Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Iraganean

seracaca
--
chs / week
--
NOT RATINGS
824
Views
Synopsis
Setelah perasaannya tertolak, Cheryl memutuskan untuk membolos sekolah. Pada saat pulang menggunakan sepeda, dia menemukan sebuah jam aneh. Jam tersebut memunculkan sebuah hologram, dan membuat dirinya pergi ke masa lalu. Tepatnya tahun 1993. Bagaimana Cheryl bisa mengatasi dirinya sendiri yang tiba-tiba pergi ke masa lalu?
VIEW MORE

Chapter 1 - 0.1: Tahun 2021

———

[ World 1 earth code: #2745 ]

14 April 2021

Aku tengah mengerjakan tugas fisika yang sejujurnya tidak kupahami sama sekali. Aku menoleh ke samping dan hanya menemukan wajah Jesselyn yang mengantuk. Bahkan sepertinya, gadis itu akan terlelap.

"Benda ini disebut gerak jatuh bebas karena tidak memiliki kecepatan awal, lalu ditambah dengan gravitasi dan waktu."

Guru di depan masih menerangkan materi yang tidak kupahami sama sekali. Entah itu kecepatan benda yang jatuh, ataupun benda yang memantul. Aku sedikit heran, kenapa hal seperti itu harus diukur?

Bukannya apel jatuh ya sudah jatuh saja. Kenapa harus dihitung kecepatan awal, kecepatan akhir, jarak, dan sebagainya?

Aku menaruh tanganku di dagu. Walaupun aku berpikir seperti barusan, aku tetap harus memperhatikan materi tersebut. Tentu saja agar aku menjadi pintar, lalu esoknya menjadi Albert Einstein, aku akan menyebut diriku jenius jika bisa mengerjakan salah satu soal fisika yang ada di papan. Walaupun berlapis sin cos tan yang bahkan belum kuhafalkan sejak kelas sepuluh.

Tunggu, aku belum memperkenalkan diriku sendiri. Aku Cheryl, lebih tepatnya Violin Karina Cheryl. Tetapi, kebanyakan orang dan orang tuaku memanggilku Cheryl. Jika ada yang bilang namaku seperti nenek-nenek tua, aku akan memukul kepalanya. Namaku itu keren, seperti orang-orang barat.

Nyatanya aku cuma gadis lokal alias asli Indo yang tinggal di salah satu tempat di Jakarta. Umurku saat ini adalah tujuh belas, aku belum memiliki kartu kependudukan sipil karena aku malas membuatnya. Hanya untuk meluangkan waktu ke kantor kecamatan dan melakukan perekaman, aku merasa malas sekali. Serta aku belum bisa memakai motor, dan masih was-was jika mengendarainya.

Saat aku naik motor rasanya menakutkan, karena berada di ambang hidup dan mati. Apalagi terus terpikirkan salah satu teman seusiaku yang kecelakaan hingga tengkoraknya dibuka, itu mengerikan sekali.

Aku mengambil bolpoinku lalu mulai menulis di buku. Setengah populasi dari anak-anak di kelas sudah menaruh kepala mereka diantara lipatan tangan. Bahkan Jesselyn yang ada di sampingku juga sudah tertidur.

Tiba-tiba aku merasa jika mataku hampir terpejam. Tidak, tidak, ini tidak boleh. Bu Erni menjelaskan materi ginematika gerak gaya lurus dengan ikhlas, aku tidak bisa terpejam seperti ini. Tidak boleh. Lalu, mataku menangkap sosok yang duduk agak jauh dariku.

Teman sekelasku, Alvendino Kenan Vino. Pemuda berparas menawan, sedikit cantik, memiliki kulit yang putih, dan sudut mata yang terkesan imut. Kenan selalu dianggap sebagai pemuda yang cantik tetapi juga tampan. Pinggangnya yang ramping pun terkadang membuat para gadis bahkan termasuk aku sedikit iri.

