Chereads / Lost;Singularity / Chapter 2 - Point 1.0

Chapter 2 - Point 1.0

Sebelum kami kembali melanjutkan perjalanan tiba-tiba aku teringat sesuatu yang penting, hal yang terlupakan karena terlalu larut dalam kekaguman dan kesenanganku menikmati luar angkasa. Melalui komunikasi lokal, aku bertanya pada si gadis,"Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan sama sekali, ya? Namaku Reus."Kalau dipikir kembali Lost;Singularity pun aneh sebab tidak menunjukkan indikator nama di atas kepala seperti game pada umumnya. Sistem seperti itu biasanya dipakai di game bertipe simulasi memang, jadi jika ingin tahu nama pemain lain satu-satunya cara adalah dengan menanyakannya langsung."Oh iya, aku juga lupa soal itu hahaha. Aku, Iris. Salam kenal, Reus.""Iris." aku mengulangi namanya pelan. Sederhana tapi terdengar indah, seperti nama yang pas untuk seorang gadis yang misterius namun penuh kebaikan seperti dia.Setelah kami saling memperkenalkan diri, Iris berkata, "Oke, Reus. Sekarang, bagaimana kalau kuajarkan kamu cara berpetualang? Ada planet yang tak jauh dari Space Station ini. Aku bisa ajari kamu cara menjelajahinya.""Oh? Boleh, tentu saja boleh."Iris perlahan mengajarkan padaku untuk mengarahkan moncong pesawat agar sepenuhnya menghadap pada sebuah planet biru yang tampak nun jauh di seberang, di antara beberapa sabuk asteroid mengelilinginya. Aku sempat khawatir kalau pesawatku mungkin saja menabrak asteroid-asteroid itu, sampai ia mengatakan bagaimana caranya me-lock sistem pesawat pada target planet tersebut. Aku mengikuti instruksinya dengan hati-hati, memastikan pesawatku terkunci pada koordinat yang tepat.Setelah target terkunci, tiba-tiba kendali baru muncul di panel pesawatku. Tulisan "<<Sistem Lock>> Phase Active" berkedip di sana, menunggu input dariku. Di saat yang sama AI pesawat mulai memberikan penjelasan, suaranya terdengar seperti narator dari film fiksi ilmiah."Sistem Phase diaktifkan. Dengan Phase, pesawat luar angkasa mampu menembus ruang, mempercepat jarak waktu perjalanan dengan mengkompresi ruang antara pesawat dan target destinasi."Aku terdiam sesaat, mencoba memproses penjelasan itu. "Jadi kita... menembus ruang?" gumamku sendiri, masih tak percaya."Benar, seperti itu. Di tutorial mungkin tidak ajarkan, sebab sistem itu baru bisa diaktifkan saat pertama kali keluar dari Space Station awal. Dengan sistem ini kita bisa melompat dari planet ke planet lain secara instan. Tapi kamu harus hati-hati, jika tidak benar-benar me-lock targetmu, kalian bisa terlempar ke dalam kehampaan luar angkasa."Jantungku berdetak lebih cepat mendengar peringatan itu. Namun, di saat yang sama, rasa penasaran dan antusiasme mendorongku untuk terus melanjutkan. Aku menggenggam kendali dengan erat, memeriksa sekali lagi apakah targetku benar-benar terkunci. Planet biru itu kini tampak sebagai titik cahaya di layar, menunggu untuk didekati."Aku akan contohkan, lalu kamu baru ikuti. Waktu pesawatku melesat, baru kamu aktifkan, oke?" ujarnya.Begitu Iris mengaktifkan sistem Phase-nya cahaya terang langsung melesat lurus, dalam sekejap pesawatnya menghilang dari pandanganku. Aku hanya sempat melihat kilasan biru yang seakan ditelan oleh gelapnya angkasa luar. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, jantungku berdebar-debar. Setelah mengambil napas dalam-dalam, aku pun mempersiapkan diriku. Dengan ragu-ragu namun penuh antusiasme, aku menekan tombol Phase di kokpit."