Chereads / Bioznix: Kota mati yang mengamuk / Chapter 2 - Bab 2: Rahasia yang terungkap

Chapter 2 - Bab 2: Rahasia yang terungkap

Fajar menyingsing di atas kota Bioznix, namun sinar matahari yang redup nyaris tak mampu menembus kabut beracun yang menyelimuti gedung-gedung pencakar langit. Jack Anarow terbangun dengan sentakan, tangannya refleks menggenggam pistol plasma di pinggangnya. Ia mengerjapkan mata, membiasakan diri dengan cahaya temaram yang merembes masuk melalui celah-celah tirai.

Aria masih tertidur pulas di sofa, wajahnya yang lelah kini tampak damai. Jack bangkit perlahan, berusaha tidak membangunkannya. Ia berjalan ke jendela, menyingkap sedikit tirai untuk mengamati keadaan di luar.

Pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya berdesir. Jalan-jalan di bawah dipenuhi zombie, bergerak tanpa arah seperti lautan daging busuk. Suara erangan dan raungan mereka terdengar samar-samar, memecah keheningan pagi.

"Sial," gumam Jack. "Mereka semakin banyak."

Suara gemerisik di belakangnya membuat Jack berbalik. Aria mulai terbangun, mengucek matanya yang masih berat.

"Selamat pagi," sapa Jack, suaranya rendah dan dalam. "Bagaimana tidurmu?"

Aria mengerjap, memfokuskan pandangannya pada sosok Jack yang berdiri di dekat jendela. "Lebih baik dari yang kukira," jawabnya. "Terima kasih sudah menyelamatkanku semalam."

Jack mengangguk singkat. "Kita harus bergerak cepat. Keadaan di luar semakin memburuk."

Ia berjalan ke arah dapur, membuka lemari-lemari untuk mencari makanan yang masih bisa dikonsumsi. Setelah beberapa menit mencari, ia kembali dengan beberapa kaleng makanan dan sebotol air.

"Ini bukan sarapan mewah, tapi akan memberimu energi," kata Jack, menyodorkan makanan kaleng pada Aria.

Mereka makan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jack sesekali melirik ke arah jendela, memastikan situasi di luar masih aman.

"Jadi," Aria memecah keheningan, "apa rencanamu sekarang?"

Jack meletakkan kaleng kosongnya, matanya menatap tajam ke arah Aria. "Kita harus keluar dari kota ini. Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus kulakukan."

"Apa itu?" tanya Aria, keingintahuan terlihat jelas di matanya.

Jack terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus membagi informasi ini atau tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk jujur.

"Aku perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Menara Kaca," kata Jack. "Bioznix Corp menyembunyikan sesuatu, dan aku yakin itu ada hubungannya dengan wabah ini."

Mata Aria melebar. "Kau mau masuk ke sana? Tapi itu bunuh diri! Tempat itu pasti dijaga ketat."

Jack tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya yang keras. "Itulah mengapa aku membutuhkan bantuanmu, Aria."

"Bantuanku?" Aria terlihat bingung. "Aku... aku hanya seorang pegawai biasa. Apa yang bisa kulakukan?"

"Kau bekerja di Bioznix Corp, bukan?" tanya Jack. Melihat ekspresi terkejut Aria, ia melanjutkan, "Aku melihat ID karyawanmu semalam. Kau mungkin punya akses yang bisa kita gunakan."

Aria menggigit bibirnya, ragu-ragu. "Aku hanya pegawai tingkat rendah di departemen administrasi. Aku tidak punya akses ke area-area penting."

"Setiap informasi berharga, Aria," kata Jack. "Apa pun yang kau tahu tentang layout gedung, keamanan, atau bahkan gosip antar karyawan bisa membantu kita."

Aria menghela nafas panjang. "Baiklah. Aku akan membantumu sebisaku. Tapi setelah itu, kau janji akan membawaku keluar dari kota ini?"

Jack mengangguk tegas. "Kau punya kata-kataku."

Mereka menghabiskan beberapa jam berikutnya merencanakan infiltrasi ke Menara Kaca. Aria menggambar sketsa kasar layout gedung yang ia ingat, menandai area-area penting seperti ruang keamanan, laboratorium, dan kantor eksekutif.

"Lantai teratas," kata Aria, menunjuk ke puncak sketsa gedung, "itu kantor CEO, Dr. Elias Thorne. Aku tidak pernah ke sana, tapi ada rumor bahwa di sanalah semua rahasia perusahaan disimpan."

