Monster berbentuk domba itu melangkah perlahan mendekati Leon, mengangkat tubuhnya dengan mudah ke atas pundak yang besar dan kekar. Darah mengalir dari mulut Leon, tubuhnya dilanda rasa sakit yang begitu intens hingga semua sarafnya terasa mati rasa. Di ambang kehancuran, ia hanya bisa pasrah, pikirannya berputar tanpa arah sementara kesadarannya perlahan memudar.
Langkah berat sang monster menggema di sepanjang sudut wilayah yang sunyi, mendekati perangkap yang sudah dipersiapkannya untuk mengurung Leon. Namun, sesaat sebelum tubuh Leon dilempar ke dalam kegelapan itu, sebuah suara nyaring memecah keheningan.
"Kabut Kejang!"
Suara wanita itu menggema tajam di udara, diikuti ledakan terang dari sebuah Flare gun yang menembakkan asap merah pekat. Kabut yang menyebar dengan cepat menyelimuti sang monster, menyiksa tubuh raksasanya dengan nyeri yang tak tertahankan. Seketika, monster itu kehilangan kendali tas otot-ototnya, terguncang di tempat.
Hanya dalam beberapa detik, kabut itu memudar, namun efeknya masih tertinggal di tubuh sang monster. la mengerang marah, mencoba memulihkan kekuatannya. Namun saat pandangannya kembali jernih, ia mendapati Leon sudah lenyap- mangsanya hilang begitu saja.
Di kejauhan, Leon sedang diangkut oleh seorang pria bertubuh kekar yang berlari cepat, membawa Leon menjauh dari bahaya. Sebelum kesadarannya sepenuhnya tenggelam dalam kegelapan, Leon berusaha membuka matanya untuk melihat siapa yang menyelamatkannya, tapi semuanya sudah terlambat. Kegelapan akhirnya menyelimutinya.
Leon terbangun disebuah kamar mewah yang indah dengan beberapa lukisan seorang ratu di masa lalu. Leon berdiri dari ranjang tempatnya terbaring. Ketika berdiri ia menyadari tubuhnya tidak merasakan sakit sama sekali padahal luka yang diterima sebelumnya cukup parah
Leon berjalan sedikit didalam ruangan itu, hingga ia berdiri tepat didepan cermin itu dan menyadari tubuhnya sedikit dihadirkan otot-otot sementara ia tidak pernah olahraga sedikit pun kecuali lari pagi, ini adalah hal yang mustahil.
Leon yang masih dalam keadaan telanjang ditubuh atasnya—leon membuka pintu kamar dan berjalan keluar, leon mendapati dirinya berada di lorong panjang, ia mendengar suara berisik yang tampak ramai dari kejauhan.
Apakah aku tertangkap oleh monster mengerikan yang tadi?
sebuah pertanyaan dan pikiran sedikit khawatir dalam kepalanya muncul
Leon perlahan berjalan menyusuri lorong itu menuju sumber suara hingga akhirnya ia mendapati dirinya di sebuah ruangan besar dan megah, dengan nuansa klasik yang memancarkan kemewahan sekaligus misteri. Dinding-dinding tinggi di ruangan itu dihiasi oleh jendela besar yang membiarkan cahaya matahari masuk, menciptakan permainan bayangan di lantai yang berlapis karpet merah tebal. Tangga kayu besar berukiran rumit terbentang di tengah, mengarahkan pandangan langsung ke lantai bawah yang tersembunyi oleh railing kokoh.
Di kedua sisi tangga, lampu-lampu antik berdiri diam, memberikan nuansa klasik dan hangat pada ruangan yang seolah terhenti dalam waktu. Pintu-pintu kayu dengan ukiran megah menunggu di ujung tangga, seolah menjadi gerbang menuju rahasia-rahasia yang tersembunyi di baliknya. Udara terasa sunyi, namun ada aura yang menggantung di ruangan itu—campuran rasa waspada dan keagungan yang membuat leon merasa kecil di tengah-tengah kemegahan tersebut.
