Chereads / Battle of The Seven Dragons / Chapter 5 - Kuro Kagami

Chapter 5 - Kuro Kagami

Kuro Kagami bukanlah seorang Exceed, karena itulah dia memiliki peringkat F. Tapi peringkat F tidaklah cocok untuk diberikan kepadanya karena tubuhnya sama sekali tak memiliki mana (kapasitas sihir).

Tanpa Mana atau sebuah kondisi di mana tubuh atau fisik yang sama sekali tak bisa menampung kapasitas sihir. Di dunia ini, dia bisa disebut seorang yang memiliki kasta terendah.

Jika orang biasa, mungkin dia sudah memiliki untuk bunuh diri daripada menjalani hidup yang penuh cemoohan. Tetapi Kuro tahu, kondisi fisiknya bisa dibilang lebih unik daripada yang terlihat sekilas mata.

Dia tahu kalau kondisi tubuhnya terjadi karena sebuah kutukan. Atau karena suatu hal, tubuhnya tak bisa menampung kapasitas sihir.

Selama 10 tahun dia mencari informasi dan cara untuk bisa menggunakan sihir, sayang informasi yang dia temukan sangat sedikit. Bahkan dia tak menemukan informasi apapun mengenai kutukan yang membuat seseorang tak bisa memiliki kapasitas sihir.

Dia memutuskan untuk menyerah (untuk sekarang). Dia merasa informasi yang dia butuhkan akan muncul suatu saat nanti. Hanya belum saatnya saja.

Tak bisa menggunakan sihir bukan berarti membuat dirinya tak ingin menjadi kuat. Jadi, jika dia tak bisa menggunakan sihir, maka dia cukup menggunakan energi lainnya saja.

Energi itu adalah Chi (qi).

Tentu saja lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Menemukan teknik dan guru sihir sangatlah mudah, tapi tidak dengan Chi.

Konsep energi Chi memang ada, tapi seorang yang melatih tipe energi ini sangatlah langka. Selain itu, energi Chi jauh berbeda dengan mana, karena itulah seorang yang melatih energi Chi biasanya seorang yang memiliki kelainan atau masalah dengan menggunakan sihir.

Tahu hal itu, Kuro berpikir untuk berlatih dan mencari informasi secara otodidak. Yang menarik, informasi yang dia butuhkan tiba tiba muncul di pikirannya seolah dia sudah tahu informasi itu.

Tentu saja dia perlu memastikan informasi yang tiba tiba muncul itu. Dan setelah memastikan informasi itu benar, dia mulai sadar kalau ada suatu yang salah dengan dirinya.

Dia merasa kalau dirinya bukanlah orang biasa.

Siapa aku?

Itu pertanyaan yang butuh waktu untuk menemukan jawabannya. Sebab, dia tak memiliki ingatan sebelum 10 tahun yang lalu.

---

Kuro kembali ke Black Dragon Academy. Lebih tepatnya kembali ke asrama. Dia lelah dan ingin mandi karena keringat yang membuatnya tak nyaman.

"...aku tak tahu apakah ini keberuntungan atau kemalangan... "

Dia mendesah saat melihat bangunan asrama yang menyerupai sebuah rumah kecil dua lantai. Bangunan itu hanya ada 20 saja di seluruh Black Dragon Academy yang dikhususkan untuk siswa dengan peringkat dan latar belakang yang tinggi.

Normalnya, Kuro sama sekali tak bisa tinggal di tempat itu. Tapi takdir berkata lain.

"Lupakan..."

Kuro tak lupa mengirim pesan pada Layla kalau dirinya akan datang ke asrama. Tindakan ini dilakukan karena sesuai perjanjian.

Sebagai seorang gadis, Layla butuh lebih banyak privasi. Jadi ini tidaklah aneh.

Dia menunggu sekitar 10 menit sebelum akhirnya masuk. Pintu asrama terhubung dengan buku sekolah, jadi tak perlu khawatir akan ada tamu yang tak diundang memasuki asrama. Selain itu ada beberapa pengaman lain yang tersembunyi.

Mengingat latar belakang Layla, Kuro tak akan terkejut jika ada beberapa orang yang mengawasi Layla secara sembunyi sembunyi.

"...hmm.. ini lebih mewah daripada yang kuduga."

Ruang santai dengan sofa yang mahal dan mewah, dapur sederhana dengan peralatan yang lengkap, ruang latihan pribadi di bawah tanah, dua tempat tidur dan toilet.

Saat membaca informasi tentang asrama yang dia tempati, Kuro merasa sedikit berlebihan untuk siswa seperti mereka, tapi Kuro juga merasa ini masih kurang mengingat latar belakang siswa yang tinggal di asrama khusus.

Selain itu pihak sekolah melarang siswa membawa pelayan. Dengan kata lain, mereka dipaksa untuk lebih mandiri.

Bagi Kuro dengan latar belakang yang merupakan orang biasa, ini bukan masalah besar. Tapi bagaimana dengan Layla?

(Itu bukan masalahku, sebaiknya aku cepat mandi dan istirahat)

Kuro melirik ke sudut ruangan dan akhirnya menemukan tempat kamar mandi.

"!?"

Tapi belum sempat masuk, dia menyadari keberadaan orang dan pintu kamar mandi terbuka dari dalam.

Siapa lagi kalau orang itu adalah Layla. Kuro dibuat terkejut lagi saat Layla hanya mengenakan handuk yang dikalungkan di lehernya. Handuk itu cukup untuk menutupi kedua kelinci imut yang masih dalam pertumbuhan, tetapi hanya itu saja yang tertutup.

Ya. Dengan kata lain saat ini Layla tak mengenakan apapun seperti saat dia masih bayi.

(Aku dalam masalah ..)

Rambut yang masih basah menempel di kulit putih yang halus. Pinggang yang ramping, bokong yang kenyal bagai roti, kaki yang panjang, bibir merah bagai ceri dan bunga terlarang yang terlihat jelas begitu menggoda untuk dipetik.

Orang biasa akan menikmati pemandangan indah itu, sayang Kuro tahu betul pemandangan surgawi itu akan membuatnya benar benar pergi ke surga.

Dia bisa mencium api yang akan meledakkannya menjadi abu. Jika tidak, mungkin Paladin terkuat di dunia akan mengirimnya ke neraka secara langsung.

"Oh.. Kuro, apa kau juga mau mandi?"

"Umm...semacam itulah..."

Semua perkiraan Kuro tidak terjadi. Itu membuatnya bingung. Layla begitu santai seolah dia tak menyadari kalau dia saat ini tak mengenakan apapun.

"Setelah kau mandi ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau memiliki waktu luang kan?"

"Baiklah."

Layla mengangguk dan akhirnya pergi melewati Kuro menurut lantai dua untuk berpakaian.

Setelah Layla pergi, Kuro menghela nafas lega seolah berhasil melewati bencana alam. Layla mungkin hanya lupa.

Berbeda dengan apa yang Kuro pikirkan, Layla sebenarnya sadar kalau dia sama sekali tak mengenakan apapun. Normalnya seorang gadis akan malu jika memperlihatkan tubuhnya pada lawan jenis. Hubungan Layla dan Kuro bahkan bisa dibilang hanya sebatas kenalan dan baru menapaki hubungan yang disebut sebagai rekan.

Jadi Layla seharusnya meledakkan Kuro menjadi debu, tetapi hal itu sama sekali tak terlintas di benak Layla. Rasa malu dan perasaan lain yang aneh juga tak datang. Seolah, Kuro melihat tubuhnya adalah suatu yang sudah biasa.

"Apa mungkin karena aku tahu kekuatan matanya?"

Layla memiringkan kepalanya saat menatap cermin. Dia merasa ada suatu yang janggal, tapi tak tahu apa itu.

Eyes of Origin. Mata yang bisa melihat apa yang ingin dilihat. Jika Kuro ingin melihat tubuhnya di balik pakaian, itu suatu yang mudah untuknya. Jadi seharusnya tak ada suatu yang aneh.

Kuro tak sadar kalau di pikiran Layla dia adalah orang yang suka melihat tubuh gadis tanpa pakaian. Orang mesum.

--

Sekitar setengah jam kemudian, Kuro menemui Layla di ruang santai.

"Maaf sudah membuatmu menunggu, Nona Layla."

"Tidak apa apa, aku hanya menunggu sebentar. Silahkan duduk."

Kuro duduk berseberangan dengan Layla.

"Aku membuat teh, silahkan mencoba jika ingin."

"Tentu. Aku akan mencobanya."

Teh buatan Layla, siapa yang tak ingin mencoba.

Sayang, mungkin itu sebuah penyesalan saat merasakan teh yang begitu manis. Bahkan teh sama sekali tak terasa.

"Aku harap kau menyukainya. Di rumah tak ada yang mau aku buatkan teh."

"..."

Kuro entah mengapa tak ingin mendengar info itu.

"Jadi apa yang ingin dibicarakan, Nona Layla?"

"Hanya ingin tahu kapan kita akan mengerjakan tugas dari Bu Oltear. Kita tak memiliki banyak waktu, kau tahu kan?"

Tugas dari Oltear memang mudah, tapi kenapa diberikan waktu satu Minggu? Sederhana, tugas belum tentu bisa diselesaikan dalam beberapa jam atau satu hari.

"Aku memiliki banyak waktu luang, jadi aku bisa kapan saja. Bagaimana dengan Nona Layla?"

Layla sedikit cemberut.

"Kau bisa memanggilku dengan Layla saja. Menyebut gelar kurang nyaman apalagi kita akan menjadi rekan."

"Baiklah, Layla."

Kuro tak ragu membuat Layla senang.

"Jika kau memiliki banyak waktu luang, aku ingin mengerjakannya besok. Jika tugas ini selesai, aku bisa fokus dengan pelajaran lainnya."

Layla sebenarnya ingin belajar lebih, tapi tugas Oltear sedikit mengganggu. Sayang, dia tak bisa protes. Tugas itu sebenarnya memiliki maksud yang lebih dalam.

"Itu tak masalah. Aku akan mengajukan izin keluar sekolah untuk mengerjakan tugas. Setelah itu kita akan pergi. Bagaimana kalau jam 9 pagi?"

"Aku tak keberatan dengan itu. Terima kasih telah mau mengajukan diri. Jujur saja aku kurang mahir dalam hal urusan formal."

"Baiklah. Kalau begitu kita sudahi saja. Sampai ketemu besok, Layla."

Layla mengangguk dengan senyuman manis, tapi tiba tiba aura mencekam dari Layla.

"Satu hal yang harus kau tahu, aku tak akan mengampuniku jika kau masuk ke kamarku tanpa izin, Kuro."

"Aku akan mengingatnya."

Lagipula siapa yang mau mengintip kamar Layla? Kuro bukan tipe orang yang suka mencari masalah.

Kuro menuju lantai dua dengan desahan berat. Dia tak terlalu lelah karena latihan, tapi karena berurusan dengan Layla, entah mengapa dia merasa begitu lelah dari biasanya (pikirannya).

Melihat tubuh Layla yang bagaikan bidadari sudah membuatnya hampir kehilangan akal. Dia berharap Layla bisa menahan diri, tapi saat berbicara tadi, Layla hanya mengenakan celana dalam putih sexy dan kaos longgar yang membuat Kuro bisa melihat jelas kalau Layla tak mengenakan bra.

Siapa yang menyangka Layla yang dikenal begitu anggun dan kuat akan berperilaku seperti orang mesum saat di asrama. Jika ada yang menyebut Layla seorang iblis penggoda, Kuro akan setuju dengan orang itu.

Yang menjadi masalah, entah mengapa ada sebuah dorongan untuk menyantap Layla hingga dia merasa puas. Perasaan ini suatu yang tak dia rasakan meskipun seringkali bertemu dengan gadis atau wanita yang lebih menarik dari Layla.

(Jika seperti ini, sampai kapan aku bisa menahan diri?)

Tinggal di asrama yang sama dengan Layla mungkin adalah pilihan terburuk.

Keesokan harinya, Kuro terbangun dengan perasaan berat. Dia susah bernafas seolah ada suatu yang menindihnya.

"..."

Dan memang ada sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Entah mengapa, saat melihat Layla tidur pulas di atas tubuhnya, dia merasa ini suatu yang akan terjadi. Lagi, Layla sama sekali tak mengenakan pakaian.

Melihat ekspresi Layla yang tertidur lelap sampai mengeluarkan air liur yang deras, Kuro sempat tak ingin membangunkan tuan putri mesum di atasnya.

Mungkin karena rangsangan yang begitu kuat di pagi hari, tak aneh jika kaki ketiganya bersiap untuk pergi bertempur.

Menghela nafas, Kuro bersiap menyentil kepala Layla.

"Ahhh...?!!"

Teriakan keras terdengar, tapi berkat ruang yang kedap suara, tak ada yang datang karena kehebohan.

"Ugh!! Aku tak percaya dibangunkan dengan cara seperti itu. Apa kau tahu kepalaku masih sakit! Kau keterlaluan!!"

"Jangan memasang wajah korban di sini. Siapa yang salah menyelinap ke kamar orang dengan tanpa busana? Apa kau succubus?"

Mata Layla melirik ke arah lain dengan wajah memerah. Dia melarang Kuro menyelinap ke kamarnya, tapi dia justru menyelinap ke kamar Kuro dengan keadaan tak senonoh.

Jika Layla di posisi Kuro, dia juga akan marah.

"Ha... Cukup. Aku tak ingin membahasnya lagi. Cepat makan sarapanku!!"

Kuro selesai menyiapkan sarapan sederhana dengan bahan yang ada di lemari pendingin.

"Oh.. aku tahu kau pandai memasak. Aku sudah kangen dengan masakanmu."

"..."

Kuro hanya tersenyum melihat Layla yang menyantap masakan nya. Entah mengapa, dia merasa menjadi pengasuh anak kecil.

Setelah sarapan, mereka menuju sekolah. Tentu saja, seperti yang direncanakan kemarin, mereka hanya mengurus formalitas untuk diizinkan tak mengikuti pelajaran beberapa waktu. Hal ini dilakukan agar para guru yang mengajari mereka tahu alasan mereka absen.

Selesai, mereka menuju Serikat Pemburu. Melihat ada murid lain yang berada di sana, keduanya sadar kalau bukan hanya mereka saja yang ingin menyelesaikan tugas.

"Selamat datang di Serikat Pemburu. Pihak sekolah sudah memberikan semua penjelasan para murid yang ingin melaksanakan misi dipersilahkan memberikan kartu pelajar mereka."

Ada resepsionis khusus untuk bagi para murid jadi proses tak terlalu lama. Layla memberikan kartu pelajar dan membuat resepsionis sedekat terkejut. Untuk Kuro, entah mengapa resepsionis membuat ekspresi rumit.

"Tuan Kuro, apakah anda ingin menerima misi peringkat A atau E?"

"Aku akan mengambil peringkat E saja. Ini hanyalah tugas dari sekolah. Untuk peringkat A biarkan yang lain saja."

"Baiklah, saya mengerti. Silahkan pilih misi peringkat E yang tersedia."