Rumah Sakit Starhaven, 13 Juni 2017
Seorang dokter wanita berjalan menuju sebuah meja perawat sambil membawa sebuah map berisi beberapa buah lembar kertas di dalamnya. Malam itu, jam menunjukkan pukul 11 PM. Kondisi rumah sakit pada saat itu sangat sunyi, hanya terdapat beberapa perawat dan dokter yang berlalu lalang di sana untuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Beberapa jam yang lalu, sebuah rumah sakit di kota Starhaven kedatagan seorang pasien wanita yang dibawa oleh Ambulance dengan kondisi banyak luka di tubuhnya. Pasien tersebut ditemukan oleh pihak kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli dengan kondisi tergeletak di pinggir jalan di sebuah kawasan hutan lebat di kota Starhaven.
"Suster." Panggil dokter wanita tersebut sambil menghampiri meja perawat
"Ada apa, Dok?"
"Saya telah membaca data diri pasien yang baru datang beberapa jam lalu dari pihak kepolisian. Saya menemukan bahwa ternyata dia tidak tinggal di kota ini, melainkan tinggal di sebuah kota yang jaraknya 700km dari sini." Jelas sang dokter
"Benarkah? Apa kemungkinan dia adalah korban penculikan?" Tanya suster dengan raut wajah keheranan
"Tadinya saya juga berpikir begitu, tapi pihak kepolisian masih belum bisa menyimpulkan karena minimnya bukti di sekitar TKP." Lanjut sang dokter sambil membetulkan kacamatanya
"Apa sebaiknya kita mendatangi pasien itu sekarang? Mungkin dia sudah sadar dan kita bisa langsung bertanya kepadanya mengenai asal-usulnya." Usul sang suster dan langsung disetujui oleh dokter wanita tersebut.
**
Kedua tenaga medis tersebut memasuki sebuah ruang IGD, tempat sang pasien wanita tersebut berada. Pada saat membuka pintu kamarnya, mereka dikejutkan dengan keberadaan sang pasien wanita yang sedang duduk ketakutan di sudut ruangan sambil menenggelamkan wajahnya ke lutut. Kedua tenaga medis tersebut segera menghampiri dan menanyakan mengenai perihal yang sedang terjadi pada sang pasien.
"Nona, apa yang sedang anda lakukan di sini?" Tanya sang dokter dengan nada yang khawatir
Sang pasien pun langsung mendongakkan kepalanya dan menatap wajah sang dokter dengan ekspresi wajah yang cemas dan ketakutan.
"Tolong saya... Selamatkan saya dari 'mereka'! 'Mereka' tidak akan membiarkan saya lepas sebelum saya mati!" Ucapnya dengan nada yang gemetar
" 'Mereka' itu siapa? Tanya sang dokter sekali lagi untuk meminta kejelasan
" 'Mereka' adalah iblis pembunuh! Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri 'mereka' membunuh teman-teman saya! Lalu, tidak lama lagi pasti saya adalah korban selanjutnya!" lanjutnya masih dengan suara yang gemetar disertai tangis ketakutan
"Lantas bagaimana anda bisa lari dari 'mereka'?" Giliran sang suster yang mengajukan pertanyaan kepada pasien tersebut
Pasien tersebut pun langsung menatap wajah sang suster "Takdir telah menolong saya.... Tapi itu pasti tidak akan bertahan lama...." Ucapnya disertai senyuman yang tiba-tiba terukir di bibirnya.
Sang dokter pun langsung menyudahi pembicaraan tersebut dan mengajak sang pasien untuk kembali ke tempat tidurnya. Dengan dipapah oleh sang suster, pasien tersebut berjalan dengan tatapan kosong sambil mengucapkan beberapa kalimat.
"Sebentar lagi saya akan menyusul teman-teman saya."