<>" Indikator menyala pada layar.Tiba-tiba tubuhku terasa bagai terlontar begitu kerasnya ke belakang saat pesawat melesat dengan kecepatan yang luar biasa. Dapat kurasakan getaran yang keras dari seluruh rangka pesawat, tetapi arah terbangnya tetap lurus dan stabil, tak bergeming sedikit pun meskipun dalam lesatan yang hampir tak terbayangkan. Sensasi ini... luar biasa sekaligus menakutkan. Seluruh pemandangan di sekitar berubah menjadi garis-garis cahaya yang bergerak cepat, bintang-bintang tampak seperti semburat cahaya yang melesat di sekitar pesawatku.Kembali diriku dilanda perasaan cemas, pertanyaan muncul satu per satu memberikan bahan bakar bagi ketakutan yang semakin merayap ke atas. Bagaimana jika aku kehilangan kendali? Apa yang terjadi jika pesawatku keluar jalur? Adalah pertanyaan-pertanyaannya, meski begitu aku terus berusaha mengendalikan nafas mengalihkan fokus pada apa yang terjadi di sekitar. Perjalanan Phase ini, terasa bagaikan terbang melewati dimensi lain, menembus waktu dan ruang dengan kecepatan yang mustahil dicapai manusia di dunia nyata. Sementara di arah depan sana planet biru yang menjadi tujuan kami mulai membesar, terlihat semakin jelas di antara kelap-kelip cahaya di sekelilingku."Mendekati orbit planet, sistem Phase dihentikan." Ucap dari AI pesawat.Aku merasakan kecepatan mulai melambat secara bertahap, getaran pada pesawat mulai mereda, dan semuanya terasa lebih terkendali. Pesawatku dengan mulus meluncur mendekati planet biru itu, perlahan namun pasti. Begitu sistem Phase sepenuhnya berhenti, aku akhirnya tiba di orbit planet biru tersebut. Pemandangan luar biasa membentang di hadapanku—planet yang penuh dengan daratan biru, awan putih yang berarak, dan pegunungan yang hanya terlihat seperti guratan-guratan kecil dari ketinggian ini. Aku terdiam sesaat, menikmati keindahannya, sampai suara Iris muncul kembali melalui komunikasi lokal."Lambat sekali ternyata ya pesawat awal itu, aku sudah menunggu cukup lama loh." Katanya mengejek."Maaf membuatmu menunggu.""Kamu baik-baik saka kan, Reus? Tidak pusing atau mual? Soalnya, biasanya player yang pertama kali pakai Phase sering kena motion sickness." Tanya Iris dari balik komunikasi lokal, terdengar kekhawatiran jelas dari suaranya."Aman kok. Cuma sedikit kaget saja.""Wah, hebat juga kamu. Aku dulu hampir muntah waktu pertama kali pakai Phase. Guncangannya lumayan bikin mual kalau tidak terbiasa." Balasnya sedikit terkejut.Lantas dirinya mengajak diriku untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan menuruni atmosfir dari planet biru di sana. Suhu di kokpit semakin memanas karena menembus batas planet, disertai pemandangan luar angkasa yang luas berubah menjadi cakrawala planet yang penuh dengan awan tipis dan langit yang tampak berlapis-lapis.Ketika kami mendekati permukaan, pemandangan yang terhampar di depan kami sungguh luar biasa. Tanah di bawah pesawat tampak berwarna hijau kebiruan, kontras dengan vegetasi asing yang tumbuh liar di berbagai sudut. Fauna yang tampak aneh dan belum pernah kulihat sebelumnya berkeliaran di bawah kami, beberapa bergerak lamban di antara kumpulan vegetasi rimbun, sementara yang lain tampak lincah berlarian melintasi dataran luas. Pesawat kami perlahan mendarat, dan sesaat setelah keluar dari kokpit, Iris menyambut kedatanganku dengan nada riang."Selamat datang di planet pertamamu, Reigna-77c."Aku melangkah keluar dari pesawat dan menginjakkan kaki di permukaan yang terasa begitu nyata di bawah sepatu luar angkasaku. Angin cepat berhembus melewatiku, meski paham ini hanya simulasi dari sistem VR tapi rasanya begitu otentik. Kami berdiri di sebuah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan aneh dengan puncak yang tampak bersinar samar di bawah sinar matahari planet ini."Jangan pernah melepas helm atau baju angkasamu itu oke? Planet ini beda dengan bumi, kamu bisa betulan mati jika nekat melepas semuanya." Ucapnya penuh serius."Betul-betul planet yang unik..." gumamku."Ya kan? Setiap planet yang ada di game ini punya keunikan masing-masing. Reigna-77c salah satu planet termudah untuk dijelajahi bagi setiap player baru, sebuah planet surga layaknya bumi. Ayo, kita bisa