Aku mempunyai perasaan lebih padanya.

Aku tidak bohong, aku menyukai Kenan sejak awal semester di sekolah menengah atas. Kami satu kelas sejak dulu, beberapa kali terlibat pembicaraan jika satu kelompok dan mengerjakan tugas. Kenan friendly, tetapi cukup pemarah. Sekarang dia menjabat sebagai pengurus kelas, dan jabatannya adalah sekertaris kelas.

Tidak hanya aku, beberapa gadis juga ada yang menyukainya sama sepertiku. Tetapi, tiap aku mendengar gosip ada yang menyatakan perasaannya pada Kenan, selalu berakhir tertolak. Orang-orang bilang Kenan tidak tertarik untuk menjalin hubungan sewaktu sekolah menengah atas.

Tetapi entah bagaimana sekarang aku berakhir dengan berjalan ke arahnya. Kenan menatapku bingung dengan memasang wajah seolah menanyakan ada apa. Sementara, teman-temannya di sebelahnya hanya tertawa kecil. Aku menghembuskan nafasku sesaat, jika aku kembali mundur Jesselyn akan makin memarahiku.

"Kenan, bisa ngomong berdua aja?"

Dan sekarang kami berada di gedung belakang sekolah. Kenan menatapku bingung, sementara aku menundukkan kepalaku.

"Kenan, sebenarnya aku suka kamu." Ujarku dengan lirih sembari mendongak, menatap ke arah Kenan yang menatapku sedikit terkejut. Kemudian, tanganku mengambil sebuah coklat silverqueen dari saku seragam, dan menyerahkannya pada Kenan. Kenan hanya bergeming di tempatnya, tidak bicara apapun.

Setelah hampir satu tahun lamanya, akhirnya aku bisa menyatakan perasaanku padanya. Ada perasaan lega yang cukup besar di hatiku, seolah aku bisa menghembuskan nafas. Namun, di sisi lain, aku takut dengan tanggapan Kenan soal perasaanku.

Aku takut bernasib dengan gadis-gadis yang pernah dia tolak.

"Kamu suka aku?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya barusan juga intonasi suaranya yang terdengar tajam.

"Iya, aku suka kamu."

"Sejak kapan?"

Aku menelan ludahku gugup. "Awal semester saat kelas sepuluh."

Kenan tiba-tiba mengambil coklat milikku dan langsung membuangnya di tanah. Aku kaget bukan kepalang dan merasa sangat takut di tempatku. Coklat yang kubeli dengan tidak jajan satu minggu tersebut hanya berakhir patah menjadi dua di atas tanah yang lembap.

"Cheryl, dengarkan aku baik-baik." Ujar Kenan dengan suara yang begitu tajam.

Aku mendongak dengan badan yang bergetar. Netra mataku terarah pada manik matanya yang menatapku tajam.

"Sejak awal aku tidak memiliki perasaan pada siapapun. Dan aku tidak ingin berhubungan dengan siapapun, bahkan termasuk kau."

Detak jantungku berdebar-debar karena ketakutan. Aku hanya menatap Kenan dengan tatapan takut, tidak berani menjawab satu pun kata dari mulutnya.

"Kau pasti mendengar banyak yang menyatakan perasaannya padaku, tetapi berakhir kutolak mentah-mentah."

Sudut mata Kenan menatap dengan sebuah kemarahan.

"Itu termasuk kau, Cheryl. Bahkan kupikir, kau gadis yang tidak menarik sama sekali."

Selanjutnya, aku bisa merasakan rasa sesak dari dadaku. Perasaanku ditolak dengan Kenan, bahkan terlampau begitu menyakitkan karena dia membuang coklat yang kuberikan.

"Lebih baik kau enyah dari hadapanku."

