"Oh wait til' I do what I do hit you with that ddu-du ddu-du du~"
"Ah yeah! Ah yeaahhh! Lihat itu! Wuoooo!"
Beberapa siswa berseragam SMA berkumpul membentuk setengah lingkaran di depan laptop berwarna merah muda. Fokus mereka tertuju pada layar laptop yang penuh dengan stiker bertuliskan Blackpink itu. Menjerit histeris tiap kali wajah cantik idola mereka ditampilkan lebih dekat.
Berbanding terbalik dengan teman-temannya yang penuh semangat, Kim Sujin yang biasanya yang memimpin sorakan mereka dengan suara cemprengnya kini menatap malas pada layar laptopnya. Gadis bertubuh tambun yang mengaku sebagai penggemar nomor satu girlband Blackpink itu bangkit berdiri dan melangkah ke depan kelas dengan lemas. Ia menjatuhkan bokongnya di kursi guru. Lalu melipat tangannya di atas meja untuk menyenderkan kepalanya di sana.
Felix, satu-satunya pemuda di kerumunan tadi yang awalnya fokus pada video yang diputar pun melongokkan kepalanya ke arah gadis itu. Melihat Sujin yang lemas begitu jujur saja membuatnya khawatir. Dengan enggan, Felix meninggalkan kursinya dan melangkah ke arah meja guru. Ia berjongkok di sebelah Sujin, lalu menggerakkan telunjuknya menusuk-nusuk lengan gadis itu pelan.
"Hei Chicky, Kau sakit?" Tak ditanggapi. Felix makin khawatir, apa Sujin benar-benar sakit? Ia berusaha membuat Sujin menoleh, "Mau ku antar ke klinik hewan?"
Sujin menggeleng. Felix bangkit berdiri, "Lalu kenapa kau begini?"
Sujin menggeleng lagi. Felix masih saja menusuk-nusuk punggung tangan Sujin. Biasanya, kalau ia melakukan ini Sujin akan langsung bangkit dan berteriak ke arahnya. Dan usahanya berhasil. Sujin menoleh. Namun berbeda dari yang diharapkannya, wajah gadis itu penuh dengan air mata,"Samcheon*! Huwwwaaaa." Gadis itu tiba-tiba menangis kencang.
*Samcheon : Paman
"Hei hei! kenapa kau tiba-tiba menangis begini!" Felix mulai panik. Ia merasakan pandangan menusuk ke arahnya. Dan benar saja, semua teman sekelasnya menatapnya tajam. Ia segera melambaikan tangannya, "B-bukan! Bukan aku yang membuatnya menangis!"
"Samcheon ... dia sudah ... dia sudah ... huaaaaa ..." Sujin memeluk pinggang Felix. Membuat ingusnya yang sama derasnya dengan air matanya menempel di kemeja pemuda itu.
Felix melotot. Mendorong Sujin, memaksa gadis itu untuk melepaskannya. Sayangnya gadis itu memeluknya terlalu erat, "Jangan mengelap ingusmu dengan bajuku bodoh!"
"Maaf mengganggu kalian wahai Paman dan Keponakan tukang mesra-mesraan tidak tahu tempat. Tapi Han ssaem* sudah menunggu kalian di perpustakaan. Ingat? Hukuman karena kalian terlambat mengumpulkan tugas tadi pagi." Jisung menyela mereka karena tidak tahan melihat dua orang itu berpelukan di depan kelas—well hanya Sujin yang memeluk Felix sih.
*Ssaem : guru
"Hei Kim Sujin kau dengar itu? Cepat lepaskan aku dan berhenti menangis!"
***
Awalnya Sujin mengira pekerjaan mereka akan selesai dengan cepat. Perpustakaan biasanya selalu sepi seperti kuburan. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di sana. Namun ia terkejut melihat tumpukan buku yang berserakan di meja baca. Juga masih ada beberapa siswa yang tinggal untuk membaca padahal ini sudah jam pulang sekolah.
Ah ... benar juga. Ujian semester sudah dekat. Pastinya banyak siswa yang memilih untuk belajar di perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap dibanding belajar di rumah. Ini hanya berlaku bagi siswa yang rajin tentunya, siswa yang hanya tahu tidur dan bermain seperti dirinya mana peduli tentang ujian semester.
Felix menyikut lengannya, "Berhenti melamun dan mulailah bekerja. Kau tentu tidak mau tinggal di sini sepanjang sore dan membuat Ibumu khawatir bukan?"
"Samcheon! Ini semua karenamu! Kalau saja kau mengerjakan PR, kita tidak akan dihukum seperti ini!" keluh Sujin. Ia mulai mengumpulkan buku-buku yang berserakan dan menumpuknya menjadi satu.
Felix yang tidak terima disalahkan pun memukul kepala Sujin dengan buku yang ia pegang, "Kalau kau tidak ingin dihukum harusnya kau mengerjakan PRmu sendiri, bukannya hanya berharap padaku!"
Sujin mengelus kepalanya yang dipukul. Bibirnya mengerucut. Ia mengambil kamus tertebal di tumpukan buku, berniat membalas perbuatan Felix. Namun tak sengaja melihat Pak Han memelototi mereka dari jauh. Sujin dengan enggan menaruh kembali kamusnya dan kembali bekerja.
Meja baca sudah bersih dari buku, siswa yang tadinya sibuk membaca pun satu persatu menutup buku mereka dan keluar dari perpustakaan. Tugas Felix dan Sujin tinggal menyusun kembali tumpukan buku-buku tadi ke rak.
"Ngomong-ngomong, tadi kau menangis karena apa?" tanya Felix.
Diingatkan pada apa yang membuatnya galau setengah mati, Sujin berniat melanjutkan tangisannya yang tertunda. Namun Felix segera mencegahnya untuk berteriak histeris seperti yang ia lakukan di kelas tadi.
"Kau ingin hukuman kita bertambah? Jangan berteriak! Tarik nafas ... hembuskan! Bagus! Tarik lagi ... hembuskan!"
Setelah merasa Sujin sudah tenang, Felix kembali mengintrogasi gadis itu. Sujin menceritakan semuanya hingga ke detail-detail terkecilnya. Dari cerita Sujin, Felix dapat mengambil satu kesimpulan yang keakuratannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Semua karena Hwang Hyunjin!
Hwang Hyunjin adalah sahabat Felix sejak SMP, sekaligus cinta pertama Sujin. Gadis itu sudah menyukai Hyunjin selama tiga tahun. Dan selama tiga tahun itu, Sujin hanya berani menatap Hyunjin dari jauh. Felix sudah berulang kali menawarkan diri untuk mengenalkan gadis itu pada Hyunjin. Tapi gadis itu menolak dengan alasan ... malu. Malu? Hah! Yang benar saja! Felix pikir Sujin hanya terlalu pengecut dan takut ditolak hingga tidak berani berinteraksi secara langsung dengan Hyunjin. Karena itu, ia selalu memanggil gadis itu dengan sebutan ayam atau Chicky, sebagai balasan karena gadis itu memanggilnya Samcheon. Walaupun sebutan pigy atau babi lebih cocok untuk gadis itu.
Jika kalian bingung mengapa Sujin memanggil Felix 'Samcheon' padahal mereka seumuran ... Felix akan menjelaskannya padamu. Mungkin ini akan membuat otakmu sedikit berputar. Tapi mohon perhatikan agar tidak ada lagi pertanyaan dimasa depan.
Keluarga Sujin adalah keluarga yang sangat mementingkan kekerabatan. Sujin bahkan tinggal di dalam satu kompleks perumahan yang isinya mulai dari ujung kanan hingga ujung kiri adalah kerabatnya dekatnya. Felix salah satunya. Pemuda itu tinggal tepat di samping rumah Sujin. Nenek Sujin, dari pihak ayah merupakan sepupu dari Nyonya Lee yang merupakan ibu Felix. Jadi secara otomatis ibu Sujin adalah sepupu Felix dan Sujin adalah keponakannya. Karena keluarga Sujin sangat mementingkan hal ini, walaupun mereka sebaya, Sujin harus tetap memanggil Felix dengan sebutan paman. Apa penjelasannya bisa dimengerti? Ia harap bisa.
