Setelah mengulangi latihan selama tiga hari, matahari mulai menyinari puncak menara Akademi Megalytri, menyinari lapangan latihan di mana Raye dan teman-temannya telah menghabiskan tiga hari terakhir. Suasana di akademi tampak tegang, dengan para calon siswa yang berkumpul di berbagai sudut halaman, sibuk mempersiapkan diri untuk ujian yang tinggal sehari lagi.
Raye, Vilsa, Ariq, Gelya, dan Izyi duduk di bawah pohon besar di halaman akademi, menikmati sejenak ketenangan di antara sesi latihan mereka. Yudi berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan siswa lain yang sedang berlatih. Meskipun mereka semua telah berlatih keras selama tiga hari terakhir, rasa cemas dan antisipasi masih menghantui mereka.
"Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri," Raye bergumam sambil memandang ke langit. "Sudah tiga hari kita berlatih, tapi rasanya masih banyak yang belum kita kuasai."
Vilsa, yang duduk di sebelahnya, menatap Raye dengan mata tajam. "Kau tidak bisa terus mengeluh, Raye. Ujian ini adalah kesempatan kita untuk membuktikan diri. Jika kita tidak memberikan yang terbaik, maka semua usaha ini akan sia-sia."
Gelya tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. "Vilsa benar, Raye. Kita hanya perlu tetap fokus. Lagipula, kita tidak sendirian. Yudi sudah banyak membantu kita."
Izyi, yang duduk agak jauh dari yang lain, mengangguk. "Ya, dan kita sudah lebih kuat dari saat pertama kali tiba di sini. Kita hanya perlu yakin pada diri kita sendiri."
Raye menatap teman-temannya satu per satu, menyadari bahwa mereka semua berbagi perasaan yang sama - cemas tapi bersemangat. Mereka tidak hanya bersiap untuk ujian; mereka juga mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia baru ini dengan segala tantangannya.
Wyva mendekati mereka dengan senyum ramahnya, membawa nampan berisi minuman segar. "Ini, kalian pasti haus setelah latihan. Minumlah, ini akan membantu kalian lebih rileks," katanya sambil membagikan minuman.
"Terima kasih, Wyva," kata Ariq. "Kau selalu tahu bagaimana membuat orang merasa lebih baik."
Wyva tersenyum, matanya berbinar dengan kehangatan. "Itulah yang bisa kulakukan. Lagipula, kita semua ada di sini untuk saling mendukung, bukan? Besok akan menjadi hari yang besar, dan kita harus siap secara fisik dan mental."
Yudi bergabung dengan mereka, terlihat sedikit lelah tetapi puas. "Aku melihat kalian semua bekerja keras," katanya. "Kita pasti akan bisa melewati ujian ini. Aku yakin."
Mereka menghabiskan waktu bersama, menikmati minuman dan bercanda, mencoba melupakan tekanan ujian yang semakin dekat. Waktu berlalu dengan cepat, dan sebelum mereka menyadarinya, senja mulai tiba, mengubah langit menjadi warna oranye keemasan.
Ketika malam tiba, mereka kembali ke asrama mereka. Raye duduk di dekat jendela, memandang ke luar dengan mata penuh pikiran. Di luar, bintang-bintang mulai muncul, satu per satu, menghiasi langit malam. Pikiran Raye melayang, membayangkan apa yang akan terjadi besok dan memikirkan bagaimana khawatirnya kedua orang tuanya beserta guru dan teman kelas lainnya. Dia tidak bisa memungkiri perasaan cemas yang menggigit di hatinya.
Ariq, yang memperhatikan Raye dari tempat tidurnya, mendekatinya. "Raye, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Raye menoleh, tersenyum kecil. "Aku tidak tau, hanya berpikir. Besok adalah ujian besar, dan aku juga memikirkan bagaimana khawatirnya kedua orang tua kita, teman-teman kita, dan guru-guru kita disana."
Ariq menepuk bahu Raye dengan lembut. "Ya... Kurasa kamu benar, aku juga khawatir dan penasaran apa yang mereka lakukan disana ya ketika kita pergi ke dunia baru ini. Namun, jangan terlalu dipikirkan, jangan buang-buang tenaga dan pikiran kita hanya untuk hal-hal yang telah berlalu, saat ini fokus lah untuk memikirkan bagaimana kita bisa lolos ujian dan kembali ke dunia asal kita."
Raye mengangguk, merasa lebih tenang dengan kata-kata Ariq. "Kau benar. Kita akan melewati ini bersama."
Malam itu, mereka semua berbaring di tempat tidur masing-masing, memikirkan hari besar yang akan datang. Mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi besok, itu akan menjadi awal dari petualangan yang lebih besar di dunia Oneiro ini.
Namun, di sudut asrama yang gelap, Wyva duduk dengan mata tertutup, merasakan aliran energi sihir di sekitarnya. Dia tahu bahwa ujian besok bukan hanya tentang masuk ke Akademi Megalytri; itu juga tentang mempersiapkan diri untuk takdir yang lebih besar yang menunggu mereka. Sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Dengan napas pelan, Wyva membuka matanya, melihat teman-temannya yang sudah terlelap. "Kami akan siap," bisiknya dalam hati. "Untuk apapun yang datang, kami akan siap."
Dan dengan itu, malam pun bergulir, menyelimuti mereka dalam tidur yang tenang, menyongsong hari penentuan yang akan segera datang.