Setelah mengatakan itu, Kenan berjalan pergi dari hadapanku. Langkahnya begitu cepat hingga aku yang menoleh hendak menatap punggungnya sudah menghilang. Kemudian, aku merasakan sesuatu keluar dari sudut mataku. Aku mengusapnya, tetapi air mataku terus menetes.

Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Setelahnya, aku hanya bisa menangis terisak di gedung belakang sekolah. Aku berjongkok di tempatku, dan menyembunyikan wajahku yang menyedihkan diantara lutut dan lipatan tanganku.

Aku berharap hari ini segera berakhir, dan bisa melupakan kejadian barusan.

———

"Heh! Kamu!! Jangan membolos!!!"

Satpam berteriak ke arahku dengan cukup kencang, tetapi aku tidak mengindahkan hal tersebut dan terus melaju dengan sepedaku. Aku berhasil keluar dari gerbang sekolah dan merasa sedikit lega saat bisa menghirup udara dari luar sekolah. Setelahhya, aku terus mengayuh sepedaku untuk menjauhi sekolah.

Aku tengah berhenti di lampu merah sama seperti pengendara yang lain. Kemudian, kembali melaju saat lampu berubah hijau. Aku mengayuh cukup santai tidak seperti sebelumnya. Aku menoleh ke samping dan menemukan taman kota yang sedikit sepi. Sampai-sampai tidak sadar ada mobil yang melaju cepat dari belakang dan sedikit menyenggol sepedaku. Lantas, aku terjatuh ke bawah.

"Aduh..." aku merintih kesakitan saat merasa sepeda yang menubruk di atas tubuh bawahku. Aku berusaha memberdirikan sepedaku, tetapi tenagaku tidak cukup kuat.

Mobil mewah yang menabrakku pun berhenti sekitar lima ratus meter di depanku. Aku bisa melihat pintu mobil tersebut terbuka dan seseorang keluar dari sana, bahkan berlari ke arahku. Tetapi saat aku mendongak untuk melihat wajahnya, sinar matahari berada di belakangnya, karenanya aku tidak melihat apapun. Dia segera memberdirikan sepedaku. Kemudian, mengulurkan tangannya ke arahku.

"Maafkan aku, apakah kamu baik-baik saja?" Ujarnya dengan sopan.

Aku menerima uluran tangannya, terasa kasar. Lalu saat aku berdiri, aku akhirnya tahu jika orang di depanku adalah seorang pria paruh baya. Bahkan, rambutnya sudah beruban. Dia segera menarik tangannya, lalu menatapku dengan wajah bersalah.

Aku mengibaskan kedua tanganku. "Tidak apa-apa kok, Pak. Saya baik-baik saja." Aku berujar seperti itu padahal lututku sedikit sakit, tampaknya berdarah.

Pria tersebut menyadari jika lututku berdarah. Lalu, dia mengambil sesuatu dari saku di bahunya. Sebuah obat betadine, lalu memberikannya padaku. Aku sedikit heran kenapa dia bahkan bisa membawa obat betadine di sakunya.

"Aku benar-benar sangat minta maaf. Apa kau berkenan jika ke rumah sakit? Akan ku bayar biaya administrasinya."

"Oh! Tidak! Saya baik-baik saja kok pak. Justru saya berterima kasih sudah dikasih obat."

Dia menghela nafas. "Baiklah kalau seperti itu. Aku akan pergi dahulu. Maaf jika sudah mengganggu waktunya."

Setelahnya dia tersenyum ramah ke arahku, lalu berbalik dan berjalan pergi menuju mobil mewah miliknya. Kemudian, mobil mewah tersebut melesat pergi dengan begitu cepat melewati jalan ibu kota. Selepas kepergian mobil tersebut, aku hendak menuntun sepedaku menuju taman, tetapi tatapanku teralihkan pada sebuah jam tangan yang ada di atas aspal.

"Ya ampun, mungkin itu punya orang tadi." Aku mengambilnya, lalu menatap jam itu lama. Hanya sebuah jam digital biasa, aku merasa jika harus membawanya, karena pemilik tadi mungkin mencarinya.

Aku menuntun sepedaku masuk ke dalam taman. Kemudian, aku duduk dan mengobati luka di lututku dengan betadine yang diberikan oleh orang barusan. Setelah menunggu cukup lama, lukaku seketika menutup dan aku menganggapnya sembuh.

Aku mengambil jam tangan dari saku rok ku. Lalu, aku menatapnya cukup lama, bahkan sesekali memencet tombol-tombol aneh di sekitar jam tersebut. Walaupun jam digital itu nampak seperti jam digital pada umumnya, entah struktur atau bahan pembuatnya, menurutku jam ini terlihat mewah.

Sampai akhirnya aku terus memencet jam tersebut hingga muncul sesuatu dari jam tersebut. Sebuah hologram sebesar layar komputer muncul dari jam tersebut. Aku terkejut di tempatku hingga melemparnya ke tanah. Aku menatap jam yang ada di atas tanah dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Lalu, aku kembali memungutnya.

Aku menaruhnya di tanganku, kemudian aku memencet salah satu tombol dan hologram itu muncul. Hanya ada tulisan-tulisan berbahasa inggris dan angka-angka aneh. Aku menatapnya aneh, lalu tanganku justru bergerak mengotak-atik tulisan-tulisan bahkan angka-angka yang tampak seperti pemograman. Sampai akhirnya, ada sebuah kotak dengan tulisan besar, dan tiga tulisan berkotak lain di bawahnya.

[ WHAT TIME DO YOU CHOOSE? ]

[ DATE ] [ MONTH ] [ BIRTH ]

Aku mematung sebentar di tempatku sembari membaca tulisan yang ada di hologram tersebut. Masalahnya aku tidak bisa berbahasa inggris, sial. Aku tidak memahaminya.

"Alah, pokok isi aja lah."

Tanganku bergerak mencari di dalam kotak date dan memilih tanggal hari ini, juga bulan hari ini. Lalu, saat memilih birth aku memilih 1993. Aku tidak tahu apa artinya itu, aku hanya mengikuti kata hatiku dan mencoba-coba. Toh katanya mencoba sesuatu yang tidak pernah adalah hal yang bagus bukan.

"Tunggu apakah ini jam waktu?"

Namun saat aku berujar seperti itu, aku sudah selesai mengisi kotak-kotak barusan. Aneh, aku merasa jika waktu terhenti. Aku menatap ke sekitar dan seluruh dunia seolah terhenti. Burung-burung yang hendak berterbangan terdiam di tempatnya tidak bergerak sedikit pun. Bahkan daun-daun yang terhempas angin juga tidak bergerak. Kendaraan yang lalu lalang pun juga terhenti di tempatnya.

"Apa ini?"

Setelahnya, ada suara aneh kemudian aku merasa jika aku tersedot dalam jam. Lalu, aku hanya merasakan sebuah kegelapan.

———

14 April 1993.

Saat aku membuka mataku dengan terburu-buru. Aku berada di tengah jalan, di sekitarku waktu juga masih terhenti, dengan pemandangan yang sama sekali tidak familiar. Namun, saat aku menatap ke depan, aku langsung melotot terkejut saat ada sebuah truk yang masih berdiam di tempatnya tetapi mengarah padaku.

Kemudian, waktu kembali berjalan.

Tin!! Tin!!! Tin!!!!

Aku segera melompat hingga mencapai pinggir jalan. Nafasku tidak beraturan dan aku terduduk di atas aspal dengan wajah penuh keterkejutan. Aku merasa jika orang-orang di sekitarku tampak menghampiriku. Namun ini aneh, kenapa mereka tampak bergaya seperti orang-orang dahulu? Aku berdiri dan menemukan orang-orang dengan style aneh di belakangku.

