Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 33 - Takdir Berkabut

Chapter 33 - Takdir Berkabut

Setelah memandang horizon, Gurfeda menghela napas panjang dan melangkah kembali ke rumahnya. Suara tawa anak-anak yang bermain di desa menyelimuti udara, membawa kedamaian yang telah lama hilang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang mendekat—sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.

Ketika ia masuk ke dalam kamar, Luna, Peals, Veni, Isholdyenca, dan Flaura sudah menunggunya. Mereka terlihat tenang, namun mata mereka menyiratkan rasa peduli yang mendalam.

"Kau terlihat lelah," kata Luna lembut, membenahi bantal di tempat tidur.

"Tidurlah, Gurfeda. Kau telah melakukan banyak hal untuk desa ini. Kami akan menjagamu," tambah Peals, senyum kecil menghiasi wajahnya.

Gurfeda mengangguk dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Teman-temannya duduk di sekitarnya, menjaga agar ia bisa beristirahat dengan tenang. Angin malam berembus pelan dari jendela yang terbuka, membelai wajah mereka dengan dinginnya.

Namun, saat Gurfeda mulai terlelap, kegelapan yang menakutkan menyelimuti pikirannya. Dalam mimpi itu, ia berdiri sendirian di sebuah padang luas yang suram. Langit di atasnya kelabu, dan tanah di bawah kakinya terasa dingin dan mati. Tidak ada suara, hanya keheningan yang menyesakkan.

Tiba-tiba, dari balik kabut, muncul sosok tinggi dengan mata merah menyala. Wajahnya tertutup topeng logam kuno, dan di tangannya tergenggam pedang yang memancarkan aura hitam pekat. Sosok itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Gurfeda.

"Gurfeda…" suara itu bergema seperti ratusan bisikan sekaligus, menciptakan getaran di udara. "Kau pikir sudah selesai? Kau salah. Ibumu… adalah kunci dari kehancuranmu."

Hati Gurfeda mencelos. Sosok itu mengayunkan pedangnya, dan dari tanah di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang bergerak seperti ular, mengelilinginya. Gurfeda mencoba melawan, tapi tubuhnya terasa berat, seolah-olah rantai tak terlihat menahannya.

"Temui aku di tempat di mana semuanya dimulai…" suara itu berlanjut, lalu kabut gelap menelan semuanya.

Gurfeda terbangun dengan teriakan tertahan, napasnya memburu dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia memegang kalung di lehernya dengan erat, seolah mencoba mencari kekuatan darinya.

Luna, yang duduk di sampingnya, langsung menggenggam tangannya. "Apa yang terjadi? Kau bermimpi buruk?" tanyanya cemas.

Yang lain segera mendekat, wajah mereka penuh kekhawatiran.

"Dia…" Gurfeda mencoba mengatur napasnya, "dia tahu tentang ibuku. Dan dia memintaku datang ke tempat di mana semuanya dimulai."

Mereka saling pandang, merasakan beratnya ancaman yang baru saja muncul kembali. Namun, di balik rasa takut, ada tekad yang mulai tumbuh.

"Kami akan bersamamu, apa pun yang terjadi," kata Veni dengan suara tegas.

"Ya," tambah Flaura. "Jika ini adalah awal dari sesuatu yang baru, kita akan menghadapinya bersama."

Gurfeda memandang teman-temannya satu per satu, merasakan kehangatan dan keberanian yang mereka pancarkan. Ia tahu perjalanan mereka belum selesai, dan bahaya masih mengintai di luar sana. Tapi dengan mereka di sisinya, ia merasa siap menghadapi apa pun.

Ketika fajar mulai menyingsing, Gurfeda berdiri di tepi jendela, menyaksikan semburat merah keemasan melukis langit. Tapi ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Udara terasa berat, dan suara burung-burung yang biasanya ceria terdengar samar, seolah-olah mereka memperingatkan bahaya.

Luna menghampirinya, mengenakan jubah peraknya. "Kita harus bergerak cepat," katanya pelan. "Jika sosok dalam mimpimu benar-benar tahu tentang ibumu, mereka mungkin juga tahu tentang desa ini."

Belum sempat Gurfeda menjawab, suara ledakan mengguncang tanah. Seluruh rumah bergetar, dan mereka semua terlonjak kaget. Teriakan panik terdengar dari luar. Gurfeda segera meraih pedangnya, sementara yang lain bersiap dengan senjata dan sihir mereka.

"Cepat!" seru Peals. Mereka berlari keluar, dan pemandangan yang menyambut mereka membuat hati mereka mencelos.

Dari arah barat desa, kabut hitam tebal perlahan melahap segala sesuatu yang dilaluinya—pohon-pohon layu, tanah retak, dan bangunan runtuh. Dari dalam kabut, muncul makhluk-makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan jari-jari panjang seperti cakar. Mata mereka bersinar merah, persis seperti sosok dalam mimpi Gurfeda.

"Mereka datang!" teriak seorang penduduk desa sambil berlari mencari perlindungan.

"Kita harus menghentikan kabut itu sebelum seluruh desa hancur!" kata Isholdyenca, mengangkat tongkatnya. "Aku bisa merasakan energi gelap yang kuat dari dalam sana."

Tanpa ragu, Gurfeda memimpin kelompoknya menuju garis depan, tempat kabut mulai menyelimuti pinggiran desa. Ia mengangkat pedangnya yang kini bersinar biru muda—pemberian ibunya yang misterius—dan melangkah maju.

Makhluk pertama menerjang ke arahnya dengan kecepatan luar biasa, cakar panjangnya melesat untuk menyerang. Namun, Gurfeda melompat mundur dan mengayunkan pedangnya, membelah makhluk itu menjadi dua. Jeritan melengking terdengar, dan tubuhnya berubah menjadi asap hitam yang lenyap.

"Lindungi penduduk desa!" teriak Gurfeda kepada teman-temannya.

Luna dan Flaura bergerak ke sisi kanan, menciptakan dinding sihir yang melindungi orang-orang yang melarikan diri. Veni dan Isholdyenca bekerja sama di sisi kiri, menyerang makhluk-makhluk yang mendekat dengan sihir api dan petir. Peals, yang dikenal dengan kelincahannya, berlari cepat di antara makhluk-makhluk itu, menusuk mereka dengan belatinya yang tajam sebelum mereka sempat menyerang.

Namun, jumlah makhluk itu terus bertambah, dan kabut semakin mendekat. Gurfeda tahu mereka tidak bisa bertahan lama. Ia memandang ke arah pusat kabut, di mana ia bisa merasakan sumber energi gelap itu.

"Aku akan masuk ke dalam kabut," kata Gurfeda tegas.

"Apa? Kau gila?" seru Flaura.

"Kita tidak punya waktu. Jika aku bisa menghancurkan sumbernya, mereka akan berhenti. Percayalah padaku," katanya, menatap mereka dengan penuh keyakinan.

Meskipun enggan, teman-temannya mengangguk. Luna menggenggam lengannya. "Kau tidak sendirian. Kami akan menutupi jalanmu."

Dengan cepat, Gurfeda berlari menuju kabut, sementara teman-temannya menciptakan perlindungan di sekitarnya, melawan makhluk-makhluk yang mencoba menghalanginya.

Ketika Gurfeda masuk ke dalam kabut, dunia sekitarnya berubah. Suara desa menghilang, digantikan oleh bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya. Bayangan-bayangan bergerak di ujung pandangannya, mencoba membuatnya kehilangan arah.

"Aku tidak takut," gumamnya, menggenggam pedangnya erat.

Di tengah kabut, ia melihat sebuah altar batu besar yang memancarkan cahaya hitam. Di atasnya, sebuah bola kristal berwarna ungu berdenyut seperti jantung hidup. Saat ia mendekat, bayangan sosok dalam mimpinya muncul di depan altar itu, pedangnya terangkat tinggi.

"Kau benar-benar datang, Gurfeda," kata sosok itu, suaranya dingin dan mengancam. "Tapi kau terlalu lemah untuk menghentikan ini."

"Coba saja," jawab Gurfeda sambil melangkah maju.

Pertarungan pun dimulai. Sosok itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang dengan pedangnya yang berat. Gurfeda menghindar, memutar tubuhnya, dan membalas serangan dengan ayunan pedangnya sendiri.

Setiap kali pedang mereka bertemu, percikan energi terlepas, menerangi kabut yang pekat. Pertarungan berlangsung sengit, dan meskipun Gurfeda terus melawan, kekuatan lawannya terasa tak terkalahkan.

