Gurfeda merasa dadanya berdebar tak karuan saat menyadari bahwa dunia di sekitarnya terasa asing.
Udara di padang bunga ini harum, hampir seperti melodi yang menghipnotis.
Tapi dia tahu, ada sesuatu yang salah.
Kakinya melangkah dengan berat, seperti ada sesuatu yang menariknya ke tanah.
Namun, tak ada tanda-tanda bekas luka atau luka baru pada tubuhnya yang kini tampak begitu berbeda.
Saat pandangannya menelusuri kejauhan, dia menyadari bahwa makhluk-makhluk asing sedang memandanginya.
Mereka tidak menyerang, hanya memperhatikan dari balik pepohonan yang mengelilingi padang itu.
Mata mereka bersinar, memancarkan rasa ingin tahu yang bercampur dengan sesuatu yang lebih berbahaya.
Gurfeda menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Aku harus tetap tenang," gumamnya.
Langkahnya membawanya mendekati kolam, berharap menemukan jawaban pada pantulan dirinya.
Namun, suara langkah lembut terdengar dari belakangnya.
"Apakah kau tersesat, Nona?" suara itu terdengar lembut namun tegas, membuat Gurfeda berbalik.
Berdiri di sana seorang wanita berpakaian seperti penjaga hutan, dengan jubah hijau tua yang hampir menyatu dengan alam.
Rambutnya dikepang rapi, dan matanya memancarkan kehangatan yang penuh kewaspadaan.
"Aku tidak tahu di mana ini," jawab Gurfeda jujur, meski sebenarnya enggan untuk menunjukkan kelemahannya.
Wanita itu mendekat perlahan, matanya mengamati Gurfeda dengan hati-hati.
"Tempat ini adalah wilayah perbatasan Cahaya dan Bayangan," katanya. "Hanya mereka yang kehilangan sesuatu yang penting yang bisa sampai di sini."
Kata-kata itu menusuk hati Gurfeda.
Dia merasa kehilangan sesuatu, tetapi apa? Kekuatan lamanya ? Identitasnya ? Atau… dirinya yang dulu ? Ia mencoba menyembunyikan keresahannya, tapi wanita itu tampak menyadari perubahan ekspresinya.
"Namaku Niah," lanjut wanita itu, memperkenalkan diri.
"Aku seorang penjaga di wilayah ini. Kau terlihat berbeda dari pendatang lain."
"Apa maksudmu ?" tanya Gurfeda, suaranya tajam.
"Biasanya, mereka yang tiba di sini membawa beban yang terlihat—bekas luka, dendam, atau kehancuran.
Tapi kau… kau tampaknya membawa sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan kau sendiri belum tahu." Niah menatapnya dengan intens, membuat Gurfeda merasa khawatir di bawah pandangannya yang nampak sangat serius.
Gurfeda merasa ingin menyangkal, tetapi kata-kata itu mengandung kebenaran. "Aku harus pergi dari sini," ucapnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku tidak punya waktu untuk teka-teki ini."
Niah tersenyum samar. "Tidak ada yang bisa pergi dari tempat ini tanpa menghadapi dirinya sendiri terlebih dahulu." Dia melirik ke arah makhluk-makhluk di kejauhan yang masih mengintai. "Tapi jika kau ingin mencoba, aku bisa menunjukkan jalan."
Gurfeda terdiam, pikirannya dipenuhi pertanyaan.
"Kenapa kau membantuku?"
"Kau mengingatkanku pada seseorang," jawab Niah singkat, kemudian berbalik. "Ikutlah denganku."
Meskipun merasa curiga, Gurfeda tidak punya pilihan lain.
Langkah mereka membawa mereka melewati padang bunga, menuju hutan lebat yang gelap.
Di sepanjang perjalanan, Gurfeda merasakan tatapan makhluk-makhluk itu terus mengikutinya, namun mereka tidak mendekat.
"Makhluk-makhluk itu, siapa mereka?" tanya Gurfeda setelah beberapa saat.
"Mereka adalah Bayangan," jawab Niah tanpa menoleh. "Mereka tidak akan menyerangmu, tapi mereka akan menunggu saat kau lengah."
Kata-kata itu membuat Gurfeda semakin waspada.
Dia mencoba mengingat kekuatannya yang dulu, mencoba merasakan energi yang pernah mengalir bebas di tubuhnya, tapi sekarang tidak bisa.
"Kenapa aku tidak bisa menggunakan kekuatanku ?" tanyanya frustrasi.
Niah berhenti dan menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh misteri.
"Di tempat ini, kekuatan bukanlah sesuatu yang kau miliki. Itu adalah sesuatu yang harus kau pahami."
Mereka tiba di sebuah celah hutan di mana cahaya bulan menerobos ranting-ranting pohon, menciptakan pola-pola yang aneh di tanah.
Di sana, berdiri seseorang laki-laki berambut putih dengan tongkat kayu yang dihiasi kristal biru di puncak.
Dia menatap Gurfeda dengan senyum tipis. "Kau akhirnya tiba," katanya, seolah sudah mengenalnya sejak lama.
"Siapa kau ?" tanya Gurfeda, matanya menyipit curiga.
"Aku penjaga kebenaranmu," jawab laki-laki itu. "Dan perjalananmu baru saja dimulai."
Gurfeda memandangi laki-laki berambut putih di hadapannya dengan perasaan bercampur aduk. Di satu sisi, ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa familiar, tetapi di sisi lain, Gurfeda merasa terperangkap oleh misteri yang semakin dalam.
"Aku tidak membutuhkan penjaga kebenaran," Gurfeda berkata dingin. "Yang aku butuhkan adalah jalan keluar dari tempat ini."
Laki-laki itu tidak bereaksi seperti yang diharapkan. Dia hanya tersenyum tipis. "Setiap orang yang tiba di sini selalu mengatakan hal yang sama. Tapi apakah kau benar-benar yakin ingin keluar sebelum memahami apa yang membuatmu berada di sini?"
Gurfeda mendengus. "Jangan bicara seperti kau tahu segalanya tentangku."
Laki-laki itu melirik Niah. "Dia keras kepala, ya?"
Niah hanya mengangguk pelan, tampak tidak terlalu tertarik untuk ikut campur dalam pembicaraan.
