POV Sherly
Aku menarik napas panjang, menatap bayanganku di cermin. Hari pertama kerja selalu menegangkan, membayangkan bagaimana aku akan diterima di tempat baru ini—bagaimana bosku, rekan kerja, dan lingkungan kerjanya akan menilai aku. Tetapi aku tahu ini adalah langkah besar untukku. Namun, di balik kegelisahan ini, aku bersyukur. Pada usia 23 tahun, aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan konglomerasi berskala nasional yang bergerak di sektor industri. Bukan hal yang sepele untuk dibanggakan.
Aku meyakinkan diri untuk tetap berpikir positif. Ini adalah kesempatan luar biasa yang diberikan Tuhan kepadaku. Sekarang, akulah harapan ibu, satu-satunya keluarga yang masih kumiliki.
"Nak! Cindy udah nunggu di depan!" Teriak ibu sambil membuka pintu kamar.
"Iya, Bu," sahutku. Aku cepat-cepat meraih tas dan ponsel yang baru saja selesai diisi daya.
Cindy, yang biasa kupanggil Cin, adalah sahabat kecilku. Sejak sekolah, kami hampir selalu berangkat dan pulang bersama dengan mobil papinya. Sekarang, setelah dewasa, Cindy mengendarai mobilnya sendiri, dan aku sering menumpang. Cindy memang gadis beruntung yang tumbuh dalam keluarga yang utuh dan mapan, tidak sepertiku. Kehidupan kami sangat kontras, dan terkadang aku merasa sedikit kalah jika membandingkan diri dengan dia.
"Cin, lu nanti jadi ketemu Pak Bayu buat bimbingan?" Tanyaku sambil membolak-balik file skripsinya yang penuh coretan.
"Jadi, Sher, kalo nggak sekarang, ntar Bapaknya keburu ke Belanda lagi." Suara Cindy, sahabat berkacamata itu, teredam sandwich yang sedang ia makan. Sepertinya dia tidak sarapan di rumah.
"Coba kalo Bapak kasih gua acc, kan gua bisa mulai penelitian," lanjutnya dengan nada penuh harap.
Melihat wajah Cindy yang tampak galau, pikiranku melayang ke kesulitan hidupku. Sebuah kebakaran besar pernah menghanguskan pasar tempat toko kecil ayahku berdiri. Tak ada yang tersisa. Toko itu berasal dari pinjaman bank, dan ketika semuanya habis, ayah meminjam uang dari rentenir untuk memulai usaha kecil lagi. Tapi, bukannya bebas dari hutang, kami justru terperangkap dalam lilitan hutang baru dengan bunga yang mencekik. Ayah bekerja keras, mengambil pekerjaan serabutan apa saja agar bisa menghidupi kami. Namun, tepat seminggu setelah hutang bank lunas, kesehatan ayah memburuk. Kami tak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit, jadi ayah hanya dirawat di rumah dengan obat seadanya. Dua minggu kemudian, ayah menghembuskan napas terakhir. Ia pergi selamanya, meninggalkan aku dan ibu.
"Sher, lu kenapa? Lagi mikirin sesuatu, ya?" Cindy melambaikan tangan di depan wajahku, membuyarkan lamunan.
Aku terkejut, lalu segera tersenyum kikuk dan menggeleng.
Mobil Cindy berhenti di depan gedung kantor yang megah, dan aku segera turun, disambut oleh lingkungan yang rapi dan sejuk.
"Good luck, Sher!" seru Cindy sambil mengacungkan jempol dan tersenyum lebar.
Aku membalas senyumannya dan mengangguk.
"Oh ya, mau gue jemput nanti sore?" tanya Cindy tiba-tiba.
"Mungkin gue pulangnya agak sorean, jadi gue pulang sendiri aja, Cin," jawabku sambil melambaikan tangan, lalu bergegas menuju gerbang perusahaan.
Satpam yang berjaga tersenyum ramah saat aku menunjukkan surat tanda lolos seleksi. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan ID card bertuliskan 'Kartu Tamu.'
Aku mengalungkan kartu itu tanpa ragu. Satpam lainnya membukakan pagar besi tinggi, dan aku melangkah masuk. Satpam di depan pintu gedung menyambutku sambil membukakan pintu kaca otomatis. Aku langsung menuju resepsionis yang terletak di balik pintu itu.
"Permisi, Bu," sapaku kepada wanita yang duduk di meja resepsionis.
"Iya, ada yang bisa kami bantu?" jawabnya ramah.
"Saya Sherly, kandidat yang lolos tes. Saya menerima surat undangan ini," kataku sambil menyerahkan surat yang sama seperti yang kutunjukkan kepada satpam tadi.
"Oh, Ibu Sherly, silakan ikut saya. Kita langsung ke ruangan Pak Hasyim, ya," jawab wanita itu, mengenakan setelan kerja abu-abu berpadu corak batik putih. Ia tersenyum lembut, wajahnya dihiasi hijab yang terpasang rapi.
Lift membawa kami ke lantai empat, tempat ruangan tujuan kami berada. Aku merapikan blazerku dengan gugup sebelum pintu lift terbuka. Resepsionis itu menunjukkan ID card-nya ke kamera di dinding sebelah pintu, dan tak butuh waktu lama, pintu terbuka.
Seorang wanita berusia sekitar 50-an dengan penampilan sangat rapi menyambut kami.
