Indri menendang-nendang kerikil dibawah nya sembari menghela nafas. Hampir dua jam lamanya ia menunggu jemputan dari Ayahnya di depan sebuah cafe yang dekat dengan SMA-nya.
Lelah menunggu, gadis itu akhirnya berjalan memasuki cafe dan duduk disalah satu kursi yang disediakan. Memesan lava cake dan segelas jus strawberry.
Tring~
Suara bell dari pintu cafe yang terbuka membuat Indri menoleh, berharap itu adalah sang Ayah. Namun justru ia menemukan Lafina yang membawa totebag dengan terburu-buru.
Disamping gadis bermanik almond itu terdapat pemuda tampan berhoodie hitam. Lafina tampak menatap sinis pemuda itu yang dibalas tatapan datar.
Indri bimbang, antara ingin menyapa atau membiarkan dan berpura-pura tak kenal dengan gadis itu. Namun pada akhirnya tubuh dan mulutnya seolah bergerak sendiri kala Lafina melewati mejanya.
"Hei! Lafina-kan? Lagi ngapain disini?"
Lafina menoleh ke arah Indri sebelum tersenyum kecil. "Ini cafe bunda gue. Lagian Lo nggak balik? Masih seragaman begitu." Lafina menatap pakaian yang Indri gunakan. Almamater putih khas anak bahasa miliknya pun tersampir apik di atas meja.
"Gue ada kerkom tadi, so saudara gue pulang duluan semua." jawab Indri dengan singkat. Lafina hanya mengangguk sembari tersenyum dan kemudian pamit untuk ke belakang.
"Lo tunggu di luar sana deh Bang, ganggu!" ledek Lafina yang dibalas jitakan di kening nya.
Ctak!
"Aduh!" Lafina refleks mengelus dahi nya yang memerah karena tenaga cowok itu dalam menyentil dahi nya tidak main-main.
"Sakit woi! Jidat paripurna gue!" dan tanpa memiliki rasa bersalah, cowok berhoodie hitam yang tak lain dan tak bukan Araksa mulai melangkah menjauh dari Lafina tanpa sepatah kata pun.
Raksa berjalan ke arah motornya yang terparkir diparkiran cafe. Cowok itupun membuka handphone nya sembari menunggu sang Adik yang mengantar pesanan bunda mereka.
Araksa kemudian mengalihkan pandangan nya mendengar seseorang memanggil nya.
"Nak!" Araksa menoleh ke-kanan dan ke-kiri kemudian berhenti pada pria paruh baya yang menatap nya dari tempat yang tak terlalu jauh.
"Saya Om?" tanya Araksa sembari menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi yang cukup konyol.
"Iya kamu, kamu liat anak SMA yang nunggu di sini nggak?" Raksa refleks menunjuk ke dalam cafe, tepat ke arah Indri dan Lafina yang masih berbasa-basi tidak jelas - menurut Raksa - dan bertanya dengan raut wajah yang tampak polos.
"Itu anak yang Om cari kah?" Pria paruh baya itu mengangguk singkat dan mengucapkan terimakasih sebelum berjalan memasuki cafe dengan langkah ringan.
***
"Papah?" Indri menatap seseorang yang berjalan dari balik tubuh Lafina.
Sontak saja Lafina ikut menatap ke belakang karena penasaran. Dua netra yang sama persis saling beradu pandang sejenak. Tak lama, karena Lafina mengalihkan pandangan dan pamit lantaran sang bunda baru saja memanggil nya.
"Itu tadi siapa kamu dek?" Rafael bertanya sembari menatap penuh arti kepergian Lafina.
"Temen satu sekolah Pah! Udah ah, ayo pulang. Aku udah kelaparan tahu!" Rafael tidak mengindahkan perkataan Indri dan justru mengeluarkan sejumlah uang merah dari dompet nya kala matanya menatap siluet wanita yang amat familiar dimatanya.
"Kamu pulang sendiri! Papah ada urusan mendadak!" melihat sang Ayah yang pergi menaiki lantai dua cafe tanpa menoleh ke arahnya membuat Indri mengerjapkan matanya bingung.
"Tuh aki-aki kenapa? Kesambet Kunti kah waktu jalan kesini?" monolog Indri seraya menghitung uang yang diberikan sang ayah.
"Lima ratus ribu anjay! Bisa jajan dulu nih gue."
***
Nafhisa melempar tatapan tajam ke arah lelaki yang dulu berhasil menghancurkan dan memporak-porandakan hidup nya.
"Mau apa kamu?" tanya Nafhisa tanpa berbasa-basi. Ruang kerjanya di cafe menjadi alternatif pertemuan mendadak mereka karena Rafael yang memaksa berbicara.
"Dimana Anak ku?" Rafael menatap mata Nafhisa yang kini menatap penuh kebencian ke arahnya.
