudut mata, memastikan dia tidak berbuat ulah.

Suatu sore, seorang anak kecil mendekatinya saat dia sedang mengangkat kayu bakar. "Kakak, kenapa kau berbeda dari kami?" tanyanya dengan suara polos.

Sagara berhenti sejenak, mengusap peluh di dahinya. "Aku… berasal dari tempat yang jauh," jawabnya sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kesedihannya.

Anak itu menatapnya dengan mata besar yang dipenuhi rasa ingin tahu. "Tapi kau tetap sama seperti kami, kan? Kau bekerja keras seperti kami."

Sagara tersentuh oleh kata-kata sederhana itu. Dia menatap anak itu, lalu berkata, "Ya, aku sama seperti kalian. Aku hanya ingin hidup, dan mungkin... menemukan tempatku di sini."

Tetapi dalam hati, Sagara tahu, dunia ini tidak akan pernah menerima dirinya sepenuhnya. Dia adalah seorang Pendatang, seseorang yang dianggap lemah di antara mereka yang sudah terbiasa bertarung dengan kerasnya kehidupan setiap hari.