"Hmmm, jadi kau menangis karena Hwang Hyunjin punya kekasih baru," Felix berucap acuh sambil terus menyusun buku, lalu menaruhnya di rak. Namun ia menyadari sesuatu, "Tunggu, darimana kau tahu? Aku bahkan belum memberitahumu!"
"Sshhh! Ssshh! Jangan menyebut namanya dengan santai begitu! Bagaimana kalau ada yang dengar!" protes Sujin.
"Bila ada yang mendengarnya ya ... ya sudah! Aku bahkan akan berterimakasih padanya karena mau berbagi penderitaan denganku yang terus saja mendengar ocehanmu tentang Hwang Hyunjin. Telingaku selama tiga tahun ini sudah mati rasa mendengar keluhanmu! Hwang Hyunjin inilah, Hwang Hyunjin itulah!" Felix menjatuhkan bokongnya ke lantai, bersender pada rak, "Kalau kau suka padanya, mengapa tak ungkapkan saja perasaanmu? Setidaknya dengan begitu kau bisa tahu apa harus tetap menyukainya atau berhenti dan melupakannya."
"Kau pikir semudah itu?" cibir Sujin. Ia mengambil buku dari tumpukan terakhir. Mencari rak tempat buku itu seharusnya di taruh.
"Hei, kau bisa menaruhnya di sana," Felix menunjuk ke rak paling atas, "Aku melihat kumpulan buku yang sampulnya sama dengan itu di atas sana."
"Disana?" Sujin tak melihat buku yang dimaksud oleh Felix tapi ia tetap mengambil tangga panjat dan mulai berjongkok dengan berjingkat di tangga. Namun tangga itu terlalu kecil dan Sujin yang pendek masih belum mampu mencapai rak teratas, "Hei Lee Yongbok, kau tidak membohongiku kan?" kakinya berjinjit untuk melihat kumpulan buku yang Felix maksud.
"Jangan panggil aku dengan nama itu! Aku melihatnya tadi di situ! Hal yang seperti ini pun harus kubantu. Kau sendiri tidak punya mata apa?!" Felix yang tadinya menunduk membaca buku pun mendongak karena kesal. Namun begitu ia mendongak, wajahnya yang tadinya kesal kini berubah terkejut, "Ehm, hijau muda ya?"
"Iya! Sampulnya hijau muda! Kau melihatnya? Mana? Di bagian mana?"
"Eumm, Yang kumaksud bukan buku itu," Felix berdehem, "Tapi celana dalammu."
"Apa!!!"
Sujin yang lengah tak sengaja kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa Felix. Kepala Sujin sukses menghantam dagunya. Bokong Sujin mendarat tepat di atas pinggang pemuda itu. Felix yang tidak siap dijatuhi beban berat, punggung dan kepalanya terpental ke belakang dan mengenai rak. Membuat rak buku yang ia senderi jatuh ke belakang. Felix merasa dunia berputar di sekelilingnya. Ia tak bisa mendengar apapun selain dengungan keras di telinganya. Namun dari ekspresi Sujin saat ini, ia yakin gadis itu sedang menjerit meminta bantuan. Sungguh, Felix tidak sengaja melihat pakaian dalam Sujin. Tapi ia tak menyangka akibatnya akan sebesar ini.
***
Felix membuka matanya dan merasakan rasa sakit yang menyengat di sekujur tubuhnya. Ia memandangi sekelilingnya. Setelah mengenali di mana ia berada, ia menghela nafas lega. Lalu berterimakasih pada Tuhan yang tidak mencabut nyawanya karena kejadian tadi.
Ia meraba kepala dan dagunya. Dua tempat itu diperban. Ahh, ini pasti akan berpengaruh pada ketampanannya. Padahal ia punya janji dengan kekasihnya malam ini!
"Ah, kau sudah bangun?"
