Chereads / Selisih Preman Desa / Chapter 1 - Prolog

Selisih Preman Desa

Zumi05
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 112
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

[Desa]

Setelah melewati lorong koridor lantai dua, melangkah mendekati pagar serambi atas, tampak di matanya sudah ada seorang pria bermasker yang entah seperti apa wajahnya. Sementara tubuhnya berdiri tegap.

Pandangannya terus mendelik tajam pada sekumpulan penjaja pasar malam, lantas tersentak. Menyadari akan kehadiran seseorang membungkuk di belakangnya.

"Sialan! Bagaimana? Apakah kau sudah temukan gadis cantik di pondok itu?" tanyanya bersemangat.

"Ya sudah." Pria bertopi menjawab percaya diri. Kakinya berpijak pada lantai basah berbau amis. Namun, baginya itu adalah hal yang biasa, si ketua desa memanglah memiliki hobi aneh sejak bertemu dengan si peramal, termasuk memakan setiap daging hewan apa saja dengan cara mentah.

"Pokoknya, aku tidak mau tahu, secepatnya kau harus segera bawa gadis itu, atau bila perlu kau tawari ayahnya untuk dijual dengan harga yang sangat mahal!

"Kita membutuhkan banyak gadis cantik sekarang untuk kelangsungan bisnis PSK (Pekerja Seks Komersial) tetap baik-baik saja."

Setelah mengatakannya, seketika kedua pupil pria itu membesar dengan senyuman samar di wajahnya.

"Baiklah, tapi kau juga harus membayarku dengan harga yang sama mahal?" tawar pria bertopi, sambil menundukkan kepalanya.

"Tidak masalah, uang bukan lah masalah yang besar bagi desa kita." balas si pria bermasker. Kini matanya menatap jauh lebih serius. Tentu saja, pria bertopi yang mendengar hal itu langsung tersenyum puas, dan berkata dengan semangat.

"Sesuai keinginanmu, tuan ..."

Sementara si ketua desa hanya mengangguk mantap, lantas kembali melihat pasar malam yang ada di belakangnya.

**

Sesuai prediksi yang sudah bisa ia tebak, si lelaki sinting bernama Faiz itu hanya membual padanya saja. Apalah daya, Zaeny tetap harus sendirian bergelut dengan tegalan ladang. Kini kuduknya memerah seiring erangannya semakin tersengal. Mendongak seraya mengelap bulir keringat pada dahinya.

"Hadeuh, gini nih resiko jadi santri preman, apa-apa pasti kena hukuman. Sial ..." Sambil menendang udara kosong.

Setelah itu, perlahan langkahnya mulai menysuri sungai yang menganga. Tampak sudah ada rantang tertelungkup di sana. Tunggu, sejak kapan ada orang gila kabur setelah menundanya tanpa permisi?

Baru saja berniat hendak mengambilnya, mendadak matanya menangkap burung-burung berhamburan ke atas langit tanpa awan. Angin mendesau seketika. Awalnya Zaeny hanya menganggap hal itu sebagai hal yang biasa saja. Toh, palingan cuma babi yang gak sengaja nabrak pohon ...

Namun, siapa sangka bahwa sangkaan bodohnya akan bubar dengan cepat, lalu menoleh secara refleks, tatkala mendengar ada suara teriakan yang menyebut namanya di dalam hutan.

"Zaeeeeeny." ulang seseorang itu sekali lagi, yang suaranya lebih mirip dengan suara perempuan.

.

.

.

Sementara di tempat yang berbeda, seorang gadis kecil terus berlari di dalam hutan. Lantas terperenyak saat melihat ada 3 pria asing berjalan mendekatinya. "Apa yang kau inginkan?!" Langkah si gadis mulai gentar. Mengayuh mundur. Tidak, pohon beringin besar sudah menghalangi tubuhnya untuk kabur.

'Zaeny! Dasar kau pria bodoh! Aku kira kau bisaku andalkan!' gerutunya, sebelum memilih melepaskan sepasang sendal yang meliputi kakinya hingga telanjang. Kini suara si gadis semakin terpekik, jaga dengan tangan yang berhasil menangkup ke pipinya yang panas.

