Malam itu, Bioznix bermandikan cahaya neon yang menyilaukan, memantul dari genangan air kotor di jalanan yang retak. Kota cyberpunk ini dulunya adalah simbol kemajuan teknologi, namun kini hanya menyisakan bayang-bayang keputusasaan. Di tengah kekacauan ini, Jack Anarow berdiri tegap di atap gedung pencakar langit yang telah ditinggalkan, matanya yang tajam menyapu pemandangan suram di bawahnya.
Jack bukanlah pria biasa. Dengan tinggi hampir dua meter dan tubuh yang dipenuhi otot-otot keras hasil latihan bertahun-tahun, ia tampak seperti patung yang dipahat dari batu. Rambut hitamnya yang pendek kontras dengan kulit pucatnya yang dipenuhi bekas luka, saksi bisu dari pertarungan-pertarungan yang telah ia lalui.
Angin dingin menusuk kulitnya, membawa aroma karat dan kebusukan yang kini menjadi ciri khas Bioznix. Jack mengencangkan jaket kulit hitamnya, jemarinya yang kasar menyentuh peralatan canggih yang tersembunyi di baliknya. Ia selalu siap menghadapi apa pun yang dilemparkan kota ini padanya.
Tiba-tiba, suara jeritan memecah keheningan malam. Jack menoleh cepat, tangannya refleks menggenggam pistol plasma canggih yang tergantung di pinggangnya. Matanya yang tajam menangkap sosok seorang wanita berlari tergopoh-gopoh di gang sempit, dikejar oleh tiga makhluk yang bergerak tidak wajar.
"Sial," gumam Jack, giginya bergemeretak. "Mereka sudah mulai menyebar ke area ini."
Tanpa ragu, ia melompat dari atap, mengaktifkan jetpack yang terpasang di punggungnya. Suara deru mesin membelah udara saat Jack melesat turun, mendarat mulus di depan wanita yang ketakutan itu. Ia menghadang para pengejar yang kini terlihat jelas di bawah cahaya lampu jalanan yang berkedip-kedip.
Makhluk-makhluk itu dulunya manusia, namun kini tak ada lagi jejak kemanusiaan yang tersisa. Kulit mereka mengelupas, memperlihatkan daging mentah di bawahnya. Mata mereka kosong, namun dipenuhi kelaparan yang tak terpuaskan. Virus X-23 telah mengubah mereka menjadi monster tanpa akal yang haus darah.
"Berlindunglah di belakangku," perintah Jack pada wanita itu, yang masih terengah-engah ketakutan. Tubuhnya yang besar menjadi tameng hidup bagi sang wanita.
"Si-siapa kau?" tanya wanita itu terbata-bata, matanya terbelalak melihat sosok Jack yang menjulang di hadapannya.
"Bukan siapa-siapa. Hanya orang yang kebetulan lewat," jawab Jack singkat, matanya tetap waspada mengawasi ketiga zombie yang mendekat. "Siapa namamu?"
"A-Aria," jawab wanita itu, suaranya bergetar.
"Baiklah, Aria. Tetap di belakangku dan jangan bergerak," instruksi Jack dengan nada tegas namun menenangkan.
Zombie pertama menyerang dengan brutal, berlari dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Jack menghindarinya dengan mudah, tubuhnya yang besar bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan. Dalam satu gerakan mulus, ia menembakkan pistol plasmanya. Cahaya biru terang melesat, menembus kepala zombie itu dan membuatnya meledak dalam semburan darah dan otak. Potongan-potongan tengkorak dan jaringan otak berhamburan, sebagian mengenai jaket Jack.
"Satu sudah beres," gumam Jack, mengabaikan cipratan darah di wajahnya.
Dua zombie lainnya menyerang bersamaan, taring mereka yang tajam siap mencabik daging. Jack menendang yang satu hingga terpental ke tembok, suara tulang yang remuk terdengar menjijikkan. Sementara itu, tangannya yang bebas mencengkeram leher zombie lainnya. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia meremas dan menarik, memisahkan kepala zombie itu dari tubuhnya dalam satu gerakan cepat. Darah menyembur seperti air mancur, membasahi wajah dan pakaian Jack.