"Nduk, kamu engga apa-apa??" Seorang Ibu-ibu menatapku dengan khawatir. Ibu-ibu dengan kerudung yang bagian dahinya menempel dengan dahi. Tampak seperti style orang-orang zaman dahulu.

"Saya tidak apa-apa kok." Jawabku dengan intonasi kosong. Aku masih shock dengan hal tadi.

Setelahnya, aku berjalan-jalan di pinggir jalan. Mataku terus menelisik ke arah sekitar. Ini sangat aneh. Mobil-mobil yang lalu lalang di jalan tampak seperti mobil era tahun 90-an, bahkan aku tidak menemukan ponsel dimanapun.

Aku berhenti melangkah lalu membaca sebuah poster yang terdapat di atas jalan raya Ibukota yang aneh.

14 April 1993.

"Hah?" Itu kata yang keluar dari mulutku setelah membacanya.

Tahun 1993. Tahun 1993? TUNGGU SEKARANG AKU BERADA DI TAHUN 1993?

Aku terkejut bukan kepalang saat tahu dan tanganku terarah pada kepalaku. Mulutku membuka sempurna, begitu terkejut hingga tidak bisa berbicara apapun. Aku tidak bisa percaya ini, apa aku kembali ke masa lalu? Hei, itu tidak mungkin, bagaimana bisa aku kembali ke masa lalu coba?

"HAHHH!" Aku berteriak dengan keras hingga orang-orang di sekitarku menatapku aneh. Mereka pasti mengiraku gila sekarang. Tapi bagaimana tidak gila jika tiba-tiba kau berada di tahun 1993?

Aku berlari sekuat tenaga entah ke arah manapun.

Baik ini membingungkan. Awalnya aku hanya mengambil jam itu dan berniat untuk mengembalikan pada pemilik yang sebenarnya. Tetapi aku justru memakainya dan hologram itu muncul. Karena tulisan berbahasa inggris aku hanya asal-asalan memencetnya. Kemudian aku berada di tahun 1993.

Orang mana yang tidak gila mengetahui jika awalnya dia berada di tahun 2021. Lalu, sekarang berada di tahun 1993.

Aku lelah berlarian ke sana kemari tidak tentu arah dan hanya menemukan kota Jakarta dengan style yang kuno. Aku duduk di kursi kayu yang ada di taman, lalu memijat pelipisku.

"Hahahah ini pasti mimpi. Aku pasti bermimpi." Ujarku sendiri sembari tertawa-tawa tidak jelas.

Aku bisa merasakan tatapan aneh dari penjual tahu keliling yang duduk di undakan tangga taman. Namun, aku mengabaikannya. Bahkan saat aku kembali ke masa lalu, aku masih menenteng tas dan memakai baju khas sekolah menengah atasku. Aku mengambil tasku, mataku melotot saat menemukan ponselku bahkan di dalam tas aku juga punya charger.

Aku membuka ponselku, lalu menyadari jika tidak ada sinyal sedikitpun di sini. Tatapan aneh orang-orang mulai terarah padaku. Karena sedikit takut, pada akhirnya aku mengembalikan ponselku ke tas. Kemudian, ada buku fisika, matematika, gila, kenapa aku harus membawa mereka semua coba?

Aku menaruh tasku di sampingku. Lalu saat aku melipat kedua tanganku, mataku langsung tertuju pada jam tangan yang melingkar di tanganku. Aku mulai menyentuhnya, bahkan menekan tombol-tombol di jam tangan tersebut. Tetapi anehnya, hologram itu sama sekali tidak muncul.

Aku makin frustrasi di tempatku. Hari mulai sore, dan sekarang aku tidak tahu dimana tempatku berpijak.

"Haah.. Dimana aku akan tidur sekarang?" Aku memggaruk rambut panjangku.

Setelahnya aku bertekad untuk mencari keberadaan rumahku sendiri walaupun di tahun 1993. Aku menghentikan sebuah angkutan umum lalu mulai menyebutkan alamat tempatku tinggal. Setelahnya, angkutan umum tersebut mulai mengantarku.