***
Sang suster sedang berjalan melewati sebuah lorong dari arah ruang IGD menuju ke tempat semula ia berada. Ia berjalan seorang diri setelah berpisah dengan sang dokter wanita yang ingin mengerjakan pekerjaan lainnya. Beberapa saat kemudian, ia baru teringat akan suatu hal. Ia pun segera merogoh salah satu kantung di seragamnya untuk mengambil ponsel miliknya. Ia segera mengecek jam pada saat ini, dan jam menunjukkan pukul 11.58 PM.
"Gawat! Aku lupa ngasih obat untuk pasien tadi!"
Ia pun segera berbalik arah dan berjalan kembali menuju ruang IGD, tempat pasien tersebut berada.
***
kriettt
Suara pintu IGD yang dibuka terdengar menggema di seluruh sudut ruangan tersebut. Hawa yang tidak enak langsung menyelimuti tubuh sang suster ketika pertama kali memasuki ruangan tersebut. Akan tetapi, ia tidak menghiraukannya dan tetap melangkahkan kaki menuju kamar sang pasien.
Saat tiba di depan kamar yang ia tuju, ia langsung segera membuka pintu kamar tersebut. Perasaan tidak enak yang tadi perlahan menghilang, seketika muncul kembali. Tubuhnya kini bergetar hebat tatkala melihat pemandangan yang sangat menyeramkan di depan matanya. Dalam hitungan detik, ia pun jatuh terduduk disertai dengan air mata ketakutan yang sangat deras keluar dari matanya.
"AAAAAAAAAAAAA" suara teriakannya menggema di sepanjang ruangan tersebut
Tepat di dalam kamar tersebut. Seorang pasien wanita yang baru ditemukan beberapa jam yang lalu oleh pihak kepolisian, tewas tergantung secara mengenaskan. Tepat di sebuah tembok yang berada di belakang jasad pasien tersebut, terdapat sebuah tulisan yang ditulis menggunakan tinta berwarna merah disertai dengan simbol mahkota yang berbunyi "DIA MILIK SANG RATU".
**
Seorang gadis berjalan di lapangan sekolah sambil membawa tas di pundaknya serta beberapa barang di tangannya. Matanya sedang berusaha mencari beberapa orang yang belum ia temui sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Selang beberapa saat kemudian, kedua bola matanya menangkap objek yang sedang ia cari.
"Teman-teman!" panggilnya sambil berlari menghampiri 3 orang gadis yang sedang berjalan bersama di seberang lapangan
"Ya ampun, Jean! Kamu dari mana aja sih? Daritadi kami nungguin kamu tau!" Ucap salah seorang teman dari gadis yang diketahui bernama Jean
"Iyaaa, maaf yaaa! Tadi di perjalanan agak macet." ucapnya dengan nada yang terengah-engah sehabis berlari
"Ya sudah, lebih baik kita sekarang pergi ke busnya yuk! Aku yakin Ibu Rosie pasti sudah tungguin kita." Ucap teman Jean yang lainnya
Mereka berempat segera berlari kecil menuju sebuah bus yang sudah terparkir dengan jarak yang tak jauh di depan mereka. Saat jarak mereka dengan bus hampir dekat, Jean berhenti sejenak untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas.
Ketika telah selesai dengan pekerjaannya, ia berniat untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya. Saat baru berdiri, ia mendapati bahwa teman-temannya telah menaiki busnya dan bus tersebut sudah mulai berjalan meninggalkannya. Menyadari akan hal tersebut, ia pun segera berlari mengejar bus tersebut dengan langkah yang sangat cepat. Ia berhasil sampai tepat dibelakang bus yang sedang melaju cukup kencang. Sekuat tenaga ia berusaha menggapainya, tapi hal tersebut hanya berujung kegagalan. Ia pun menyerah dan berhenti mengejar bus tersebut. Dari posisinya berdiri, ia dapat melihat melalui jendela belakang bus bahwa teman-teman yang sebelumnya bersama dengannya sedang berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya disertai dengan senyuman dan tatapan kosong. Ia tak mengerti arti dari senyuman yang ditujukan kepadanya itu. Di titik itu, Jean merasa frustasi. Ada rasa kesal bercampur marah dari dalam dirinya yang ditujukan kepada teman-temannya. Hal itu dikarenakan tak ada dari mereka yang berniat memberi tahu sang supir untuk berhenti sejenak dan memberitahu bahwa ia tertinggal. Saat sedang terpaku dengan kekesalannya tersebut, tiba-tiba....
