Tapi setiap kali ia teringat pada masa-masa ia tidak ada di sana, adiknya lah yang telah merawat orang tua mereka, bahkan mengurus semua urusan setelah mereka meninggal sendirian.
Dia hanya tidak bisa membawa dirinya untuk menjadi tak berperasaan.
Kala itu, ia sibuk berlarian ke sana-kemari, menjalankan banyak tugas khusus.
Dia tidak bisa pulang untuk menengok orang tuanya walau sekali saja.
Secara logika, sebagai kakak laki-laki, semua tanggung jawab ini seharusnya adalah miliknya, tapi semuanya malah jatuh ke pundak adiknya.
Xia Bowen tidak bisa tidak memikirkan tablet leluhur orang tuanya yang disimpan di kuil, tugas yang diambil secara diam-diam. Meski itu tahun delapan puluhan, tak ada seorangpun yang berani melakukan hal seperti itu secara terang-terangan.
Jika ada yang mengetahui dan melaporkan, dia akan mendapat masalah besar.
Oleh karena itu, dia secara alami tidak berani membiarkannya diketahui.
Saat itu, ia begitu marah pada adiknya sampai ia mengutuknya.