Dibandingkan dengan segala kemegahan yang terpampang di hadapannya, Leon tiba-tiba menyadari bahwa tempat ini terasa sangat familiar—teramat mirip dengan rumah tua yang ia lihat sebelum memasuki dunia asing ini. Pandangannya beralih ke bawah, menuju lobi mansion megah itu—di sana, lima sosok tengah berkumpul, tampak santai bermain kartu di atas meja panjang.
Salah satu dari mereka menonjol di antara yang lain—keangkuhan terlukis jelas dalam gerakannya. Dengan sikap yang anggun namun penuh kesombongan, kedua kakinya di atas meja, duduk dengan kemapanan yang nyaris menantang. Saat pandangannya perlahan terangkat, ia menangkap keberadaan Leon di lantai atas, menatap lurus ke arahnya dengan ketenangan yang mengganggu.
Leon tercekat. Bagaimana pria itu bisa menyadari posisinya secepat itu? Meski tampak angkuh, tidak ada aura ancaman yang memancar dari sosoknya. Mereka tak tampak seperti monster! gumam Leon dalam hati, berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak.
Tanpa peringatan, pria itu melompat dari meja dengan gerakan yang luar biasa cepat dan halus, nyaris tanpa usaha. Di sekelilingnya, teman-teman sepermainannya memberikan reaksi yang aneh—sepasang mata terbelalak, tangan-tangan yang tadi menggenggam kartu perlahan terhenti di udara, tatapan mereka mengikuti gerakannya, namun tak satu pun dari mereka mengeluarkan sepatah kata. Salah satu dari mereka bahkan terlihat menarik napas dalam-dalam, seperti telah terbiasa dengan aksi nekat pria angkuh itu, namun tetap terkesima.
Dalam sekejap, pria itu telah berdiri di belakang Leon, posturnya tegak, seolah memancarkan keagungan yang tak tergoyahkan. Tanpa satu suara pun, ia mendominasi ruangan dengan kehadirannya, sementara sisa-sisa lompatan akrobatiknya masih tergantung di udara. Senyum tipis terlukis di wajahnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang sarat dengan pemahaman, seolah ia telah membaca Leon sepenuhnya hanya dengan sekali tatap.
Leon perlahan berbalik, ingin melihat sosok yang kini berdiri di belakangnya. Pria itu, meskipun tidak terlalu tinggi namun juga jauh dari kata pendek, memiliki aura yang tak dapat diabaikan. Dengan gerakan halus, pria itu ikut memutar tubuhnya, mempertemukan pandangan mereka secara langsung, seolah ingin menunjukkan bahwa kehadirannya di sana bukanlah sesuatu yang biasa. Setiap gerakannya terukur, setiap tatapannya seolah dipenuhi keyakinan akan dirinya sendiri, memberikan kesan mendalam bahwa pertemuan ini membawa arti yang lebih besar dari sekadar kebetulan.
Pria itu berdiri dengan wibawa yang tak tertandingi, tubuhnya tegap dan penuh kekuatan. Matanya tajam dan menatap dengan penuh kewibawaan, sementara rambut hitamnya diikat dengan mahkota megah yang melambangkan statusnya. Jubah merah keemasan yang dikenakannya melambai anggun, menambahkan kesan kemegahan. Kulitnya halus dan tampak tidak terpengaruh oleh waktu, sementara senyumnya kecil namun penuh keyakinan. Dengan suara yang tenang namun berwibawa, ia memancarkan aura seorang pemimpin yang tak hanya memerintah, tetapi juga dihormati dan ditakuti.
Pria itu mengangkat satu tangannya, menunjuk jari dengan percaya diri ke arah Leon sambil tersenyum lebar. "Kamu adalah pasukan ke-dua puluh satu!" katanya dengan nada penuh keyakinan. Leon tertegun, tak menyangka dengan pernyataan mendadak tersebut. "Akan kujadikan kau ksatria emas dalam dua bulan! Ikuti apa pun yang kukatakan, aku janji kau akan menjadi ksatria setia yang mendominasi permainan!" Suaranya menggema, penuh dengan kekuatan yang memikat dan ambisi besar, membuat Leon sadar bahwa dirinya telah terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan.