Bip!! Bip!! Bip!!
"Suara apa itu yang ada di kepalaku?"
Aku bergumam dengan suara pelan.
"Apakah itu bunyi lonceng surga?"
Aku bergumam sambil mencoba mencari tahu suara apa itu.
Awalnya itu terdengar seperti bunyi lonceng tetapi saat aku terus mendengarnya, suara itu mulai agak menggangguku.
"Argh!! Hentikan itu!!"
Aku terbangun karena suara alarm. Dalam keadaan kurang tidur, aku mendapati diriku berada di sebuah kamar yang seperti milik seorang anak kecil.
"Apa aku belum mati?"
Aku bergumam tak percaya sambil melihat sekeliling.
Semua yang ada di sekitarku agak familiar dan anehnya di saat yang bersamaan. Di depanku, terlihat dinding yang dihiasi poster-poster pemain sepak bola ikonik. Portraits of Pel, Maraona, Iniesa, Javi, Honna, Jhinji Kagawa, Kurosaki Miura yang ada di antara poster-poster itu. Namun yang paling menonjol di antara poster-poster itu adalah dua poster yang lebih besar dari yang lainnya.
Kedua poster itu ditempel berdampingan. Masing-masing poster memamerkan balon d'Or mereka, yang satu bergambar Christian Romero dengan kostum Real Madrid sementara yang satunya lagi bergambar Andreas Messi dengan kostum Barcelona.
"Bahkan saat aku sudah mati, aku masih memikirkan sepak bola ya?"
Sambil menatap poster di depanku, aku bergumam sambil memperlihatkan senyum lembut.
"Terserahlah!! Aku yakin itu pasti mimpi. Itu pasti kilas balik masa lalu. Ya itu pasti kilas balik yang sedang kusaksikan sebelum aku meninggalkan dunia ini."
Meyakinkan diriku sendiri bahwa aku hanya mengalami kilas balik masa lalu, aku memejamkan mata, menunggu kesadaranku memudar.
Aku tetap memejamkan mata dan dengan sabar menunggu kesadaranku memudar.
Tick!! Tick!! Tick!!
Jam terus berdetak, tetapi kesadaranku tidak memudar. Bahkan sepertinya tidak akan memudar .
"Hah? Apa yang terjadi? Kenapa kesadaranku tidak memudar??"aku bergumam degan sedikit kesal.
"Aku yakin aku sudah mati. Jadi kenapa kesadaranku masih belum pudar?"
Seperti yang aku disebutkan. Aku memang sudah mati.aku meninggal setelah bunuh diri, Pada usia 27 tahun ketika harapan terakhirku untuk menjadi pemain sepak bola profesional hancur oleh kecemburuan beberapa pemuda yang iri, aku bunuh diri dengan berjalan di depan truk yang sedang melaju.
Aku yang dulunya sangat mencintai sepak bola sejak kecil dianggap sebagai seorang jenius sepak bola. Sejak usia muda, aku menunjukkan minat yang besar pada sepak bola. Dan untuk mendukung minatku, aku juga sangat berbakat.
Ayahku seorang penggemar sepak bola, dulunya memiliki banyak barang yang berhubungan dengan sepak bola di rumah. Ayahku mengoleksi setiap bola piala dunia, berbagai kaus, dan poster pemain sepak bola hebat.
Bahkan minatku pada sepak bola dimulai ketika ayahku bermain denganku. Pada usia satu tahun, ayahku bermain melemparkan bola ke arahku. Meskipun aku tidak bisa menendang bola karna aku belum belajar berjalan. Aku menyundul bola dengan kepalaku sambil berjalan dengan keempat kakiku.
Tindakan itu mengejutkan ayahn
Ku dan membuatnya tersenyum. Aku bercanda bahwa aku akan menjadi pemain bola terhebat di planet ini. Dan ayahku terus melemparkan bola ke arahku dan setiap kali ayahku melemparkan bola ke arahku,aku akan menyundul bola ke arah ayahku.
Melihatki hanya menyundul bola, ayahku mulai mengajariku cara menendang bola. Terhanyut dalam antusiasmenya, ayahku lupa bahwa putranya masih anak-anak yang belum belajar berjalan.
Namun aku masih akan mencoba menendang bola dengan kakiku. Tetapi tidak peduli seberapa keras pun aku mencoba, aku tidak bisa menendang bola.
Dan seiring bertambahnya usia, minatku pada sepak bola semakin dalam. Ke mana pun aku pergi, aku membawa bolaku. Bahkan botol yang terdampar di jalan tampak seperti bola dari sudut pandangku.
Aku akan menendang botol itu dengan presisi yang tajam ke tong sampah, sambil membayangkan diriku melakukan tendangan bebas untuk negaraku di piala dunia.
Melihat antusiasmeku, ayahku berasumsi bahwa putranya akan tumbuh menjadi pemain bola yang hebat suatu hari nanti. Dan ayahaku benar-benar memenuhi harapannya hingga sesuatu yang buruk terjadi padaku.
Ayahku sendiri adalah penggemar bola, yang menyediakan segala yang kubutuhkan untuk berlatih. Namun, setiap kali ayahku mengajakku membeli kaus atau sepatu baru, ibuku akan memarahi kami.
Bagaimanapun juga, kami berasal dari keluarga kelas menengah. Atau lebih tepatnya, keluarga kelas menengah ke bawah. Uang yang diperoleh orang tuanku hampir tidak cukup untuk membayar sewa dan belanja.
Jadi, sepak bola adalah kemewahan bagi kami. Namun, ayahku masih menabung dengan tidak makan dan membayar biaya transportasi untuk memenuhi keinginanku. Koleksi barang antik sepak bola yang sangat disayanginya adalah sesuatu yang dibanggakan ayahki dan telah dikumpulkannya sejak ia masih muda, sebelum aku lahir.
Sebelum aku lahir, ayahku memiliki cukup uang untuk memenuhi hobinya. Namun, setelah aku lahir, segalanya berubah dalam keluarga. Pengeluaran meningkat dan situasi menjadi semakin sulit.
Namun, ayahku tidak pernah menyalahkanku. Sebaliknya, dia menyerah pada hobinya mengoleksi barang-barang sepak bola. Ia menyerah pada hobinya menonton sepak bola di stadion. Bahkan, ia juga berhenti menonton sepak bola di televisi. Ia malah mulai bekerja lebih lama dan sering lembur.
Namun, ia masih menyediakan waktu untukku dan mengajariku cara bermain sepak bola. Ayahku sendiri dulunya adalah seorang pemain sepak bola. Meskipun dia tidak pernah menjadi pemain profesional karena kurangnya bakatnya. Namun, dia tetap memberikan segalanya dan berusaha menjadi pemain profesional dengan sekuat tenaga.
Tidak seperti ayahnya, Hiro menunjukkan potensi yang besar sejak kecil. Bahkan saat bermain dengan anak-anak seusianya di sekolah dasar, ia biasa menggiring bola dengan mudah melewati setiap pemain di lapangan.
Setiap kali aku bermain, selalu ada banyak penonton yang menyemangatinya. Kesadaranku terhadap bola, keterampilanku, kecepatanki, penangananku, umpannku, dribelnkj, sentuhan pertamaku, semuanya luar biasa. Menyaksikanki bermain sama seperti menyaksikan dewa bermain sepak bola.
Dan karena alasan yang sama, aku biasa dipanggil dengan berbagai julukan di masa kecilku. Beberapa julukan itu termasuk 'alien, genius' dan yang paling menonjol, aku disebut sebagai 'dewa kecil'.
Namun, semua itu berubah ketika ligamenku robek saat mengikuti turnamen sekolah menengah. Cederaku serius, yang berkemungkinan besar tidak akan pernah sembuh. Dokter memperingatkanku bahwa aku tidak akan pernah bisa bermain sepak bola lagi, ketika ligamenku robek pada usia 13 tahun.
Hidupku terasa hancur mendengar berita itu, sku menangis seperti anak kecil. Aku merasa seolah-olah langit telah runtuh menimpaku ketika dokter itu mengatakan bahwa aku tidak akan pernah bisa bermain sepak bola lagi.
Orang tuaku memohon kepada dokter untuk memberikan semacam solusi agar aku bisa terus bermain sepak bola. Dokter itu pun menyerah dan menyarankan operasi.
Namun, tingkat keberhasilan operasi itu kurang dari 10 persen dan biaya operasinya sangatlah mahal. Itu lebih dari yang kami mampu. Bahkan jika kami menabung selama lebih dari 2 atau 3 tahun, kami tidak akan mampu membayar biaya operasi.
Namun, meskipun demikian, orang tuaku mengambil beberapa pinjaman dari beberapa bank. Dan meskipun itu tidak cukup, orang tuaku mengambil pinjaman dari rentenir yang kejam untuk menutupi biaya operasi, hanya untuk menjaga mimpiku tetap hidup.
Setelah mengumpulkan cukup uang untuk operasi, aku menjalani operasi untuk menyembuhkan kakiku. Operasi berlangsung selama lebih dari 6 jam. Namun, operasi itu tetap gagal.
Mareka tidak dapat menyembuhkanku sepenuhnya. Namun, mereka menyembuhkanku cukup untuk membiarkanku terus bermain sepak bola. Setelah operasi itu, aku menjalani beberapa terapi rehabilitasi untuk menyembuhkan kakiku.
Akhirnya setelah satu tahun penuh rehabilitasi, alu akhirnya bisa bermain sepak bola lagi.
Namun setelah cedera itu, aku tidak akan bisa bermain sepak bola sama lagi. Meskipun kesadaran spasialku dan kreativitasku masih sangat baik. Tubuhku tidak dapat bergerak, seperti yang kuinginkan.
Rasanya seolah-olah aku telah kehilangan makna hidupku. Kerumunan penonton yang dulu membombardir dipinggir lapangan dan memujiku atas permainanku,sekarang mencemoohku dan menganggapku sebagai pecundang setelah penampilanku yang buruk.
Seiring berjalannya waktu, kerumunan penonton pun bubar. Semakin sedikit orang yang datang untuk menontonku bermain. Meskipun aku merasa sangat sedih,aku juga merasa lega karena jumlah penonton semakin berkurang. Semakin sedikit penonton berarti semakin sedikit pula mengkritikku.
Aku tahu bahwa itu bukanlah pola pikir yang tepat untuk menjadi pemain profesional. Namun, aku tetap tidak bisa menahan diri. Bagaimanapun juga, kritikan keras mereka menusuk hatiku seperti pisau tajam dan mengalihkan perhatianku.
Rekan setimku yang dulu memuji kini berbalik melawanku setelah aku kehilangan kemampuan bermainku. Mereka mulai mengabaikan dan mengejekku.
Meskipun aku tidak menghiraukan ejekan mereka, aku juga tidak bisa mengabaikannya sepenuhnya. Sambil menanggung kritikan keras dari semua orang, aku terus berlatih, sambil menjaga mimpiku untuk menjadi pemain profesional tetap hidup.