Chereads / Scorpion of destruction / Chapter 1 - Bab 1: Duniaku Yang Rapuh

Scorpion of destruction

🇮🇩RiangPerdana
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 208
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1: Duniaku Yang Rapuh

Di atas benua Celestia, bintang-bintang selalu bersinar terang, masing-masing menjadi penanda kekuatan para manusia yang lahir di bawah naungan zodiak mereka. Di dunia ini, tak ada yang terlahir tanpa kekuatan, atau setidaknya itulah yang dipercaya semua orang. Dua belas zodiak mengendalikan takdir umat manusia di Celestia, memberikan mereka kemampuan yang tak terbayangkan, dari pengendalian elemen hingga kekuatan supranatural yang mempengaruhi jiwa dan raga.

Setiap wilayah di Celestia memiliki kekhasan tersendiri berdasarkan pengaruh zodiak yang mendominasi penduduknya. Mereka yang lahir di bawah Aquarius, Gemini, dan Libra tinggal di wilayah Aerialis, tempat angin selalu berhembus lembut, langit selalu cerah, dan teknologi sihir mencapai puncak kejayaannya. Mereka adalah ahli dalam manipulasi udara, komunikasi, dan pergerakan cepat. Setiap penduduk di sana bangga dengan kecerdikan dan kecerdasan mereka, hidup dalam kesibukan yang tak pernah berhenti, selalu berinovasi dan mengeksplorasi.

Pyrona, di selatan, dikenal sebagai negeri api. Orang-orang Aries, Leo, dan Sagitarius lahir dengan kekuatan luar biasa atas api, sihir tempur, dan keberanian yang mengalir dalam darah mereka. Mereka yang lahir di Pyrona jarang memiliki musuh yang berani menantang, karena kekuatan mereka dikenal mematikan.

Di barat, ada Terranova, wilayah bumi, di mana Capricorn, Taurus, dan Virgo mendominasi. Mereka adalah pekerja keras, kokoh, dan berakar kuat pada tradisi. Kekuatan mereka berasal dari bumi yang mereka injak, dengan kemampuan mengendalikan tanah, logam, dan kekuatan fisik luar biasa.

Namun di balik semua itu, ada Noctis, wilayah tersembunyi yang dihuni oleh zodiak Scorpio. Mereka lahir dengan kemampuan yang paling misterius dan sering kali dianggap gelap. Scorpio adalah penjaga rahasia, manipulasi racun, dan kekuatan yang berasal dari bayangan. Mereka sering dihindari, dianggap membawa kesialan, dan jarang diterima oleh masyarakat luas.

Di tengah hiruk-pikuk dunia ini, seorang anak remaja bernama Ryu Celestia hidup dalam penderitaan yang tak terbayangkan. Meski lahir di bawah zodiak Scorpio, yang dikenal memiliki kekuatan mistis dan mematikan, Ryu tidak bisa menggunakan sihir apa pun. Hal ini membuatnya menjadi sasaran cemoohan dan penghinaan sepanjang hidupnya, terlebih setelah kematian kedua orang tuanya yang misterius. Kini, Ryu tinggal bersama kakeknya, Shein Celestia, seorang lelaki tua yang hidup sederhana dan tampaknya menyimpan banyak rahasia.

---

Malam itu, kota Aetherium dibalut dalam kabut tipis dan hujan yang mulai turun. Di antara gang-gang sempit yang membelah kota, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Ryu, dengan tubuh kurusnya, berjalan perlahan. Dia berusaha tidak menarik perhatian, tapi langkahnya yang canggung segera menarik perhatian sekelompok remaja yang selalu siap menindasnya.

"Oi, Ryu!" Suara Kian terdengar tajam di antara gerimis yang mulai merinai. Pemuda dengan tubuh jangkung dan rambut hitam berantakan itu berdiri dengan tangan terlipat, matanya penuh kebencian.

Ryu berhenti, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan setiap kali itu terjadi, tidak pernah ada yang lebih baik. Dia menelan ludah dan berusaha untuk tetap tenang, tapi tubuhnya mulai gemetar.

