Tak pernah terlintas di benakku bahwa hal seperti ini akan terjadi kepada kami.
Apakah semuanya harus berakhir seperti ini?
Angin malam menderu-deru melalui celah-celah reruntuhan kuno, menggoyangkan semak belukar yang tumbuh liar di antara batu-batu yang retak. Cahaya bulan purnama yang pucat, bagai kain putih perak, menembus awan-awan halus, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di seluruh dinding yang runtuh. Di tengah reruntuhan itu, tersembunyi dalam kegelapan, sepasang mata berkilauan dengan tekad dan keputusasaan.
Aksel dan Veera, dua sosok yang terikat oleh takdir, terjebak dalam labirin batu yang dingin dan lembab. Napas mereka memburu, dada mereka naik turun dengan cepat seiring darah dan adrenalin memompa dalam pembuluh darah mereka. Di belakang mereka, gema langkah kaki para pengejar semakin mendekat, suara-suara kasar mereka bagai lolongan serigala yang mengoyak kesunyian malam.
Veera, dengan rambut putih panjang yang kusut dan pakaian yang robek, mencengkeram erat tangan Aksel yang berlumuran darah. Matanya, yang biasanya memancarkan semangat dan keceriaan, kini dipenuhi dengan air mata yang menggenang. Bibirnya gemetar saat dia berusaha menahan isakan. Namun, di balik semua itu, masih ada setitik harapan yang berkedip-kedip, seperti bara api yang menolak padam.
Aksel, dengan rahang yang mengeras dan alis yang berkerut, membalas cengkeraman Veera. Dia tahu bahwa mereka berdua berada di ambang kematian, bahwa tidak ada jalan keluar dari jebakan maut ini. Namun, dia tidak akan membiarkan Veera menyerah begitu saja. Dia akan melakukan apa pun untuk melindunginya, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawanya sendiri.
"Pada akhirnya... semua terhenti sampai sini, Veera..." Aksel terbata-bata, suaranya tercekat. Dia menggenggam erat kedua tangan Veera, matanya berkaca-kaca.
"Tidak... apa-apa..." Veera memaksakan sebuah senyuman, air matanya mengalir di pipi. "Sudah sejauh ini pun... adalah keajaiban... untuk kita bisa melarikan diri... Aku sama sekali tidak memiliki penyesalan bisa sejauh ini denganmu... Aksel..." Dia memeluk tubuh Aksel yang berlumuran darah, menenggelamkan wajahnya di bahunya.
Aksel membalas pelukannya, tubuhnya bergetar. "Dengarkan aku baik-baik, Veera..." Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan suaranya. "Ada satu hal yang selama ini kurahasiakan dari siapapun. Kau akan mengerti... setelah aku melakukannya... tidakkah kau ingin bertemu denganku lagi nanti?"
Di dunia ini, tidak ada satupun yang tahu menahu apakah tindakan yang akan Aksel lakukan berhasil atau tidak, bahkan Aksel itu sendiri, tetapi dirinya tidak memiliki pilihan lain.
Veera terdiam, mendongak menatap Aksel dengan mata penuh pertimbangan. Namun, apa daya, waktu mereka berdua semakin menipis, dan tidak akan pernah berhenti bergerak.
"Aku... mengerti maksudmu." Dia mengangguk pelan, air mata masih mengalir di pipinya. "Jika itu adalah keputusan yang tepat... aku siap pergi kemana pun... denganmu..."
Keduanya pun saling menatap sedalam-dalamnya, melebihi samudera terdalam di dunia manapun. Seolah-olah keduanya mengerti bahwa ini memang seharusnya terjadi. Waktu seakan melambat, memberi ruang bagi perasaan yang terpendam. Dalam diam, sejuta kata terucap tanpa suara. Harapan, tawa, air mata, luka, keindahan, dan kebahagiaan – semua tergambar jelas di mata mereka. Ini bukan sekadar pertemuan dua pasang mata, tapi perjumpaan dua jiwa yang akan berpisah.
Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, Aksel membisikkan kata-kata terakhirnya kepada Veera, "Dan bahkan di saat seperti ini pun... kau sangat cantik." Air mata mengalir di pipinya, menetes ke rambut Veera yang kusut. "Aku akan menemukanmu... di kehidupan berikutnya. Itu janjiku."
Veera mengangguk, air matanya bercampur dengan darah Aksel. "Dan bahkan... Tuhan pun... tidak akan bisa... memisahkan kita."
"Renatum: Sacrificium."
Dalam sekejap, cahaya yang menyilaukan terpancar dari tubuh mereka, menerangi reruntuhan kuno dengan kilatan energi yang membutakan mata. Batu-batu bergetar, dinding-dinding retak, kemudian runtuh, dan debu beterbangan ke udara, menari-nari dalam cahaya kematian mereka. Ketika cahaya meredup, yang tersisa hanyalah pola mengerikan dari darah dan puing-puing, saksi bisu dari pengorbanan terakhir mereka.
Beberapa saat kemudian, salah satu dari para pengejar tiba di tempat persembunyian mereka. Dia menyipitkan mata, mengamati kekacauan di hadapannya dengan ekspresi terkejut dan bingung. Tidak ada mayat, tidak ada tanda-tanda perlawanan, hanya pola aneh yang hanya bisa disebabkan oleh ledakan dahsyat.
"Kalian berdua semakin membuktikan bahwa kalian sudah seharusnya diburu oleh kami, dan juga membuktikan bahwa kami gagal menangkap kalian." Sosok misterius itu tersenyum tipis seolah-olah mengerti apa yang Aksel lakukan di tempat itu.
"Aequilibrium Dimensionum Custos, penangkapan Aksel Matthias dan Veera Minerva atas pencurian sebuah Reliquiae Dimensionum: Embodiment of Darkness dinyatakan gagal."
Sosok misterius beserta pasukannya menghilang sekejap dalam kedipan mata, seolah-olah tidak meninggalkan jejak apapun. Namun, di tengah reruntuhan yang masih berasap, setitik cahaya keemasan mulai berkedip-kedip seiring hadirnya sepasang kupu-kupu.
Di tempat yang tak terjangkau oleh batas-batas pemahaman manusia, di mana ruang dan waktu saling terjalin seperti benang-benang halus di dalam jalinan takdir, berdiri sebuah alam yang tak bernama. Tidak di surga, tidak di neraka, bahkan tidak di akhirat—tempat ini melampaui segala konsep dunia fana. Di sini, hanya ada kehampaan abadi yang seakan terus menggema dengan bisikan-bisikan masa lalu dan masa depan.
Di tengah kehampaan ini, cahaya lembut berkedip-kedip, membentuk pola-pola yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Langitnya bukanlah langit, melainkan serangkaian dimensi yang melayang-layang di antara kesadaran dan kenyataan. Waktu mengalir seperti sungai yang tidak memiliki awal ataupun akhir, sebuah ilusi yang terus-menerus berubah, seakan-akan hidup di dalam siklus yang tak terputus. Ruang di sini juga tidak ada batas, melengkung dan membelok sesuai kehendak penguasa yang tinggal di tempat ini.
Dan di pusat kehampaan itu, dua sosok berdiri saling berhadapan. Salah satu dari mereka, sosok yang lebih kecil, berlutut di depan yang lainnya. Erin, pemimpin divisi pengejar dari Aequilibrium Dimensionum Custos, tubuhnya bergetar dalam diam. Wajahnya tertunduk, seolah-olah keberanian yang pernah dia miliki menguap di hadapan keagungan yang lebih besar. Di tangannya, dia menggenggam sebuah tombak—senjata yang telah digunakan dalam jutaan pengejaran di alam semesta, tetapi sekarang terasa tak berguna.
Di hadapannya, berdiri Aetherion, sosok yang agung dan penuh wibawa, matanya memancarkan cahaya yang tidak bisa dipandang langsung oleh makhluk fana manapun. Di tangannya, Aetherion memegang sebuah pedang emas yang berkilau, dihiasi dengan ukiran rumit yang tampak seakan-akan bercerita tentang jutaan kisah yang tidak ditemukan kebenarannya oleh sejarah. Setiap goresan pada pedang itu mengandung energi yang dapat menghancurkan atau menciptakan dunia.
Aetherion menatap Erin dengan tatapan dingin, tetapi tidak ada kemarahan di matanya. Hanya ketegasan yang tak tergoyahkan, seperti waktu yang tak bisa dihentikan.
"Seharusnya tidak begini, bukan?" Suaranya menggelegar, bergema seperti ribuan suara yang berbicara serentak dari segala arah. "Berapa kesempatan yang telah kuberikan padamu?!"
Erin berusaha menelan ludah, meski tenggorokannya terasa kering. Dia tahu tidak ada alasan yang dapat membenarkan kegagalannya.
"Mohon, yang diperagungkan, Aetherion." Suaranya terdengar rendah, penuh penyesalan. "Aku sama sekali tidak memikirkan mereka berdua akan mampu melarikan diri. Mereka pun sepertinya menghancurkan relik yang mereka curi."
