Chereads / Layaknya Pelacur Itu (HIATUS) / Chapter 22 - Chapter 22 Daddy Days

Chapter 22 - Chapter 22 Daddy Days

Setelah selesai dalam pembelajaran, dia berjalan pulang. Melihat mobil Ayah nya sudah ada di pinggir jalan, dia mendekat ke sana dan melihat Ayah nya di luar mobil, tepatnya di depan mobilnya. Dia menatap dengan senyuman dan baju yang selalu dia pakai dengan makna yang sama.

Tuan Cilioen mendekat membelai pipi Raina. "Bagaimana hari mu?"

"Sangat baik, bisa kita langsung jalan jalan, Ayah?" tatap nya. Lalu Tuan Cilioen mengangguk pelan satu kali.

Mereka masuk ke dalam mobil dan mulai berjalan.

"Haa... Hari ini sungguh sangat santai... Apalagi besok adalah hari Ayah nya... Mungkin aku bisa memikirkan sesuatu untuk membuat kejutan agar Ayah bisa mendapatkan kejutan nya..." tatap Raina dengan semangat.

"Bukankah cukup sederhana saja Sayang? Jangan buat dirimu terbebani..." Tuan Cilioen menatap.

"Hehe... Ini baik baik saja... Hari Ayah tidak datang setiap hari, ini akan menjadi hari yang spesial..." tambah Raina. Tapi ia mendadak terdiam dan langsung menatap ke arah Tuan Cilioen. "Ayah... Kenapa, tak ada hari ibu?" tatapnya.

Seketika Tuan Cilioen terdiam tak menoleh padanya, cukup lama dia terdiam hingga menatap ke Raina dengan senyum kecil. "Mungkin suatu saat nanti, kamu bisa merayakan nya bukan?"

"Ah tidak perlu..." Raina langsung menyela membuat Tuan Cilioen terdiam. "Cukup ada hari Ayah saja yang bisa membuat ku senang..." tambahnya. Seketika Tuan Cilioen tersenyum dan membelai kepalanya. "Itu putriku...."

Kebetulan Tuan Cilioen melihat ada penjual es krim. "Sayang kau mau es krim?" dia tiba tiba bertanya.

"Eh es krim.... Aku pengen!!" Raina langsung bersemangat, tak di sangka dia langsung seperti melupakan kejadian tadi.

"Lihat, ada yang jual di sana," Tuan Cilioen menunjuk penjual es krim yang ada di pinggir jalan. Lalu mereka ke sana dan memberhentikan mobil untuk keluar membeli.

Dari sana Raina mendadak punya ide bagus, membuat nya menoleh pada Ayahnya. "Ayah... Aku ingin tahu apakah Ayah tahu apa yang aku suka dari rasa es krim?" tatap nya. Sepertinya dia memberi tes pada kepekaan Ayahnya.

"Ouh jadi kau minta Ayah untuk menebak es krim kesukaan mu?" Tuan Cilioen melirik ikut bercanda. Lalu Raina mengangguk.

"Tentu saja Ayah tahu itu Sayang, kau suka pada rasa vanila," kata Tuan Cilioen. Seketika Raina terkejut tak percaya. "Ba... Bagaimana bisa?!"

"Tentu saja bisa, Ayah bisa melihat kesukaan mu dari dulu. Sejak kecil kau lebih suka susu putih dari pada susu coklat maupun rasa yang lain nya. Kau juga suka membeli es krim susu, dan kue yang kau beli selalu berwarna putih dan berasa susu," Tuan Cilioen membalas dengan menyila tangan. Dia benar benar hebat dan peka.

"(Aww.... Sangat manis sekali, aku harap ini masih berlanjut hingga besok...)"

Paginya, Tuan Cilioen seperti biasa mengantar putrinya ke sekolah seperti biasa.

"(Aku hanya ingin sedikit berpikir, Ayah semalam tak ada lagi... Dia menghilang ketika aku terlelap dan juga, dia bangun bersama ku ketika pagi, aku tahu Ayah melakukan hal itu terus menerus. Meninggalkan ku ketika malam dan kembali bersama ku ketika menjelang pagi, bagaimana bisa aku tidak menyadari selama bertahun-tahun.)" Raina dari tadi berpikir seperti itu.

Lalu setelah sampai, dia akan turun dari mobil.

"Sayang," panggil Tuan Cilioen sebelum Raina pergi keluar dari mobil. Aku menoleh dan rupanya Ayah memberikan kotak kecil imut dan isinya adalah sebuah kue manis.

"Wah, terima kasih ayah," Raina menerimanya dengan senang.

