Anya terbangun dengan perasaan yang berat. Matahari pagi menerobos celah tirai jendela, menyinari kamar mewah yang menjadi tempat tidurnya. Kamar ini dipenuhi dengan pernak-pernik mahal dan bunga-bunga segar, menciptakan suasana yang indah namun terasa hampa.
Anya menarik selimut hingga ke dagu. Dia menatap ke luar jendela, melihat kehidupan kota Jakarta yang sibuk dan berisik. Namun, hatinya tetap terasa sunyi dan terkekang.
"Anya, bangun! Kamu akan terlambat!" suara Arman terdengar dari luar kamar.
Arman adalah kekasihnya, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki segala sesuatu yang diinginkan Anya. Namun, di balik kekayaan dan kemewahan itu, Anya merasa terkurung dalam sebuah "jeruji emas".
Anya bangun dari tempat tidurnya dan melangkah menuju kamar mandi. Dia menatap diri sendiri di cermin. Wajahnya yang cantik terlihat lesu dan tak bersemangat.
"Apa yang aku lakukan di sini?" gumamnya dalam hati.
Anya melangkah keluar dari kamar mandi. Arman sudah menunggu di depan pintu, mengenakan jas yang bersih dan beraroma parfum mahal.
"Pagi, Sayang," sapa Arman dengan senyum yang menawan.
Anya menanggapi dengan anggukan kepala yang lemah.
"Kamu akan menemani aku ke acara galangan dana hari ini," kata Arman. "Pakai gaun yang sudah aku siapkan."
Anya memandang Arman dengan tatapan yang hampa. Dia tak suka dengan acara-acara seperti ini. Dia ingin menjalani hidupnya sendiri, tanpa harus terikat pada jadwal yang diatur oleh Arman.
"Baiklah," jawab Anya dengan nada yang datar.
Anya melangkah menuju lemari pakaian. Di sana, terletak gaun yang indah dan mahal, tetapi tak ada yang menarik hatinya. Anya merasa terkekang, terkurung dalam dunia kekayaan dan kemewahan yang tak pernah dia inginkan.
"Aku ingin bebas," gumamnya dalam hati.
Oke, mari kita lanjutkan Bab 01 "Bunga Kertas di Balik Jeruji Emas":
Anya mengenakan gaun yang sudah disiapkan Arman. Gaun itu berwarna merah marun, dengan payet yang berkilauan dan potongan yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Gaun itu indah, tetapi terasa berat dan tidak nyaman di tubuhnya. Anya merasa seperti boneka yang dipajang di etalase, bukan dirinya sendiri.
"Kamu cantik, Sayang," puji Arman saat melihat Anya keluar dari kamar.
Anya hanya mengangguk lemah. Dia tidak merasa cantik. Dia merasa terkekang, seperti burung dalam sangkar emas yang indah, tetapi tidak bebas.
"Ayo, kita berangkat," ajak Arman.
Mereka turun ke lantai bawah, menuju mobil mewah yang sudah menunggu di depan rumah. Sopir pribadi Arman, Pak Adi, sudah siap di balik kemudi.
Di dalam mobil, Anya duduk di samping Arman. Dia diam, mengamati pemandangan kota Jakarta yang sibuk dari balik kaca jendela.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Arman, menyadari keheningan Anya.
"Tidak apa-apa," jawab Anya, dengan suara yang datar.
Arman mengulurkan tangan, menggenggam tangan Anya. "Jangan bersedih, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu."
Anya menarik tangannya, menarik nafas dalam-dalam. "Aku tidak sedih, Arman. Hanya lelah."
Arman mengerutkan keningnya. "Lelah? Kenapa?"
Anya tidak menjawab. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan rasa lelah yang menyelimuti dirinya. Lelah dengan kemewahan yang menyelimuti dirinya, lelah dengan kehidupan yang diatur oleh Arman, lelah dengan kebohongan yang membelenggu dirinya.
Arman menatap Anya dengan tatapan yang penuh tanya. Dia tidak mengerti apa yang sedang dirasakan Anya. Dia hanya melihat Anya sebagai wanita cantik yang hidup dalam kemewahan, wanita yang dia cintai dan ingin dijaga.
"Jangan khawatir, Sayang. Aku akan membuatmu bahagia," kata Arman, mencoba menenangkan Anya.
Anya mengenakan gaun yang sudah disiapkan Arman. Gaun itu berwarna merah marun, dengan payet yang berkilauan dan potongan yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Gaun itu indah, tetapi terasa berat dan tidak nyaman di tubuhnya. Anya merasa seperti boneka yang dipajang di etalase, bukan dirinya sendiri.
"Kamu cantik, Sayang," puji Arman saat melihat Anya keluar dari kamar.
Anya hanya mengangguk lemah. Dia tidak merasa cantik. Dia merasa terkekang, seperti burung dalam sangkar emas yang indah, tetapi tidak bebas.
"Ayo, kita berangkat," ajak Arman.
Mereka turun ke lantai bawah, menuju mobil mewah yang sudah menunggu di depan rumah. Sopir pribadi Arman, Pak Adi, sudah siap di balik kemudi.
Di dalam mobil, Anya duduk di samping Arman. Dia diam, mengamati pemandangan kota Jakarta yang sibuk dari balik kaca jendela.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Arman, menyadari keheningan Anya.