DUARRR
Sebuah ledakan muncul dari dalam bus secara tiba-tiba. Perlahan, bus tersebut berubah menjadi kobaran api yang semakin lama semakin membesar dan mulai melahap seluruh bagian dari bus tersebut. Melihat pemandangan tersebut, tubuh Jean gemetar hebat disertai dengan isak tangis ketakutan yang mendalam. Ia dapat melihat dari arahnya ia berdiri saat ini ketika seluruh penumpang yang berada dalam bus tersebut berteriak kesakitan dan meminta pertolongan. Jean pun langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil masih disertai dengan tangisan. Perasaan kesal yang sebelumnya singgah di dalam dirinya seketika lenyap dan digantikan dengan perasaan takut dan trauma atas apa yang baru saja ia saksikan.
Ketika ia membuka kembali wajahnya, pemandangan mengerikan sebelumnya berubah menjadi pemandangan lain yang tak kalah mengerikannya. Jean saat ini berdiri di tengah-tengah jalanan yang dikelilingi oleh hutan. Tepat 100 meter dari arahnya berdiri, ia melihat tiga orang temannya sedang menatap ke arahnya sambil menampakkan senyuman yang sulit diartikan. Melihat hal tersebut, ketakutan yang ada dalam diri Jean semakin menjadi-jadi. Selain itu, tangisan dalam dirinya keluar semakin deras tanpa dapat ia bendung.
"Jean.... Kita udah janji akan terus bersama kan?" tanya salah satu temannya dengan suara lirih seperti orang kesakitan
"Kalian mau apa?" Tanya Jean dengan suara yang gemetar
"Ikut kami... Disini Gelap Jean...." ucap temannya yang lain sambil mengulurkan tangannya
Tepat setelah kalimat tersebut diucapkan, ketiga teman Jean langsung berlari menuju ke arahnya dengan perlahan menunjukkan penampilan mereka yang sesungguhnya. Wajah cantik dari ketiga teman Jean perlahan berubah menjadi wajah gosong dan menyeramkan yang terus berlari ke arahnya sambil tersenyum. Jean pun langsung berbalik arah dan segera berlari sekuat tenaga. Isak tangis yang ada dalam dirinya terus terpacu untuk keluar. Di sepanjang pelariannya, ia juga menyaksikan para korban bus yang lainnya menampakkan diri dari balik pepohonan di sekitarnya. Seperti menjadi sinyal, mereka yang tiba-tiba muncul langsung berlari ikut mengejar Jean dari belakang.
Saat sedang berlari sekuat tenaga, Jean tiba-tiba tersandung sesuatu dan terjatuh. Ketika kepalanya menoleh untuk melihat benda apa yang menghalangi jalannya, ia semakin syok ketika mengetahui jika benda yang baru ia tabrak adalah tubuh Bu Rosie yang merupakan gurunya. Tubuh tersebut tergeletak di jalanan dengan kondisi yang sama persis seperti korban lainnya. Selang beberapa saat kemudian, ia sudah terkepung di tengah kumpulan para korban kecelakaan bus. Mereka meraih tubuh Jean dan 4 orang dari mereka memegang kedua tangan dan kaki Jean. Jean meronta-ronta sambil berusaha melepaskan diri dari mereka serta diiringi tangisan ketakutan yang semakin menjadi-jadi.
"Ikut kami Jen..."
"Kami hanya perlu teman..."
"Disini gelap..."
"LEPASSSSS!!!!! JANGAN GANGGU AKU!!!! PERGI KALIAN SEMUA!!!!" Teriakan Jean disertai dengan rasa takut yang sudah tak dapat diukur lagi besarannya.
