Di bawah langit sore yang mulai memerah, dua anak SMA baru saja selesai sekolah dan berjalan berdampingan di trotoar yang tenang. Keduanya mengenakan seragam putih abu-abu, dengan tas menggantung di bahu mereka. Dari kejauhan, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang pulang bersama. Namun, yang satu adalah Raka, pemuda yang tenang dan selalu berpikir jauh ke depan, sementara di sampingnya adalah Nisa, gadis ceria namun sering kali terlalu cuek pada hal-hal yang menurut Raka penting.
"Pelajaran hari ini nggak asyik banget," keluh Nisa dengan nada mengeluh, menghentak kakinya di trotoar. "Sejarah dan budaya? Serius deh, apa bagusnya belajar begituan? Kayak nggak ada faedahnya."
Raka menoleh dengan sedikit senyum di bibirnya, meski dalam hati ia mulai merasa kesal. "Hentikan keluhanmu, Nis. Belajar sejarah dan budaya itu penting. Suatu saat nanti, kamu bakal ngerti kalau semua itu berguna di masa depan," jawabnya dengan nada sabar, meski ada sedikit ketegasan dalam suaranya.
Nisa melengos, rambutnya yang dikuncir ekor kuda sedikit bergoyang. "Masa depan? Nggak mungkin deh. Apa gunanya tahu tentang hal-hal yang udah lama lewat? Aku nggak bakalan pakai itu semua pas dewasa nanti. Aku sih nggak mau jadi guru atau arkeolog!"
Raka mendengus pelan, tapi menahan diri agar tak membalas dengan nada tajam. Dia tahu Nisa, sahabatnya sejak kecil, memang selalu penuh semangat namun kadang tidak memahami hal-hal yang lebih dalam seperti yang ia lakukan. Yang membuatnya kesal adalah kenyataan bahwa Nisa sedang meremehkan mata pelajaran favoritnya—sejarah dan budaya. Meski begitu, Raka tidak ingin membuat pertengkaran kecil ini berkembang.
Dalam hati, Raka berpikir, Kenapa sih, Nis? Selalu saja begitu. Sejarah dan budaya itu penting. Mereka memberi kita identitas, akar yang kuat di dunia ini. Masa kamu nggak bisa lihat manfaatnya?
Tapi, melihat Nisa yang ceria dan tak mau ambil pusing, dia hanya bisa menarik napas panjang dan mencoba mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu memaksakan pendapatnya.
Mereka terus berjalan bersama di bawah sinar matahari yang mulai terbenam, bayangan mereka memanjang di atas trotoar. Meski kadang bertentangan dalam banyak hal, Raka tahu bahwa Nisa adalah sahabat terbaiknya. Sementara Nisa hanya melihat semua dengan keceriaan khasnya, tak menyadari kalau apa yang baru saja ia katakan itu menusuk sedikit di hati Raka.
Namun, Raka memilih untuk diam, karena bagaimanapun, persahabatan mereka lebih penting daripada sebuah argumen kecil tentang pelajaran di sekolah. Tapi jauh di dalam hatinya, ia berharap suatu saat nanti Nisa akan mengerti betapa pentingnya sejarah dan budaya yang dia cintai.
Raka terdiam sejenak, melangkah beberapa langkah ke depan sambil menatap jalan di hadapannya. Namun, perhatiannya tiba-tiba teralih pada Nisa yang masih berjalan di sampingnya. Dia melirik ke arah sahabatnya itu, menyadari sesuatu yang aneh.
"Nis, bukankah rumahmu itu di jalur yang sebelah sana?" Raka mengangkat alis, menunjuk ke arah jalan yang berlawanan. "Kenapa kamu malah mengikutiku?"
Nisa langsung menghentikan langkahnya, melipat tangan di depan dada sambil menatap Raka dengan tatapan gemas. "Hei, hentikan itu, Raka! Kamu lupa ya? Bukankah kamu berjanji mau ajak aku ke rumahmu? Udah lama banget aku nggak ketemu kakakmu. Aku merindukannya, tahu!" Nisa berkata dengan ekspresi yang sedikit menggemaskan, mengedipkan mata dengan senyum usil.
Raka mengerutkan kening dan berpikir keras. "Kapan aku berjanji begitu? Aku nggak ingat pernah bilang begitu ke kamu," jawabnya, sedikit bingung.
Nisa mendesah, dengan gerakan dramatis mengarahkan tangannya ke Raka seolah siap menghajarnya. "Raka, aku akan menghajarmu kalau kamu pura-pura lupa! Jangan main-main sama aku!" katanya sambil menggoyangkan tangannya di udara dengan sikap mengancam.
Wajah Raka langsung berubah panik, ia mundur sedikit dengan cepat sambil mengangkat tangannya untuk bertahan. "Baiklah, baiklah! Aku ingat! Aku ingat! Hehehe," katanya sambil tertawa kecil, berusaha menghindari serangan imajiner Nisa yang selalu ia waspadai.
Nisa berhenti sejenak, tersenyum puas melihat Raka panik. Raka pun hanya bisa tersenyum lemah, tahu betul kalau Nisa tidak akan benar-benar menghajarnya, tapi ancaman kecilnya itu cukup untuk membuatnya patuh.
"Sudah seminggu kamu nggak mampir ke rumah," kata Raka setelah suasana mereda. "Lagipula, kakakku juga sering banget nyuruh aku ngajak kamu ke rumah. Entah kenapa, setiap kali kalian ketemu, aku sebagai adik malah merasa tergantikan. Kalian tuh seolah punya bahasa sendiri atau mungkin karena kalian berdua se-frekuensi."
Nisa tertawa, mengangkat bahu seolah itu hal yang wajar. "Ya iyalah, kakakmu itu seru. Nggak kayak kamu yang suka sok serius. Kita punya banyak kesamaan, Raka. Jangan cemburu deh," balasnya sambil memberikan tatapan iseng.
Raka hanya bisa mendesah panjang. "Bukannya cemburu, cuma aneh aja. Kadang aku ngerasa lebih kayak tamu di rumah sendiri kalau kamu dan kakakku udah ngobrol."
"Tamu di rumah sendiri?" Nisa tertawa lebih keras kali ini. "Itu lucu, Raka. Tenang aja, kamu masih adik kesayangan kok."
Meski bercanda, Raka tahu Nisa memang akrab dengan kakaknya, dan hubungan mereka sering kali membuatnya merasa sedikit tersisih. Tapi, bukannya marah atau kecewa, dia hanya bisa menerima dengan senyum kecil di wajahnya. Setidaknya, dengan Nisa di dekatnya, perjalanan pulang ini terasa lebih hidup.
Perjalanan panjang kami akhirnya berakhir di depan rumah tua bergaya kuno yang aku tinggali. Rumah itu terbuat dari kayu yang mulai usang, dengan ornamen tradisional di setiap sudutnya. Meski terlihat agak kumuh, rumah ini tetap menyimpan banyak kenangan bagi kami berdua, aku dan kakakku, Alya, yang satu-satunya keluarga yang selalu menemaniku sejak kepergian orang tua.
Saat kami tiba, dari kejauhan aku bisa melihat Alya sedang duduk di dekat pemanggang jahit di beranda, tampak sibuk merapikan kain. Begitu ia menyelesaikan pekerjaannya, ia bangkit dan mulai berkemas untuk pergi, namun tiba-tiba matanya menangkap kami. Tatapan aneh muncul di wajahnya, seperti tidak percaya melihat tamu yang datang bersamaku.
Dengan suara kecil yang penuh rasa ingin tahu, Alya berkata, "Nisaa... Itu kamukah?"
Nisa tersenyum lebar, lalu menjawab dengan penuh semangat, "Iya, ini aku, Kak Alya!" Keduanya segera mendekat dan tanpa ragu saling berpelukan erat, seolah mereka baru saja bertemu setelah seratus tahun berpisah.
Aku berdiri tak jauh dari mereka, menatap pemandangan itu dengan senyum tipis namun diiringi sedikit rasa jengkel. "Kak, kenapa kamu nggak nyapa aku dulu sih?" kataku dengan nada agak kesal.
Alya memalingkan pandangannya ke arahku, dan dengan ekspresi sinis, ia berkata, "Hei, aku sudah melihatmu setiap hari selama lebih dari sepuluh tahun. Masa kamu masih perlu disapa juga?" katanya sambil tertawa kecil. "Masuklah, dan buatkan makan malam yang enak buat kita bertiga. Cepat, ya!"
Aku hanya bisa menghela napas, "Iya, iya...," jawabku dengan nada pasrah.