mulai jelajahi sekitar sementara meninggalkan pesawatnya di sini.""Apa itu aman? Kalau kita hendak pergi lagi bagaimana?" meninggalkan pesawat berharga ini begitu saja di tempat antah berantah sedikit membuat diriku khawatir."Tenang, dengan device yang ada di pergelangan tanganmu itu, kamu bisa memanggilnya lagi kok. Sistem AI akan otomatis menerbangkannya menuju koordinat di mana dirimu berada.""Begitukah, kalau begitu... ayo!"Sambil berjalan menyusuri menuruni lembah, kami berbincang-bincang tentang banyak hal terutama soal game ini. Iris mulai mengajariku berbagai hal yang penting. Dia menunjukkan cara menggunakan scanner yaitu peralatan yang sedari awal telah terpasang pada LSS, alat yang sangat penting untuk mencari mineral dan sumber daya lain yang tersembunyi di dalam tanah."Dengan scanner, kamu bisa menemukan berbagai jenis mineral, mulai dari logam dasar sampai komponen langka yang bisa dipakai untuk crafting," jelasnya sambil memindai sebuah area di depannya.Aku mengikuti langkahnya, mempelajari bagaimana cara menggunakan scanner dengan benar. Saat sinyal menunjukkan titik mineral di tanah, segera kukeluarkan Ray Gun untuk mengambil mineral yang ada di sana. Menariknya, diriku tidak perlu benar-benar menggali tanah demi bisa mendapatkan apa yang ada jauh tertimbun di bawah. Sebab Ray Gun memiliki jarak tertentu, selama masuk dalam jarak gelombangnya mineral tersebut bisa terambil dengan mudah. Betapa alat yang ramah lingkungan menurutku."Lalu, kita perlu berburu blueprint agar kamu bisa menciptakan banyak barang lain."Setelah menggali beberapa mineral, Iris membawaku ke sebuah reruntuhan kecil di ngarai tempat sungai kecil mengalir. Begitu mendapatkan skema yang tergeletak pada altar, ia memberitahukan bagaimana cara menggunakan skema tersebut untuk membuat item-item yang lebih canggih."Blueprint seperti ini tergeletak di berbagai tempat, biasanya di lokasi-lokasi yang jarang dijelajahi. Kalau kamu beruntung, bisa dapat yang langka." katanya sambil menunjukkan satu blueprint yang ditemukan di balik batu besar."Apa setiap blueprint ini bisa habis atau ada batasnya?""Oh? Pertanyaan yang menarik. Sebetulnya, blueprint ini memiliki cooldown tersendiri, beberapa ada yang bisa bebas diambil tanpa batas. Tetapi bagi blueprint rare, cuma bisa diambil sekali saja dan seterusnya hilang.""Wow... beruntung sekali yang mendapatkannya jika begitu.""Ya. Tapi kamu juga bisa menduplikat blueprint kok. Di bintang mana aku lupa namanya, ada satu stasiun luar angkasa yang bisa menciptakan tiruan blueprint, walau harganya begitu mahal." Ujar Iris, mengamati blueprint yang barusan ia dapatkan tadi.Saat Iris tengah sibuk dengan pemindaiannya, aku berjalan-jalan di sekitar reruntuhan karena rasa penasaran masih meluap-luap dalam benakku. Arsitektur di sini tampak begitu berbeda dibandingkan dengan tempat lain yang kami jelajahi sebelumnya. Seluruh bangunan di area ini terbuat dari bebatuan besar dengan ukiran-ukiran misterius, seolah-olah tempat ini adalah peninggalan peradaban kuno. Aku mengernyit, merasa aneh. Di tengah dunia game yang begitu futuristik dan maju, kenapa ada tempat yang tampak sangat ketinggalan zaman seperti ini?"Siapa yang membangun ini semua?"Aku mendekati sebuah patung besar yang bentuknya menyerupai makhluk yang tidak aku kenali. Wujudnya tidak seperti manusia, mungkin lebih seperti hewan atau sesuatu karena memiliki tubuh besar dan wajah yang sangat asing. Saat menatapnya lebih dekat, tiba-tiba terdengar suara retakan halus dari dinding di dekat patung tersebut. Aku mundur dengan cepat sebab panik karena lantai yang kupijak mulai bergetar, sebelum aku sempat melakukan apapun sebagian dinding telah runtuh mengungkapkan sebuah gua tersembunyi di belakangnya."Reus?! Ada apa?!" Iris terperanjat, menoleh dengan cepat ketika suara keras