Akan Tetapi, Jean bukan satu-satunya yang berteriak saat itu. Tepat setelah ia meneriakkan kata-kata tersebut, salah seorang temannya yang berada tepat di sampingnya mendekatkan wajahnya sambil berteriak.
"KENAPA KAMU TIDAK MENOLONG KAMI!!!!!"
Perlahan, suara-suara yang menyeramkan tersebut berubah menjadi sebuah suara ketukan pintu disertai dengan suara seseorang yang familiar di telinganya. Jean perlahan membuka mata dan ia menyadari bahwa sudah berada di kamarnya. Ia pun segera bergegas bangun dan menghampiri pintu kamar untuk membukakan seseorang yang sedari tadi memanggil namanya.
cklek
"Mama?" ucapnya
"Kemana aja kamu? Mama ketuk pintu sudah hampir 10 menit dan tidak ada jawaban dari kamu. Bikin khawatir saja!" Ucap mama sambil menghela napas lega
"Iya, Ma. Tadi aku masih ketiduran." Ucap Jean sambil menggaruk kepalanya
"Ya sudah. Sekarang kita ke meja makan saya yuk! Papa, William dan Alex sudah menunggu di bawah." Ajak Mama yang langsung menggandeng tangan Jean dan berjalan pergi menuju meja makan.
**
Di meja makan sudah ada Papa beserta kedua saudara laki-laki Jean. Saat ini mereka sudah mulai menyantap makanan yang terhidang di atas meja makan tersebut. Jean pun segera duduk di salah satu kursi dan segera mengambil makanan yang terhidang di meja makan ke dalam sebuah piring kosong di depannya.
Saat ini adalah libur musim panas. Seluruh anggota keluarga Jean sedang menikmati liburan selama beberapa minggu kedepan sebelum mereka kembali ke rutinitas awal. Papa Jean yang bernama Johnny Robert Wilson adalah seorang ceo di salah satu perusahaan ternama di kota tersebut. Lalu, Ibu Jean yang bernama Miranda Kimberly Wilson adalah salah satu petugas medis di sebuah rumah sakit umum di kota tersebut. Sedangkan, kedua saudara laki-laki Jean yang bernama William Patrick Wilson, kakak pertamanya dan Alexander Matt Wilson, kakak keduanya adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama dengan bidang studi ilmu komputer. Untuk Jean sendiri memiliki nama lengkap Jeannette Samantha Wilson, ia duduk di kursi kelas 2 sekolah menengah atas yang saat ini berpindah haluan menjadi homeschooling karena satu dan lain hal.
Kegiatan sarapan pagi itu sangat sunyi. Hanya ada obrolan kecil yang tak berlangsung lama antar anggota keluarga tersebut. Lalu, tak lama sang kepala keluarga membuka obrolan yang cukup menarik perhatian mereka semua.
"Jean. Papa mau nanya sesuatu sama kamu." Ucap John dengan wajah yang cukup serius
"Apakah kamu masih sering mimpi buruk seperti dulu?" Lanjutnya masih dengan wajah seriusnya
"S-sepertinya tidak." Jawab Jean dengan nada ragu sambil memalingkan wajahnya
"Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya Papa sama Mama berencana untuk mengadakan liburan keluarga. Tujuan liburan ini untuk mempererat hubungan kekeluargaan kita yang mungkin akhir-akhir ini cukup renggang." Jelas John kepada ketiga anaknya
"Iya, betul. Selain itu kita juga akan mengajak keluarga yang lain, contohnya seperti keluarga Paman Henry, Tante Mary, dan paman Hans. Benar begitu kan, John?" Giliran Miranda yang berbicara
"Iya, betul. Lagipula, kalian kan jarang bertemu dengan sepupu-sepupu kalian yang lain. Oleh karena itu, lebih baik kita ajak mereka sekaligus." Jelas John berusaha meyakinkan
"Bagaimana? Will? Alex? Jean?" Tanya Miranda meminta kepastian anak-anaknya
"Aku setuju" Ucap William dan Jeannette secara bergantian
Lalu, Mama menanyakan ulang pada Alex, si anak tengah yang belum kunjung memberikan jawaban sedari tadi.