Laki-laki itu melanjutkan, "Baiklah. Namaku tidak penting. Kau bisa memanggilku apa saja yang kau suka. Tapi, izinkan aku memberimu satu nasihat: kekuatan magis, keabadian waktu, semua hal yang dulu kau andalkan—di tempat ini, semua itu tak ada artinya. Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar memahami tubuhmu sendiri. Di sini, segalanya dimulai dan berakhir dari dirimu."
Gurfeda menatap tangannya, mengingat bagaimana dulu satu gerakan saja darinya mampu mengubah dunia. Kini, tangannya terasa tak lebih dari milik manusia biasa—tak ada kekuatan, tak ada energi.
"Dan jika aku tidak mau?" tanya Gurfeda, menguji batas.
"Kalau kau tidak mau belajar, kau hanya akan menjadi mangsa bagi Bayangan," jawab laki-laki itu sambil menunjuk ke arah kegelapan di belakang mereka. "Makhluk-makhluk itu tidak akan menyerangmu secara langsung. Mereka akan menunggu hingga kau terlalu lelah, terlalu putus asa, dan lupa siapa dirimu sebenarnya. Saat itu terjadi, kau tidak akan punya jalan kembali."
Kata-kata itu membuat Gurfeda terdiam. Dia tidak suka merasa terjebak, tetapi pilihan yang diberikan tampaknya hanya satu: bertahan atau menyerah.
"Kalau begitu, ajari aku," katanya akhirnya, meski suaranya terdengar enggan.
Laki-laki itu tersenyum samar. "Aku hanya bisa menunjukkan jalan. Sisanya adalah tugasmu."
---
Beberapa waktu berlalu—entah berapa lama, karena sistem waktu di dunia ini tidak berjalan seperti biasanya. Tidak ada malam atau siang yang jelas, hanya pergantian antara cahaya lembut dan kegelapan pekat. Gurfeda menghabiskan waktu dengan laki-laki itu, mempelajari gerakan-gerakan bela diri yang sederhana namun terasa sulit untuk dikuasai. Tubuhnya terasa kaku, seperti belum sepenuhnya selaras dengan dirinya yang baru.
"Kau terlalu banyak berpikir," kata laki-laki itu suatu kali saat mereka berlatih di sebuah dataran berbatu. "Tubuhmu tahu apa yang harus dilakukan, tapi pikiranmu menghalanginya."
Gurfeda mendesah. "Bagaimana aku bisa tidak berpikir? Aku bukan orang biasa. Aku punya tanggung jawab besar di dunia lamaku."
Laki-laki itu menggeleng. "Kau bukan orang itu lagi. Dunia lamamu telah meninggalkanmu, sama seperti kau meninggalkannya. Jika kau terus hidup di masa lalu, kau tidak akan pernah bisa melangkah maju."
Kata-kata itu membuat Gurfeda terdiam. Dia tidak suka mengakuinya, tapi ada kebenaran di sana.
Di sela-sela latihannya, Gurfeda juga sering melihat Niah berjalan mondar-mandir di sekitar kamp mereka, tampaknya sibuk dengan tugasnya sendiri. Gurfeda tidak tahu apa sebenarnya peran wanita itu, tetapi dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Niah selalu seperti itu," kata laki-laki itu saat Gurfeda mengungkapkan kecurigaannya. "Dia punya beban yang tidak bisa dia bagi dengan orang lain."
"Seperti aku," gumam Gurfeda.
Laki-laki itu tersenyum kecil. "Mungkin."
---
Suatu hari, saat Gurfeda sedang berlatih sendirian di pinggir kolam yang tenang, seseorang wanita muncul dari balik pepohonan. Wanita itu memiliki wajah yang lembut namun penuh teka-teki, dengan rambut berwarna cokelat kemerahan yang tergerai hingga pinggang. Pakaiannya sederhana, tetapi ada sesuatu tentangnya yang membuat Gurfeda merasa tidak nyaman.
"Kau Gurfeda, bukan?" tanya wanita itu dengan suara yang hampir seperti bisikan.
Gurfeda mengangguk, waspada. "Siapa kau?"
"Aku hanya seorang pengembara," jawab wanita itu, meski senyumnya mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar keramahan. "Aku mendengar tentangmu dari Bayangan."
"Dari Bayangan?" Gurfeda mengerutkan kening. "Apa urusanmu dengan mereka?"
Wanita itu tersenyum samar. "Mungkin aku tidak berbeda jauh dari mereka. Tapi aku datang bukan untuk menyerangmu. Aku datang untuk menawarkan sesuatu."
"Apa itu?"
"Jawaban," jawab wanita itu dengan suara yang terdengar menggoda. "Aku tahu kenapa kau ada di sini. Dan aku tahu bagaimana caramu kembali ke dunia lamamu."
Kata-kata itu membuat Gurfeda tertegun. Sesaat, dia ingin langsung menerima tawaran itu, tetapi instingnya berkata untuk berhati-hati. "Kenapa kau ingin membantuku?"
"Itu pertanyaan yang bagus," jawab wanita itu, lalu berbalik. "Aku akan ada di sini jika kau berubah pikiran. Tapi ingatlah, waktu mungkin tidak berjalan di sini, tapi kesempatan tidak datang dua kali."
Wanita itu menghilang ke dalam hutan, meninggalkan Gurfeda dengan lebih banyak pertanyaan.
Gurfeda duduk di pinggir kolam, matanya menatap air yang tenang tapi pikirannya bergolak. Kata-kata wanita tadi terus terngiang di kepalanya. "Aku tahu bagaimana caramu kembali ke dunia lamamu." Tawaran itu terlalu menggoda untuk diabaikan, tapi juga terlalu mencurigakan untuk dipercaya sepenuhnya.
Dia menggenggam tangannya yang kosong, merasakan ketidakberdayaan yang menjalar. Dalam dunia ini, tak ada kekuatan magis yang bisa ia panggil, tak ada waktu untuk mengukur perjalanan, dan tak ada petunjuk yang jelas ke mana ia harus pergi. Satu-satunya hal yang nyata adalah tubuhnya sendiri—dan tubuh itu belum sepenuhnya menjadi alat yang bisa diandalkan.
---
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan latihan yang lebih intens. Laki-laki berambut putih tidak pernah memberinya nama, tapi ia menjadi semacam mentor yang tidak pernah memberikan pujian. Setiap kali Gurfeda melakukan gerakan yang salah, laki-laki itu hanya memperbaikinya dengan gerakan sederhana tanpa banyak bicara.