itu menggema di udara."Maaf! Aku tengah mengamati sebuah patung tapi tiba-tiba saja semuanya hancur..." balasku masih tak percaya akan apa yang terjadi.Iris mendekat dengan cepat, matanya melebar saat melihat gua yang baru saja terbuka di depan kami. "Aku tidak percaya... ternyata ada gua tersembunyi di sini. Dan tak ada player lain yang menemukannya.""Eh? Yang benar saja?""Kerja bagus Reus! Ini penemuan besar!"Aku tersenyum malu-malu mendengar pujiannya, namun sebelum sempat diriku bersiap-siap Iris telah lebih dahulu berjalan ke arah reruntuhan itu. Dengan berbekal penerangan yang aktif otomatis, suasana gelap dari gua tidak lagi menjadi sebuah halangan saat berjalan menuruninya. Segalanya terasa sangat sunyi, hanya terdengar langkah kaki kami yang bergaung di sepanjang terowongan yang gelap. Cahaya dari helm kami menerangi dinding-dinding gua yang penuh dengan formasi mineral yang bersinar samar, mengesankan keindahan alam yang belum pernah dijamah sebelumnya."Mineral baru, masih belum ada namanya." Ucap Iris ketika selesai men-scan formasi mineral berwarna perak mengkilap itu."Masa belum ada namanya?""Ah iya aku lupa menjelaskannya juga. Sebetulnya di Lost;Singularity, setiap planet, bintang, galaksi, item, mineral, flora, atau fauna yang masih belum terdeteksi di Archive global... bisa dinamai sendiri oleh player yang menemukannya. Sebab dari itulah kita dinamakan sebagai Voyager. Kita memang seorang penjelajah Reus, itulah mengasyikkannya game ini.""Apa-apaan... sebuah game yang betulan memberi kebebasan ke playernya, bahkan untuk menamai segalanya yang ada di game? Fantastis...""Lantas, mau kamu namai apa mineral ini, Reus? Karena kamu yang pertama menemukannya, kini tengah muncul di layar scannerku untuk input namanya."Betapa gilanya kebebasan dari game bernama Lost;Singularity ini, bahkan player pun diperbolehkan menamai apa yang ditemukannya secara bebas. Belum pernah aku mendapati gimmick seperti ini pada game apapun, mendekat ke arah bebatuan gua diriku berpikir begitu keras mengenai nama yang cocok baginya."Silverium? Ah tidak, itu terlalu normal dan pasaran.""Kamu yakin? Pakai itu?"Kupikirkan lagi mengenai nama yang lebih kreatif sembari mengingat para penemu yang telah melewati perjalanan serta petualangan begitu jauh kemudian menemukan sesuatu yang baru, pasti banyak dari mereka yang memadukan kisah atas perjalanan serta kerja keras ke dalamnya."Argentum?" bisikku lagi, terinspirasi oleh istilah Latin untuk perak. Namun, itu juga terasa terlalu umum. Aku ingin sesuatu yang lebih unik, lebih mencerminkan keajaiban planet ini.Setiap detik berlalu, pikiranku semakin berputar. Aku ingin namanya memberi nuansa misteri, keindahan, dan kekuatan. Aku mulai membayangkan bagaimana para pemain lain akan bereaksi saat menemukan mineral ini. Aku ingin mereka merasakan rasa ingin tahu yang sama."Ah! Luminaris!" sebutku dengan percaya diri.Nama itu terinspirasi oleh cahaya yang memancar dari mineral ini, seolah-olah memiliki kehidupan tersendiri. Dengan nama itu, aku bisa merasakan esensi dari penemuan ini—sesuatu yang bersinar dalam kegelapan, sebuah harapan di tengah luasnya angkasa."Terdengar solid, kapten. Mineral itu juga menyala ketika terkena cahaya dari helm, nama yang cocok. Akan kudaftarkan segera."Begitu Iris memasukkan nama tersebut sebagai nama baru dari mineral perak itu, seketika scanner menunjukkan bahwa namanya ialah Luminaris. Kami mulai mengumpulkan Luminaris, mengisi tas dengan penuh kegembiraan. Setiap kali kami menemukan hal baru, senyum di wajah kami semakin lebar. Rasa kebahagiaan yang tak terlukiskan memenuhi suasana di antara kami—ini adalah salah satu momen langka dalam game di mana eksplorasi benar-benar memberikan hasil yang begitu memuaskan.Sesekali, kami bertemu dengan Voyager lain yang kebetulan juga sedang melakukan petualangan di area sekitar. Mereka tampak terkejut ketika mendengar tentang gua tersembunyi yang kami temukan. Kami saling bertukar cerita, berbicara tentang pengalaman masing-masing, memberikan tips, dan kadang-kadang bahkan saling membantu dalam menemukan mineral atau menghindari berbagai hal berbahaya sepanjang jalan.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSetelah tas kami penuh sesak dengan berbagai mineral dan barang langka yang kami temukan sepanjang jalan, Iris menatap ke arahku sembari berkata."Sudah saatnya kita kembali ke Space Station."Menyadari bahwa memang sudah tidak bisa lagi memasukkan barang, aku mengangguk setuju walau masih ingin terus melanjutkan perjalanan."Juga, sebaiknya beberapa item atau mineral yang kamu dapatkan di craft menjadi barang lain. Apabila sudah diproses, harganya bisa jauh lebih mahal.""Tapi aku belum punya alatnya, apa itu namanya... Refiner? Crafter? Darimana mendapatkannya?" jawabku mengerutkan kening."Oh iya! Kamu harus ambil dulu ya, di Space Station... bukan ya, aku lupa."Seketika, Iris mengaktifkan perangkat di pergelangan tangannya dengan diriku berusaha mencontoh apa yang ia lakukan. Dalam sekejap, kami memanggil pesawat luar angkasa kami masing-masing. Betapa terkejutnya diriku saat melihat pesawat tersebut melesat turun dari langit. Pesawat luar angkasa itu terbang sendiri, bagai dikendalikan oleh pilot tak kasat mata melayang dengan anggun dari langit kemudian mendarat mulus di hadapanku tanpa seorang pun di dalamnya."Dia terbang sendiri..." gumamku."AI di game ini memang sesuatu deh. Mereka bisa melakukan hal sekompleks ini." Jawab Iris dengan senyum geli.Kami naik ke dalam kokpit pesawat masing-masing dan begitu duduk di kursi pilot, sistem AI pesawat langsung menyambutku dengan suara lembut. Mesin pesawat mulai menyala, lantas dalam sekali tarikan tuas kami pun melesat cepat kembali ke angkasa luar yang luas. Ketika Iris mengingatkanku untuk segera mengunci arah menuju Noah Space Station, aku mengikuti instruksinya tanpa mengucapkan apapun. Sistem Phase aktif dan lagi-lagi aku merasakan lonjakan kecepatan yang begitu mendadak. Bintang-bintang di sekitar kabur menjadi garis-garis cahaya yang terbang menjauh dari pandanganku.Tetapi belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba saja pesawatku mengeluarkan peringatan. Lampu merah berkedip-kedip dan suara sirene peringatan memenuhi kokpit."Sistem Phase, dihentikan."Sistem AI pesawat langsung bertindak, menghentikan sistem Phase secara otomatis. Dengan segera, kecepatan menurun drastis dan pesawatku kembali melayang dengan tenang di tengah kegelapan angkasa. Napasku terhenti sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Di depan kulihat pesawat Iris juga terhenti, terlihat tenang seperti biasa. Aku segera membuka komunikasi dan bertanya,"Iris, apa yang terjadi?""Tenang saja, Reus. Ini salah satu bentuk dari event random yang sering terjadi. Biasa muncul waktu berkelana." Jawabnya dengan nada penuh santai."Event random? Seperti apa?"Sebelum Iris bisa menjelaskan lebih lanjut, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Di depan kami, tidak jauh dari lokasi Space Station, sebuah retakan dimensi yang tampak tak alami muncul di kehampaan luar angkasa. Retakan itu memancarkan kilatan cahaya seolah-olah realitas sendiri sedang dirobek. Dari balik retakan, sebuah entitas perlahan-lahan muncul.Pada hadapan kami kini melayang sebuah benda raksasa berbentuk geometris, seperti bintang bersudut empat dengan sudut-sudut yang tajam dan warna hitam pekat. Ukurannya sangat besar, jauh lebih besar daripada Space Station yang berada di kejauhan. Meski melayang dengan tenang, kehadirannya begitu mengintimidasi. Cahaya putih mulai bersinar dari bagian tengah entitas itu, perlahan terbuka seperti sebuah mata