"Terserah" Jawab Alex dengan nada acuh
"Baiklah, karena semua sudah sepakat. Jadi akan diputuskan kalau kita akan berangkat minggu depan." Jelas John memberikan keputusan akhir
"Setelah ini Papa akan mengkonfir-"
"Tunggu!!!"
Alex segera berdiri dari kursinya dan memotong omongan Papanya. Lalu, ia pun segera mengucapkan sebuah kalimat yang mampu mengubah keadaan dalam ruang makan tersebut.
"Aku tidak jadi ikut. Ada urusan yang sangat penting yang harus kulakukan minggu depan. Kalian pergi saja tanpa aku!" Ucapnya yang selang beberapa saat langsung meninggalkan ruang makan tersebut
Semua yang ada disana merasa kebingungan akan hal yang diucapkan Alex barusan. Johnny segera menyuruh William untuk menyusul Alex dan menanyakan lebih jelas maksud dan tujuannya tersebut.
Tak lama kemudian, Miranda pun segera membereskan piring serta sendok yang mengisyaratkan bahwa sarapan pagi telah usai. Johnny serta Jeannette pun segera meninggalkan meja makan untuk melanjutkan aktivitas lainnya masing-masing.
***
Hari yang dinanti pun telah tiba. Keluarga Johnny Wilson sedang mengemasi barang-barang mereka yang akan mereka bawa untuk liburan nanti. Rencananya adalah para orang tua akan berangkat terlebih dahulu, lalu setiap anak mereka masing-masing akan berangkat bersamaan dalam satu mobil. Tujuannya adalah agar dapat terjalin kebersamaan antar mereka mengingat hubungan masing-masing yang kurang dekat karena jarang bertemu.
Jam telah menunjukkan pukul 6 PM. Mereka semua akan bersiap untuk berangkat. William, Alex dan Jeannette akan berangkat menggunakan mobil dengan kapasitas yang lebih besar dikarenakan mereka akan menjemput sepupu mereka yang lain yang berjumlah 7 orang.
"Apakah semua sudah lengkap?" Tanya John kepada istrinya, Miranda
"Sudah" ucapnya dengan penuh keyakinan
Johnny dan Miranda pun menghampiri anak-anaknya yang baru saja keluar dari rumah.
"Mama dan Papa berangkat dulu, ya! Kalian hati-hati nanti di jalan! Jika ada hal yang mendesak jangan lupa telepon kami!" Ucap John mengingatkan anak-anaknya
"Iya, Pa!" Ucap mereka serentak
"Oh, iya. Satu hal lagi. Will... Alex... jangan lupa jaga adik kamu! Jangan sampai ada hal buruk yang terjadi padanya! Paham kalian?" Tegas papa
"Paham, Pa!" ucap mereka berdua serentak
Mendengar hal itu, ada rasa kurang nyaman di dalam diri Jean. Pasalnya, hal tersebut seperti menjadi kebiasaan papanya yang selalu menempatkan tanggung jawab terlalu keras pada kedua saudara laki-lakinya. Ia tidak pernah meminta untuk dilindungi oleh siapapun. Bahkan, selama ini ia merasa bahwa sikap orang tuanya yang terlalu protektif pada dirinya seakan menjadi penghalang untuknya agar dapat berdamai dengan rasa traumanya di masa lalu.
John dan Miranda pun masuk ke dalam mobil mereka untuk segera berangkat.Tak lupa mereka juga berpamitan untuk terakhir kalinya dengan anak-anak mereka. Beberapa saat kemudian, mobil yang ditumpangi mereka berdua segera melaju kencang meninggalkan halaman rumah kediaman Wilson. Ketiga orang yang masih tersisa pun juga segera masuk ke dalam mobil untuk menunaikan rencana liburan mereka.