Jack mengangguk, matanya menyipit memperhatikan sketsa itu. "Kita perlu mencapai lantai itu, apa pun yang terjadi."

Saat matahari mulai condong ke barat, mereka memutuskan untuk berangkat. Jack memeriksa semua peralatannya: pistol plasma, pisau vibro, granat EMP, dan berbagai gadget lainnya yang tersembunyi di balik jaket kulitnya.

"Kau siap?" tanya Jack pada Aria, yang kini mengenakan jaket hitam milik penghuni apartemen yang telah kabur.

Aria menelan ludah, jelas terlihat gugup. "Sejujurnya? Tidak. Tapi aku tahu kita harus melakukan ini."

Jack menepuk pundak Aria, sebuah gestur yang tidak biasa baginya. "Kau lebih kuat dari yang kau kira, Aria. Kita akan melewati ini bersama."

Mereka keluar dari apartemen dengan hati-hati. Jack mengaktifkan jetpack-nya, menggendong Aria sekali lagi. Mereka terbang rendah, menghindari perhatian zombie di jalan-jalan di bawah.

Menara Kaca semakin mendekat, bangunan megah yang menjulang di tengah kota yang sekarat. Cahaya putih masih bersinar dari puncaknya, seolah menantang kegelapan yang menyelimuti Bioznix.

Jack mendarat di sebuah gedung tidak jauh dari Menara Kaca. Dari sini, mereka bisa melihat dengan jelas keadaan di sekitar gedung itu.

"Lihat," bisik Jack, menunjuk ke arah pintu masuk utama. "Penjagaannya ketat sekali."

Aria mengangguk, matanya menyipit memperhatikan. "Itu bukan penjaga biasa. Mereka... mereka seperti cyborg."

Jack mengambil teropong dari sakunya, memfokuskan pandangan pada para penjaga. Aria benar, mereka bukan manusia biasa. Tubuh mereka dipenuhi implan cybernetic, mata mereka bersinar merah dalam kegelapan.

"Cyborg Sentinel," gumam Jack. "Pasukan elit Bioznix Corp. Ini akan jadi lebih sulit dari yang kukira."

Tiba-tiba, suara sirine memekakkan telinga mereka. Lampu-lampu merah berkedip-kedip di seluruh Menara Kaca.

"Apa yang terjadi?" tanya Aria panik.

Jack menggeleng, matanya tetap terfokus pada gedung di depan mereka. "Entahlah. Tapi ini mungkin kesempatan kita."

Benar saja, para Cyborg Sentinel mulai bergerak, meninggalkan pos mereka dan berlari ke arah belakang gedung.

"Sekarang!" seru Jack, menarik tangan Aria. Mereka melompat dari atap, Jack mengaktifkan jetpack-nya di udara. Mereka mendarat mulus di depan pintu masuk yang kini tak dijaga.

Jack mengeluarkan alat peretasnya, dengan cepat membobol sistem keamanan pintu. Dalam hitungan detik, pintu terbuka dengan desisan pelan.

"Ayo," bisik Jack, menarik Aria masuk bersamanya.

Mereka berlari menyusuri lorong-lorong Menara Kaca yang sepi. Suara sirine masih terdengar, bergema di dinding-dinding metal dan kaca.

"Ke mana sekarang?" tanya Jack.

Aria menunjuk ke sebuah lift di ujung koridor. "Lift itu menuju lantai eksekutif. Tapi kita butuh kartu akses khusus untuk menggunakannya."

Jack tersenyum tipis. "Bukan masalah."

Ia mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari sakunya, menempelkannya pada panel lift. Dalam sekejap, pintu lift terbuka.

"Bagaimana kau—" Aria terkesiap.

"Nanti saja penjelasannya," potong Jack, mendorong Aria masuk ke dalam lift.

Lift bergerak naik dengan kecepatan tinggi. Jack bisa merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Apa pun yang menunggu mereka di atas sana, ia tahu ini akan mengubah segalanya.

Pintu lift terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke kota. Di tengah ruangan, berdiri seorang pria tua dengan jas putih, membelakangi mereka.

"Aku sudah menunggumu, Jack Anarow," kata pria itu, suaranya dalam dan berat.

Jack mengangkat pistol plasmanya, bersiap untuk segala kemungkinan. "Dr. Elias Thorne, kurasa?"

Pria tua itu berbalik, senyum tipis tersungging di bibirnya yang keriput. "Benar sekali. Selamat datang di kantorku. Atau haruskah kubilang, selamat datang kembali?"