"Dua," ucapnya datar, melempar kepala zombie itu ke samping. Kepala itu menggelinding di aspal, mata kosongnya masih berkedip-kedip.
Zombie terakhir bangkit kembali, tulang-tulangnya yang patah berderak saat ia menerjang Jack dengan gigi-giginya yang tajam terekspos. Jack menghindar di detik terakhir, membiarkan zombie itu menabrak tong sampah di belakangnya. Sebelum monster itu sempat berdiri, Jack sudah menghujamkan pisau vibro-nya ke tengkorak zombie tersebut.
Pisau itu bergetar dengan frekuensi tinggi, menghancurkan tulang dan otak dalam sekejap. Darah dan materi otak menyembur dari luka, membasahi tangan Jack. Ia memutar pisau itu, memastikan tak ada bagian otak yang tersisa.
"Dan tiga. Selesai," ucap Jack, menarik pisaunya yang kini berlumuran darah dan serpihan otak. Ia mengibas-ngibaskan pisau itu, membersihkannya dari sisa-sisa jaringan yang menempel.
Aria masih gemetar ketakutan di belakangnya, matanya terbelalak menyaksikan pembantaian brutal yang baru saja terjadi. Wajahnya pucat pasi, dan untuk sesaat Jack khawatir wanita itu akan pingsan.
"Kau... kau membunuh mereka," ucap Aria terbata-bata, suaranya nyaris berbisik.
Jack berbalik, menghadap wanita itu. Ia menyeka darah dari wajahnya dengan lengan jaketnya, meninggalkan noda merah yang kontras dengan warna hitam kulit.
"Mereka sudah mati sejak lama, Aria. Aku hanya memastikan mereka tidak bangkit lagi."
"Apa yang terjadi dengan mereka? Dengan kota ini?" tanya Aria, air mata mulai mengalir di pipinya yang kotor. "Kemarin semuanya masih baik-baik saja, dan sekarang..."
Jack menghela nafas berat. Ia telah melihat kengerian ini terlalu sering dalam beberapa hari terakhir.
"Virus X-23. Wabah yang mengubah manusia menjadi monster tanpa akal. Dimulai di distrik industri, lalu menyebar seperti api. Kota ini sudah sekarat, Aria. Kau sebaiknya pergi dari sini selagi masih bisa."
"Tapi... tapi ke mana aku harus pergi?" Aria terisak, tubuhnya yang kurus berguncang. "Keluargaku... teman-temanku... mereka semua..."
Jack terdiam sejenak, matanya menyapu area sekitar mereka. Ia bisa mendengar suara geraman dan langkah-langkah terseret di kejauhan. Lebih banyak zombie akan segera datang.
"Ikut denganku," kata Jack akhirnya. "Aku tahu tempat yang aman. Setidaknya untuk sementara."
Aria mengangguk lemah, tak punya pilihan lain. Jack mengulurkan tangannya, membantu wanita itu berdiri. Saat itulah ia menyadari luka di kaki Aria.
"Kau terluka," ucap Jack, berlutut untuk memeriksa luka itu. Darah mengalir dari goresan panjang di betis Aria.
"A-aku tersandung saat berlari," jawab Aria, meringis kesakitan.
Jack mengeluarkan semprotan antiseptik dari sakunya dan dengan cepat membersihkan luka itu. Kemudian, ia mengeluarkan perban dan membalut luka Aria dengan efisien.
"Ini akan menahan pendarahannya untuk sementara," kata Jack, berdiri kembali. "Kita harus bergerak sekarang."
Saat mereka mulai berjalan, suara raungan terdengar dari kejauhan. Jack menoleh, matanya menyipit melihat pemandangan yang mengerikan. Puluhan—tidak, ratusan—zombie bergerak ke arah mereka, memenuhi jalan-jalan sempit Bioznix.
"Sial," umpat Jack. Ia bisa melihat kepanikan di mata Aria. "Kita harus bergerak cepat. Pegangan yang erat."
Tanpa peringatan, ia mengangkat Aria ke dalam gendongannya. Wanita itu memekik terkejut, namun segera mengalungkan lengannya di leher Jack.