Begitulah ceritanya setiap kali Nisa berkunjung. Saat mereka bertemu, aku sering merasa diabaikan, seolah-olah keberadaanku hanya seperti angin lalu. Bahkan terkadang, rasanya aku lebih seperti pelayan daripada adik. Meski begitu, aku tidak terlalu memikirkannya. Walaupun kakakku suka bercanda kasar seperti itu, aku tahu dia tetap menyayangiku sebagai adik, meskipun kadang terlihat sedikit... yah, sedikit sinis.
Malam mulai merambat pelan, dan aku berdiri di dapur, membuka pintu kulkas dengan sedikit kerutan di dahi. "Masak apa ya malam ini?" gumamku dalam hati. Aku melirik bahan-bahan yang tersisa di dalam kulkas. "Sepertinya aku akan memasak makanan kesukaan Kak Alya saja, mungkin Nisa juga bakal suka," putusku.
Sementara itu, di ruang makan, Alya dan Nisa sibuk menata peralatan makan di atas meja. Dentingan piring dan sendok membuat suasana rumah semakin ramai. Sesekali, suara tawa kecil mereka terdengar, membuatku sedikit tersenyum dari balik dapur.
Namun, saat aku kembali ke ruang makan, mataku langsung tertuju pada Nisa yang sedang membantu Alya. Sesuatu tampak janggal. "Bukankah itu... bajuku?" tanyaku heran sambil melirik Nisa dari atas ke bawah. Baju kaosku tampak longgar di tubuhnya yang mungil.
Sebelum Nisa sempat menjawab, Alya langsung menyahut dengan nada lantang, "Ada apa denganmu, Raka? Aku yang meminjamkannya. Biarkan saja untuk malam ini. Lihat deh, Nisa kelihatan lucu banget dengan baju kebesaran itu!" Alya tertawa gemas sambil mengacungkan jempol ke arah Nisa.
Aku menghela napas, "Cih... biarlah untuk malam ini saja," jawabku sambil memutar bola mata. Mereka selalu punya cara untuk membuatku merasa kalah dalam argumen kecil seperti ini.
Saat semuanya sudah siap, aku menghidangkan makanan yang baru saja selesai kubuat. Nasi goreng, makanan kesukaan Alya. Aku menaruh piring di depan Alya dan Nisa, lalu menunggu reaksi mereka.
Namun, saat Alya melirik nasi gorengnya, wajahnya berubah datar. Ia memandangku dengan tatapan yang sedikit... menakutkan. "Apa-apaan ini, Raka?" tanyanya dengan nada menuntut. "Kenapa kamu melakukan ini? Apa salahku kepadamu?"
Aku mengerutkan kening, bingung dengan reaksinya. "Hah? Kenapa? Apa ada yang salah?" tanyaku sambil melirik ke arah Nisa yang sedang berusaha menahan tawa di samping Alya, seolah dia tahu apa yang terjadi.
Aku menunjuk ke piring Alya. "Bukankah ini nasi goreng kesukaanmu? Kenapa tiba-tiba kamu marah?" tanyaku polos.
Alya menunjuk nasi gorengnya dengan ekspresi jengkel, "Ada apa dengan gambar ini, bodoh! Kamu membuat wajah Nisa di piringnya kelihatan begitu bagus, sedangkan punyaku? Ini apa? Kucing melengking kurus?! Kamu mencoba menghina kakakmu yang cantik ini, kan?!"
Aku melongo, lalu menunduk melihat nasi goreng di piring mereka. Nasi goreng Nisa memang kuhias dengan saus menjadi wajah yang lucu, sementara wajah Alya... yah, bentuknya memang lebih mirip kucing jelek. Aku menggaruk kepala dan tersenyum kecut. "Maaf, Kak... hehehe. Biar aku perbaiki deh," ujarku sambil meraih botol saus dan mulai memperbaiki 'karya seni' di piring Alya.
"Nah, gimana sekarang? Sudah benar?" tanyaku setelah memperbaikinya.
Wajah Alya langsung bersinar ceria, seolah-olah marahnya lenyap begitu saja. "Cantiknya! Kamu berhasil membuatnya jadi lebih baik sekarang. Bagaimana mungkin kamu menyamakan kakakmu yang secantik dan imut ini dengan kucing jelek tadi?!"
Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil tersenyum tipis. "Kambuh lagi deh sifat kekanak-kanakannya," gumamku dalam hati. Benar-benar meresahkan, tapi begitulah kakakku, Alya.