Namun saat hendak membayarnya, sopir angkut tidak menerima uang yang kuberikan karena katanya uang tersebut terkesan aneh. Lalu pada akhirnya membuatku menerima tumpangan gratis. Aku berterima kasih padanya, kemudian mulai berjalan ke arah rumahku.

Rumahku tampak aneh karena tampilannya yang berbeda. Aku memberanikan diriku untuk mengetuk pintu, mungkin aku bisa bertemu dengan Ibu yang sekarang seusiaku, ataupun nenek. Apapun itu aku butuh tempat tinggal sekarang.

Pintu terbuka. Namun, seorang wanita asing yang cukup gemuk membukanya. Aku merasa tidak mengenal wanita ini. Dimana nenek ataupun Ibu?

"Siapa?"

"Saya boleh bertanya soal orang yang pernah tinggal di sini?"

"Hah? Rumah ini yang membangun saya, saya yang dari dulu menempatinya." Jawab wanita tersebut dengan nada gusar.

"Apa mungkin Ibu mengenal Daya Indri Fera?"

"Itu siapa?! Saya tidak kenal! Tolong pergi!"

Setelahnya pintu tertutup sempurna. Aku makin frustrasi di tempatku. Lalu, pada akhirnya kakiku berjalan pergi. Aku berjalan diantara perumahan-perumahan elite dengan jalan yang sepi. Hujan mulai turun dan mengguyurku yang masih memakai seragam dengan jaket, juga menenteng tas.

Tetapi aku tidak berlari ke tempat untuk meneduh. Melainkan membiarkan diriku terguyur hujan. Tatapanku kosong seiring dengan langkahku yang tanpa arah. Mataku mulai berair dan bercampur dengan air hujan yang sudah membasahi rambutku.

"Aku ingin pulang.."

"Kumohon..."

Aku menangis terisak di tempatku. Langkahku terhenti. Tubuhku bergetar ketakutan dan kedinginan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku sekarang yang sial. Setelah ditolak cukup menyakitkan oleh Kenan, kemudian jatuh dari sepeda, lalu berada di masa lalu bahkan awalnya hampir tertabrak truk.

"Aku tidak tahu bagaimana hidupku sekarang?"

Aku terus terisak dan menyalahkan tuhan karena membuatku seperti ini. Di dalam hujan yang lebat, suara tangisanku bercampur di dalamnya.

———

Aku tengah terbaring di atas kursi besi di sebuah taman yang dekat dengan perumahan. Badanku bergetar kedinginan karena hembusan angin. Tanganku memeluk erat tas yang kubawa. Tiba-tiba beberapa orang mengerumuniku. Aku beranjak duduk dan menatap beberapa pria yang menatapku tajam.

"Siapa kalian?"

Salah satu membentuk senyum. "Apakah kau menginginkan tempat tinggal?"

Aku tertegun di tempatku. "Iya."

Tiba-tiba salah satu menodongkan pistol persis di depan dahiku. Aku ketakutan hingga tubuhku bergetar. Bahkan nafasku terengah-engah. Aku mematung, tidak bisa bergerak ataupun berbicara. Hal yang kutakutkan hanyalah jika pistol itu menembak kepalaku.

"Sekarang ikuti kami dengan tenang, jika kau ingin tempat tinggal."

Aku mengangguk-angguk cepat. Lalu, mulai beranjak dari kursiku. Kedua tanganku secara refleks bergerak ke atas. Pistol tersebut masih ada dahiku. Kemudian, sekitar tiga orang mengerumuniku, orang di sampingku masih memegang pistolnya. Dia mengarahkanku untuk bergerak.