"Lihat nih, anak Scorpio yang nggak ada gunanya!" Kian melangkah maju, diikuti oleh tiga temannya. Zane, dengan tubuh ramping dan cepat, bergerak seperti angin, kekuatan zodiaknya. Lyra, seorang gadis dengan rambut merah menyala, dan Milo, berbadan besar, dengan senyum sinis di wajahnya. Mereka adalah para penguasa jalanan Aetherium, dan Ryu, bagi mereka, hanyalah sampah yang bisa mereka injak kapan pun mereka mau.

"Kalian mau apa?" tanya Ryu, meskipun ia tahu jawabannya. Suaranya bergetar, tapi dia mencoba untuk tetap tegak. Namun, tatapan dingin dari Kian membuat semua keberanian itu luntur dalam sekejap.

"Kau tahu apa yang kami mau, Ryu. Kau selalu jadi lelucon di sini," Zane menyeringai, tangannya mulai berkilauan dengan sihir elemen udara. "Kita mau pastiin aja, kalau si sampah kayak kamu tetap tahu tempatnya. Di bawah kami!"

Tanpa aba-aba, Zane mengayunkan tangannya dan angin kuat menerpa tubuh Ryu, membuatnya terdorong ke dinding dengan keras. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa berat, seolah menekan paru-parunya. Ryu jatuh berlutut, terbatuk, mencoba menarik napas di tengah tekanan udara yang menghimpitnya.

"Kamu ini apa, ya?" ejek Lyra, melangkah maju dengan bola api kecil di tangannya. "Orang-orang Scorpio biasanya ditakuti, tapi kamu? Kamu cuma pecundang. Kamu bahkan nggak bisa mengeluarkan sihir, kan?"

Ryu berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Pikirannya penuh dengan ketakutan dan rasa tidak berdaya. "Aku tidak perlu sihir untuk bertahan hidup," gumamnya lemah, meski tahu tidak ada yang mendengar.

Kian mengayunkan tinjunya, mengenai perut Ryu dengan keras. Ryu merasakan seluruh tubuhnya bergetar, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia terjatuh ke tanah, kedua tangannya berusaha menahan tubuhnya agar tidak sepenuhnya tergeletak.

"Kau ini cuma lelucon, Ryu," Milo tertawa keras. "Sampah yang bahkan nggak bisa melawan. Bahkan sihir Scorpio-mu pun nggak keluar!"

Ryu hanya bisa terdiam. Dadanya terasa berat, bukan hanya karena pukulan, tetapi karena kenyataan yang tak dapat ia sangkal. Dia berbeda, dia lemah. Di dunia yang menjunjung kekuatan sihir, dia hanyalah pecundang. Bulir-bulir air hujan mulai turun lebih deras, seolah menambah kesuraman malam itu.

Setiap tendangan, setiap pukulan, hanya membuat rasa sakit itu semakin dalam. Namun yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik, melainkan hinaan yang terus menusuk hatinya. "Sampah!" "Pecundang!" "Tak berguna!" Kata-kata itu berputar-putar di dalam benaknya, menggerogoti setiap sedikit harga diri yang tersisa.

Akhirnya, mereka puas. Kian menatap tubuh Ryu yang terbaring di tanah, napasnya tersengal, tubuhnya penuh luka dan darah. "Jangan sampai aku lihat kau di sini lagi, Ryu. Ini kota kami. Kau nggak ada tempat di sini."

Dengan tendangan terakhir, Kian dan teman-temannya berjalan pergi, meninggalkan Ryu yang terkapar dalam gelap. Hujan deras mulai mengguyur lebih lebat, membasahi seluruh tubuhnya. Ryu hanya bisa terbaring, merasakan air hujan menyatu dengan darah di wajahnya, menciptakan perpaduan antara rasa sakit dan kesedihan.

Dalam keheningan malam itu, dia bergumam, "Kenapa... kenapa dunia ini begitu kejam? Apa salahku...? Apa aku memang tidak pantas hidup di dunia ini?" Air mata bercampur dengan hujan, mengalir di pipinya yang kotor. "Kenapa mereka yang kuat selalu menindas yang lemah? Kenapa tidak ada yang peduli?"

Ryu menggigil, rasa dingin menyusup ke seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, matanya mulai tertutup. "Mungkin... mati di sini akan lebih baik," gumamnya sebelum semuanya menjadi gelap.

