Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Di Tawar 100 Juta Semalam

loonalala
--
chs / week
--
NOT RATINGS
369
Views
Synopsis
"apa ini, kenapa aku bisa ada di tempat ini" ujarku saat baru membuka mataku, semuanya gelap namun aku menyadari bahwa tubuhku tidak ada sehelai kain pun yang menempel alias aku telanjang bulat. Sebuah tangan menarik tubuhku, menariknya dalam pelukan dan tiba tiba lampu menyala. Mataku terbelalak melihat seorang pria mendekap tubuhku dalam keadaan telanjang bulat. Kami berdua benar benar tak memakai apa apa di atas ranjang itu. Aku bingung sekaligus panik saat itu, bagiamana bisa aku berada di sana dengan seseorang yang tak ku kenal. Sampai aku menyadaris sesuatu yang terjadi semalam. Aku menatap mata pria itu dengan tatapan bingung dan pria itu menarik tubuhku semakin dalam. "Seratus juta ini akan menjadi milikmu" ujarnya padaku.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 Tawaran

Arshel terbangun dengan kepala berat seperti dihantam palu godam. Pandangannya kabur, namun matanya perlahan-lahan terbuka dan sejenak ia mencoba mengenali sekeliling. Ini bukan kamarnya. Bukan apartemennya. Ini... kamar hotel?

"Apa...," gumamnya lirih.

Perlahan, kesadarannya kembali dan tanpa sengaja tangannya meraba tubuhnya yang telanjang bulat di balik selimut. Jantungnya langsung melonjak ke tenggorokan.

"Tubuh... TUBUH GUE TELANJANG?!"

Histeria menyelimuti pikirannya. Ia spontan meraih selimut, menariknya lebih erat untuk menutupi tubuhnya yang tak berbalut sehelai benang pun.

Tapi yang lebih mengejutkan lagi, ada pria tak dikenal tidur di sebelahnya, dengan tubuh tegap, rambut hitam acak-acakan, dan wajah tenang yang masih terlelap.

"APA INI?" Arshel berteriak, suaranya melengking membuat pria di sampingnya tersentak bangun. Pria itu mengusap matanya dengan malas, lalu menoleh ke arah Arshel.

"Hah? Apa yang...?" Pria itu berkata dengan suara serak. "Ada apa sih?"

Arshel memandangnya dengan mata melebar, hampir tak percaya. "GUE TELANJANG, LO TELANJANG! LO APAIN GUE SEMALAM?"

Pria itu, yang kini tampak lebih jelas, duduk perlahan. Wajahnya tampak lelah tapi santai, seolah kejadian ini bukan hal baru baginya. "Eh, tunggu dulu. Kenapa lo tiba-tiba ribut begini? Kita ada di kamar hotel, wajar dong kalau..."

"WAJAR KEPALA LO!" potong Arshel, menutup tubuhnya dengan lebih erat. "Lo apain gue semalam?! Jangan bilang lo... MERENGGUT GUE!"

Pria itu mendengus pelan, seolah merasa lucu dengan tuduhan itu. Ia menggeleng, lalu memandang Arshel dengan senyum tipis di bibirnya. "Kamu yang mabuk berat, lalu menjajakan diri kamu sendiri, sekarang malah nyalahin gue? Lucu banget sih."

Arshel mendengarnya, tapi otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan pria itu. "APA?!" Teriaknya semakin kencang. "Jangan ngaco lo! Gue nggak mungkin..."

Pria itu hanya menatapnya datar, lalu dengan malas-malas mengangkat selimutnya. "Yaudah, liat deh sendiri," katanya sambil menunjuk pakaian Arshel yang berceceran di lantai. Gaun merah mini Arshel yang biasa dipakai ke club, sepatu hak tingginya yang salah satunya terguling di sudut kamar, dan tas kecilnya yang terbuka dengan barang-barangnya berantakan.

Seketika itu juga, memori kabur Arshel tentang malam sebelumnya mulai kembali. Bayangan gelas demi gelas cocktail yang ia tenggak di club bersama teman-temannya. Momen ketika ia mulai tertawa terbahak-bahak tanpa sebab, dan... lalu blackout. Arshel menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, ini terlalu aneh.

"Kamu siapa?" tanya Arshel akhirnya, suaranya mulai sedikit lebih tenang meski masih penuh kecurigaan.

Pria itu memandangnya dengan tatapan datar, sebelum menjawab. "Nadelon. Tapi panggil aja Delon."

"Gue nggak tanya nama lo, gue tanya lo siapa! Kenapa lo di sini?!"

Delon mengangkat bahu. "Lo yang ngajak gue ke sini, bukannya gue yang nyulik lo."

Arshel menggigit bibir bawahnya, merasa panik lagi. "Gue ngajak lo? Gue... GUE NGGAK INGAT!"

"Nah itu masalahnya. Lo mabuk berat. Kalau mabuk jangan kebanyakan ngomong. Tuh, liat aja. Lo bahkan sempat ngomong sesuatu yang lebih parah semalam."

Mata Arshel melebar. "APA?! APA YANG GUE BILANG?"

