Chereads / Pewaris Sihir Kuno / Chapter 2 - warisan yang tersembunyi

Chapter 2 - warisan yang tersembunyi

Pagi di desa Eldermoor datang dengan lambat, seperti biasa. Matahari merangkak perlahan di balik perbukitan, memercikkan cahaya keemasan pada ladang gandum yang masih basah oleh embun.

Penduduk desa mulai sibuk dengan rutinitas sehari-hari—menimba air, memberi makan ternak, dan menyiapkan sarapan. Semuanya tampak normal, seolah tak ada yang berubah dari hari ke hari.

Namun, di ujung desa, di dalam sebuah rumah tua yang berdiri di bawah bayang-bayang pepohonan ek, seorang anak perempuan terbangun dengan dada penuh sesak oleh mimpi yang baru saja menghantuinya.

Frey, dengan rambut cokelat kusut dan mata kelabu yang tampak lesu, duduk di tepi ranjangnya, mencoba merangkai potongan-potongan dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya.

Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur biasa. Ada sesuatu yang berbeda. Terasa nyata, seakan-akan dia benar-benar berada di sana, di tempat yang tak pernah dia kunjungi sebelumnya—kuil tua yang terbengkalai, cahaya lilin, dan simbol kuno yang memancarkan kehangatan. Dan suara itu, suara dingin yang berbicara langsung ke dalam benaknya, masih terngiang di telinganya.

"Aku siap," gumam Frey, mengulangi kata-kata yang diucapkannya dalam mimpi. Tangannya masih terasa hangat, seakan-akan dia benar-benar menyentuh sesuatu yang hidup.

Dia menggelengkan kepala, berusaha mengusir sisa-sisa mimpi itu. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Frey bangkit dari ranjang, melangkah keluar kamar dan berjalan ke dapur, di mana ibunya sudah sibuk menyiapkan sarapan.

"Pagi, Ibu," sapa Frey sambil mencuci muka di baskom kecil yang sudah disiapkan.

"Selamat pagi, Frey. Kamu tampak lelah. Apakah kamu tidak tidur nyenyak?" tanya ibunya tanpa menoleh, sibuk mengaduk bubur di panci.

Frey hanya mengangguk. Dia tidak ingin membebani ibunya dengan cerita tentang mimpi anehnya. Toh, itu hanya mimpi, pikirnya. Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ada yang lebih dari sekadar mimpi. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Setelah sarapan, Frey memutuskan untuk berjalan-jalan di luar desa, seperti yang biasa dia lakukan untuk menghabiskan waktu. Langkah-langkahnya membawanya ke hutan di pinggiran desa, tempat yang selalu membuatnya merasa tenang. Namun, kali ini ada perasaan gelisah yang menyertainya, seolah-olah dia sedang diawasi.

Di tengah hutan, Frey berhenti di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan seluruh desa. Di sanalah, di bawah naungan pohon yang tampak tua, dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi. Mimpi itu terasa seperti sebuah pesan, tetapi dari siapa? Dan untuk apa?

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat, membuat Frey tersentak dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat seorang pria tua dengan jubah abu-abu yang lusuh berdiri di belakangnya. Pria itu menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh arti, seolah-olah dia tahu sesuatu yang Frey tidak ketahui.

"Kau pasti Frey," kata pria itu dengan suara serak, tapi penuh wibawa.

Frey mengangguk, meski dia tidak tahu siapa pria itu. "Ya, benar. Tapi, siapa Anda?"

Pria tua itu tersenyum tipis. "Aku hanya seorang musafir yang kebetulan lewat. Namun, aku merasa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku, bukan begitu?"

Frey ragu sejenak, tapi kemudian memberanikan diri. "Mimpi... Aku punya mimpi yang aneh tadi malam. Tentang kuil tua dan simbol kuno... Dan sebuah suara yang berkata bahwa aku siap. Apakah itu hanya mimpi, atau...?"

Pria itu menatapnya dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di mata Frey. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan. "Itu bukan sekadar mimpi, Frey. Itu adalah panggilan. Panggilan dari masa lalu yang tak terelakkan."

Frey merasa bulu kuduknya berdiri mendengar kata-kata itu. "Apa maksud Anda?"

"Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata," jawab pria itu, suaranya terdengar semakin misterius. "Namun, kau harus bersiap. Waktu semakin dekat, dan kau adalah kunci dari semuanya."

Sebelum Frey sempat bertanya lebih lanjut, pria itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Frey dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Frey hanya bisa menatap punggung pria itu yang semakin menjauh, hingga akhirnya lenyap di balik pepohonan.

Namun, Frey tahu satu hal: apa pun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Mimpi itu, pertemuan ini—semuanya adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang sudah lama menantinya di ujung takdirnya.

Frey berdiri di sana, di bawah pohon tua itu, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Kata-kata pria tua itu menggema dalam pikirannya, memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dia menatap ke arah hutan, berharap bisa melihat sosok pria itu lagi, tetapi dia telah menghilang sepenuhnya, seakan-akan dia tidak pernah ada.

Perasaan tidak nyaman semakin mencekam Frey. Dia merasa seperti terperangkap dalam sebuah cerita yang dia tidak mengerti, seperti sebuah boneka yang digerakkan oleh tali yang tak terlihat. Namun, di balik rasa takut itu, ada dorongan kuat untuk mencari tahu lebih banyak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa dia, dari semua orang, yang harus menghadapi ini?

Dalam kebingungannya, Frey memutuskan untuk kembali ke desa. Langkah-langkahnya terasa berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Setibanya di rumah, dia mendapati ibunya sedang duduk di depan rumah, menyulam dengan tenang.

"Ibu," Frey memanggil, suaranya terdengar sedikit goyah.

Ibunya menoleh, tersenyum hangat seperti biasa. "Ada apa, Nak? Kamu tampak gelisah."

Frey ragu sejenak, tidak yakin bagaimana cara menjelaskan apa yang baru saja dialaminya. "Tadi di hutan, aku bertemu dengan seorang pria tua. Dia mengatakan sesuatu tentang mimpi yang aku alami tadi malam. Dia bilang itu bukan sekadar mimpi, tapi sebuah panggilan."

Ibunya menghentikan sulamannya, menatap Frey dengan penuh perhatian. "Panggilan? Apa yang dia maksud?"

Frey menggelengkan kepala, merasa frustasi. "Aku tidak tahu, Bu. Tapi... ada sesuatu yang aneh tentang semua ini. Seperti ada yang mencoba memberitahuku sesuatu."

Ibunya terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. "Mungkin ini hanya kebetulan, Frey. Terkadang, mimpi hanyalah refleksi dari pikiran kita. Tapi jika kau merasa ini penting, mungkin ada baiknya kita mencari tahu lebih banyak."

"Bagaimana caranya, Bu?" Frey bertanya, suaranya dipenuhi keputusasaan.

Ibunya berpikir sejenak, lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah. "Ada sesuatu yang mungkin bisa membantu," katanya sebelum hilang ke dalam rumah.

Frey menunggu di luar, perasaannya bercampur aduk antara harapan dan kegelisahan. Tak lama kemudian, ibunya kembali dengan membawa sebuah kotak kayu tua yang terlihat usang, dengan ukiran-ukiran kuno di permukaannya.

"Ini milik ayahmu," kata ibunya sambil menyerahkan kotak itu kepada Frey. "Dia selalu bilang kotak ini menyimpan sesuatu yang penting, sesuatu yang hanya bisa dibuka saat waktunya tiba."

Frey menerima kotak itu dengan hati-hati. Kotak kayu itu terasa dingin di tangannya, seolah-olah menyimpan rahasia yang sudah lama terlupakan. "Apa ini, Bu?" tanyanya sambil membuka kunci kotak itu.

Di dalamnya, Frey menemukan sebuah gulungan kertas yang sudah tua, serta sebuah liontin perak dengan batu berwarna merah darah di tengahnya. Dengan hati-hati, Frey membuka gulungan kertas itu. Tulisan tangan di kertas itu terasa asing, namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya—sebuah simbol yang sama dengan yang dia lihat dalam mimpinya.

"Simbol ini..." Frey berbisik. "Ini sama dengan yang ada di mimpiku."