Sebuah suara membuatnya menoleh ke samping dan menyebabkan lukanya semakin sakit. Ah itu dia, Hwang Hyunjin yang diagung-agungkan oleh Kim Sujin. Felix ingat kalau hari ini adalah giliran Hyunjin untuk piket di UKS. Sujin sering memaksanya untuk menemani gadis itu mengintip di jendela setiap kali Hyunjin piket. Karena itu mau tidak mau Felix menghafal jadwalnya. Bicara tentang Kim Sujin, dimana gadis tidak bertanggung jawab itu?
"Hei, Lee Felix. Aku benar-benar terkejut saat melihat kau dibawa ke sini dengan berlumuran darah tadi," Hyunjin tertawa kecil, "Oh iya, gadis yang membawamu kemari! Dia sudah menunggu di luar sejak tadi. Kau harus lihat bagaimana paniknya dia. Dia bahkan menolak bantuan Han ssaem dan membawamu sendiri di punggungnya. Kalau saja situasinya tidak darurat, aku pasti sudah tertawa. Tadi benar-benar lucu!"
Felix ingin membuka mulutnya untuk bicara, namun rasa sakit menyerangnya. Aisshh ... jangan kesal Lee Felix, jangan kesal! Ambil sisi positifnya saja. Kau berhasil membuat gadis itu, Kim Sujin, diingat oleh orang yang disukainya.
"Ah, itu dia! Masuklah!" Hyunjin tersenyum pada Sujin yang baru saja masuk bersama Woojin. Felix melirik sekilas pada Woojin. Keponakannya yang satu itu pasti dihubungi oleh Sujin tadi. Kalau sudah begini, Felix hanya bisa berharap Sujin belum memberitahukan ini pada ibunya. Orang tua Felix sedang berada di luar negeri. Felix tidak ingin mereka khawatir karena masalah ini.
Sujin menatap Felix dengan mata berkaca-kaca. Felix, yang masih sulit berbicara jadi ia hanya balas menatapnya seolah berkata, 'Kemarilah. Aku tahu kau merasa bersalah. Aku hanya akan memukul kepalamu sedikit lalu memaafkanmu'.
"Samcheonnn!!!"
Sujin berlari ke sisi ranjang Felix dan memeluk lengannya. Hyunjin menatapnya heran. Samcheon? Felix menyadari keheranannya dan memasang ekspresi 'Nanti aku jelaskan'.
Setelah merasa sedikit lebih baik, Hyunjin dan Woojin memapah Felix ke parkiran untuk diantar pulang. Sujin bersikeras membantu. Namun Woojin tak ingin ia membuat masalah lagi dan hanya menyuruhnya membawa tas Felix. Setelah berterimakasih pada Hyunjin. Woojin pun mulai menjalankan mobilnya dan membawa mereka pulang kerumah.
"Kim Sujin—"
"Samcheon kau sudah bisa bicara lagi! Syukurlah! Kukira aku menghancurkan pita suaramu." Sujin menjerit senang.
Felix mengabaikan kehebohan yang dibuat Sujin dan melanjutkan kalimatnya, "Han ssaem bilang apa tentang kejadian tadi?"
"... Kita terkena detensi karena masalah tadi. Rak-rak perpustakaan rusak. Buku-buku berserakan ...," Jawabnya dengan suara kecil, "Samcheon, aku benar-benar tidak sengaja. Ini juga salahmu karena melihat ...," Sujin berhenti bicara. Pipinya memerah, "Aku tidak sengaja jatuh menimpamu. Seandainya bisa mengubah arah, aku akan memilih jatuh tanpa mengenaimu."
"Kau masih ingin tetap jatuh?" Felix tidak tahu harus menangis atau tertawa.
"Kim Sujin, ayam tidak bisa terbang jadi kau tidak akan bisa mengubah arah," ucap Woojin tiba-tiba, "Kuharap kau mengingat kejadian ini agar kau tidak mematahkan leher orang lain lagi."
"Kim Woojin, kau masih bisa mengeluarkan candaan garing di saat seperti ini?!"
***