Matahari sore menyinari halaman rumah Rizal dengan hangat, menembus dedaunan pohon mangga yang rindang. Di teras belakang rumah, Rizal, Aldo, dan Bayu duduk santai sambil menikmati segelas teh es buatan Bu Wati, ibu Rizal. Mereka bertiga sudah berteman dekat sejak tahun pertama masuk SMK Kewirausahaan dan Manajemen Terpadu, dan hari ini mereka sengaja berkumpul untuk sekadar menghabiskan waktu bersama.
Rizal, yang mengenakan kaos polos dan celana jeans, adalah seorang pemuda Minang dengan wajah yang selalu ceria. Ia dikenal sebagai anak yang pintar dan memiliki kemampuan analitis yang tajam, terutama dalam hal keuangan dan bisnis. Rizal sering kali menjadi "bendahara" bagi mereka karena sifatnya yang teliti dan penuh perhitungan.
Di sebelahnya, Aldo duduk sambil menyilangkan tangan di dada. Dengan postur tubuh tegap dan senyum ramah, Aldo adalah seorang remaja Batak yang selalu membawa energi positif di antara teman-temannya. Walau cenderung perfeksionis, ia sangat menghargai kejujuran dan kesetiaan. Aldo terkenal dengan suara baritonnya yang khas, sering kali terdengar di lapangan basket atau saat berdebat di kelas. Ia seringkali menjadi "inisiator" bagi tim mereka.
Bayu, yang duduk paling dekat dengan pintu belakang, adalah seorang remaja Jawa dengan rambut ikal dan kulit sawo matang. Dia dikenal sebagai anak yang kuat dan atletis, sering menjadi andalan dalam tim basket sekolah. Meski terlihat tangguh di luar, Bayu sebenarnya adalah orang yang peduli dan selalu siap membantu teman-temannya. Selain itu, Bayu adalah anak yang kreatif dan punya banyak ide. Beberapa idenya menjadi "Problem Solver" buat teman-temannya
Saat itu mereka sedang asyik bercanda tentang pertandingan basket terakhir yang mereka mainkan bersama di sekolah.
"Bay, lemparan tiga angkamu kemarin keren banget! Ambo kira bola itu ndak akan masuk!" Rizal tertawa, menirukan gaya melempar bola Bayu dengan sedikit berlebihan.
Bayu terkekeh, menepuk pundak Rizal. "Ya, jelas to, Zal! Aku itu udah latihan terus tiap hari, masa ga ada hasilnya?"
Aldo, yang sedari tadi mendengarkan sambil tersenyum, menambahkan, "Iya Zal, lagian Bayu ini kan calon kapten tim basket di sekolah kita. Sepertinya Kapan-kapan aku harus nonton kamu main, Bay."
"Harus itu, Do! Biar kamu bisa lihat aku nge-dunk lagi!" balas Bayu dengan semangat, membuat mereka bertiga tertawa lagi.
Di tengah keceriaan mereka, tiba-tiba Arif, adik Rizal yang masih duduk di bangku SD, masuk ke halaman belakang dengan sesenggukan dan mata merah. Dia langsung berlari menuju ke arah Rizal dengan langkah terburu-buru.
"Bang...," suara Arif serak, hampir tak terdengar. "Bang, tadi aku diminta uang jajan sama anak-anak dari sekolah lain..."
Rizal segera bangkit dan menghampiri adiknya. "Hah, Ado yang minta uang sama kamu, Rif? Coba cerita ke abang."
Arif duduk di kursi sambil menangis terisak, bercerita bagaimana tadi ketika dia berjalan pulang, tiba-tiba ada sekelompok anak-anak dari sekolah lain mencegatnya dan meminta uang jajannya. Dia hendak berlari tapi dia merasa takut, karena anak-anak itu badannya lebih besar dari dirinya. Dengan berat hati Arif pun memberikan uang jajannya kepada mereka. Tapi ketika hendak pergi, salah satu dari mereka bilang besok suruh kasih uang jajan lagi sama mereka.
Rizal menghela napas panjang, dia merasa sedikit marah tapi pikiran rasionalnya membuatnya tidak menuruti kemarahannya. "Sabar dulu ya, Rif. Kita cari jalan keluar yang terbaik buat atasi ini."
Mendengar cerita Arif, Aldo teringat kejadian setahun lalu ketika mereka bertiga baru masuk SMK. "Rif, kamu tahu nggak? Kak Aldo dulu juga sempat ngalamin hal kayak gini waktu baru masuk sekolah."
Arif memandang Aldo dengan mata berair, tampak sedikit terkejut. "Serius, Bang?"
Bayu mengangguk sambil tersenyum simpul. "Iyo, Rif. Aku juga waktu awal masuk juga ngalamin. Waktu itu kita nggak kenal satu sama lain, tapi kejadian yang membuat pertemenan kami jadi kuat dan sekarang malah sahabatan."
Rizal menyandarkan punggungnya ke kursi dan mulai mengenang hari pertama mereka di SMK. "Iya, ambo ingat banget. Waktu itu, ambo baru aja bikin akun sosial media buat kenalan sama kawan-kawan baru. Ternyata, ado yang nggak suka dan mulai nyebarin meme-meme jelek soal ambo di grup kelas."
Aldo menambahkan, "Aku juga nggak beda jauh, Rif. Aku baru pindah dari Medan dan waktu itu masih agak susah buat adaptasi. Aku pernah mendapatkan rumor dan fitnah yang tidak benar tentang diriku."
Bayu menghela napas, matanya memandang kosong ke arah langit. "Kalau aku hampir sama kayak kamu Rif, kena bully secara fisik. Ada kakak kelas yang iri dengan prestasiku. Beberapa kali aku mendapat pukulan dari dia dan temen-temennya."
Aldo menepuk bahu Arif, mencoba menenangkan adik sahabatnya itu. "Jadi kita ngerti banget apa yang kamu rasain, Rif. Dan kamu nggak sendiri. Kita akan bantu kamu buat ngadepin semua ini, ya?"
Arif mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang mendengar cerita mereka. Dia tidak pernah menyangka bahwa ketiga kakaknya itu juga pernah mengalami hal yang sama.
Mereka bertiga duduk lebih dekat dengan Arif, memberikan semangat dan keyakinan bahwa dia bisa melalui ini semua. Mereka saling bertukar cerita dan tertawa bersama, mengingat masa-masa sulit yang akhirnya membawa mereka pada persahabatan yang erat.
Arif sudah merasa lebih tenang, kemudian dia menatap kakak-kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. "Bang, kakak-kakak... Gimana sih dulu ceritanya? dan gimana abang-abang bisa keluar dari masalah itu? Arif pengen denger cerita lengkapnya."