Ibunya menatap gulungan itu dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Aku tidak tahu apa artinya, Frey. Ayahmu tidak pernah menceritakannya padaku. Tapi mungkin ini adalah bagian dari panggilan yang kau rasakan."

Frey merasakan ketegangan yang semakin meningkat dalam dirinya. Semua ini terasa terlalu kebetulan, seolah-olah takdir sedang memaksa tangannya untuk bertindak. Dia menatap liontin itu, merasakan energi aneh yang mengalir dari batu merahnya.

"Aku harus mencari tahu lebih banyak," kata Frey akhirnya, memutuskan untuk tidak membiarkan misteri ini menghantuinya lebih lama. "Mungkin ada yang tahu tentang simbol ini... atau tentang pria tua yang aku temui tadi."

Ibunya mengangguk, meski kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. "Hati-hati, Frey. Aku tidak tahu apa yang kau hadapi, tapi jangan terburu-buru. Ingat, apa pun yang terjadi, kau selalu bisa pulang ke rumah."

Frey tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan ibunya. "Aku akan hati-hati, Bu. Terima kasih."

Setelah menyimpan gulungan kertas dan liontin itu dengan aman, Frey keluar rumah, memutuskan untuk mencari orang yang mungkin bisa memberinya petunjuk lebih lanjut. Satu-satunya orang yang dia tahu memiliki pengetahuan luas tentang hal-hal kuno dan misterius adalah Lyra, seorang wanita tua yang tinggal di pinggiran desa.

Lyra dikenal sebagai penjaga cerita-cerita lama, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Jika ada yang tahu tentang simbol atau apa pun yang terkait dengan mimpi Frey, dia adalah orangnya.

Dengan langkah mantap, Frey memulai perjalanannya menuju rumah Lyra, tidak menyadari bahwa setiap langkah yang dia ambil akan semakin membawanya dekat ke takdir yang telah menantinya sejak lama.

Sesampainya di sana langkah Frey terasa semakin berat saat ia mendekati rumah Lyra. Desa yang biasanya memberi rasa nyaman kali ini terasa menekan dan misterius.

Matahari masih bersinar terang, memancarkan cahaya kuning lembut yang mengubah bayangan di sekitar hutan menjadi bentuk-bentuk yang menakutkan.

Saat Frey sampai di depan rumah Lyra, ia melihat rumah itu dikelilingi oleh kebun kecil yang penuh dengan tanaman-tanaman aneh. Bau harum dari bunga-bunga eksotis menyambutnya, tetapi Frey tidak dapat menikmati keindahan itu saat pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan. Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum mengetuk pintu rumah yang tampak kuno itu.

"Masuklah," suara Lyra terdengar dari dalam, disertai dengan suara gesekan kayu.

Frey membuka pintu dan masuk ke dalam rumah yang hangat dan penuh dengan aroma rempah-rempah serta buku-buku tua. Lyra, seorang wanita tua dengan rambut putih panjang yang diikat sederhana, duduk di depan meja yang penuh dengan gulungan dan manuskrip. Matanya yang tajam memandang Frey dengan penuh perhatian.

"Selamat sore, Lyra," kata Frey dengan sopan. "Aku berharap bisa berbicara dengan Anda mengenai sesuatu yang sangat penting."

Lyra mengangkat alisnya, menilai Frey dengan tatapan penasaran. "Selamat sore, Frey. Apa yang bisa aku bantu?"

Frey mengeluarkan gulungan kertas dan liontin dari dalam tasnya, meletakkannya di atas meja. "Aku baru saja mendapatkan benda-benda ini dari kotak milik ayahku. Aku juga mengalami mimpi yang tidak bisa aku mengerti, dan seorang pria tua mengatakan bahwa ini adalah bagian dari panggilan untuk ku."

Lyra mengamati gulungan kertas dan liontin dengan seksama, tetapi ekspresinya tetap tenang. "Apa yang kau cari dariku, Frey?"

Frey merasa sedikit cemas. "Aku berharap Anda bisa memberi penjelasan tentang simbol di gulungan ini atau tentang liontin ini. Aku merasa ada sesuatu yang penting di balik semua ini."