Sial! sebenarnya siapa orang-orang ini, mengapa mereka terus mengejarku?! Gumamnya, seiring menyauhkan wajah membeku tanpa berani membuka mulut.

[Desa]

Si gadis kembali tersadar di atas ranjang besi tak berkasur. Tapi yang anehnya adalah, kenapa tubuhnya tiba-tiba merasa sakit dan, sejak kapan ia hanya memakai pakaian tipis? Akibatnya, ia semakin tidak bisa merasa tenang, sedang kedua bola matanya turut menelisik ke awang-awang. Menebak tentang ke mana dan kenapa mereka membawanya dan, ruangan apa ini?

Karena merasa sangat ketakutan, si gadis akhirnya terpaksa meleret menggunakan sisa-sisa tenaga menuju pintu. Pintu itu tertutup sempurna dan, dengan degup jantung menetak kencang, si gadis terus merambangnya sedemikian rupa sambil berkata, "Siapa pun di luar, tolong! Cepat buka kan pintunya!" ucap si gadis lemah, berusaha mengetuk pintu lebih keras lagi. Manakala suara di luar membalas ketukan yang sama. Sama saling bersahutan hingga membuat si gadis terperenyak dan jatuh ke lantai.

Sejemang kakinya lunglai bergetar kala hendak meraih palang pintu, alih-alih mengintipnya terlebih dahulu melalui lubang kunci. Lengang?! Tapi bagaimana bisa gema ketukan itu terus merangsek indra pendengarannya?

Tok ... Tok ... Tok ...

Begitulah bunyi ketokan itu terus terulang secara perlahan. Namun, bukannya memutar hendel, si gadis malah memilih membelakangi pintu sambil mendekap erat kedua lututnya, kuduknya menggigil ketakutan seiring angin ikut berembus secara tiba-tiba.

Tok ... Tok ... Tok ...

Suara ketukan semakin keras. Mungkin sebentar lagi, seperti sedang menghitung bilangan jari, dan seseorang yang di luar sana pasti akan segera mengambil tindakan.

Sementara si gadis terperanjat. Buru-buru menarik ranjang besi untuk dijadikan penahan dorongan pintu. Sungguh, ia sudah kehilangan akal.

Pintu terdobrak. Palang pintu terjatuh ke lantai. Begitu pun dengan si gadis yang tidak tinggal diam. sekarang ia mulai mendorong ranjang besi ke arah berlawanan. Akan tetapi apalah daya, mau tidak mau pintu tetap harus terbuka.

"Cepat keluarlah!" titah seseorang di balik pintu.

Merasa mengenali suaranya, si gadis dengan cepat menarik ranjang besi itu hingga menjauh. "Haaaa! Kau, a-aku kira kau orang yang sebelumnya menculikku!"

Bukannya menjawab, si lelaki yang bernama Zaeny malah tersenyum tipis. Meraba tangan si gadis untuk menenangkan, seolah memang ada hal lain yang harus ia sembunyikan.

"Ada apa, kenapa kau hanya tersenyum?" Bukan. Si gadis sama sekali tidak bermaksud bertanya, lantaran ia pun sudah tahu jawaban apa yang akan dikatakan, yang mungkin Zaeny merasa lelah atau sebagainya.

Sekali lagi. Dua tidak mau menjawab pertanyaan dari si gadis, seraya menggeleng dengan bibir tetap terkatup.

"Di sini ... desa tempat aku tumbuh besar, dan di sini bukanlah tempat yang aman." Terang Zaeny setelah membisu untuk waktu yang cukup lama, lantas berkata kembali dengan suara lembut, "Hei, kau harus pulang. Ayo!" Menggenggam tangan si gadis.

"Iya." Balasnya dengan senyuman manis. Setidaknya ia bisa merasa tenang sekarang setelah apa yang sudah ia alami hari ini.

Namun, siapa sangka. Nyatanya mereka sebelas dua belas sama saja. Sekarang tubuhnya dibuat tersungkur di ambang pintu. Mendorong kasar bahu si gadis hingga berlutut menghadap sepasang kaki dari seorang pria bermasker.

"Pergilah, kau bisa memilikinya." Zaeny tersenyum sinis menatap gadis itu. Sikapnya benar-benar berubah dari sebelumnya.

"A-apa? Ke-kenapa tiba-tiba?"