Jack mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Dr. Thorne tertawa pelan. "Oh, Jack. Apa kau benar-benar tidak ingat? Atau kau hanya berpura-pura?"

Sebelum Jack bisa menjawab, sebuah hologram besar muncul di tengah ruangan. Itu adalah rekaman video, menampilkan seorang pria muda yang sangat mirip dengan Jack, mengenakan seragam militer.

"Itu... itu kau," bisik Aria, matanya terbelalak.

Jack terdiam, matanya terpaku pada hologram itu. Memori-memori yang telah lama terkubur mulai menyeruak ke permukaan.

"Project Lazarus," kata Dr. Thorne. "Kau adalah masterpiece kami, Jack. Prajurit sempurna yang dibangkitkan dari kematian."

Jack menggelengkan kepalanya, berusaha menjernihkan pikirannya. "Tidak... ini tidak mungkin."

"Oh, tapi ini sangat mungkin," lanjut Dr. Thorne. "Kau mati dalam pertempuran lima tahun lalu. Kami membangkitkanmu, membuatmu lebih kuat, lebih cepat, lebih baik dari sebelumnya."

Aria menatap Jack dengan campuran ketakutan dan kebingungan. "Jack... apa itu benar?"

Jack tidak menjawab. Matanya masih terfokus pada Dr. Thorne, pistolnya tetap teracung.

"Lalu apa hubungannya semua ini dengan wabah di kota?" tanya Jack, suaranya bergetar menahan emosi.

Dr. Thorne tersenyum lebar, sebuah senyuman yang membuat bulu kuduk Jack berdiri. "Ah, akhirnya kita sampai pada inti permasalahan. Virus X-23 bukanlah kecelakaan, Jack. Ini adalah evolusi berikutnya dari Project Lazarus."

"Kau gila," desis Jack. "Kau mengorbankan seluruh kota untuk eksperimenmu?"

"Pengorbanan diperlukan demi kemajuan, Jack," kata Dr. Thorne, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Kita bisa menciptakan ras manusia super, kebal terhadap penyakit dan kematian."

"Dengan mengubah mereka menjadi monster?" Aria berteriak, air mata mulai mengalir di pipinya.

Dr. Thorne mengabaikan Aria, matanya tetap terfokus pada Jack. "Bergabunglah denganku, Jack. Bersama, kita bisa menyempurnakan formula ini. Kita bisa menguasai dunia."

Jack terdiam sejenak, pikirannya berkecamuk. Lalu, dengan gerakan cepat yang nyaris tak terlihat mata, ia menembakkan pistol plasmanya.

Tembakan itu meleset beberapa inci dari kepala Dr. Thorne, menghantam komputer di belakangnya. Layar-layar di seluruh ruangan berkedip, lalu padam.

"Aku menolak," kata Jack, suaranya penuh determinasi. "Aku mungkin produk dari eksperimenmu, tapi aku bukan bonekamu."

Dr. Thorne tertawa, suara tawanya menggema di ruangan yang luas itu. "Oh, Jack. Kau pikir kau punya pilihan?"

Tiba-tiba, lantai di bawah kaki mereka bergetar. Dinding-dinding mulai bergeser, memperlihatkan puluhan tabung berisi cairan hijau. Di dalam setiap tabung, mengambang sosok-sosok yang identik dengan Jack.

"Tuhan..." Aria terkesiap, tangannya menutup mulutnya yang menganga.

"Kau lihat, Jack?" Dr. Thorne menyeringai. "Kau bukan satu-satunya. Kau hanya satu dari ratusan. Dan jika kau tidak mau bekerja sama, well... kami selalu bisa mengaktifkan yang lain."

Jack menggertakkan giginya, amarah dan kebingungan berkecamuk dalam dirinya. Ia tahu, apa pun yang terjadi selanjutnya akan menentukan nasib bukan hanya dirinya dan Aria, tapi seluruh kota Bioznix.

"Jadi, Jack Anarow," kata Dr. Thorne, mengulurkan tangannya. "Apa pilihanmu?"

Jack melirik ke arah Aria, yang menatapnya dengan campuran ketakutan dan harapan. Lalu ia kembali menatap Dr. Thorne, matanya penuh dengan tekad yang membara.

"Pilihanku?" kata Jack, suaranya rendah dan berbahaya. "Pilihanku adalah ini."