---

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang gadis dengan payung merah berjalan melewati gang sempit itu. Evelyn, dengan rambut berponi dan wajah manisnya, tiba-tiba berhenti ketika melihat sesuatu yang tak terduga di tengah hujan deras. Tubuh Ryu tergeletak, tak bergerak, dikelilingi genangan air dan darah.

"Ryu!" teriak Evelyn, matanya terbelalak kaget. Tanpa berpikir panjang, dia berlari mendekat, lututnya langsung jatuh ke tanah di samping tubuh Ryu. Payung merahnya terjatuh, tapi dia tak peduli. Air mata langsung menggenang di matanya. "Ryu, bangun! Kumohon, jangan seperti ini!"

Evelyn menepuk-nepuk pipi Ryu dengan lembut, berharap ada respons. Tapi Ryu tetap tak bergerak. Hatinya mencelos. Dia menggigit bibirnya, mengingat melodi masa lalu yang selalu membekas di hatinya. Evelyn menatap wajah pucat Ryu yang tampak tak berdaya. Ryu yang kini tergeletak di hadapannya, sama seperti ketika dia pertama kali bertemu dengannya, tapi kali ini jauh lebih menyakitkan.

---

Lima tahun lalu, Evelyn masih gadis kecil yang belum menguasai sihir. Saat itu, dia tersesat di tengah jalan saat mencoba lari dari kerumunan. Tak diduga, beberapa orang jahat mencoba mendekatinya, memanfaatkan keluguannya. Mereka mengintimidasinya, mengambil apa yang dia bawa, dan memaksa Evelyn untuk menyerahkan perhiasan milik ibunya.

"Berikan padaku, bocah! Atau kau akan menyesal," ancam salah satu pria dengan tatapan penuh niat jahat.

Evelyn gemetar ketakutan, tak tahu harus berbuat apa. Dia belum memiliki kendali atas kekuatannya, dan semua orang terdekatnya terlalu jauh untuk menolong. Tapi saat pria itu hendak merampas paksa perhiasannya, seorang anak laki-laki yang tak dikenal tiba-tiba muncul. Dengan tubuh kurus dan pakaian sederhana, Ryu berdiri di antara Evelyn dan para penjahat itu.

"Biarkan dia pergi," kata Ryu dengan tenang, meskipun jelas dia ketakutan. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa membiarkannya diam saja. "Jika kalian berani menyentuhnya, aku tidak akan diam saja."

Para penjahat itu tertawa terbahak-bahak. "Dan kamu pikir bisa menghentikan kami? Anak kecil sepertimu?"

Meski tahu bahwa dia tidak bisa melawan, Ryu tetap berdiri tegak, bersikeras melindungi Evelyn. Pada saat itu, keberanian Ryu melebihi kekuatannya. Dia tidak memiliki sihir yang kuat, tapi keberanian yang dia tunjukkan malam itu membekas di hati Evelyn.

Akhirnya, setelah beberapa saat, seseorang melihat kejadian tersebut dan memanggil bantuan. Para penjahat kabur sebelum sempat menyakiti Evelyn lebih jauh. Ryu berbalik dan mengulurkan tangan kepada Evelyn dengan senyum hangat, meski di wajahnya tersirat kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Evelyn mengangguk pelan, air mata mengalir di pipinya, tapi dia merasa aman untuk pertama kalinya sejak kejadian itu. Sejak hari itu, Evelyn tidak pernah melupakan kebaikan dan keberanian Ryu, meskipun dia tahu Ryu sendiri menghadapi banyak kesulitan dalam hidupnya.

---

Kembali ke masa kini, Evelyn masih menangis di bawah hujan yang semakin deras. Dia menggenggam tangan Ryu yang dingin, merasakan rasa sakit di dadanya semakin berat. "Ryu... kumohon, jangan tinggalkan aku seperti ini." Suaranya bergetar. "Aku belum pernah bisa membalas kebaikanmu saat itu. Kau sudah menyelamatkanku... sekarang giliran aku yang akan menyelamatkanmu."

