Gadis itu sedang membaca puisi kuno, dengan pelan mengucapkan "Balada Pemain Pipa." Ada satu bagian yang tak pernah bisa ia hafalkan.
Tiba-tiba bahunya diremas, dan di luar rasa sakit, ia juga terkejut.
Ia menjerit, mencengkeram tas sekolahnya erat, dan secara instinktif mencoba kabur.
Namun bahunya dipegang teguh; tak peduli sekeras apa ia mendorong dengan kakinya, ia tak bisa bergerak.
Gadis itu menoleh ke belakang dengan takut dan melihat seorang gadis yang jauh lebih tinggi darinya, yang membuatnya semakin ketakutan.
Suaranya bergetar, sehalus suara nyamuk: "Siapa kamu? Kamu mau apa?"
"Serahkan," ulang Ying Zijin sambil mata dingin, "Tiket masuk ujian Wen Tinglan."
Mendengar kata-kata terakhir itu, ekspresi gadis itu berubah drastis, dan ia mundur.
Ia menekan kepanikan di hatinya dan mencoba tetap tenang, suaranya perlahan-lahan meningkat: "Kamu bicara apa? Aku tidak kenal Wen Tinglan, jadi bagaimana aku bisa punya tiket masuk ujiannya?"