Delon terkekeh, lalu meraih dompet di meja samping tempat tidur. "Lo bilang lo lagi butuh uang. Trus lo bilang, 'Lo mau gue gak? Nih badan gue, asal lo bayar...' Ya, gue gak tau apakah itu serius atau enggak, tapi lo keliatan meyakinkan banget waktu ngomong gitu."

Arshel terperangah, merasa perutnya mual mendengar penuturan Delon. "Gila lo!" jeritnya, wajahnya memerah karena malu. "Gue nggak mungkin..."

"Yah, sekarang lo bangun di sini sama gue, jadi..."

"GUE DIBAYAR BERAPA?" Arshel hampir menangis, suaranya menggigil. "Apa lo beneran..."

Delon, yang tampaknya merasa geli dengan kekacauan ini, mengeluarkan setumpuk uang dari dompetnya dan melemparkannya ke tempat tidur. "Gue nggak ngebayar lo semalam. Tapi gue punya ide yang lebih menarik buat lo."

Arshel menatap uang itu dengan bingung. "Apa maksud lo?"

Delon menatapnya dengan santai, lalu menjawab, "Karena gue suka sama tubuh lo, gue tawar lo 100 juta setiap malam kalau lo mau bareng gue lagi."

Seluruh dunia Arshel terasa berputar. "100... 100 JUTA?!"

Delon mengangguk ringan, seolah apa yang ia katakan adalah hal yang paling biasa di dunia. "Iya. Lo punya badan yang menarik. Jadi kenapa enggak? Gue kasih lo tawaran yang bagus, kan?"

Arshel melongo, matanya membesar. "Lo... LO GILA? LO NGIRA GUE APA?!"

Delon tertawa kecil. "Eh, jangan salah paham. Gue nggak maksud ngerendahin lo. Gue cuma... well, gue suka, jadi gue kasih tawaran. Itu aja."

Arshel melotot tak percaya. "Lo kira gue mau di-*tawar* kayak gitu? Gue bukan barang, Delon!"

Pria itu mengangkat tangan dengan santai. "Eh, santai aja, gue cuma nawarin, kok. Kalau lo nggak mau, ya udah. Gue nggak maksa."

Arshel memelototi Delon, otaknya berusaha mencari kata-kata untuk membalas, tapi mulutnya seakan terkunci. Dalam kebisuan itu, Delon malah meraih handuk dari meja samping, melilitkannya di pinggangnya, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

"Gue mandi dulu, ya. Lo tenangin diri lo aja dulu. Nanti kita bisa obrolin soal 100 juta itu lagi kalau lo udah lebih waras."

"GUE NOLAK!" Arshel menjerit sambil melempar bantal ke arahnya, tapi Delon hanya tertawa sebelum menghilang ke dalam kamar mandi.

Sementara itu, Arshel terduduk di tempat tidur, napasnya terengah-engah. 100 juta? Setiap malam? Gila! Pria ini jelas orang kaya tapi...

Mata Arshel berkeliling, memerhatikan kamar hotel yang tampaknya sangat mewah. Lampu gantung kristal, jendela besar dengan pemandangan kota, dan ranjang berukuran king yang begitu nyaman. Ini jelas bukan hotel sembarangan. Tapi kenapa dia, Arshel, bisa sampai di sini? Dan apa maksud Delon dengan tawaran anehnya tadi?

Beberapa saat kemudian, Delon keluar dari kamar mandi, mengenakan celana jeans dan kaus putih yang sederhana. Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil menatap Arshel yang masih terpaku di ranjang.

"Lo siap?" tanyanya santai, seolah semua kejadian ini tak lebih dari obrolan kasual di warung kopi.

"Siap apa?" Arshel membalas dengan nada sinis.

Delon tersenyum lebar. "Siap buat gue tawar lebih tinggi kalau lo masih nggak terima 100 juta."

Arshel menatapnya dengan tajam, lalu mendengus keras. "Lo bener-bener ngira lo bisa beli orang ya? Gua nggak bakal semudah itu, Delon."

Delon tertawa pelan, lalu melangkah mendekat. "Tenang aja, gue suka tantangan. Jadi lo mau pikirin lagi, atau kita lanjut ke sesi negosiasi berikutnya?"

Arshel melemparkan tatapan penuh kemarahan, tetapi di dalam hatinya, ada kebingungan besar yang belum bisa ia singkirkan. Siapa pria ini sebenarnya? Kenapa dia bisa begitu santai? Dan yang lebih penting, kenapa tawaran itu terasa seperti jebakan yang berbahaya namun... menggoda?

Arshel duduk di tepi ranjang, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Kepalanya masih berdenyut, seperti efek dari mabuk yang belum sepenuhnya hilang. Tapi yang lebih membingungkannya adalah pria di depannya yang begitu tenang dan penuh percaya diri. Seolah-olah situasi aneh ini hanya perkara sepele baginya. Delon, dengan rambut hitam yang masih basah dan senyum santai di bibirnya, tampak tak terganggu sedikit pun.