"Bersiaplah," kata Jack, sebelum mengaktifkan jetpack-nya.
Mereka melesat ke udara, meninggalkan kerumunan zombie yang menggapai-gapai di bawah. Aria menjerit, membenamkan wajahnya di dada Jack saat mereka terbang melewati gedung-gedung pencakar langit.
Di bawah, kota Bioznix terbentang luas, lautan cahaya neon yang kini terlihat seperti api neraka. Asap hitam membumbung dari beberapa titik, pertanda kebakaran yang tak terkendali. Suara sirine dan teriakan terdengar samar-samar, bercampur dengan raungan zombie yang semakin banyak.
"Lihat," kata Jack, menunjuk ke arah timur. "Itu Menara Kaca, markas utama Bioznix Corp. Mereka yang memulai semua ini."
Aria mengangkat wajahnya, melihat gedung megah yang menjulang di kejauhan. Cahaya putih bersinar dari puncaknya, kontras dengan kegelapan yang menyelimuti sebagian besar kota.
"Apa yang terjadi di sana?" tanya Aria.
"Entahlah," jawab Jack. "Tapi aku yakin jawabannya ada di dalam sana. Dan aku berencana untuk mencari tahu."
Mereka terus terbang, menembus kabut beracun yang menyelimuti kota. Jack bisa merasakan panas dari mesin jetpack-nya, tanda bahwa bahan bakarnya akan segera habis.
"Kita akan mendarat sebentar lagi," kata Jack. "Pegangan."
Ia menurunkan ketinggian mereka, mengarah ke sebuah gedung apartemen yang tampak relatif utuh. Dengan hati-hati, Jack mendarat di balkon lantai teratas.
"Kita aman untuk sementara di sini," kata Jack, menurunkan Aria dari gendongannya. "Ayo masuk."
Mereka memasuki apartemen yang gelap gulita. Jack mengeluarkan senter kecil, menyapukan cahayanya ke sekeliling ruangan. Apartemen itu tampak telah ditinggalkan dengan terburu-buru, barang-barang berserakan di lantai.
"Duduklah," kata Jack, menunjuk ke sebuah sofa. "Aku akan mengamankan tempat ini."
Sementara Aria duduk, Jack bergerak cepat mengecek setiap ruangan, memastikan tidak ada zombie atau ancaman lainnya. Setelah yakin aman, ia kembali ke ruang tamu.
"Kita akan beristirahat di sini malam ini," kata Jack, duduk di seberang Aria. "Besok pagi, kita akan mencari jalan keluar dari kota ini."
Aria mengangguk lemah, kelelahan jelas terlihat di wajahnya. "Terima kasih," ucapnya pelan. "Aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak muncul tadi."
Jack hanya mengangguk. Ia mengeluarkan sebotol air dan memberikannya pada Aria. "Minumlah. Kau perlu menjaga dirimu tetap terhidrasi."
Saat Aria minum dengan rakus, Jack berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menyingkap tirai sedikit, memandang ke arah kota yang sekarat di bawah.
"Bioznix," gumam Jack, matanya menyipit. "Kota terkutuk ini akan menjadi kuburan bagi kita semua jika kita tidak segera pergi."
Ia berbalik, melihat Aria yang kini tertidur di sofa, kelelahan akhirnya mengambil alih. Jack menghela nafas, menyadari tanggung jawab baru yang kini ada di pundaknya.
"Selamat tidur, Aria," ucapnya pelan. "Besok akan menjadi hari yang panjang."
Jack kembali memandang ke luar jendela, matanya tertuju pada Menara Kaca di kejauhan. Di sanalah jawaban atas semua ini berada, dan ia bertekad untuk mengungkap kebenaran, apa pun risikonya.
Malam semakin larut, dan Bioznix tenggelam dalam kegelapan yang mencekam. Namun di tengah kekacauan ini, sebuah harapan kecil mulai bersemi. Jack Anarow, dengan segala kekuatan dan tekadnya, siap menghadapi apa pun yang akan dilemparkan kota ini padanya.