Namun, saat ia hampir terdesak, Gurfeda teringat sesuatu—kalung di lehernya, yang diberikan ibunya sebelum menghilang. Ia meraih kalung itu, dan tiba-tiba cahaya biru terang keluar darinya, membanjiri kabut dengan sinar yang mematikan.

Sosok itu menjerit kesakitan, tubuhnya mulai memudar. Dengan satu serangan terakhir, Gurfeda menghancurkan bola kristal di altar, menyebabkan kabut dan makhluk-makhluk gelap lenyap seketika.

Ketika semuanya berakhir, Gurfeda jatuh berlutut, kelelahan. Teman-temannya berlari menghampirinya, wajah mereka penuh kelegaan. Desa kembali tenang, tapi Gurfeda tahu, ini baru permulaan dari misteri yang lebih besar.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Veni.

Gurfeda menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin mereka terhubung dengan ibuku. Dan aku akan menemukan jawabannya."

Dengan semangat baru, mereka kembali ke desa.

Setelah kabut gelap menghilang dan desa kembali tenang, Gurfeda dan teman-temannya perlahan berjalan kembali ke rumah. Matahari pagi yang hangat menyinari mereka, tetapi langkah-langkah mereka terasa berat. Beban pertempuran baru saja selesai, namun luka-luka yang mereka alami mulai terasa menyakitkan.

Setibanya di dalam rumah, Gurfeda membantu Flaura duduk di kursi kayu terdekat. Wajah Flaura pucat, dan ia menggenggam perutnya yang terluka akibat cakar salah satu makhluk gelap. Peals memegang bahunya yang terluka, darah menetes dari sela-sela jarinya. Sementara itu, Isholdyenca nyaris tidak mampu berdiri, tongkatnya menjadi satu-satunya penopang. Luna, meskipun berusaha tetap kuat, terlihat menahan nyeri di kakinya yang tergores parah.

"Kalian harus istirahat," kata Gurfeda tegas, namun suaranya dipenuhi kekhawatiran.

"Tapi… bagaimana jika mereka kembali?" gumam Peals, terengah-engah.

"Mereka tidak akan kembali, untuk sekarang. Kita berhasil menghancurkan sumber kekuatan mereka," balas Gurfeda sambil mengambil kain bersih dan mangkuk air dari meja. Ia mulai membersihkan luka Flaura dengan hati-hati, meskipun tangannya gemetar melihat darah yang begitu banyak.

Isholdyenca mencoba menggunakan sihir penyembuhnya, tapi cahaya yang ia hasilkan sangat redup, tanda bahwa energinya hampir habis. "Aku… aku tidak bisa banyak membantu. Maafkan aku," katanya lemah.

"Kamu sudah melakukan lebih dari cukup," jawab Gurfeda, mencoba menenangkannya.

Luna, yang biasanya selalu tenang, mulai meringis kesakitan. "Gurfeda… aku rasa… aku tidak bisa berjalan," katanya, menatap kakinya yang kini membengkak.

Gurfeda langsung berlutut di sampingnya. "Aku akan mengurus ini, Tenanglah" katanya dengan nada penuh tekad. Namun, di dalam hatinya, ia merasa putus asa. Luka-luka mereka lebih parah dari yang ia bayangkan, dan persediaan obat di rumahnya tidak cukup.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari arah pintu. "Kalian butuh bantuan ? ."

Semua kepala menoleh ke seorang wanita paruh baya dengan rambut panjang berwarna perak, dan ia membawa sebuah kantung kulit kecil di tangannya. Gurfeda mengenalnya—dialah Eldeia, penyihir tua yang tinggal di hutan dekat desa.

"Eldeia !" seru Gurfeda dengan penuh harapan.

Eldeia itu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu sambutan lebih. "Aku merasakan energi gelap itu sejak semalam. Aku tahu kalian akan bertarung, jadi aku bersiap untuk membantu," katanya sambil membuka kantungnya, mengeluarkan botol-botol kecil berisi cairan berwarna emas.

Eldeia mendekati Luna terlebih dahulu, menuangkan beberapa tetes cairan ke lukanya. Luna mengerang kesakitan di saat cairan itu menyentuh kulit nya yang terluka, tapi dalam hitungan detik, bengkak di kakinya mulai mengempis. Luka-lukanya perlahan tertutup, meninggalkan bekas samar.