"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," katanya suatu kali. "Tubuhmu tahu batasnya, tapi pikiranmu menuntut lebih dari yang bisa kau berikan saat ini."
"Karena aku harus lebih kuat," balas Gurfeda dengan nada tajam. "Aku harus kembali ke dunia lamaku."
Laki-laki itu berhenti, lalu menatap Gurfeda lama. "Kembali? Dunia lamamu sudah tidak ada, Gurfeda."
Gurfeda tertegun. "Apa maksudmu?"
"Dunia lamamu ada dalam waktu yang terus berjalan. Tapi di sini, waktu tidak berjalan. Jika kau kembali sekalipun, apakah kau yakin dunia itu akan sama seperti yang kau tinggalkan?"
Gurfeda tidak menjawab. Kata-kata itu terlalu berat untuk diproses. Tapi di balik ketidaknyamanan itu, ia tahu laki-laki itu mungkin benar. Dunia lamanya, jika memang masih ada, mungkin tidak akan lagi mengenalnya seperti dulu.
---
Pada suatu yang tak terukur, Gurfeda kembali bertemu dengan Niah. Wanita itu tampak lebih lelah dari biasanya, matanya gelap dan lingkaran hitam menghiasi bawahnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Gurfeda dengan nada yang lebih peduli dari biasanya.
Niah hanya tersenyum kecil, lalu duduk di sebelahnya. "Aku selalu baik-baik saja. Tapi aku melihat kau mulai belajar menerima keadaan."
Gurfeda tidak langsung menjawab. "Aku hanya tidak punya pilihan lain."
"Itu langkah pertama," kata Niah. "Tapi langkah kedua adalah mengerti apa yang sebenarnya kau cari."
Gurfeda terdiam, lalu menatap Niah dengan tajam. "Kau tahu sesuatu, bukan? Tentang dunia ini. Tentang aku."
Niah tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar lelah. "Aku tahu cukup banyak, tapi tidak sebanyak yang kau kira."
"Kau tidak seperti penjaga biasa," desak Gurfeda. "Kau menyembunyikan sesuatu."
Niah terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Aku dulu seperti kau. Terjebak di sini, mencoba mencari jalan keluar."
Gurfeda memandangnya dengan terkejut. "Dan kau menyerah?"
"Tidak. Aku menemukan apa yang sebenarnya aku cari," jawab Niah, matanya melamun. "Kadang-kadang, menemukan jalan keluar bukan tentang kembali ke tempat asalmu. Tapi tentang menemukan tempat baru untuk menjadi dirimu yang sebenarnya."
---
Beberapa waktu kemudian, Gurfeda kembali bertemu dengan wanita misterius yang pernah menawarinya jawaban. Kali ini, wanita itu muncul di tengah sesi latihan, berdiri di tepi lapangan dengan senyum yang sama penuh rahasia.
"Kau semakin kuat," katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Tapi kau tetap kehilangan arah."
Gurfeda menghentikan latihannya dan berjalan mendekat, napasnya berat karena lelah. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Wanita itu tersenyum tipis. "Aku tidak menginginkan apa pun. Aku hanya menawarkan apa yang kau cari."
"Dan itu apa?" Gurfeda menantang.
"Tujuanmu," jawab wanita itu. "Kau terlalu sibuk mencari jalan keluar, sampai kau melupakan satu hal penting: kenapa kau di sini?"
Gurfeda mengerutkan kening. "Aku di sini karena aku terjebak. Itu saja."
"Tapi kenapa kau?" tekan wanita itu. "Kenapa bukan orang lain? Apa yang membuatmu berbeda?"
Pertanyaan itu menghantam Gurfeda seperti pukulan. Ia terdiam, mencoba mencari jawabannya. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, wanita itu sudah melanjutkan.
"Aku bisa membantumu menemukan jawabannya. Tapi kau harus percaya padaku."
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" balas Gurfeda, nada curiga jelas terdengar.
Wanita itu tersenyum lebar. "Karena aku satu-satunya yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini."
Sebelum Gurfeda sempat bertanya lebih lanjut, wanita itu menghilang, meninggalkan Gurfeda dalam kebingungan.
---
Pada malam yang seolah-olah tak pernah berakhir, laki-laki berambut putih mendekati Gurfeda saat ia sedang merenung di pinggir kolam.
"Kau bertemu dengannya lagi, bukan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Ya," jawab Gurfeda singkat.
Laki-laki itu duduk di sebelahnya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. "Apa pun yang dia katakan, jangan terlalu percaya."
"Kenapa?"
"Karena dia bagian dari tempat ini," jawab laki-laki itu. "Dia bukan manusia seperti kita. Dia adalah refleksi dari sesuatu yang lebih dalam. Dan dia akan membawamu ke jalan yang mungkin tidak bisa kau kembali darinya."
Gurfeda menatap laki-laki itu, mencoba memahami maksudnya. Tapi ia tahu satu hal: dunia ini penuh teka-teki, dan ia baru saja menyentuh permukaannya.
Hatinya dipenuhi keraguan.
Gurfeda memutuskan untuk mengabaikan tawaran wanita misterius itu untuk sementara waktu. Ada sesuatu yang menggelisahkannya setiap kali ia bertemu dengannya, seolah-olah wanita itu bukan bagian dari dunia ini, tetapi juga bukan bagian dari sesuatu yang ia pahami. Di sisi lain, laki-laki berambut putih dan Niah menawarkan jalan yang lebih lambat, lebih melelahkan, namun terasa lebih nyata. Ia memutuskan untuk melanjutkan latihan dan mencoba memahami dunia barunya, meskipun setiap langkahnya terasa seperti menguak teka-teki yang semakin rumit.
Satu sore yang tidak bisa ia ukur dengan waktu, Gurfeda sedang berlatih di sebuah lembah kecil di mana angin bertiup lembut dan aroma tanah basah menyelimuti udara. Ia fokus pada gerakan tangannya, mengulangi pola-pola yang diajarkan laki-laki berambut putih. Tiba-tiba, seseorang laki-laki muncul di ujung lembah, berjalan mendekatinya dengan langkah lambat.
Laki-laki itu tampak biasa saja, dengan rambut kecokelatan yang acak-acakan dan pakaian lusuh seperti pengembara. Namun, matanya menyimpan sesuatu—sebuah kesedihan yang begitu dalam hingga Gurfeda merasakan beban itu hanya dengan melihatnya.