Dengan gerakan cepat, Jack melemparkan granat EMP ke tengah ruangan. Cahaya biru terang memenuhi ruangan, diikuti dengan suara berdenging yang memekakkan telinga. Dalam sekejap, seluruh peralatan elektronik di ruangan itu padam. Tabung-tabung berisi klon Jack mulai retak, cairan hijau merembes keluar.

"Tidak!" teriak Dr. Thorne, wajahnya pucat pasi. "Apa yang kau lakukan?!"

Jack tidak menjawab. Ia menarik tangan Aria, berlari menuju jendela besar di belakang meja Dr. Thorne. "Pegangan!" serunya, sebelum menembakkan pistol plasmanya ke arah kaca.

Jendela itu pecah berkeping-keping. Angin kencang menyerbu masuk, menerbangkan kertas-kertas dan puing-puing kaca. Jack mengaktifkan jetpack-nya, memeluk Aria erat-erat sebelum melompat keluar.

Mereka meluncur turun di antara gedung-gedung pencakar langit, suara alarm dan teriakan panik terdengar dari Menara Kaca yang kini semakin jauh di belakang mereka. Jack bisa merasakan detak jantung Aria yang kencang, tangannya mencengkeram erat jaket Jack.

"Kita berhasil," bisik Aria, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin. "Kita selamat."

Jack tidak menjawab. Pikirannya masih berkecamuk dengan revelasi yang baru saja ia terima. Siapa dia sebenarnya? Apa tujuan hidupnya yang sesungguhnya?

Mereka mendarat di atap sebuah gedung tua di pinggiran kota. Jack mematikan jetpack-nya, membiarkan Aria turun dari gendongannya. Gadis itu terhuyung sesaat, efek adrenalin yang mulai surut.

"Jack," kata Aria lembut, menyentuh lengan pria itu. "Kau baik-baik saja?"

Jack menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh ke arah kota yang kini diliputi kekacauan. "Aku... aku tidak tahu, Aria. Selama ini aku pikir aku tahu siapa diriku. Tapi ternyata..."

"Hey," potong Aria, memaksa Jack untuk menatap matanya. "Apa pun yang terjadi di masa lalu, apa pun asal-usulmu, yang penting adalah siapa dirimu sekarang. Dan kau, Jack Anarow, adalah pahlawan yang baru saja menyelamatkanku dan mungkin seluruh kota ini."

Jack tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang membuat wajahnya yang keras terlihat lebih muda. "Terima kasih, Aria. Tapi ini belum berakhir. Kita masih harus menghentikan wabah ini dan memastikan Bioznix Corp tidak bisa melakukan hal seperti ini lagi."

Aria mengangguk tegas. "Aku bersamamu, Jack. Apa pun yang terjadi."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Mereka berbalik, melihat ke arah Menara Kaca. Sebuah ledakan besar terjadi di puncak gedung, diikuti dengan serangkaian ledakan lebih kecil di lantai-lantai di bawahnya.

"Astaga," gumam Aria. "Apa yang terjadi?"

Jack mengambil teropongnya, memfokuskan pandangan ke arah Menara Kaca. Ia bisa melihat sosok-sosok bergerak cepat keluar dari gedung, beberapa di antaranya terbang menggunakan jetpack.

"Sepertinya Dr. Thorne punya rencana cadangan," kata Jack, suaranya tegang. "Kita harus bergerak cepat."

Ia berbalik ke arah Aria, wajahnya serius. "Dengar, situasi akan semakin berbahaya dari sini. Aku bisa mengantarmu ke tempat yang aman di luar kota. Kau tidak perlu terlibat lebih jauh."

Aria menggeleng keras. "Tidak, Jack. Aku sudah terlibat sejauh ini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian menghadapi ini semua."

Jack menatap Aria lama, seolah menimbang-nimbang keputusannya. Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk selalu mengikuti instruksiku. Mengerti?"

"Mengerti, kapten," jawab Aria dengan senyum kecil.

Jack mengeluarkan sebuah tablet kecil dari sakunya, layarnya berkedip-kedip menampilkan peta kota. "Kita perlu mencari tempat yang aman untuk dijadikan markas sementara. Dari sana, kita bisa mulai merencanakan langkah selanjutnya."

Aria memperhatikan peta itu, matanya menyipit mencari lokasi yang familiar. "Bagaimana dengan gedung perpustakaan kota?" usulnya. "Letaknya cukup strategis, dan aku yakin di sana banyak informasi yang bisa kita gunakan."

Jack mengangguk setuju. "Ide bagus. Ayo kita bergerak."