Setelah makan malam, aku menghela napas panjang sambil mengelap tanganku dengan handuk kecil. "Baiklah, aku selesai," kataku sambil meregangkan bahu. "Malam ini aku ada tugas yang harus kuselesaikan."
Kak Alya melirik ke arahku dengan santai sambil menyeruput teh. "Baiklah, sisanya biar aku selesaikan bersama Nisa," ujarnya dengan senyum lebar yang terlalu mencurigakan. Di sebelahnya, Nisa hanya mengangguk sambil tersenyum simpul, tampak seperti punya rencana tersembunyi.
Aku memicingkan mata, mendengar nada aneh dalam ucapan kakakku. "Aku nggak tahu apa yang ingin kalian berdua lakukan, dan aku nggak peduli. Pokoknya jangan ganggu aku," ucapku tegas sambil bangkit dari kursi, berjalan menuju kamar dengan langkah penuh kewaspadaan.
Begitu aku menghilang di balik pintu, Alya menatap Nisa sambil terkekeh pelan. "Menjadi orang pintar memang sesibuk itu ya," gumamnya sambil memainkan sendok di tangannya.
Nisa yang masih sibuk merapikan meja makan menoleh. "Kak Alya, apa kakak tahu kegiatan Raka selain belajar?" tanyanya tiba-tiba dengan nada penasaran.
Alya mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Hmm... biasanya sehabis makan malam dia keluar untuk beli bahan sarapan pagi, habis itu belajar lagi. Tapi..." Alya mendekatkan wajahnya ke Nisa, membuat suasana jadi serius. "Aku pernah sekali melihatnya bermain game saat dia lupa mengunci pintu kamarnya."
Nisa membelalakkan matanya. "Bermain game?!" serunya kaget. "Selama ini dia nggak pernah bilang apa-apa!"
Alya menyandarkan dagunya di tangan dengan ekspresi penuh teka-teki. "Iya. Tapi sekarang aku pikir-pikir lagi... apa itu benar-benar game?" tanyanya dengan nada misterius.
"Apa maksud kakak?" tanya Nisa, bingung.
Alya menyipitkan matanya, memiringkan tubuh lebih dekat ke Nisa sambil berbisik penuh konspirasi. "Mungkin saja dia punya pacar virtual di game yang dia mainkan."
"Apa?!" Nisa tiba-tiba berdiri dengan wajah memerah seperti tomat matang. Ia buru-buru menutupi pipinya dengan kedua tangan. "T-tidak mungkin! Dia cowok dingin yang nggak mungkin memikirkan hal seperti itu!"
Melihat reaksi Nisa, Alya tertawa terbahak-bahak sampai hampir terjatuh dari kursinya. "Hahaha! Ada apa, Nisa? Apa kamu cem-bu-ru?" tanyanya sambil menekankan kata terakhir dengan nada menggoda.
"Cemburu?!" Nisa semakin panik, suaranya meninggi. "Tidak mungkin! Dia itu cowok menyebalkan yang nggak peka! Apa yang mau dicemburuin dari dia?!"
Alya berhenti tertawa, menghela napas panjang sambil menepuk bahu Nisa. "Baiklah, baiklah, itu terserah kamu. Tapi..." Alya berdiri dan melirik ke arah dapur, tiba-tiba teringat sesuatu. "Sepertinya kita melewatkan sesuatu yang menyenangkan."
Nisa mengernyit. "Maksud kakak?"
Alya tersenyum licik sambil melangkah pelan ke dapur. "Kita lihat saja. Kadang, Raka suka meninggalkan petunjuk menarik kalau dia sedang tergesa-gesa."
Nisa hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengikuti Alya. Di dapur, Alya langsung membuka tutup panci dan menatap isi di dalamnya dengan ekspresi puas. "Nasi goreng sisa. Dan sausnya masih ada. Nisa, ayo kita coba buat wajah Raka di piring ini. Kita lihat nanti reaksinya kalau dia tahu."
Nisa menatap Alya dengan sedikit ragu, tapi senyumnya mulai merekah. "Baiklah, Kak Alya. Kali ini aku setuju. Aku juga penasaran bagaimana ekspresinya nanti!" Mereka pun mulai menghias nasi goreng dengan saus sambil tertawa-tawa kecil, bersiap membuat malam itu menjadi lebih seru bagi Raka.
"Hehehehe" Mereka bedua tertawa kecil.
Autor: kebiasaan mereka berdua kambuh lagi :(