Arshel, di sisi lain, merasa seolah dinding kamar itu semakin menyempit, menghimpitnya. Pikirannya kacau, namun satu hal yang jelas: dia tidak ingat apapun tentang malam sebelumnya. Bagaimana mungkin dia bisa mabuk sampai tidak sadar dan—oh, Tuhan—telanjang bersama pria asing di kamar hotel?

"Lo nggak serius kan dengan tawaran 100 juta itu?" Arshel akhirnya angkat suara, meski bibirnya terasa kering. "Lo lagi ngetes gue, ya?"

Delon mengangkat alis, senyum simpul masih bermain di wajahnya. "Serius banget. Gue nggak pernah bercanda soal uang."

"Kalo gue lapor polisi, lo tau kan, lo bisa kena masalah?" Arshel mencoba menggertak, meski suaranya sedikit goyah.

Delon hanya tertawa kecil, membuat Arshel semakin geram. "Lapor polisi? Dan bilang apa? 'Saya mabuk berat, terus tawarin badan saya sendiri buat duit?'" Ia meniru suara Arshel dengan nada mengejek. "Gue yakin polisi bakal langsung percaya cerita lo, Shel."

Arshel terdiam, hatinya dipenuhi kebencian yang bercampur dengan rasa malu. "Lo bener-bener sombong, ya?" gumamnya, matanya menelusuri Delon dari atas ke bawah. Pria itu berdiri di sana, penuh dengan keyakinan diri yang tampaknya tidak bisa digoyahkan.

"Tapi yang lo nggak ngerti, gue bukan orang yang bisa lo beli," lanjut Arshel, matanya menatap tajam ke arah Delon. "Gue nggak peduli berapa banyak lo nawar gue. Gue bukan cewek murahan."

Delon mengangkat bahu, seolah tak tersinggung sedikit pun. "Ya udah. Gue cuma kasih opsi, kok. Kalau lo nggak mau, ya nggak apa-apa. Tapi gue yakin, dalam keadaan lo sekarang, tawaran gue cukup menarik."

Arshel terdiam sejenak, menelan kata-kata Delon. Memang benar, keadaan finansialnya sedang terpuruk. Tagihan apartemen menumpuk, pekerjaannya sebagai model freelance tidak selalu menghasilkan banyak uang, dan... sial, ia benar-benar butuh uang. Tapi 100 juta? Untuk tidur dengan pria asing? Bukan cuma menjijikkan, itu gila!

"Lo kenapa sih, percaya diri banget?" Arshel akhirnya melemparkan pertanyaan yang sudah berkecamuk di kepalanya sejak tadi. "Lo pikir dengan duit lo, lo bisa beli semua orang?"

Delon, yang kini duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar kota melalui jendela besar kamar hotel itu. "Bukan soal beli orang, Shel. Gue cuma tau, di dunia ini, ada banyak hal yang bisa lo dapet dengan uang. Dan gue juga tau, semua orang punya harga. Sekarang tinggal masalah lo mau nerima atau enggak."

Perkataan itu membuat Arshel terdiam lagi. Dia ingin menyangkal, tapi entah kenapa, ada sedikit kebenaran dalam kata-kata Delon. Semua orang memang punya harga. Tapi bukan berarti dia akan menyerah pada permainan ini.

"Tapi kalo lo mikir gue bakal nerima tawaran lo, lo salah besar," tegas Arshel, meski suaranya sedikit bergetar. Dia berusaha keras menunjukkan keteguhan hatinya, meski di dalam dirinya, ada rasa takut yang tidak bisa ia abaikan.

Delon berdiri dan berjalan ke arah pintu. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah Arshel dan tersenyum lebar. "Gue nggak maksa. Gue kasih lo waktu buat mikir. Kalo lo berubah pikiran, lo tau gimana cara hubungin gue."

Setelah Delon pergi, Arshel mendesah keras, tubuhnya jatuh ke ranjang. Pikirannya berputar, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan ini. Apa yang baru saja terjadi? Dan siapa sebenarnya pria bernama Delon itu? Kenapa dia begitu tenang dan seolah mengendalikan segalanya?

Ia bangkit dari ranjang dan mulai memunguti pakaian-pakaiannya yang berserakan di lantai. Sesekali, ia menatap pintu kamar, seolah-olah Delon bisa kembali kapan saja. Setelah berpakaian, ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap uang yang ditinggalkan Delon di atas bantal. Setumpuk uang itu mengilap dalam cahaya pagi yang masuk melalui tirai jendela.

Apakah dia benar-benar menawarkan 100 juta setiap malam? Arshel memegang uang itu dengan ragu, merasakan tekstur kertasnya yang dingin. Tawaran itu terasa gila, tidak masuk akal. Tapi di sisi lain, 100 juta bisa menyelesaikan banyak masalah dalam hidupnya.

Saat ia termenung, ponselnya berbunyi. Arshel terlonjak dan segera meraih ponselnya dari lantai. Nama 'Tika' terpampang di layar. Tika adalah adik perempuan Arshel.

"Hallo kak, kakak di mana di mana, kak?" suara Tika terdengar panik di ujung telepon. "Ibu, ibu pingsan kak, aku di rumah sakit, kakak cepetan ke sini" ujar adiknya penuh kepanikan.

Ponsel itupun terjatuh ke lantai