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Evelyn akhirnya merasakan sedikit getaran di tangan Ryu. Dia tidak sepenuhnya sadar, tetapi masih hidup. Evelyn tersenyum tipis meskipun air matanya masih mengalir. "Kau akan baik-baik saja, Ryu. Aku akan bawa kau pulang ke kakekmu. Kau kuat, aku tahu itu."

Dengan susah payah, Evelyn mengangkat tubuh Ryu yang lebih besar darinya, berusaha membawanya keluar dari gang sempit yang basah kuyup oleh hujan. Payung merahnya tertinggal di belakang, tergeletak di tanah, tapi dia tak peduli. Yang penting adalah membawa Ryu ke tempat yang aman.

---

Keesokan harinya, di dalam rumah sederhana milik keluarga Celestia, Shein duduk di samping tempat tidur Ryu, menggunakan sihir penyembuhan untuk menutup luka-luka yang ada di tubuh cucunya. Wajah lelaki tua itu tampak penuh keprihatinan dan kesedihan. "Ryu... kau seharusnya tidak perlu mengalami ini lagi," gumamnya lirih sambil mengelus kepala cucunya yang terbaring lemah.

Di sisi lain ruangan, Evelyn duduk di sebuah kursi kayu tua, wajahnya masih tampak cemas meskipun dia sedikit lega karena Ryu sudah lebih baik. Dia sudah menunggu sepanjang malam, memastikan bahwa Ryu aman setelah peristiwa kemarin.

Shein menoleh pada Evelyn, senyum kecil muncul di wajahnya yang penuh kerutan. "Evelyn, aku sungguh berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan cucuku. Kau selalu begitu baik padanya, meskipun keluargamu berada di posisi yang jauh lebih tinggi daripada kami."

Evelyn tersipu malu, wajahnya merona. "Tidak, paman. Ryu adalah temanku. Aku tidak bisa membiarkannya terluka seperti itu. Teman harus saling membantu, kan?" Jawabannya terdengar mantap, tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa perasaannya terhadap Ryu lebih dari sekadar teman.

Shein tersenyum penuh pengertian. "Ah, betul sekali. Tapi aku tetap mengagumi keberanianmu. Di benua ini, orang-orang cenderung menilai berdasarkan kekuatan sihir atau kedudukan. Tapi kau selalu melihat lebih dari itu. Aku hanya berharap keluarga besarmu tidak akan tahu, atau bisa jadi masalah besar."

Evelyn mengangguk dengan enggan. "Ya, ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku sering menemui Ryu. Mereka mungkin tidak akan menyetujuinya. Tapi... aku tidak peduli. Aku tidak ingin meninggalkan Ryu."

Shein terkekeh pelan, meski ada sedikit keprihatinan di matanya. "Hati-hati, nak. Kau harus menjaga dirimu juga. Bagaimanapun, kau adalah putri dari salah satu keluarga paling berpengaruh di Celestia. Orang-orang akan selalu memperhatikan apa yang kau lakukan."

Dengan senyum malu-malu, Evelyn akhirnya berpamitan untuk pulang. Sebelum pergi, dia menatap Ryu sekali lagi dengan penuh perhatian, berharap pemuda itu segera pulih. "Tolong jaga dia baik-baik, Paman Shein," ujarnya lembut.

Shein mengangguk. "Tentu saja. Kau juga jaga dirimu, Evelyn."

Saat Evelyn pergi, suasana di rumah itu menjadi sunyi. Shein kembali duduk di samping tempat tidur Ryu, matanya menatap cucunya yang masih terbaring tak berdaya. Dengan tatapan sendu, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Jika orang-orang tahu siapa kau sebenarnya, Ryu... mereka tidak akan hanya menindasmu. Mereka akan memburumu. Karena itulah aku harus menjaga rahasia ini, apa pun yang terjadi."

Shein menunduk, menyadari betapa rapuhnya Ryu di mata dunia, namun begitu kuat di dalam hati. Dan dengan itu, bab ini ditutup dengan pertanyaan besar yang menggantung di udara: Siapakah sebenarnya Ryu Celestia? Apa rahasia besar yang disembunyikan oleh kakeknya, dan mengapa kekuatannya belum terbangun seperti orang-orang lain di Celestia?