"Apa jam 3 lagi?" tatap Tuan Cilioen memastikan.

"Ya, sampai jumpa ayah, aku Sayang Ayah," Raina mendekat mencium pipi Tuan Cilioen lalu dia tersenyum dan membalas. "Ayah juga sayang Raina."

Setelah itu Raina berjalan ke kelas. "(Aku berpikir, pekerjaan Ayah bukanlah pekerjaan yang harus di urus bersama, maksud ku... Jika memang bisa, Ayah bisa memberikan satu gedung nya untuk orang terpercaya, tapi dia tak melakukan nya sama sekali. Menyiksa diri dengan kesibukan nya dan juga hal ini membuat ku terganggu,)" pikir nya. Lalu ada pesan muncul dari ponsel nya. Itu dari Ayah nya tentu saja, baru saja Raina membicarakan nya dalam otak nya.

Tapi ketika membaca, wajah Raina benar benar tampak tak percaya melihat itu.

==Sayang, maaf kan Ayah, Ayah harus ke Eropa, Ayah akan pulang dua hari lagi==

"Apa?! Secepat ini.... Tidak... Aku tidak mau!" Raina panik dan langsung menghubungi Ayah nya itu. Bagaimana bisa, padahal baru saja di antar ke sekolah tapi dia malah mengirim pesan begitu pada Raina.

Untung nya Tuan Cilioen langsung mengangkat nya, dia belum selesai menyapa, Raina sudah menyela.

"Sayan---

"Ayah!! Kenapa Ayah pergi lagi!?" Raina berteriak dengan tak rela.

". . . Sayang, ini akan cepat, Ayah janji akan pulang cepat..."

"Tapi, Ayah berjanji sudah tidak pergi keluar negri lagi... Jika Ayah ingin pergi, Ayah harus membawaku!! Aku tak mau Ayah pergi.. Siapa yang akan menemani ku...." Raina mulai merengek, mau bagaimana lagi, dia sudah terlalu percaya padanya, padahal Tuan Cilioen juga sudah berjanji tak akan melakukan perjalanan ke luar negri, ini sangat menjengkelkan untuk Raina. "(Kenapa?! Kenapa selalu saja begini.... Aku tak suka yang beginian!!)"

". . . Sayang, di sini terlalu berbahaya untuk mu."

"(Kau mengatakan nya berbahaya, kenapa kau ada di sana jika itu berbahaya bahkan untuk ku, kenapa Ayah harus sesibuk ini... Tapi, aku sadar, mungkin aku harus bersikap dewasa, Ayah melakukan ini, mungkin juga ingin aku tumbuh dewasa tanpa dia.... Jadi aku, merelakan nya.) Baiklah... Hati hati," balas nya. Di saat itu juga, Raina mematikan ponsel nya tanpa mendengar apapun.

"(Aku mencoba untuk tidak menangis, aku kuat... Aku harus pergi ke kelas, yang harus aku lakukan hanyalah menunggu Ayah pulang di rumah.)"

"(Padahal aku baru saja berpikir soal pekerjaan Ayah, apa yang dia lakukan sebenarnya... Apa Ayah mencoba mengembangkan bisnis nya dan memperluas nya untuk ku, tapi itu pasti akan berat untuk ku... Aku bahkan tidak mengerti soal bisnis yang di jalani oleh Ayah, jika aku payah melakukan ini, aku juga tak akan bisa menjadi pewaris. Aku tak tahu harus apa lagi.)"

Tapi ada yang memanggil. "Raina!" rupanya Noe, dia langsung berjalan mendekat dan memukul pelan pinggang Raina. "Hei... Apa kabar, kenapa diam di sini?" dia menatap ceria, memang ceria di awal, tapi setelah menyadari Raina slow respon, dia langsung menatap wajah Raina yang teraliri air mata. Raina tak tahu wajah apa yang dia pasang, tapi Raina bisa mendengar suaranya panik tak percaya.

"Ya Tuhan, Raina! Kenapa!? Apa yang terjadi padamu?!" dia bahkan mengguncang kedua bahu Raina.

"(Aku tak ada pilihan lain selain mengatakan yang sebenarnya.) Hiks... Ayahku, dia pergi ke Eropa, tega sekali meninggalkanku lagi," suaranya bergetar saat mengucapkannya. Raina bahkan menutup wajah dengan kedua tangannya, air mata tak bisa dibendung lagi.

Noe, sahabatnya yang selalu ada, menepuk bahunya dengan lembut. "Oh, malang sekali, Raina... Tapi, coba pikirkan ini sebagai langkah menuju kedewasaan. Ayahmu pasti akan kembali, dan kamu akan lebih kuat setelah melewati semua ini."

"(Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Noe. Namun, di dalam hatiku, kesepian itu masih sangat terasa. Bagaimana mungkin aku bisa tumbuh dewasa tanpa ayahku yang selalu pergi jauh?)"

Setelah beberapa saat, Raina menghapus air mata nya dan mencoba tersenyum, meski masih terasa lemah. "Ya, mungkin kamu benar... Tapi tetap saja, aku merasa seperti selalu kehilangan Ayah. Dia pergi begitu sering, bahkan saat hari-hari penting."

Noe mengangguk pelan. "Kamu pasti merasa kesepian, kan?"

"Iya... Terlebih lagi, aku ingat beberapa kali kami harus melewatkan hari-hari spesial. Bahkan, saat Hari Ayah tahun lalu, Ayah tak bisa merayakannya denganku. Aku sudah mempersiapkan hadiah dan rencana makan malam, tapi di hari itu dia mendapat telepon mendadak dan harus pergi ke luar negeri lagi."

"Raina..." Noe menatap nya penuh simpati, seakan berusaha memahami apa yang Raina rasakan.

Raina menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Ayah selalu bilang kalau dia melakukan ini demi masa depanku, demi membangun bisnis yang suatu hari nanti akan diwariskan kepadaku. Tapi aku tak pernah meminta itu... Yang aku inginkan hanyalah lebih banyak waktu bersamanya, bukan gedung-gedung besar atau kekayaan. Setiap kali dia pulang, rasanya seperti dia hanya seorang tamu di rumahku, bukan bagian dari hidupku."

Noe mencoba menyela, "mungkin Ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu..."

"Ya, mungkin... Tapi terkadang aku merasa dia lebih memilih pekerjaannya daripada aku. Bahkan, beberapa kali aku berpikir, apakah aku benar-benar menjadi prioritasnya?" Raina menunduk, mata nya kembali berkaca-kaca. "Aku tahu dia mencintaiku, tapi cinta itu terasa jauh, seperti selalu terhalang oleh kesibukannya. Aku harus belajar menerima bahwa ini adalah bagian dari hidupku."

Noe terdiam sejenak membuat Raina berpikir. "(Aku bisa merasakan dia sedang berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menenangkan perasaanku, tapi aku tahu, kata-kata saja takkan cukup.)"

"Apa yang paling membuatmu berat, Raina?" tanyanya akhirnya.

Raina berpikir sejenak sebelum menjawab. "Mungkin... rasanya seperti aku harus menerima kenyataan bahwa Ayah tak bisa selalu ada untukku. Aku harus selalu berpikir tentang pekerjaannya, tentang bisnis yang suatu hari nanti akan diwariskan padaku, padahal aku bahkan tidak yakin aku menginginkannya. Aku takut tidak akan bisa menjalankannya, takut mengecewakan Ayah... Semua itu terasa begitu berat."

Noe tersenyum lemah. "Kamu tidak sendirian, Raina. Aku yakin, apapun yang kamu putuskan di masa depan, Ayahmu akan tetap bangga padamu. Tapi, mungkin sekarang kamu hanya perlu berbicara lagi dengannya, dan benar-benar menyampaikan betapa pentingnya kehadirannya untukmu."

Raina menjadi menghela napas panjang. "Aku sudah mencoba, Noe. Setiap kali aku mengutarakan perasaanku, dia selalu berjanji untuk memperbaikinya. Tapi nyatanya, situasi tetap sama. Selalu ada alasan baru, selalu ada perjalanan mendadak. Pada akhirnya, aku harus terbiasa dengan kesepian ini."

Mereka berdua terdiam. Suasana di sekitar sekolah terasa hening, hanya angin yang berembus lembut.

"Apa yang paling ingin kamu lakukan kalau Ayahmu tidak terlalu sibuk?" tanya Noe tiba-tiba.

Raina tersenyum kecil, mencoba membayangkan sesuatu yang selama ini hanya menjadi angan-angan. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya tanpa gangguan. Mungkin pergi ke suatu tempat, sekadar menikmati waktu bersama. Atau, merayakan hari-hari spesial seperti Hari Ayah tanpa harus merasa kecewa karena dia harus pergi lagi."

Noe mengangguk, memahami. "Itu pasti menyenangkan. Dan aku yakin suatu saat Ayahmu akan menyadari betapa pentingnya kehadirannya untukmu."

Raina menjadi tersenyum kecil. "Aku harap begitu. Meski sulit, aku tak mau menyerah. Bagaimanapun juga, Ayah adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki."