Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Wanita cantik itu adalah milikku

Cupak_City
--
chs / week
--
NOT RATINGS
705
Views
Synopsis
Malam itu, aku bertemu dengan, seorang gadis cantik dengan rambut pirang yang merenung di atas menara, dia sangat misterius?
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1: Aku bertemu dengannya

Malam itu, saat gerhana bulan menampilkan purnama yang meredup di langit, aku menemukan diriku di dalam hutan yang gelap dan misterius. Langkah-langkahku tanpa sadar membawaku ke sebuah kastil tua, tersembunyi di balik pepohonan lebat. Kastil itu berdiri megah namun sunyi, seakan-akan terlupakan oleh waktu.

Ketika aku mendekat, mataku tertuju pada menara yang menjulang tinggi di salah satu sudut kastil. Di jendela menara tersebut, aku melihat seorang gadis cantik dengan rambut pirang yang sangat panjang, tergerai indah hingga hampir menyentuh lantai. Kilau rambutnya tampak berkilauan di bawah cahaya bulan yang tersisa, seolah-olah dia adalah sosok yang berasal dari legenda kuno.

Gadis itu berdiri dengan anggun, pandangannya terarah ke bulan yang sedang tergelincir ke dalam bayang-bayang bumi. Ada sesuatu yang magis dan memikat dalam penampilannya, seolah-olah dia adalah bagian dari malam itu sendiri. Tanpa kata, aku terpaku di tempatku, tak mampu berpaling dari pemandangan yang begitu menakjubkan.

Aku berdiri di bawah menara, terpesona oleh kehadirannya. Angin malam yang dingin membawa wangi bunga liar dari hutan, menambah kesan mistis pada momen itu. Seolah merasakan keberadaanku, gadis itu perlahan menoleh, dan matanya yang biru cemerlang bertemu dengan mataku. Ada keheningan sesaat, seperti dunia sekitarku lenyap, dan hanya kami berdua yang ada di sana.

Dengan lembut, gadis itu tersenyum, senyum yang membuat hatiku berdebar tak menentu. Namun, ada kesedihan yang samar di balik senyumnya, sesuatu yang mengundang rasa penasaran dalam diriku. Aku tahu aku harus mendekatinya, mengetahui siapa dia, dan apa yang membuatnya berada di tempat ini, sendirian dalam kastil yang terlupakan.

Aku memberanikan diri melangkah lebih dekat, mencari jalan masuk menuju menara itu. Pintu kayu yang besar dan berat di dasar menara berderit saat aku membukanya. Lorong dalamnya gelap dan sunyi, hanya suara langkahku yang menggema di dinding-dinding batu. Aku menaiki tangga spiral yang seakan tak berujung, setiap langkah membawa aku semakin dekat dengan gadis misterius itu.

Saat aku tiba di puncak menara, di ambang pintu kamar tempat dia berdiri, aku melihatnya lebih jelas. Rambut pirangnya terurai sempurna, berkilauan seperti sutra di bawah sinar bulan yang samar. Gaun panjang yang dia kenakan berwarna pucat, hampir menyatu dengan kulitnya yang putih, memberikan kesan rapuh namun anggun.

Dia berbalik menghadapku, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. "Siapa kau?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik, seolah takut mengusik ketenangan malam.

Gadis itu menatapku dalam-dalam, matanya menyimpan rahasia yang sulit diungkapkan. "Aku adalah bagian dari cerita yang terlupakan," jawabnya lembut, suaranya seperti melodi yang tenang namun penuh rasa. "Dan kau... mengapa kau datang ke tempat ini pada malam gerhana?"

Aku terdiam, pertanyaannya membuatku menyadari bahwa aku pun tidak tahu mengapa aku berada di sini. Rasanya seperti ada kekuatan yang menuntunku, membawa aku pada takdir yang tak terduga.

"Entahlah," aku mengaku. "Aku hanya merasa... terpanggil."

Gadis itu mengangguk seolah memahami. "Mungkin, takdir kita saling terkait lebih dari yang kita sadari," katanya. "Namaku Elara, dan aku sudah lama menunggu seseorang sepertimu."

Ada keheningan sesaat sebelum dia melanjutkan, "Ada sesuatu yang harus kau ketahui, tentang tempat ini, dan tentang diriku."

Aku merasakan ketegangan yang halus di udara saat Elara berbicara, seolah-olah kata-katanya membawa beban sejarah yang panjang dan terlupakan. Dia melangkah mendekat, dan aku bisa merasakan aura misterius yang menyelimutinya, penuh dengan rahasia yang menanti untuk diungkap.

"Elara," aku mengulang namanya dengan pelan, mencoba meresapi arti di balik nama itu. "Namaku Levian. Aku adalah pangeran dari Kerajaan Salfort. Malam ini, aku tersesat di hutan, dan entah bagaimana, langkahku membawaku ke kastil ini… dan kepadamu."