raksasa yang baru saja terbangun dari tidurnya."Apa... itu?" bisikku gemetar."Anomaly... satu dari sekian makhluk dimensional yang jarang muncul. Mereka bisa muncul di mana saja di setiap galaksi dan bintang, kehadiran mereka penuh oleh misteri. Bahkan tidak ada yang tahu apa sebenarnya itu, apakah hanya berupa kapal luar angkasa, bangunan misterius, atau bahkan makhluk hidup."Jawaban yang ia berikan memberikan ketegangan yang mendadak menyelimuti seluruh tubuhku. Cahaya dari entitas itu semakin terang serta meski aku masih terlalu jauh untuk merasakannya, ada sesuatu yang membuat udara di sekitar terasa lebih berat. Iris di depan sana tampak tetap tenang, meskipun situasi ini jelas bukan hal yang biasa."Biasanya mereka tidak memberi bahaya... tapi kita harus tetap tena—"Tak lama berselang peringatan yang muncul bertubi-tubi mematahkan komunikasi antara kami berdua. Tulisan besar berwarna merah terang tak berhenti berkedip sembari memperingatkan sesuatu, berupa ANOMALI. Seakan setiap sensor pesawatku tengah berteriak, tak tahu bagaimana harus merespon akan apa yang tengah terjadi saat ini. Ketegangan kini perlahan berubah menjadi panik saat suara Iris yang terdengar dari balik komunikasi tengah terdistorsi, pecah-pecah tak karuan."Re— ...ta— perg—! Anoma— i...— haya!"Berusaha memahami akan perkataan yang tak jelas tersebut, sepertinya ia berusaha memperingatkanku akan sesuatu karena terdapat ketakutan terpancar dari suaranya. Kucoba untuk mengambil alih kendali pesawat untuk memutar, berharap bisa menjauh dari entitas raksasa di depan kami, namun pesawatku seakan terkunci di tempat. Tidak ada respons. Kontrol yang biasanya begitu responsif kini terasa seperti memutar roda mati. AI pesawat juga tiba-tiba berhenti memberi respon. Hanya suara statis yang keluar dari sistem komunikasi. Seolah-olah sesuatu—atau seseorang—telah mengambil alih seluruh kendali."Iris!? Iris!!" panggilku dengan panik, mencoba memastikan dia masih di sana. Tapi suaranya terputus-putus, makin sulit didengar."Reus...! Cep—... rgi—!"Dan di saat itulah hal yang tak dapat kubayangkan terjadi dalam kedipan mata. Anomali itu—entitas geometris raksasa yang melayang di depan kami—akhirnya terbuka sepenuhnya. Suara keras tak tertahankan, memekakkan telingaku seperti seribu sirene sekaligus. Aku menggenggam kepalaku, mencoba menahan rasa sakit yang seolah-olah merobek pikiranku.Tak lama ledakan cahaya terang meledak dari entitas itu, menyilaukan mata, seolah seluruh galaksi meledak tepat di depan wajahku. Tak sempat aku berpikir apa-apa, gelombang kejut menghantam pesawatku. Semua berputar-putar dengan kecepatan yang tak terkendali. Aku bisa merasakan diriku terlontar ke belakang, tubuhku terhantam keras di dalam kokpit. Sensor pesawat kacau, alarm berbunyi tiada henti, dan layar penuh dengan peringatan merah."<> <>" Peringatan AI kini hidup kembali tanpa dapat kumengerti.Lalu transmisi aneh terdengar di seluruh saluran komunikasi, suara asing yang tak bisa kupahami, seperti bahasa yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kata-katanya membingungkan, hanya sedikit serpihan yang bisa kupahami dari balik sana."Dolorem ipsum...Dengan ledakan lain kembali terasa, jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Gelombang energi melintas seperti badai, menghempaskan segalanya, menyapu pesawatku jauh ke kegelapan angkasa. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan, terperangkap dalam pusaran tak terkendali. Tubuhku terombang-ambing, sementara kesadaranku mulai memudar perlahan."...quia dolor sit amet."Segalanya mulai menggelap, aku tidak bisa merasakan tubuhku sama sekali. Kehampaan menguasai pikiranku. Tak ada suara, tak ada cahaya. Hanya kekosongan yang perlahan menyelimuti seluruh kesadaran, layaknya luar angkasa yang kian perlahan melahap segalanya dariku.