AWALMULA
"Kali ini tempat sialan mana lagi yang kudatangi."
*******
Hari ini sama seperti hari-hari biasanya. Aku terbangun dari tidurku, memikirkan apa yang akan kukerjakan hari ini dan segera beranjak dari tempat tidur. Ya, cukup membosankan memang mengerjakan kegiatan yang sama terus-menerus, hanya saja aku punya satu hal yang sangat senang kulakukan, menulis di blog pribadiku tentang mitos dan kepercayaan nenek moyang dengan komputer tercintaku.
Memang terdengar bodoh, bahkan terkadang aku juga merasa sangat geli sampai ingin membenturkan kepalaku saat sedang menulis suatu hal tentang ini, tapi tak bisa dipungkiri kalau memang aku suka meneliti tentang mitos dan kepercayaan turun-temurun, bahkan di era yang sudah modern ini.
"Memang siapa yang masih percaya mitos?" gumamku.
Di usiaku yang ke-23, aku seharusnya sudah menemukan jalanku, entah itu menjadi atlet terkenal atau pilot seperti keinginanku saat kecil. Tapi di sini aku, terjebak sebagai pengangguran yang hanya bisa menulis di blog dengan hasil yang sedikit.
Sudah-sudah, lupakan tentang diriku yang seperti pecundang itu. Lebih baik fokus dengan apa yang kukerjakan saat ini, meskipun tidak jelas, tapi aku menyukainya.
Banyak hal yang sudah kutulis di blog pribadiku, seperti kebenaran soal mitos bahwa waktu kita kecil, kita dilarang untuk memakai pensil yang sudah seukuran jari kelingking yang mengakibatkan kematian orangtuanya, ada pula larangan menyapu di malam hari, larangan membunuh makhluk hidup ketika istri sedang mengandung, dan banyak hal lain yang serupa.
Hobi ini dimulai karena orangtuaku dulu sering memperingatkan ku tentang banyak hal waktu aku kecil dan mereka punya gudang perpustakaan tentang kepercayaan nenek moyang.
Setiap kali aku pergi ke perpustakaan, aku seperti menemukan harta karun. Di antara buku-buku tua yang berdebu, aku menemukan catatan tentang mitos kuno yang hampir terlupakan, seperti larangan menyapu di malam hari yang diceritakan oleh ibuku. Mitos-mitos ini bukan sekadar cerita bagiku, mereka mengingatkanku pada masa kecil ketika aku duduk di pangkuan ibuku, mendengarkan kisah-kisah yang membuatku berimajinasi.
Banyak hal yang telah ku baca di sana, sampai tanpa sadar aku telah mencoba untuk membuktikan kebenarannya.
Momen ini juga memicu keinginanku untuk melakukan eksperimen kecil. Baru-baru ini, aku mencoba melihat apakah benar dilarang memukul meja seperti alat musik bisa mendatangkan sial. Aku sendiri bahkan tertawa sesaat setelah sadar bahwa aku mematuhi mitos itu, dan aku hanya bisa tersenyum. Hal-hal aneh ini menarik perhatianku.
Waktu telah menunjukkan jam 12 siang, ini adalah waktu biasa aku memulai menulis di blog pribadiku. Aku memulainya segera, tapi menulis tidak semudah itu. sering kali aku dihadapkan pada tembok yang tinggi untuk berpikir menemukan ide apa yang harus kutulis seperti saat ini.
"Sepertinya keluar untuk membeli beberapa cemilan adalah ide bagus sekarang," kataku sambil menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, mengangkat tangan di belakang kepala menjadikannya sebagai bantalan secara bersamaan.
Aku beranjak meninggalkan meja dan komputerku, berjalan keluar kamar, dan segera pergi ke toko yang jaraknya tidak lebih dari 30 meter. Siang ini cerah dengan langit biru tanpa awan, sinar matahari menyinari jalanan dan memberikan kehangatan yang menyenangkan. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membuat perjalanan ke toko terasa nyaman.
Aku telah membeli beberapa cemilan dan beberapa minuman bersoda yang kurasa sangat menyegarkan. Saat aku akan segera kembali ke rumahku, aku bertemu dengan wanita cantik yang tidak lain adalah teman semasa kecilku, bahkan dari jauh aku sudah bisa mengenalinya. Meskipun cantik, dia mempunyai kelakuan yang terkadang membuatku merasa kesal. Aku cukup dekat dengannya, terlepas karena dia teman kecil, dia juga teman saat di sekolah. Selama 12 tahun kami selalu berada di sekolah yang sama, bahkan tempat tinggalnya berada tepat di sebelah rumahku. Dia sangat suka memukulku entah kenapa, bahkan tanpa alasan, dan wanita itu bernama Eva Azzura.
"Hai Zoe, tumben melihatmu keluar di siang hari seperti sekarang," teriaknya sambil melayangkan satu genggaman ke lenganku.
"Hai Eva. Tau ga, aku sedang merasa kesulitan untuk menulis, jadi aku mencari udara segar dan siapa tahu aku menemukan inspirasi untuk tulisanku. Bisa tidak kamu menyapa tanpa memukul seperti itu?" kataku sambil tertawa kecil.
"Ahhh, itu hanya pukulan kecil. Jangan terlalu diambil hati. Lagipula, aku tahu kamu butuh sedikit dorongan," bantahnya sambil terkikik menutup mulutnya. "Apa yang sedang kamu tulis kali ini? Mitos lagi?"
"Yap, mitos lagi. Kali ini tentang larangan memukul-mukul meja sebagai alat musik. Mungkin kamu bisa membantuku dengan ide-ide segar," jawabku sambil tersenyum.
Eva mengangkat alisnya. "Memukul meja sebagai alat musik? Seriusan? Kenapa enggak? Bukankah itu menyenangkan?"
"Ya, tapi mitosnya bilang itu bisa mengundang sial. Bagaimana kalau kamu kasih ide lain? Mungkin hal-hal yang lebih 'aman'?" balasku.
Eva tertawa. "Benar juga. Tapi kenapa, hal-hal aneh justru lebih menarik perhatianmu? Lagi pula, apa salahnya dengan memukul meja? Kadang aku juga butuh meluapkan rasa kesal dengan cara itu."
"Karena hal-hal aneh itu menarik. Lagipula, bukannya kamu juga suka cerita seram waktu kita kecil?" balasku.
Eva tertawa. "Benar juga. Ingat nggak waktu kita mencoba memanggil hantu dengan cermin di kamar mandi?"
"Tentu saja ingat! Kamu yang berteriak paling keras saat cerminnya retak, bukan aku," kataku sambil menggoda.
"Itu karena cerminnya benar-benar retak! Sampai sekarang aku masih nggak ngerti kenapa bisa begitu," jawabnya sambil tertawa. "Tapi serius, Zoe, kamu nggak capek nulis terus-terusan? Kapan terakhir kali kamu keluar rumah buat bersenang-senang?"
"Yah, kalau bersenang-senang berarti harus ketemu kamu tiap hari, mungkin aku butuh liburan dari semua pukulan itu," balasku dengan nada bercanda.
Eva menepuk lenganku lagi, kali ini lebih lembut. "Dasar, nggak usah lebay. Aku serius, Zoe. Kamu perlu rehat sejenak. Kenapa nggak kita keluar malam ini? Mungkin makan malam atau nonton film?"
Aku tersenyum. "Kedengarannya bagus. Tapi malam ini aku perlu menulis, setidaknya menyelesaikan draft ini. Mungkin besok?"
"Oke, besok malam kita jalan. Jangan ada alasan, ya!" Eva menatapku dengan tatapan serius, tapi dengan senyum di wajahnya.
"Deal. Sekarang, biarkan aku kembali dan menyelesaikan tulisanku sebelum kamu membuatku tergoda untuk bolos," kataku sambil tertawa.
Alih-alih ingin segera mengakhiri percakapanku dengannya, aku malah berakhir dengan pukulan yang tepat sasaran menerjang keras di perutku. Setelah dia sepertinya sudah sangat lega, akhirnya dia pergi tanpa mengucapkan apapun dan tertawa terbahak-bahak.
"Dasar wanita gila," teriakku dan segera berjalan kembali ke rumah.
Tawa kecil Eva masih terdengar di telingaku saat aku kembali ke rumah.
Setelah sampai, aku ingin memakan cemilan yang kubeli tadi sambil membaca buku di perpustakaan milik orangtuaku, mencari beberapa referensi agar aku bisa melompat dari tembok yang menghalangi tanganku untuk menulis. Mungkin akan memakan banyak waktu, tapi itu lebih baik daripada melanjutkan tulisanku sekarang yang hanya akan membuatku menemui kebuntuan.
Saat sedang mencari buku, tanpa sengaja aku menjatuhkan buku yang berada paling pojok ruangan. Aku berusaha untuk mengambilnya dan mengembalikan buku tersebut ke tempatnya. Tak disangka, di balik buku tersebut, lebih tepatnya di belakang rak, aku melihat satu buku yang terselip, hampir terjatuh dengan satu sentuhan saja. Aku tak pernah menyadari ada buku di balik rak ini. Penasaran, aku mencoba untuk mengambilnya, ruangan di sekitar tiba-tiba bergetar, tapi tidak sampai bisa menjatuhkan semua rak yang ada. Pintu yang terbuat dari rak terbuka dengan diiringi getaran dalam ruangan.
Rasa penasaran dan sedikit ketakutan mulai menyelimuti pikiranku. Apa maksud dari semua ini? Mengapa ruangan ini belum pernah ku lihat sebelumnya dan mengapa orangtuaku tidak pernah memberi tahu apapun tentang hal ini?