"Kau Gurfeda, bukan?" tanyanya dengan suara yang rendah dan serak.
Gurfeda menghentikan gerakannya dan memandangnya dengan penuh waspada. "Siapa kau?"
Laki-laki itu tersenyum tipis. "Aku hanya seseorang yang pernah seperti dirimu. Tersesat, bingung, dan marah."
"Maksudmu?" tanya Gurfeda, meskipun hatinya sudah mulai merasakan ada sesuatu yang penting dalam percakapan ini.
Laki-laki itu duduk di atas batu besar, membiarkan keheningan mengisi udara di antara mereka sebelum berbicara lagi. "Aku juga berasal dari dunia yang berbeda. Dunia yang penuh dengan kekuatan, dengan aturan yang bisa kutundukkan. Lalu aku terlempar ke sini, sama seperti kau."
Gurfeda menelan ludah, rasa penasaran mulai menggigit dirinya. "Apa yang terjadi padamu?"
"Aku mencoba melawan dunia ini," katanya sambil menatap tanah. "Aku mencoba mencari jalan keluar, mencoba memaksa dunia ini untuk tunduk padaku. Tapi semakin aku melawan, semakin aku kehilangan diriku sendiri. Sampai aku menyadari bahwa dunia ini tidak bisa ditundukkan. Yang bisa kulakukan hanyalah memahami dan menjadi bagian darinya."
Kata-kata itu membuat Gurfeda terdiam. Ia memandang laki-laki itu dengan tatapan penuh pertanyaan. "Lalu apa yang terjadi padamu sekarang?"
Laki-laki itu menoleh padanya, matanya tampak lelah namun penuh dengan ketenangan. "Aku menemukan kedamaian. Dunia ini mungkin tampak seperti penjara, tapi sebenarnya ini adalah sebuah awal baru. Jika kau bisa menerimanya."
Gurfeda menggeleng, rasa frustrasi mulai muncul. "Aku tidak ingin kedamaian. Aku ingin jawabannya. Aku ingin tahu kenapa aku ada di sini dan apa yang harus kulakukan."
Laki-laki itu tersenyum kecil. "Jawabannya tidak akan datang dari luar dirimu. Kau harus mencarinya di dalam dirimu sendiri."
---
Beberapa waktu kemudian, Gurfeda merasa bahwa tubuhnya mulai beradaptasi dengan dunia ini. Latihan bela diri kuno yang ia pelajari membuatnya lebih sadar akan kekuatan fisiknya, meskipun jauh dari apa yang pernah ia miliki di dunia lamanya. Setiap gerakan terasa lebih alami, lebih seimbang. Namun, pikiran dan hatinya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Niah, yang biasanya menjaga jarak, mulai menunjukkan perhatian lebih pada Gurfeda. Suatu kali, saat mereka sedang berjalan di sepanjang sungai kecil, Niah berbicara.
"Kau semakin kuat," katanya tanpa menoleh.
"Tubuhku, mungkin," jawab Gurfeda. "Tapi pikiranku masih terjebak."
Niah berhenti dan menatapnya. "Apa yang sebenarnya kau cari, Gurfeda?"
Gurfeda terdiam, mencoba mencari jawaban. "Aku tidak tahu," akhirnya ia mengaku. "Mungkin aku mencari tujuan. Atau alasan kenapa aku ada di sini."
Niah mengangguk pelan. "Itu wajar. Tapi kau harus berhati-hati, Gurfeda. Dunia ini punya caranya sendiri untuk menguji orang-orang seperti kita."
"Apa maksudmu?" tanya Gurfeda, merasa ada sesuatu yang penting dalam kata-kata itu.
Niah tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia menunjuk ke arah hutan di seberang sungai. "Lihat hutan itu? Di baliknya, ada sebuah desa kecil. Kau harus pergi ke sana."
"Kenapa?" tanya Gurfeda, bingung.
"Di sana, kau akan bertemu seseorang yang bisa membantumu memahami dunia ini lebih jauh," kata Niah. "Tapi ingat, tidak semua orang di sini seperti aku atau laki-laki berambut putih itu. Beberapa orang punya niat yang tidak sepenuhnya murni."
---
Perjalanan ke desa itu tidak mudah. Hutan yang harus dilalui terasa hidup, dengan suara-suara aneh yang datang dari kegelapan. Namun, ketika Gurfeda akhirnya sampai di desa kecil itu, ia disambut oleh pemandangan yang tenang dan damai. Rumah-rumah kayu berdiri berjajar, dan orang-orang tampak sibuk dengan aktivitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang aneh di udara, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Di tengah desa, Gurfeda bertemu seseorang wanita tua yang duduk di depan rumah kecilnya. Wanita itu memiliki mata yang tajam dan senyum yang penuh misteri.
"Kau pasti Gurfeda," katanya dengan suara serak namun ramah. "Aku sudah menunggumu."
"Menungguku?" tanya Gurfeda, bingung.
Wanita itu mengangguk. "Dunia ini tahu siapa yang datang dan siapa yang pergi. Dan aku di sini untuk membantumu menemukan jawaban yang kau cari."
"Tapi kenapa aku harus percaya padamu?" Gurfeda bertanya, masih curiga.
Wanita itu tersenyum. "Karena aku bukan bagian dari Bayangan. Aku hanya seorang penjaga kebenaran di tempat ini."
Gurfeda terdiam.
Gurfeda duduk di depan rumah wanita tua itu, menatap api kecil yang menyala di dalam tungku. Udara di desa itu terasa aneh—terlalu tenang, seolah-olah menunggu sesuatu. Wanita tua itu, yang tidak pernah menyebutkan namanya, memintanya untuk menunggu sebelum memberikan jawaban apa pun.
"Di sini," katanya sambil menyodorkan secangkir minuman hangat. "Kau butuh kekuatan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaanmu sendiri."
Gurfeda menerima cangkir itu, tapi pikirannya sibuk. "Kenapa semua orang di dunia ini selalu berbicara dengan teka-teki?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Wanita itu tertawa kecil. "Karena jawaban yang terlalu cepat tidak pernah bertahan lama."
Gurfeda mendesah, tapi ia tetap diam. Wanita tua itu menyesap minumannya dengan perlahan sebelum akhirnya berbicara lagi. "Aku tahu kau frustrasi, Gurfeda. Dunia ini tidak memberi apa yang kau inginkan, tapi itu bukan berarti dunia ini tidak memberi apa pun."
"Maksudmu?" tanya Gurfeda, sedikit tertarik.
"Setiap orang yang datang ke dunia ini membawa luka," katanya dengan nada lembut. "Dan dunia ini bukan tempat untuk melarikan diri dari luka itu, melainkan tempat untuk memahaminya."
Kata-kata itu menggema di kepala Gurfeda, tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu rumah itu terbuka. Seseorang laki-laki masuk, membawa tumpukan kayu bakar di tangannya. Wajahnya terlihat ramah, tapi ada sesuatu di balik matanya yang membuat Gurfeda waspada—sebuah bayangan yang sulit dijelaskan.
"Dia tamumu?" tanya laki-laki itu pada wanita tua.
"Dia tamu dunia ini," jawab wanita tua itu dengan tenang. "Dan mungkin juga jawabannya."
Laki-laki itu mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, lalu duduk di dekat perapian. Ia menatap Gurfeda seolah-olah sedang menilainya. "Kau berbeda," katanya akhirnya.
"Apa maksudmu?" Gurfeda bertanya, merasa terganggu oleh tatapannya.
"Dunia ini tidak memanggil sembarang orang," katanya. "Jika kau ada di sini, berarti ada sesuatu yang luar biasa dari diri mu."
---
Hari-hari berikutnya, Gurfeda tinggal di desa itu. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan penduduknya. Mereka semua tampak menjalani kehidupan biasa—membajak ladang, memancing, merawat anak-anak. Tapi setiap kali ia bertanya tentang dunia ini atau bagaimana mereka sampai di sini, jawabannya selalu sama: mereka tidak ingat.
"Dunia ini mengambil ingatan kami," kata seseorang wanita yang sedang menjemur pakaian. "Atau mungkin kami menyerahkannya. Aku sendiri sudah lupa."
Ketika Gurfeda mencoba menanyakan lebih banyak, wanita itu hanya tersenyum dan berjalan pergi.
---
Suatu malam, Gurfeda tidak bisa tidur. Ia keluar dari rumah kecil wanita tua itu dan berjalan di jalanan desa yang sunyi. Langit di atasnya gelap pekat tanpa bintang, dan udara malam terasa dingin menusuk. Ia tidak tahu ke mana kakinya membawanya, sampai ia tiba di sebuah bangunan kecil di pinggir desa—sebuah gudang tua yang tampak seperti sudah lama ditinggalkan.
Saat ia mendekat, ia mendengar suara pelan dari dalam gudang. Itu bukan suara manusia, melainkan seperti bisikan angin yang membawa pesan-pesan tak terucap. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk membuka pintu, tapi sebelum ia sempat melakukannya, seseorang laki-laki muncul di belakangnya.
"Aku tidak akan masuk jika jadi kau," katanya dengan suara rendah.
Gurfeda berbalik dengan cepat, mengenali laki-laki yang membawa kayu bakar beberapa hari lalu. "Kenapa?"
Laki-laki itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia hanya memandang gudang itu dengan ekspresi serius. "Ada sesuatu di dalam sana yang bukan milik kita. Sesuatu yang harus tetap terkunci."
Gurfeda mengerutkan kening. "Apa itu?"
"Bayangan," jawab laki-laki itu singkat. "Mereka yang pernah mencoba melawan dunia ini."
Kata-kata itu membuat punggung Gurfeda meremang. "Kau pernah melihat mereka?"
Laki-laki itu mengangguk perlahan. "Aku pernah, dan itu adalah hal yang tidak ingin ku lihat lagi."
---
Keesokan paginya, Gurfeda mendekati wanita tua itu dan menceritakan apa yang terjadi. Wanita itu mendengarkan dengan tenang, tapi matanya menunjukkan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang ingin ia akui.
"Bayangan adalah makhluk yang tidak pernah menerima dunia ini," kata wanita itu akhirnya. "Mereka melawan, mencoba mencari jalan keluar, tapi semakin mereka melawan, semakin mereka kehilangan diri mereka sendiri. Hingga yang tersisa hanyalah kehampaan."
"Kenapa mereka tidak bisa pergi?" tanya Gurfeda.
"Karena dunia ini bukan tempat yang bisa kau tinggalkan," jawab wanita itu. "Ini adalah tempat di mana kau harus menemukan dirimu sendiri, atau kehilangan semuanya."
Kata-kata itu menghantui Gurfeda sepanjang hari.
Ia mulai melihat desa ini dengan cara yang berbeda. Penduduknya tampak bahagia, tapi mungkin itu karena mereka sudah menyerah. Mereka tidak melawan, tidak mempertanyakan, hanya menerima apa yang diberikan dunia ini.
Namun, Gurfeda tidak yakin apakah ia bisa hidup seperti itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus mendorongnya untuk mencari, untuk memahami.
---
Malam itu, saat bulan yang tak bersinar, Gurfeda kembali ke gudang tua.
Ia tidak bisa menghilangkan rasa ingin tahu yang menghantuinya. Jika bayangan adalah mereka yang melawan, apa yang bisa ia pelajari dari mereka? Apakah mereka benar-benar kehilangan segalanya, ataukah mereka menyimpan jawaban yang dunia ini sembunyikan?
Namun, saat ia berdiri di depan pintu gudang, seseorang wanita muncul dari bayang-bayang. Wajahnya setengah tertutup oleh kerudung tipis, dan matanya tampak seperti menyimpan seluruh rahasia dunia ini.
"Kau tidak seharusnya berada di sini," katanya dengan suara lembut dengan tatapan tegas.
Gurfeda memandangnya dengan penuh tekad. "Aku ingin tahu apa yang ada di dalam."
Wanita itu menggeleng. "Kadang-kadang, mengetahui terlalu banyak justru membawa kehancuran."
"Aku tidak peduli," balas Gurfeda.
"Aku harus tahu."
Wanita itu menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, bersiaplah untuk menghadapi bayanganmu sendiri."
Tak lama kemudian, Gurfeda Masuk ke dalam gudang, akan tetapi tiba tiba, semua bayangan menuju ke arah gurfeda, Ketika bayangan itu menyelubungi tubuh Gurfeda, ia merasa dirinya terseret ke dalam pusaran gelap yang tidak memiliki ujung. Angin menderu di sekelilingnya, dan suara-suara samar terdengar di kejauhan—suara yang tidak asing, tetapi juga tidak sepenuhnya ia kenali.
Saat Gurfeda membuka matanya, ia mendapati dirinya berdiri di atas tanah yang ia kenali, tetapi juga terasa aneh. Dunia ini tampak seperti dunia lamanya—pegunungan yang menjulang, langit dengan rona ungu senja, dan udara yang penuh dengan aroma magis. Tetapi, ada sesuatu yang salah.
Bayang-bayang kelam merayap di sekeliling, dan di depannya, ia melihat sosok-sosok yang pernah ia kenal: Veni, Luna, Isholdyenca, Lina, dan Thalia. Mereka semua terluka parah, darah menetes dari tubuh mereka, membasahi tanah yang sebelumnya bersinar. Gurfeda merasa dadanya sesak melihat kondisi mereka, tetapi ia tidak dapat bergerak, seperti tubuhnya terkunci oleh kekuatan yang tak terlihat.
Di hadapan mereka berdiri seseorang laki-laki dengan aura gelap yang sangat kuat. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tetapi tatapan matanya yang memancarkan kebencian menembus langsung ke jiwa Gurfeda. Dia adalah Renvurega, penguasa kegelapan yang tampaknya hampir menghancurkan segalanya.
Gurfeda mencoba berseru, memanggil nama teman-temannya, tetapi suaranya tidak keluar. Ia hanya bisa menyaksikan mereka berjuang mati-matian melawan kekuatan gelap yang tidak dapat mereka kalahkan. Setiap gerakan mereka semakin lemah, setiap serangan mereka semakin lambat. Darah mereka mengotori tanah, dan napas mereka terdengar berat.
"Apa yang kau lihat adalah sisa-sisa dari dunia lamamu," bisik sebuah suara dari belakang Gurfeda. Ia berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Ini bukan kenyataan, tetapi cerminan dari apa yang kau tinggalkan."
"Apa maksudmu?" tanya Gurfeda dengan suara yang bergetar.
"Dunia ini menunjukkan apa yang ingin kau hindari, apa yang ingin kau lupakan," jawab suara itu. "Tetapi ingatlah, ini hanyalah bayangan, bukan kebenaran."
Gurfeda melihat ke arah teman-temannya lagi. Tangannya mengepal, rasa tidak berdaya menggerogoti dirinya. Ia ingin membantu mereka, ingin berlari ke arah mereka, tetapi ia tahu bahwa ia tidak lagi memiliki kekuatan magis. Ia hanyalah seorang wanita tanpa apa-apa, tanpa kemampuan untuk menyelamatkan mereka.
Sementara itu, Veni berteriak, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Kami butuh kau, Gurfeda! Kenapa kau tidak ada di sini?!"
Kata-kata itu menusuk hati Gurfeda seperti pisau. Ia mencoba menjelaskan, mencoba mengatakan bahwa ia tidak bisa kembali, tetapi tidak ada yang mendengarnya. Ia hanya seorang penonton, seorang saksi yang tidak berdaya.
Kemudian, Renvurega mengangkat tangannya, dan energi gelap mulai mengumpul di sekelilingnya. Cahaya hitam itu membesar, bersiap untuk menghancurkan segalanya. Teman-teman Gurfeda mencoba melawan, tetapi mereka terlalu lemah.
Saat energi itu dilepaskan, Gurfeda berteriak sekuat tenaga, memohon agar semuanya berhenti. Namun, tiba-tiba, dunia di sekelilingnya runtuh. Bayangan itu hancur, dan ia merasa dirinya terseret kembali ke dalam kegelapan.
---
Ketika Gurfeda terbangun, ia kembali berada di dalam gudang tua. Keringat dingin mengalir di wajahnya, dan napasnya tersengal-sengal. Wanita yang sebelumnya melarangnya masuk berdiri di pintu, memandangnya dengan ekspresi dingin.
"Apa yang kau lihat?" tanya wanita itu dengan suara datar.
Gurfeda mencoba menjawab, tetapi suaranya tercekat. Gambaran teman-temannya yang terluka masih menghantui pikirannya. Wanita itu melangkah mendekat, menatapnya dengan mata yang penuh rahasia.
"Kau tidak bisa kembali ke dunia itu," katanya. "Bayangan yang kau lihat adalah cerminan dari apa yang kau bawa ke dalam dirimu. Luka, penyesalan, dan rasa bersalah. Dunia ini tidak akan membiarkanmu melarikan diri dari semua itu."
"Tapi mereka…" Gurfeda mencoba berbicara, suaranya bergetar. "Mereka membutuhkan aku."
"Mungkin," jawab wanita itu. "Atau mungkin kau hanya melihat apa yang ingin kau lihat. Kau tidak akan pernah tahu, karena dunia lamamu sudah hilang untuk selamanya."
---
Hari-hari setelah pengalaman itu, Gurfeda merasa tertekan. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan teman-temannya, oleh rasa bersalah karena tidak bisa membantu mereka. Tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terjebak dalam perasaan itu selamanya. Dunia ini menuntutnya untuk hidup, untuk terus berjalan, meskipun tanpa jawaban yang jelas.
Niah memperhatikan perubahan sikap Gurfeda. Suatu malam, ia mendekatinya saat mereka duduk di tepi sungai.
"Apa yang kau lihat di gudang itu?" tanya Niah dengan hati-hati.
Gurfeda menatap air yang tenang di depannya. "Masa laluku. Teman-temanku. Mereka terluka, berjuang, dan aku tidak bisa membantu mereka."
Niah mengangguk pelan. "Itu bukan masa lalu, Gurfeda. Itu adalah cerminan dari apa yang kau takutkan. Dunia ini tidak akan membiarkanmu lari dari rasa bersalah atau keraguanmu."
"Tapi aku merasa itu nyata," balas Gurfeda, suaranya dipenuhi kebingungan. "Seolah-olah aku benar-benar ada di sana."
"Itulah cara dunia ini bekerja," kata Niah. "Ia menunjukkan apa yang paling kau takutkan, apa yang paling kau rindukan, atau apa yang paling kau hindari. Tapi kau harus ingat satu hal: itu semua tidak nyata. Hanya kau yang nyata di sini."
---
Ketika Gurfeda akhirnya menutup matanya setelah seharian bekerja keras di ladang, ia berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan dalam tidurnya. Namun, ketenangan itu tidak pernah datang.
Dalam mimpinya, ia kembali ke dunia yang terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir. Ia melihat Renvurega lagi, penguasa kegelapan itu berdiri dengan kekuatan yang tampaknya tak terbatas. Di hadapan Renvurega, teman-temannya—Luna, Isholdyenca, Peals, Veni, Lina, dan Thalia—dipaksa berlutut. Mereka tampak lebih terluka daripada sebelumnya. Darah mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, menetes ke tanah yang gelap, membentuk genangan yang berkilauan dalam cahaya gelap yang memancar dari Renvurega.
Gurfeda ingin berteriak, ingin berlari ke arah mereka, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah-olah rantai tak terlihat menahannya di tempat. Ia hanya bisa menyaksikan ketika Renvurega berjalan perlahan ke arah teman-temannya, senyum sinis terlukis di wajahnya.
"Begini akhirnya," kata Renvurega dengan suara yang dalam dan bergetar, seperti gemuruh badai. "Dunia ini tidak menyisakan apa pun untuk kalian. Bahkan pemimpin kalian, Gurfeda, telah meninggalkan kalian."
Gurfeda menggigit bibirnya, rasa bersalah menguasai seluruh tubuhnya. Ia ingin memprotes, ingin mengatakan bahwa ia tidak meninggalkan mereka dengan sengaja, tetapi suaranya tidak keluar.
Luna, yang biasanya penuh dengan keberanian, mengangkat kepalanya dengan susah payah. "Gurfeda tidak meninggalkan kami," katanya, suaranya serak. "Ia adalah harapan kami. Dia akan kembali."
Renvurega tertawa keras, suara tawanya menggema di seluruh tempat itu. "Kau terlalu naif, Luna. Dia tidak akan pernah kembali. Dia telah memilih untuk melarikan diri, meninggalkan kalian untuk mati."
Gurfeda merasa hatinya hancur. Ia mencoba mengambil satu langkah ke depan, tetapi kakinya tidak bergerak. Renvurega mengangkat tangannya, dan kekuatan gelap mulai melingkupi teman-temannya, mencengkeram mereka lebih erat. Jeritan mereka memenuhi udara, menusuk telinga Gurfeda seperti belati.
Namun, sebelum Renvurega memberikan pukulan terakhir, semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Gurfeda terbangun, napasnya tersengal-sengal, keringat membasahi dahinya. Ia menyadari bahwa ia masih berada di rumah kecil wanita tua itu, dikelilingi oleh ketenangan desa yang damai. Tetapi bayangan mimpi itu tetap menghantuinya, terasa terlalu nyata untuk diabaikan.
---
Pagi itu, Gurfeda duduk di bawah pohon besar di tepi desa, mencoba menenangkan pikirannya. Ia memutar kembali apa yang ia lihat dalam mimpinya, mencoba mencari makna di baliknya.
Wanita tua itu muncul dari balik ladang, membawa keranjang penuh sayuran. Ia menghampiri Gurfeda dan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata yang penuh pemahaman.
"Apa yang kau lihat dalam tidurmu, Gurfeda?" tanyanya akhirnya.
Gurfeda menghela napas panjang. "Aku melihat teman-temanku lagi. Mereka disiksa oleh seseorang laki-laki—penguasa kegelapan dari dunia lamaku. Mereka memanggilku, tetapi aku tidak bisa menolong mereka."
Wanita itu mengangguk perlahan, seolah-olah sudah menduga jawaban itu. "Mimpi-mimpi seperti itu bukan sekadar mimpi. Mereka adalah cerminan dari hatimu, dari apa yang masih kau bawa dalam dirimu."
"Aku tidak mengerti," kata Gurfeda, suaranya penuh frustrasi. "Aku tahu aku tidak bisa kembali ke dunia lamaku. Aku sudah menerimanya. Tetapi kenapa aku terus dihantui oleh bayangan ini?"
Wanita itu menatap jauh ke arah cakrawala, seolah-olah mencoba mencari jawaban di kejauhan. "Karena meskipun kau telah meninggalkan dunia lamamu, dunia itu belum meninggalkanmu. Luka-luka yang kau bawa dari sana tetap ada, dan dunia ini memaksamu untuk menghadapi mereka, satu per satu."
Gurfeda menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Wanita itu tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Mungkin kau tidak perlu tahu. Mungkin yang perlu kau lakukan hanyalah menerima bahwa kau tidak bisa menyelamatkan semua orang, bahwa terkadang, menjadi lemah bukanlah sebuah kegagalan."
---
Hari-hari berikutnya, Gurfeda mulai mencoba memahami kata-kata wanita tua itu. Ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan di desa, tetapi bayangan mimpinya terus menghantui. Setiap malam, ia takut untuk tidur, takut untuk kembali melihat teman-temannya yang menderita.
Namun, suatu malam, seseorang laki-laki yang tidak ia kenal muncul di desa itu. Ia adalah pendatang baru, dengan pakaian yang compang-camping dan mata yang penuh kelelahan. Penduduk desa menyambutnya dengan ramah, seperti yang selalu mereka lakukan, tetapi Gurfeda merasa ada sesuatu yang aneh tentangnya.
Laki-laki itu mendekati Gurfeda ketika mereka sedang bekerja di ladang. "Kau terlihat seperti seseorang yang sedang mencari jawaban," katanya dengan suara pelan.
Gurfeda memandangnya dengan curiga. "Apa maksudmu?"
"Aku juga pernah mencarinya," katanya. "Aku datang ke dunia ini berharap bisa melarikan diri dari bayangan masa laluku, tetapi ternyata dunia ini tidak semudah itu."
Gurfeda menatap laki-laki itu dengan lebih dekat, mencoba membaca ekspresinya. "Apa yang kau temukan?"
Laki-laki itu tersenyum samar. "Aku menemukan bahwa jawaban tidak datang dari melawan bayangan itu, tetapi dari menerima bahwa aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Hanya dengan begitu aku bisa mulai melangkah maju."
Malam itu, Gurfeda tidur dengan perasaan letih setelah seharian berlatih bela diri tangan kosong bersama Niah. Otot-ototnya pegal, tetapi pikirannya terus dipenuhi kecemasan dan keraguan. Namun, apa yang terjadi dalam tidurnya jauh lebih buruk daripada keletihan yang ia rasakan.
Dalam mimpinya, Gurfeda berdiri di tengah sebuah dataran kosong yang suram. Langit di atasnya berwarna abu-abu pekat, tanpa matahari maupun bulan. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang terdengar seperti erangan kesakitan. Tiba-tiba, dari kegelapan di kejauhan, Renvurega muncul—seseorang laki-laki dengan aura kelam yang begitu kuat hingga tanah di sekitarnya retak.
Renvurega berdiri dengan angkuh, kedua tangannya terentang seolah ingin menunjukkan kekuasaannya. Dan di belakangnya, Gurfeda melihat mereka—Peals, Luna, Veni, Isholdyenca, Lina, dan Thalia—berlutut dalam keadaan yang mengenaskan. Mata mereka kosong, tubuh mereka diselimuti kabut hitam yang bergerak seperti rantai hidup, mengikat mereka tanpa ampun. Gurfeda bisa melihat bagaimana kekuatan kegelapan itu meresap ke dalam kulit mereka, menelan cahaya dalam jiwa mereka.
"Lihatlah, Gurfeda. Mereka milikku sekarang," kata Renvurega, suaranya dalam dan menggema. Ia menunjuk ke arah teman-teman Gurfeda dengan senyum mengejek. "Bahkan kau tak bisa menyelamatkan mereka dulu. Dan sekarang, mereka menjadi bagian dari kegelapanku selamanya."
Gurfeda mencoba bergerak, mencoba berlari, tetapi tubuhnya terasa berat, seperti ada beban yang menekan pundaknya. "Apa yang kau lakukan pada mereka?" serunya dengan suara yang bergetar.
Renvurega tertawa, sebuah tawa yang membuat udara terasa semakin dingin. "Aku telah menundukkan mereka, seperti aku menundukkan dunia ini. Dan kau? Kau bahkan bukan siapa-siapa lagi. Kau hanya seorang wanita biasa di dunia yang tak menginginkanmu."
Lalu Renvurega mengangkat tangannya, dan dari balik bayangannya muncul sepuluh patung besar yang bersinar redup—sepuluh dewi terhebat dari dunia lama Gurfeda. Patung-patung itu membeku dalam pose penuh penderitaan, cahaya magis yang dahulu mereka miliki telah padam sepenuhnya. Gurfeda tertegun. Bahkan para dewi yang ia hormati dulu, yang tak tergoyahkan, kini hanya menjadi artefak kosong dalam genggaman Renvurega.
"Ini adalah akhir dari segalanya, Gurfeda," Renvurega berbisik dingin. "Dan kau… tak berdaya."
Tiba-tiba, Renvurega mengumpulkan kekuatan hitam di tangannya. Energi itu berputar cepat, membentuk bola kegelapan yang memancarkan suara memekakkan telinga. Sebelum Gurfeda sempat bereaksi, Renvurega melepaskan kekuatan itu ke arahnya. Bola kegelapan itu melesat, semakin dekat, hingga menyelimuti seluruh pandangannya—dan Gurfeda terbangun dengan tubuh terlonjak dari tempat tidurnya.
Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membanjiri dahinya. Dadanya terasa sesak, dan jantungnya berdebar kencang. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi bayangan dari mimpi itu masih begitu jelas—Renvurega, teman-temannya, dan para dewi yang telah membeku. Semuanya terasa terlalu nyata.
---
Keesokan harinya, Niah melihat Gurfeda duduk sendirian di bawah pohon tua di pinggir desa, tatapannya kosong. Ia menghampiri Gurfeda dengan langkah hati-hati, membawa air di dalam kendi kecil.
"Kau terlihat seperti orang yang dihantui sesuatu," kata Niah sambil duduk di sampingnya.
Gurfeda menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan yang masih gemetar. "Aku… bermimpi lagi," jawabnya lirih.
Niah memandangnya penuh perhatian. "Mimpi yang sama?"
"Lebih buruk." Gurfeda menelan ludah, berusaha menenangkan getaran suaranya. "Aku melihat teman-temanku. Mereka ditaklukkan oleh seseorang laki-laki—Renvurega. Bahkan dewi-dewi yang dulu melindungi kami sudah membeku. Mereka semua hilang… dan aku tidak bisa melakukan apa-apa."
Niah diam sejenak, lalu menatap Gurfeda dengan serius. "Apa yang kau lihat dalam mimpi itu bukan tentang mereka. Itu tentang dirimu."
Gurfeda menatap Niah, bingung. "Apa maksudmu?"
"Kau terus membawa beban dari masa lalumu, Gurfeda," jawab Niah lembut. "Bayangan itu hanya akan semakin kuat jika kau biarkan mereka menakutimu. Kau harus belajar melepaskan—bukan melupakan, tetapi menerima bahwa kau tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi."
"Tapi mereka…" suara Gurfeda bergetar. "Aku merasa seperti telah mengecewakan mereka."
Niah menyentuh bahu Gurfeda dengan lembut. "Dunia ini berbeda. Kau bukan lagi Gurfeda yang dulu. Kekuatanmu kini ada dalam dirimu sendiri, bukan dalam sihir yang telah kau tinggalkan. Jika kau ingin maju, kau harus mulai melihat ke depan, bukan ke belakang."
Kata-kata Niah terngiang di kepala Gurfeda sepanjang hari. Ia mulai berpikir bahwa mungkin benar—mimpi-mimpi itu hanyalah gambaran dari rasa bersalah yang terus ia pendam. Namun, bagaimana caranya ia bisa melangkah maju ketika bayangan masa lalu masih terasa begitu nyata?
---
Malam itu, Gurfeda memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Di tepi desa, ia berdiri di bawah sinar rembulan yang redup, mengambil posisi yang diajarkan oleh Niah. Ia mulai berlatih gerakan dasar bela diri yang selama ini ia pelajari—gerakan-gerakan sederhana namun membutuhkan keseimbangan, ketenangan, dan fokus.
Setiap pukulan yang ia lepaskan, ia membayangkan melepaskan rasa bersalahnya. Setiap tarikan napas yang ia hirup, ia mencoba membuang bayangan masa lalu yang menghantuinya.
"Mereka tidak bisa lagi ku gapai," bisiknya pelan pada dirinya sendiri. "Tetapi aku masih bisa bergerak… aku masih bisa berjuang."