William menyalakan mesin mobil dan mengambil ancang-ancang untuk melajukan mobil tersebut dari halaman rumah mereka. Dalam hitungan detik, mobil yang mereka tumpangi segera melaju kencang meninggalkan halaman rumah tersebut.
***
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil yang dikendarai William berhenti di depan sebuah rumah sakit. Melihat hal tersebut, Jean lantas bertanya pada kakaknya mengenai maksud dan tujuannya.
"Will, kenapa kita berhenti disini?" Tanya Jean dengan penuh keheranan
"Ada yang ingin bertemu dengan seseorang." Jawab Will sambil menoleh ke arah Alex yang sedang melepas Seatbelt dari tubuhnya.
"Aku kasih kamu waktu 15 menit untuk bertemu dengannya! karena waktu kita terbatas." Lanjut Will yang kali ini ditujukan untuk Alex
"baiklah" Alex pun mengiyakan dan segera turun dari mobil
William dan Jeannette menatap kepergian Alex yang perlahan menghilang dari balik kaca mobil. Tak lama kemudian, bunyi sebuah notifikasi ponsel menggema di dalam mobil tersebut. Will yang sadar notifikasi tersebut dari ponselnya, segera melihat isi notifikasi tersebut.
"Dari Papa ya?" Tanya Jeannette yang penasaran dengan isi notifikasi tersebut
"Bukan" jawab Will yang masih serius dengan ponselnya
Terlihat sebuah raut wajah murung yang terukir pada William disertai dengan beberapa helaan napas pasrah yang beberapa kali ia lontarkan. Jeannette pun langsung dapat menebak apa yang mungkin terjadi padanya.
"Biar kutebak, pasti kamu sudah ada janji dengan pacarmu juga kan? lalu kamu melanggar janji tersebut dan pacarmu sangat marah besar?" Tanya Jeannette yang sedang berusaha menebak
"Ternyata aku memang mudah ditebak ya." Jawab Will sambil tertawa kecil
William masih terhenyak setelah membaca pesan notifikasi dari pacarnya tersebut.
"Kenapa kamu tidak bilang terus terang jika sudah ada janji dengan Rachel, Will? Bukankah dia orang baik yang selalu ada untukmu?" Tanya Jean lagi untuk meminta penjelasan
"itu..."
tring
Muncul sebuah notifikasi lagi dari ponsel Will. Ia pun langsung bergegas membuka pesan notifikasi tersebut. Tak lama kemudian, muncul raut wajah sedih yang terukir di wajahnya. Ia pun segera mematikan ponselnya dan menundukkan wajahnya. Terlihat air mata yang tiba-tiba menetes dari kedua matanya. Melihat hal tersebut, Jeannette segera menenangkan kakaknya. Ia paham mengenai apa yang sepertinya baru saja terjadi padanya.
"Aku paham apa yang kamu sedang rasakan. Aku hanya bisa berharap semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dari dirinya." Ucap Jean menguatkan kakaknya
Tak lama kemudian, pintu mobil mereka terbuka dari luar. Alex masuk ke dalam mobil dengan raut wajah sedih. Ia lantas segera meluapkan segala kesedihan yang dipendamnya setelah menutup pintu mobil tersebut. William yang masih berlinang air mata langsung dengan sigap menenangkan adiknya tersebut. Tak lupa, Jean yang masih belum paham apa yang baru saja dialami oleh Alex juga ikut menenangkannya. Melihat pemandangan tersebut, Jean jadi teringat kejadian setahun yang lalu. Sebuah kejadian yang mampu membuat Jean tertekan secara emosional dan mampu mengubah hidupnya. Namun, sayangnya Jean tidak sekuat kedua kakaknya yang mampu mengendalikan perasaan mereka saat menghadapi situasi emosional tersebut. Sebaliknya, perasaan tersebut justru meninggalkan bekas trauma yang mendalam di dalam dirinya hingga saat ini.
TO BE CONTINUED