Mereka kembali terbang melintasi kota, kali ini lebih rendah dan hati-hati. Di bawah, keadaan semakin kacau. Zombie berkeliaran di jalan-jalan, sementara di beberapa tempat terlihat pertempuran antara penduduk yang masih sehat dan para infected.

Gedung perpustakaan kota muncul di hadapan mereka, bangunan klasik yang berdiri kokoh di tengah kekacauan. Jack mendarat di atapnya, membantu Aria turun.

"Kita masuk lewat sini," kata Jack, menunjuk sebuah pintu kecil di sudut atap. Dengan cepat ia membobol kuncinya, membiarkan mereka masuk ke dalam gedung yang gelap dan sunyi.

Mereka berjalan pelan menyusuri lorong-lorong yang dipenuhi rak buku. Debu beterbangan setiap kali mereka melangkah, menandakan tempat ini sudah lama ditinggalkan.

"Kita aman untuk sementara," kata Jack, meletakkan ranselnya di sebuah meja besar di tengah ruangan. "Sekarang, kita perlu merencanakan langkah selanjutnya."

Aria mengangguk, mulai menyalakan beberapa lampu darurat yang mereka bawa. Cahaya redup memenuhi ruangan, menciptakan bayangan-bayangan aneh di antara rak-rak buku.

"Jadi," kata Aria, duduk di salah satu kursi. "Apa rencanamu, Jack?"

Jack mengeluarkan beberapa peralatan dari ranselnya, termasuk sebuah komputer portabel canggih. "Pertama, kita perlu menganalisis sampel virus yang berhasil kucuri dari lab Bioznix. Mungkin kita bisa menemukan cara untuk membuat antidotnya."

Aria mengerutkan kening. "Tapi kita bukan ilmuwan, Jack. Bagaimana kita bisa melakukan itu?"

Jack tersenyum misterius. "Aku punya beberapa trik tersembunyi, Aria. Percayalah padaku."

Ia mulai mengetik dengan cepat di komputernya, layar dipenuhi dengan kode-kode rumit dan diagram molekul yang kompleks. Aria hanya bisa menatap takjub, tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Jack.

Sementara Jack bekerja, Aria memutuskan untuk menjelajahi perpustakaan. Ia mengambil beberapa buku tentang virologi dan genetika, berharap bisa membantu dengan cara apa pun.

Beberapa jam berlalu. Jack masih tenggelam dalam pekerjaannya, sementara Aria berusaha memahami teori-teori rumit dalam buku-buku yang ia baca.

Tiba-tiba, Jack berseru, "Aku menemukannya!"

Aria berlari menghampiri, matanya melebar melihat layar komputer. "Apa? Apa yang kau temukan?"

"Struktur dasar virusnya," kata Jack, matanya berbinar. "Dan lebih dari itu, aku menemukan kelemahannya. Kita bisa membuat antidotnya, Aria!"

Aria memeluk Jack spontan, terlalu gembira untuk peduli dengan formalitas. Jack, meski terkejut, membalas pelukan itu singkat sebelum kembali fokus ke layar.

"Tapi ada masalah," lanjut Jack, wajahnya kembali serius. "Untuk membuat antidotnya, kita membutuhkan peralatan yang hanya ada di lab Bioznix."

Aria menghela nafas panjang. "Jadi kita harus kembali ke sana?"

Jack mengangguk. "Ya. Dan kali ini, kita harus berhadapan langsung dengan Dr. Thorne dan pasukan Cyborgnya."

Mereka terdiam sejenak, menyadari besarnya tantangan yang menanti mereka. Tapi di mata keduanya, terpancar tekad yang kuat.

"Kita akan melakukannya," kata Aria tegas. "Demi kota ini, demi semua orang yang telah menjadi korban."

Jack menatap Aria, kagum dengan keberanian gadis itu. "Kau benar. Kita tidak punya pilihan lain."

Ia berdiri, mulai mengemas peralatannya. "Kita berangkat saat fajar. Gunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat. Besok akan jadi hari yang panjang."

Aria mengangguk, kembali ke kursinya untuk membaca lebih banyak. Sementara Jack mempersiapkan senjata dan peralatan mereka, pikirannya melayang ke masa lalu yang baru saja ia ketahui. Ia bertekad, apa pun yang terjadi besok, ia akan menemukan jawabannya. Tentang siapa dirinya sebenarnya, dan apa tujuan hidupnya yang sesungguhnya.

Malam itu, sementara kota Bioznix tenggelam dalam kekacauan, dua sosok di dalam perpustakaan tua mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan menentukan nasib mereka dan seluruh umat manusia.