"Tidak apa-apa," jawab Anya, dengan suara yang datar.
Arman mengulurkan tangan, menggenggam tangan Anya. "Jangan bersedih, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu."
Anya menarik tangannya, menarik nafas dalam-dalam. "Aku tidak sedih, Arman. Hanya lelah."
Arman mengerutkan keningnya. "Lelah? Kenapa?"
Anya tidak menjawab. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan rasa lelah yang menyelimuti dirinya. Lelah dengan kemewahan yang menyelimuti dirinya, lelah dengan kehidupan yang diatur oleh Arman, lelah dengan kebohongan yang membelenggu dirinya.
Arman menatap Anya dengan tatapan yang penuh tanya. Dia tidak mengerti apa yang sedang dirasakan Anya. Dia hanya melihat Anya sebagai wanita cantik yang hidup dalam kemewahan, wanita yang dia cintai dan ingin dijaga.
"Jangan khawatir, Sayang. Aku akan membuatmu bahagia," kata Arman, mencoba menenangkan Anya.
Mobil mewah itu berhenti di depan sebuah gedung megah yang dihiasi lampu-lampu terang. Anya menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah keluar.
"Ayo, Sayang," ajak Arman, mengulurkan tangannya untuk membantu Anya turun dari mobil.
Anya menatap Arman sejenak, kemudian menerima uluran tangannya. Mereka melangkah bersama menuju pintu masuk.
Di dalam gedung, suasana meriah menyambut mereka. Para tamu berpakaian elegan berkerumun di ruang penerimaan, mengobrol dan menikmati hidangan yang disajikan.
Anya merasa tak nyaman berada di tengah kerumunan itu. Semua orang terlihat bahagia dan bersemangat, tetapi Anya hanya merasa tertekan. Dia merasa seperti sebuah boneka yang dipajang di etalase, diperlihatkan ke publik tanpa memiliki suara sendiri.
"Anya, Sayang, kenalkan ini Luna," kata Arman, menuntun Anya menuju seorang wanita yang berdiri di sudut ruangan.
Wanita itu berambut panjang hitam legam dan bermata biru yang menawan. Dia mengenakan gaun seksi yang menonjolkan lekuk tubuhnya.
"Hai, Anya," sapa Luna dengan senyum yang terlihat sinis.
Anya menanggapi dengan senyum yang palsu. Dia sudah mengenal Luna, wanita yang menjadi kekasih Arman sebelum Anya muncul dalam hidupnya. Luna adalah seorang wanita yang berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh. Dia memiliki segala sesuatu yang diinginkan oleh seorang wanita, termasuk kekuasaan dan kemewahan.
"Senang bertemu denganmu," jawab Anya dengan nada yang dingin.
Luna menggeleng kepala dengan senyum yang masih terlihat sinis.
"Aku juga," jawab Luna. "Aku harap kamu menikmati acara ini."
Anya merasa tak nyaman dengan tatapan Luna yang terlihat mengancam. Dia ingin menghindar dari wanita itu, tetapi Arman berpegangan pada tangannya, menahannya agar tidak pergi.
"Ayo, kita menyapa tamu-tamu lainnya," ajak Arman.
Anya menuruti Arman dengan pasrah. Mereka berjalan sambil menyapa para tamu yang bertemu di jalan. Anya melihat banyak wajah familiar yang pernah dia temui di acara-acara sebelumnya.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar mengenalnya. Mereka hanya mengenal Anya sebagai kekasih Arman, wanita yang beruntung mendapatkan kekayaan dan kemewahan.
"Anya, kamu terlihat cantik," kata seorang wanita yang mengenakan gaun berwarna emas yang berkilauan.
"Terima kasih," jawab Anya dengan senyum yang palsu.
Anya mencoba tersenyum, menjawab sapaan para tamu dengan kata-kata yang sopan. Namun, di balik senyum itu, hati Anya merasa berat.
"Anya, Sayang, kamu terlihat lesu," kata Arman dengan nada yang lembut. "Apakah kamu tidak enak badan?"
Anya menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah."
Arman menatap Anya dengan tatapan yang penuh khawatir. "Kamu harus istirahat nanti. Jangan terlalu lelah."
Anya mengangguk lemah. Dia takut jika Arman menanyakan lebih jauh tentang perasaannya. Dia takut jika Arman tahu bahwa dia merasa terkekang dalam hubungan ini.
"Aku akan menemui beberapa tamu dulu. Kamu bisa beristirahat di sini," kata Arman.
Anya mengangguk lagi. Arman melangkah pergi, meninggalkan Anya sendirian di tengah kerumunan tamu.
Anya melihat sekeliling, menyadari bahwa dia terkurung dalam sebuah dunia yang tak pernah dia inginkan. Dunia kekayaan dan kemewahan yang terlihat indah dari luar, tetapi terasa hampa dan tak bermakna bagi hatinya.
Anya ingin menghilang, ingin mencari kebebasan yang tak pernah dia temukan di sini. Dia ingin menjadi bunga kertas yang terbang bebas di udara, bukan bunga kertas yang terkurung dalam jeruji emas.
Anya memandang ke luar jendela, melihat kota Jakarta yang sibuk dan berisik. Di tengah kerumunan dan kemewahan itu, Anya merasa sendiri dan terlupakan.
"Aku ingin bebas," gumamnya dalam hati.