Lyra memeriksa simbol pada gulungan dengan penuh perhatian. "Simbol ini tampaknya kuno, tetapi aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Ini bukan dari tradisi atau bahasa yang aku kenal."

Kekecewaan Frey jelas terlihat di wajahnya. "Jadi Anda tidak tahu apa-apa tentang simbol ini?"

Lyra menggelengkan kepala, namun nada suaranya tetap menenangkan. "Aku minta maaf, Frey. Namun, aku tahu seseorang yang mungkin lebih memahami hal-hal semacam ini—Seorang ahli dalam sejarah kuno dan sihir. Dia tinggal jauh dari sini, tetapi mungkin bisa membantumu."

Frey merasa sedikit putus asa, tetapi dia tahu dia harus terus mencari. "Terima kasih, Lyra. Siapa nama orang itu dan di mana aku bisa menemukannya?"

Lyra menulis sebuah alamat di selembar kertas dan memberikannya kepada Frey. "Nama orang itu adalah Ealdred. Dia tinggal di sebuah menara tua di pinggiran utara Kerajaan. Perjalanan ke sana tidaklah mudah, tetapi jika ada yang bisa membantu, itu adalah dia."

Frey menerima kertas itu dengan tangan yang sedikit bergetar. "Aku akan pergi ke sana segera. Terima kasih atas bantuan Anda, Lyra."

Lyra tersenyum lembut. "Semoga perjalananmu berhasil, Frey. Ingatlah bahwa beberapa pencarian memerlukan waktu, dan tidak semua jawaban ditemukan dengan cepat."

Frey mengangguk dan keluar dari rumah Lyra, merasa sedikit lebih diberdayakan meskipun jalan di depannya masih panjang dan penuh ketidakpastian. Langit malam mulai gelap saat ia melangkah pulang, dengan pikiran penuh pertanyaan dan harapan.

Setibanya di rumah, Frey mendapati ibunya sedang menyiapkan makan siang. Suasana rumah yang hangat dan familiar membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, sebelum dia bisa memulai persiapan untuk perjalanannya, ibunya menghampirinya dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Frey, aku mendengar dari Lyra dengan pesan suara angin tentang rencanamu untuk pergi ke utara," kata ibunya dengan nada cemas. "Apa kamu benar-benar yakin ingin melakukan ini? Perjalanan ke sana sangat berbahaya, dan aku tidak ingin kehilanganmu."

Frey menatap ibunya dengan penuh pengertian. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Bu, tapi ini sangat penting. Aku harus mencari jawaban tentang simbol ini dan mimpi yang aku alami. Aku merasa ini adalah panggilan yang tidak bisa aku abaikan."

Ibunya menghela napas dalam-dalam, tampak bertarung dengan perasaannya sendiri. "Tapi, Frey, perjalanan ini bisa sangat berbahaya. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu."

Frey menggenggam tangan ibunya. "Aku akan berhati-hati, Bu. Aku akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjaga keselamatan diriku. Tapi jika aku tidak pergi, aku tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Ibunya menatap mata Frey yang penuh tekad. Setelah beberapa detik, ekspresi cemasnya mulai melunak. "Baiklah, Frey. Jika ini adalah jalan yang harus kau ambil, aku akan mendukungmu. Tapi janji satu hal—jaga dirimu dengan baik dan kembali dengan selamat."

Frey tersenyum lega dan memeluk ibunya. "Terima kasih, Bu. Aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Keesokan paginya, Frey memulai perjalanan panjang menuju utara, ke menara Ealdred. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti mendekatkan dirinya pada sebuah misteri yang lebih dalam. Dalam perjalanan ini, Frey tidak hanya mencari jawaban tetapi juga mempersiapkan dirinya untuk sebuah takdir yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Dari kejauhan di balik bayangan pepohonan, sesosok pria tua dengan jubah abu-abu kembali muncul memperhatikan langkah Frey.

Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya yang tersembunyi di balik tudung. "Langkah pertamamu telah diambil, pewaris. Semoga kau siap untuk apa yang akan datang," bisiknya sebelum menghilang ke dalam hutan, meninggalkan Frey untuk menghadapi masa depannya sendiri.