Tanpa sepatah kata pun, Ibu Riana—nama yang tertulis di ID card-nya—mengantarku ke depan pintu kaca tempat orang yang harus kutemui berada.
"Permisi, Pak Hasyim. Ibu Sherly sudah datang," ujarnya sambil membuka pintu.
Setelah itu, Ibu Riana meninggalkanku di depan pintu. Dadaku terasa sesak, dan jantungku berdegup begitu keras hingga rasanya bisa terdengar sampai ke telingaku.
"Pagi, Pak Hasyim," sapaku dengan suara sedikit bergetar.
Aku benar-benar gugup saat ini.
Di balik meja kerja, seorang pria tua berkacamata, yang tampak berusia sekitar 70 tahunan, sedang sibuk dengan setumpuk kertas. Dahinya berkerut, mencerminkan keseriusan. Beberapa detik kemudian, beliau mendongak ke arahku yang berdiri pucat di samping pintu.
"Oh, ya. Masuk dan duduklah," katanya sambil tersenyum tipis setelah memandangiku sejenak.
Aku segera duduk di salah satu kursi yang tersedia, dan kini kami berhadapan. Pak Hasyim mengambil map merah dari mejanya dan menyerahkannya padaku.
"Menurut peraturan, setiap karyawan baru harus mengikuti training selama sebulan untuk mempersiapkan diri menjadi profesional," ujarnya, matanya masih tertuju padaku.
Aku segera membuka berkas itu dan membacanya dengan teliti.
"Iya, Pak. Saya sudah diberitahu oleh pihak HRD setelah dinyatakan lolos," jawabku sambil mengangguk.
"Bagus kalau kamu sudah tahu. Namun, selama masa training sebulan itu, kamu akan ditempatkan di bagian manajer keuangan untuk posisi asisten," jelasnya.
Pak Hasyim mengetukkan jarinya di atas meja, seakan menunggu responsku.
Posisi "Asisten"? Kenapa bukan sekretaris? pikirku.
Cepat-cepat, aku kembali membaca dokumen itu, mataku mencari-cari kata "asisten," dan memang benar, ada tertulis di sana.
"Maaf, Pak, tapi mengapa saya ditempatkan sebagai asisten?" tanyaku, bingung.
Pak Hasyim, yang mengenakan setelan kemeja biru muda, tiba-tiba berhenti sejenak dan menatapku tajam. Jantungku yang mulai tenang kembali berdegup kencang. Apakah aku telah salah bicara? Mungkinkah seharusnya aku tidak mempertanyakan hal itu? Aku hanya bisa menunduk, berharap tidak membawa masalah.
"Itu adalah kebijakan perusahaan," jawabnya singkat.
Aku mengangguk, meski belum sepenuhnya paham alasannya.
"Oh, ya. Sherly dulu pernah bekerja di kantor notaris, ya?" tanyanya tiba-tiba.
"Iya, Pak, benar," jawabku sedikit bingung, mengapa tiba-tiba beliau menanyakan hal ini.
"Padahal Sherly baru lulus kuliah, kan? Bagaimana bisa punya pengalaman di kantor notaris?" lanjutnya dengan nada penasaran.
"Iya, Pak. Saya baru wisuda bulan lalu. Tapi setelah tamat SMK, saya langsung bekerja. Kebetulan ada lowongan untuk posisi asisten di kantor notaris. Saya bekerja di sana siang hari, dan kuliah malam untuk kelas karyawan," jelasku dengan lancar.
Pak Hasyim mengangguk-angguk sambil melihat jam tangannya.
"Permisi, Pak. Maaf, waktunya sudah tiba untuk pertemuan dengan dewan direksi," tiba-tiba suara Ibu Riana terdengar dari pintu yang terbuka.
"Oh, iya, baiklah," kata Pak Hasyim buru-buru. "Sherly, kamu bisa langsung ke ruangan manajer keuangan."
"Baik, Pak. Terima kasih," jawabku sambil menjabat tangannya dan segera keluar.
Aku berjalan cepat menuju ruangan yang berada di bagian ujung, bertanya pada beberapa karyawan yang lewat hingga akhirnya sampai di depan pintu bertuliskan "Manajer Keuangan/Financial Manager." Aku mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada jawaban. Sepertinya setiap ruangan di sini memerlukan kartu identitas untuk akses masuk.
Beberapa menit kemudian, Ibu Riana datang menghampiri dan menempelkan ID card-nya pada alat sensor. Pintu pun terbuka.
"Silakan tunggu di dalam, Bu Sherly," ucapnya sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bu Riana," balasku dengan senyuman.
Setelah Ibu Riana pergi, aku memasuki ruangan yang sepi itu dan memilih duduk di salah satu kursi. Interior ruangan ini didominasi warna putih dengan sentuhan merah pada beberapa elemen dekorasi, menciptakan suasana yang elegan dan estetik.
Aku menatap dinding, mencoba mengalihkan perhatian dari detak jantung yang semakin cepat. Entah kenapa, aku merasa semakin cemas. Di luar sana, dunia bisnis yang besar dan tak kukenal menunggu, dan aku hanya seorang pemula yang harus membuktikan diri. Keheningan ruangan ini mulai membuatku merasa semakin kecil.
Namun, setelah 15 menit menunggu, belum ada seorang pun yang datang. Tiba-tiba saja...