"Anak? Sejak kapan aku membawa Anak mu?" tanya Nafhisa dengan nada jijik yang terselip dalam nada ucapan nya.
"Kau jangan berbohong Nafhisa! Aku tahu kau membawa anak-ku bersamamu!" Rafael mengepalkan tangannya. Maniknya menatap datar Nafhisa yang kini menatap angkuh dirinya.
"Aku membuang anakmu itu, apa kau puas?" Nafhisa memasang seringai di wajah nya yang masih tampak cantik walaupun sudah berumur.
"Kau!?" Rafael mengangkat tangan kanannya hendak memberikan tamparan pada wanita yang dulu menjadi salah satu mainannya.
Namun, tangan nya justru tergantung di udara sebelum mencapai Nafhisa. Sesaat kemudian Rafael menarik turun tangan nya dan mengacak rambutnya kesal.
Nafhisa menatap malas pria dihadapannya. "Kenapa? Kau tidak ingin menampar ku hah?" Nafhisa menyunggingkan senyum miring pada wajahnya.
"Kenapa kau membuang anakku? Dia darah daging mu Nafhisa!" Rafael meninggikan suaranya saat mengatakan nama wanita yang ada di depannya saat ini.
"Kau masih bertanya? Tentu saja aku tak sudi membesarkan anak mu itu!" kecam Nafhisa yang kembali mendatangkan helaan nafas dari Rafael.
"Kalau begitu, dimana adikmu? Bagaimana dengan anakku yang dikandung oleh adikmu itu?" tanya Rafael dengan nada datar dan tatapan menuntut ke arah Nafhisa.
"Dasar pria tak tahu malu! Adikku tiada setelah melahirkan anakmu dan aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya! Bukankah kau yang menghancurkan ku dan keluarga ku? Kenapa kau mencari anak yang dulu tak ingin kau pertanggung jawabkan?" Nafhisa meninggikan suaranya. Cacian dan makian ia curahkan pada pria dihadapannya.
"Karena aku takut anakku memanen karma dari perbuatanku dulu." Rafael berucap lirih, yang bahkan tak mungkin bisa didengar oleh Nafhisa.
Sepergi nya Rafael, Lafina dan Forestya yang bersembunyi didalam lemari disudut ruangan langsung keluar dengan suara ribut yang cukup jelas. Bahkan, sekarang ini Nafhisa tengah menatap tajam ke arah mereka berdua.
"Untung saja Rafael tidak menyadari kalian ada di dalam sana!" Nafhisa beranjak berdiri kemudian menjewer telinga kedua anak nakalnya itu.
"Aduh! Ampun Ndaa, Lafi kan mau anterin makanan pesanan Bunda tadi!"
"Awww! Tapi kan Bunda yang suruh Tya kesini!"
Lafina dan Forestya kompak memprotes seraya mengelus telinga mereka yang memanas. Dengan ekspresi cemberut.
"Lagian kenapa sih, tua bangka itu disini? Ganggu aja!" Lafina mencibir dengan nada julid nya diselingi dengan anggukan dan celetuk dari Forestya.
"Iya tuh,, udah bapak-bapak masih mau sasimo!" lanjut Forestya mengikuti nada bicara yang Lafina gunakan. Sesaat kemudian, keduanya tertawa dengan kompak. Nafhisa menggelengkan kepalanya, merasa pusing dengan tingkah laku anak-anaknya.
"Kalian ini, Bunda cuma mau ingatkan lagi. Saat ini kalian berdua adalah anak angkat dari David Erlangga. Putri angkat Bunda juga paham? Jangan sampai identitas asli kalian bocor ke luar ngerti?" Lafina mengangguk mengerti seraya mengangkat jari tangan kanannya membentuk 'okey'.
Sementara Forestya hanya tersenyum membalas ucapan sang Bibi, atau mungkin, sekarang ia adalah Ibu angkat nya.
"Yaudah, Bunda mau lanjut kerja!" sekeluarnya sang Ibu dari ruangan itu. Raut ceria Lafina berubah pias.
Manik almond nya melirik Forestya yang menundukkan wajahnya menyembunyikan raut wajahnya yang mungkin lebih buruk dari Lafina.
'Aku tahu itu hanya pura-pura, tapi rasa nya tetap sakit Bund. Aku, ngerasa dari awal Bunda punya tujuan lain buat ngerawat aku.' Lafina menggigit bibir bawahnya. Melampiaskan perasaan aneh yang terus hinggap di hati nya.
***
"Dia siapa Pah?" Indri menatap penuh selidik pada sang Ayah.
Begitupun Neisya serta Azyana.
"Ini Kakak kedua kalian setelah Alkanno. Anthea Silviana. Kalian akur dengan saudara kalian okay?"
Tbc...