Aku bergerak gesit hingga pistol tersebut jatuh di tanah. Orang di sampingku kutendang di kakinya hingga merintih sakit. Lalu, aku segera mengambil pistol tersebut. Setelahnya, aku mengarahkannya ke arah mereka. Tiga orang di depanku bahkan juga sudah mengarahkan pistolnya kembali padaku.

"Siapa kalian?" Tanyaku tajam.

"Ini terakhir, ikut kami dengan baik-baik." Salah satu mulai berbicara lagi.

"Untuk apa aku melakukannya?" Balasku.

Dor!

Aku melotot terkejut hingga hampir limbung di tempatku. Aku menutup telingaku, berusaha untuk tetap terlihat bertahan sebelum ditangkap oleh mereka. Orang yang baru saja menembak mengarahkan pelurunya ke atas, itu adalah orang yang kutendang tadi. Sekarang, dia sudah mengarahkan pistolnya ke arahku kembali.

"Aku tahu ini pertama kalinya kau memegang benda itu. Tanganmu bergetaran, bodoh." Ujarnya.

Aku mengetahuinya. Sedari tadi tanganku yang memegang pistol terus bergetar. Aku sangat ketakutan sekarang. Orang-orang itu mulai mendekat ke arahku.

"Jika kalian mendekat aku akan membunuh kalian semua!!" Aku berteriak ketakutan.

Dor!

Peluruku meluncur hingga mengenai bahu salah satu dari mereka. Aku makin ketakutan di tempatku, apalagi mengetahui jika aku baru saja menyakiti seseorang.

"Rebut pistol dan tangkap dia!!"

Dor! Dor!

Aku berlari sejauh mungkin dari sana. Namun, dua orang yang tersisa mengejarku, bahkan lari mereka cukup cepat. Saat aku hendak berbelok seseorang menarikku cepat. Lalu, di mulutku dibekap oleh sebuah kain. Tampaknya kain tersebut diberi bius, karena hal yang kulihat setelahnya hanya kegelapan.

———

Mataku sesaat membuka sedikit saat aku merasa dijatuhkan secara kasar hingga lantainya berbunyi. Lalu, pintu pun ditutup dan dikunci secara kasar. Aku berada di sebuah truk, mulutku ditempel lakban hingga tidak bisa bicara apapun. Kemudian, tangan serta kakiku diikat. Aku terbaring dengan badan yang sakit, pasrah dengan keadaanku sekarang. Truk melaju dengan cepat hingga akhirnya aku kembali memejamkan mataku.

Saat sadar aku menatap ke atas dengan bingung. Pasalnya seorang pemuda tengah menatapku khawatir. Mataku sedikit buram hingga akhirnya aku menutup mataku sejenak. Lalu, karena ada yang menggoyangkan bahuku berkali-kali dan memanggilku untuk bangun, pada akhirnya mataku mulai terbuka.

"Hei, kamu, bangunlah!"

Kedua mataku terbuka sempurna, dan menemukan sepasang manik mata lain yang menatapku khawatir. Aku mematung sesaat sembari memandang pemuda di depanku. Tanpa sadar tanganku memegang lengannya yang memegang bahuku.

"Hei... Dimana kita?" Tanyaku dengan nada kebingungan.

Dia menghela nafasnya. Aku makin panik di tempatku. Saat melihat ke samping aku menemukan tasku, aku sedikit lega, tetapi saat melihat ke sekitar aku makin ketakutan. Sebuah gudang yang cukup besar dengan pencahayaan minim. Di sekitarku, banyak orang yang terlihat menyedihkan. Kebanyakan dari mereka terlihat putus asa.

Aku menatap pemuda di depanku dengan melotot. "Hei! Kita dimana?!"

Pemuda di depanku menundukkan kepalanya. Dia memakai baju kasual tetapi begitu kotor, tampaknya sudah enam hari yang lalu dia mandi. Begitu juga dengan orang-orang lainnya di gudang.

"Kita adalah orang-orang yang akan diambil organnya untuk diperjualbelikan."