"Erin!" Suara Aetherion membelah kehampaan, mengguncang dimensi di sekitar mereka. "Kau adalah pemimpin dari divisi pengejar! Tidakkah kau memalukan, sepanjang reputasimu dalam jutaan tahun, kau gagal dalam kedua kalinya, dan kedua makhluk yang membuatmu gagal adalah manusia!"
Nada dalam suara Aetherion begitu menusuk, seakan-akan ruang di sekitar mereka bergetar dalam harmoni ketakutan. Ruang ini, yang dulu tenang, kini terasa seperti siap runtuh hanya dengan satu kata dari sosok agung itu. Erin merasakan beban yang semakin berat di pundaknya, tetapi dia tidak berani menunjukkan kelemahannya.
"Hamba tidak akan membela diri," jawab Erin dengan keteguhan yang masih tersisa. Dia menurunkan tombaknya perlahan ke permukaan tanah tak bernama di bawah kakinya, sebuah isyarat penyerahan yang disaksikan oleh para pasukan lainnya. Pasukan Erin, yang berdiri di belakangnya, mengikuti gerakan pemimpin mereka, meletakkan senjata mereka dalam keheningan. Mereka semua tahu bahwa kegagalan ini bukan hanya tanggung jawab Erin, tetapi juga mereka yang tidak mampu menghentikan Aksel dan Veera—manusia-manusia yang seharusnya tidak mungkin menantang hukum dimensi.
Aetherion menghela napas panjang. Dalam keheningan yang tiba-tiba terasa terlalu dalam, dia menurunkan pedangnya sedikit, tapi kilauan cahaya dari senjata itu tetap menerangi kegelapan di sekitar mereka.
"Aku memberimu kekuatan untuk menjaga keseimbangan dimensi, Erin. Kau tahu betul apa yang dipertaruhkan. Relik yang mereka curi bukan sekadar benda, itu adalah kunci yang menahan batas-batas antara masing-masing dunia di alam semesta. Jika relik itu benar-benar dihancurkan, maka bencana yang tak terbayangkan akan terjadi."
Erin menunduk semakin dalam, tubuhnya sedikit gemetar. "Hamba mohon ampunan, yang diperagungkan."
"Ampunan?" suara Aetherion penuh ejekan. "Ampunan hanya datang bagi mereka yang pantas. Tapi kau… kau telah mengecewakan hukum alam itu sendiri. Dan hukuman bagi yang gagal menjaga keseimbangan bukanlah sesuatu yang ringan."
Aetherion melangkah maju, setiap langkahnya mengguncang realitas di sekitar mereka. Waktu dan ruang bergetar, berubah bentuk di bawah kaki sang penguasa dimensi. Dia berhenti tepat di depan Erin, yang masih berlutut di tanah.
Namun, bukannya mengayunkan pedangnya, Aetherion mengangkat tangannya yang kosong. Dalam gerakan lambat, dia menekan jari-jarinya ke udara, dan seketika, di sekeliling mereka, pemandangan mulai berubah. Jutaan bintang berkedip-kedip, membentuk pola rumit yang melingkari mereka, seolah-olah alam semesta itu sendiri sedang menyaksikan apa yang akan terjadi. Dalam momen itu, Erin merasa dirinya begitu kecil—bukan hanya di hadapan Aetherion, tapi juga di hadapan kekuatan yang menguasai setiap sudut realitas ini.
"Kau tidak akan diampuni, Erin," ucap Aetherion perlahan. "Tapi kau akan diberikan kesempatan terakhir—sebuah tugas yang akan menentukan nasibmu di hadapan hukum."
Erin mendongak perlahan, matanya penuh harapan yang samar. "Tugas, yang diperagungkan?"
"Temukan mereka," jawab Aetherion, suaranya bergema di setiap bintang yang menyala di langit gelap. "Temukan Aksel dan Veera sebelum mereka menguasai kekuatan yang telah mereka bangkitkan. Jika kau berhasil, keseimbangan akan pulih, dan mungkin… kau akan menemukan ampunan."
Erin menegakkan tubuhnya, meski rasa takut masih bersemayam di dalam hatinya. Dia tahu tugas ini akan lebih sulit daripada misi sebelumnya, karena kini Aksel dan Veera bukan hanya manusia biasa. Mereka telah terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan Erin sendiri tidak bisa pahami sepenuhnya.
Namun, ini adalah kesempatan terakhirnya.
Dengan hati yang penuh tekad, Erin berdiri, meraih kembali tombaknya, dan berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan gagal lagi.
Per angusta ad augusta.