Elara tersenyum kecil mendengar pengakuanku, tetapi senyum itu tak menghapus bayangan kesedihan di matanya. "Levian, kau mungkin menganggap ini sebagai kebetulan, tapi pertemuan kita telah ditulis oleh bintang-bintang sejak lama."

Aku merasakan ketulusan dalam suaranya, meskipun masih ada keraguan di dalam hatiku. "Mengapa kau ada di sini, sendirian di tempat seperti ini?" tanyaku, berusaha mencari jawaban di wajahnya yang tenang.

Elara menghela napas pelan sebelum menjawab. "Kastil ini, Levian, adalah penjara dan rumahku sekaligus. Aku terikat pada tempat ini oleh sebuah kutukan yang telah lama menahanku. Aku tidak bisa meninggalkan kastil ini, bahkan jika aku ingin. Hanya pada malam-malam tertentu seperti malam ini, saat gerhana bulan, aku bisa muncul di menara ini dan melihat dunia luar."

Aku menatapnya dengan rasa simpati yang mendalam. "Kutukan apa yang menahanmu di sini?"

Elara mengalihkan pandangannya sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisahnya. "Dulu, aku adalah putri dari sebuah kerajaan yang hilang, sama sepertimu sekarang. Namun, saat malam gerhana yang sama bertahun-tahun lalu, seorang penyihir jahat mengutukku karena dendam yang dia simpan terhadap keluargaku. Kutukan itu membuatku terperangkap di dalam kastil ini selamanya, tanpa kemampuan untuk meninggalkan, tanpa kemampuan untuk hidup dengan bebas."

Kata-katanya menggetarkan hatiku. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku percaya bahwa nasibnya terkait erat dengan nasibku. "Apakah ada cara untuk membebaskanmu dari kutukan ini?" tanyaku, penuh harap.

Elara menatapku dengan harapan tipis yang tersisa di matanya. "Ada cara, tetapi sangat berbahaya. Kutukan ini hanya bisa dipatahkan oleh seseorang yang memiliki keberanian dan hati yang murni. Seseorang yang bersedia menghadapi kegelapan yang menguasai tempat ini, dan melawan penyihir yang masih mengawasi dari bayang-bayang. Levian, aku percaya kau mungkin orang yang bisa melakukannya. Tetapi keputusan ada di tanganmu."

Aku terdiam sejenak, merenungkan pilihan yang kini ada di hadapanku. Di satu sisi, aku bisa pergi dan kembali ke hidupku yang biasa. Di sisi lain, aku bisa mencoba membebaskan Elara, meskipun itu berarti menempatkan diriku dalam bahaya besar.

Namun, dalam hatiku, aku tahu bahwa aku tidak bisa meninggalkan dia di sini, sendirian dengan penderitaannya. "Aku akan membantumu, Elara," kataku akhirnya. "Kita akan menghadapi ini bersama."

Elara menatapku dengan rasa terima kasih yang tulus, air mata menggenang di sudut matanya. "Terima kasih, Levian. Kau adalah harapan terakhirku."

Malam itu, di bawah bayangan gerhana, kami memulai perjalanan untuk membebaskan Elara dari kutukannya. Sebuah perjalanan yang akan membawa kami ke dalam kegelapan kastil, menghadapi tantangan dan bahaya yang tak terduga, demi mencari cahaya yang bisa mematahkan kutukan itu dan mengembalikan kebebasan pada sang putri yang terperangkap.

Setelah keputusan itu diambil, Elara membawa aku ke bagian terdalam dari kastil. Dinding-dinding batu yang dingin dan lembap mengelilingi kami, dengan lorong-lorong yang semakin gelap dan berliku seiring kami semakin jauh memasuki perut kastil. Hanya cahaya redup dari obor yang dibawa Elara yang menerangi jalan kami.

"Ada sesuatu yang harus kau ketahui, Levian," kata Elara saat kami berhenti di depan sebuah pintu besar yang terlihat lebih tua dari bagian lain kastil. Pintu itu terbuat dari kayu hitam yang mengeluarkan aura keangkeran. "Penyihir yang mengutukku bersembunyi di tempat ini. Namanya Isolde. Dia kuat, penuh dendam, dan tak kenal ampun. Untuk mematahkan kutukanku, kita harus mengalahkannya."

Aku merasakan ketegangan dalam suaranya dan menyadari bahwa ini bukan sekadar petualangan, tapi pertarungan hidup dan mati. Namun, tekadku tidak goyah. "Bagaimana cara kita menghadapinya?" tanyaku, siap mendengar apapun yang diperlukan.

Elara mengangkat tangan dan menunjukkan sebuah kunci emas kuno yang tergantung di lehernya. "Di balik pintu ini, ada ruang yang dikenal sebagai Ruang Cermin. Di dalamnya, terdapat cermin kuno yang digunakan Isolde untuk memerangkapku dalam kastil ini. Kita harus menghancurkan cermin itu. Namun, begitu kita masuk, Isolde pasti akan menyadari dan berusaha menghentikan kita. Dia akan menggunakan segala cara untuk melindungi kutukannya."

Aku menggenggam hilt pedangku lebih erat, siap untuk apa pun yang akan terjadi. "Apa yang harus kita lakukan?"

Elara tersenyum tipis, senyum yang mengandung keberanian dan keputusasaan yang sama. "Ikuti aku. Ingat, jangan pernah menatap cermin terlalu lama, atau kau akan terperangkap di dalamnya seperti aku dulu."

Dengan hati-hati, Elara memasukkan kunci ke dalam kunci pintu dan memutarnya. Pintu besar itu terbuka perlahan, menampilkan ruangan besar yang gelap dan sunyi di baliknya. Di tengah ruangan itu, berdiri sebuah cermin raksasa dengan bingkai perak berukir rumit yang memantulkan bayangan kami dengan aneh.

Kami melangkah masuk, dan segera setelah kami melewati ambang pintu, suasana di sekitar kami berubah drastis. Udara menjadi lebih berat, dan ada bisikan halus yang terdengar di telingaku, seolah-olah dinding-dinding itu sendiri berbisik padaku.

"Isolde sudah tahu kita di sini," bisik Elara dengan suara tegang. "Kita harus cepat!"

Kami berlari menuju cermin, tapi sebelum kami sempat mendekat, bayangan gelap muncul dari sudut ruangan. Dari kegelapan itu, Isolde keluar, sosoknya berkilauan dalam pakaian hitam yang dilapisi dengan permata berwarna darah. Matanya berkilat-kilat dengan kebencian yang dalam.

"Berani sekali kau, Elara, membawa orang luar ke tempatku," katanya dengan suara yang dipenuhi racun. "Dan kau, Levian, anak bodoh, apakah kau pikir bisa mengalahkan aku?"

Aku menghunus pedangku, siap menghadapi penyihir itu, tapi sebelum aku sempat menyerang, Isolde mengangkat tangannya dan menciptakan gelombang energi yang menghantam kami berdua, membuatku terlempar ke belakang.

Aku terjatuh, tubuhku terasa berat oleh sihirnya. Elara berusaha bangkit, tetapi Isolde hanya tertawa jahat, mengunci Elara di tempat dengan sihir yang tak terlihat.

"Kau takkan pernah bebas, Elara," kata Isolde dengan suara dingin. "Kutukan ini abadi, seperti dendamku. Dan kau, Levian, akan menjadi korban berikutnya."

Mendengar ancaman itu, kemarahan berkobar dalam diriku. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku bangkit dan berlari ke arah cermin. Aku tahu ini satu-satunya kesempatan kami.

Aku mengangkat pedangku tinggi-tinggi, siap menghancurkan cermin yang menjadi sumber kekuatan kutukan itu. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, Isolde muncul di hadapanku, menghalangi jalanku.

"Jangan berani-berani!" serunya, mengangkat tangannya untuk menyerangku lagi.

Namun, pada saat yang sama, Elara, dengan kekuatan yang tak terduga, melawan sihir Isolde dan melemparkan sesuatu ke arahku—sebuah belati kecil yang berkilauan dengan cahaya perak. Aku menangkapnya dengan satu tangan dan tanpa ragu, melemparkannya langsung ke arah Isolde.

Belati itu mengenai Isolde tepat di jantungnya. Dia menjerit keras, suara jeritannya menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya mulai memudar, menjadi bayangan yang semakin tipis hingga akhirnya menghilang sepenuhnya. Dan saat Isolde lenyap, kekuatannya pun menghilang.

Aku menggunakan momen itu untuk mengayunkan pedangku ke cermin. Cermin itu pecah menjadi ribuan kepingan, dan dengan setiap pecahan yang jatuh, kutukan yang membelenggu Elara mulai pudar.

Elara terjatuh, bebas dari kekuatan yang menahannya, dan aku segera menghampirinya. "Kau baik-baik saja?" tanyaku cemas.

Dia mengangguk, air mata kebahagiaan membasahi pipinya. "Terima kasih, Levian. Kau telah membebaskanku... aku bebas."

Saat kami berdiri di tengah pecahan cermin, bulan yang kembali bersinar menerobos masuk melalui jendela. Cahayanya menyelimuti Elara, dan aku melihatnya berubah—dari seorang putri yang terperangkap menjadi sosok yang bersinar dengan kekuatan dan kebebasan yang baru.

Kami meninggalkan kastil itu bersama-sama, di bawah cahaya bulan yang penuh, meninggalkan semua kegelapan dan kutukan di belakang. Kini, perjalanan baru menanti, bukan sebagai pangeran dan putri terkutuk, tetapi sebagai dua jiwa yang menemukan takdir baru di luar bayang-bayang masa lalu mereka.