"Ini ramuan penyembuh yang sangat kuat," jelas Eldeia sambil beralih ke Flaura. "Namun, kalian semua butuh istirahat total selama beberapa hari. Luka-luka ini tidak hanya fisik, tapi juga membawa jejak energi gelap."

Ketika giliran Isholdyenca tiba, idholdyenca memejamkan mata dan berkata pelan, "Terima kasih, Eldeia. Aku tahu ramuan ini langka. Kau tak perlu repot untukku."

Eldeia hanya tersenyum tipis.

"Kau lupa siapa aku ? Menolong adalah tugasku." ujar eldia

Setelah semua luka telah terawat, Eldeia berdiri di tengah ruangan dan menatap Gurfeda. "Aku tahu kau punya banyak pertanyaan, Gurfeda. Tentang mimpimu, tentang ibumu, dan tentang apa yang terjadi hari ini."

Gurfeda mengangguk pelan. "Apakah kau tahu sesuatu tentang hal ini, Eldeia?"

Wanita itu menghela napas panjang. "Aku tahu sedikit. Sosok yang kau lihat dalam mimpimu adalah salah satu penguasa kegelapan—makhluk kuno yang menjaga pintu antara dunia kita dan dunia yang terkutuk. Ibumu… dia memiliki hubungan erat dengan mereka. Tapi aku belum tahu pasti tentang kaitan ibu mu dengan penguasa kegelapan ."

"Apakah dia masih hidup?" tanya Gurfeda, suaranya penuh harap.

Eldeia memandangnya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Aku tidak bisa menjawab itu. Tapi aku tahu di mana kau bisa mencari jawaban."

Semua mata tertuju pada Eldeia. "Di mana?" tanya Flaura, meskipun tubuhnya masih lemah.

"Hutan Kuno Elarion," jawab Eldeia. "Hutan itu adalah tempat asal ibumu.

kalian mungkin menemukan petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi ingat, tempat itu tidak ramah. Ada alasan mengapa hutan itu disebut kutukan oleh penduduk desa."

"Hutan Kuno Elarion…" gumam Gurfeda, memproses informasi itu.

"Pergilah setelah kalian pulih," lanjut Eldeia. "dengan keberanianmu dan kekuatan persahabatan kalian, kalian bisa menghadapi apa pun yang menanti."

Setelah memberikan ramuan tambahan, Eldeia meninggalkan mereka. Malam itu, meskipun tubuh mereka mulai membaik, pikiran Gurfeda tak bisa berhenti memikirkan ibunya dan hutan yang disebut Eldeia.

Ia memandang teman-temannya yang mulai tertidur dengan tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di kejauhan, bulan bersinar terang, seolah-olah memberi isyarat. Ia menggenggam kalungnya dan berbisik, "Aku akan menemukanmu, Ibu. Apa pun yang terjadi."

Dan di bawah sinar bulan, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa perjalanan ke Hutan Kuno Elarion adalah langkah berikutnya, apa pun bahaya yang menanti di sana.

Pagi Telah Tiba, Gurfeda dan yang lain memulai perjalanan, dua jam kemudian, perjalanan semakin dalam ke Hutan Kuno Elarion. Suasana di sekitar berubah semakin aneh, seolah-olah hutan itu mengamati setiap langkah mereka. Pohon-pohon bergerak meski tak ada angin, dan suara bisikan terdengar semakin jelas di telinga mereka. Cahaya redup di kejauhan kini terlihat seperti sumber api kecil, tapi apa pun yang ada di sana membuat udara semakin berat, seperti ada sesuatu yang berusaha mencegah mereka mendekat.

Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Tanah di depan mereka retak, menciptakan jurang yang dalam, memotong jalan ke arah tujuan mereka. Dari jurang itu, muncul kabut hitam yang melingkar seperti naga, dan di tengah kabut, muncul sesosok pria tua. Kulitnya berwarna hijau gelap seperti lumut, dan tubuhnya dilapisi akar-akar besar yang bergerak seperti ular hidup. Matanya berwarna kuning, bersinar tajam dalam kegelapan.

"Kalian tidak diizinkan untuk melangkah lebih jauh," suaranya terdengar seperti ribuan daun kering yang bergesekan. "Aku adalah Wälderion, penjaga gerbang terakhir. Siapa yang berani menodai wilayahku?"

Gurfeda maju selangkah, mencoba menunjukkan keberanian. "Aku Gurfeda, putra dari AIKO, penjaga negri ini. Aku datang untuk mencari kebenaran tentang ibu ku dan menyelamatkan dunia dari kegelapan yang sedang bangkit!"

Wälderion menyipitkan matanya. "Putra Aiko ?" Bisikan itu hampir seperti tawa. "Ibu mu adalah orang yang membawa ke kacauan di hutan ini. Kau tak akan mendapatkan jawaban di sini, kecuali kau membuktikan dirimu."

"Apa maksudmu?" tanya Gurfeda, pedangnya siap di tangan.

"Ujian," Wälderion menjawab, mengangkat tangannya. Akar-akar di tanah mulai bergerak liar, menciptakan dinding yang memisahkan Gurfeda dari teman-temannya.

"Ini jebakan!" seru Flaura dari balik dinding akar.

"Tenang, aku akan mengatasinya !" balas Gurfeda, meski hatinya berdebar.

"Jika kau ingin menemukan kebenaran, kau harus menghadapi ketakutan terdalammu. Jika gagal, kau akan menjadi bagian dari hutan ini selamanya," kata Wälderion. Kabut hitam melilit Gurfeda, menariknya ke dalam bayangan.

---

Ketika Gurfeda membuka matanya, ia menemukan dirinya sendirian di tengah padang yang asing. Langit di atasnya berwarna merah darah, dan di depannya berdiri seorang wanita dengan wajah yang sangat dikenalnya—ibunya, Lara.

"Ibu ?" gumam Gurfeda, melangkah maju dengan hati-hati. Tapi tatapan Lara dingin, jauh berbeda dari bayangan ibunya yang hangat dalam ingatan.

"Kau Lemah Anak ku " kata Aiko dengan nada dingin. "Kau tidak seharusnya datang ke sini, Kau hanya akan membawa kehancuran seperti yang aku lakukan."

"Tidak! Aku ada di sini untuk menyelamatkanmu, untuk mengakhiri semua ini!" balas Gurfeda dengan suara gemetar.

Aiko mengangkat tangannya, dan tiba-tiba bayangan gelap menyelimuti, membentuk sosok-sosok menyeramkan yang mulai mengepung Gurfeda.

"Jika kau benar-benar kuat, buktikan! Hancurkan aku, atau tenggelam dalam ketakutanmu sendiri!"

Gurfeda mengangkat pedangnya, tapi tangannya gemetar.

"Aku tidak bisa melawanmu, Ibu!"

Sosok Aiko tersenyum tipis, tapi senyuman itu penuh kejam. "Kau tidak punya pilihan. Jika kau tidak melawanku, dunia akan hancur. Kau akan hancur."

Bayangan-bayangan itu menyerang serentak. Gurfeda mencoba menangkis, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Setiap serangan yang ia lakukan seolah-olah hanya membuat bayangan itu semakin kuat.

Saat ia terdesak, suara lembut terdengar di kepalanya. "Percayalah pada dirimu sendiri, Gurfeda. Kau lebih dari sekadar bayanganku. Aku ada di sini, selalu bersamamu."

Itu suara ibunya, tapi kali ini berbeda—penuh kasih, seperti yang ia ingat. Gurfeda memejamkan matanya, mencoba mengabaikan serangan bayangan di sekitarnya. Ia menarik napas sangat dalam dan mengingat semua yang telah ia lalui bersama teman-temannya.

Ketika ia membuka matanya, pedangnya bersinar terang, cahaya yang mampu menembus kegelapan di sekelilingnya. "Aku tidak akan takut lagi! Aku bukan hanya putra Aiko—aku adalah Gurfeda, dan aku akan melindungi dunia ini !"

Dengan satu ayunan, cahaya dari pedangnya meledak, menghancurkan semua bayangan sekaligus. Sosok Aiko memudar, tetapi kali ini dengan senyum lembut di wajahnya. "Aku bangga padamu, anak ku."

---

Gurfeda terbangun di tempat ia berdiri sebelumnya, tepat di depan Wälderion. Dinding akar yang memisahkannya dari teman-temannya kini lenyap. Teman-temannya berlari menghampiri gurfeda, tetapi pandangan Wälderion masih tajam, penuh pertimbangan.

"Kau telah lulus ujian, Gurfeda," katanya akhirnya. "Tapi jalanmu masih panjang. Hutan ini menyimpan lebih banyak rahasia kegelapan. "

Wälderion melangkah mundur, membiarkan mereka melanjutkan perjalanan ke arah cahaya yang mereka tuju.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih berat, karena setiap kata Wälderion terasa seperti peringatan. Tapi satu hal pasti—dalam hati Gurfeda, keyakinannya semakin kuat. Tak peduli seberapa rumit perjalanan ini, ia tidak akan menyerah.

Dari kejauhan, cahaya redup itu kini semakin jelas, membentuk sebuah bangunan besar yang tampak seperti kuil kuno, diselimuti oleh akar-akar pohon yang menjulang ke langit. Apa yang menanti mereka di sana akan menguji segalanya—persahabatan, kekuatan, dan kebenaran yang tersembunyi dalam jiwa mereka.

Gurfeda dan teman-temannya terus melangkah menyusuri Hutan Elarion, semakin dekat dengan kuil kuno yang memancarkan cahaya redup. Namun, suasana di sekitar mereka berubah semakin janggal. Bisikan halus terdengar di telinga, dan pepohonan seolah bergerak dalam bayang-bayang, menebarkan perasaan waspada yang tak terjelaskan.

Ketika mereka hampir tiba, tanah di sekitar mulai bergetar pelan, lalu semakin kuat. Dari balik kabut, dua sosok muncul perlahan, mengenakan baju zirah hitam legam yang dihiasi ukiran kuno. Pancaran aura mereka begitu kuat, membuat udara di sekitar terasa berat. Sosok tersebut tampak seperti penjaga dari zaman yang terlupakan. Helm mereka berbentuk tanduk yang menjulang, memancarkan kesan penuh wibawa sekaligus mengancam.

"Berhenti di tempatmu," salah satu dari mereka berkata dengan suara tenang namun penuh kekuatan. "Langkahmu tidak diizinkan lebih jauh."

Gurfeda, dengan napas yang mulai berat karena ketegangan, mengangkat pandangannya. "Siapa kalian? Dan mengapa kalian menghalangi jalan kami?"

Sosok itu melepas helmnya, memperlihatkan wajah yang membuat hati Gurfeda seolah berhenti berdetak. Itu adalah Lina, sahabat masa kecilnya, yang telah lama menghilang. Di sampingnya, seorang wanita yang tak asing—Thalia, pejuang hebat dari masa lalu, yang dianggap telah gugur di medan perang demi desa mereka.

"Lina? Thalia? Bagaimana mungkin…?" gumam Gurfeda, tercengang.

Lina tersenyum tipis, namun ada sesuatu yang berbeda dalam senyuman itu. Matanya, yang dulu penuh kehangatan, kini memancarkan kesunyian yang mendalam. "Gurfeda, dunia ini tidak lagi seperti yang kau kenal. Kami telah menemukan kekuatan sejati di sini, kekuatan yang melampaui segalanya."

Thalia menambahkan dengan suara lembut namun tegas, "Kuil ini tidak untukmu. Hanya mereka yang dipilih oleh kehendak hutan yang berhak melangkah lebih jauh. Kau dan teman-temanmu harus kembali."

"Aku tidak bisa kembali," jawab Gurfeda, suara dan tatapannya tegas. "Aku mencari kebenaran, bukan hanya untuk ibuku, tapi juga untuk menyelamatkan dunia ini dari kegelapan yang menyelimuti."

Lina menggelengkan kepalanya perlahan, senyumnya memudar. "Gurfeda, dunia tidak membutuhkan penyelamat. Yang dibutuhkan hanyalah keseimbangan. Dan perjalananmu hanya akan membawa kehancuran bagi semuanya."

Gurfeda menatap mereka dengan penuh keyakinan. "Aku tidak percaya itu. Aku tahu di dalam hati kalian, masih ada cahaya. Aku di sini untuk membawa harapan, bukan kehancuran."

Lina dan Thalia saling pandang. Seketika, aura hitam yang melingkupi tubuh mereka berpendar semakin pekat. "Jika kau ingin melanjutkan, kau harus membuktikan bahwa hatimu cukup kuat untuk melawan kehendak ku."

Lina bergerak lebih dulu, meluncur dengan kecepatan luar biasa. Serangan pedangnya tidak hanya tajam, tetapi juga membawa kekuatan yang membuat Gurfeda terhuyung mundur saat menangkisnya. Sementara itu, Thalia mengangkat tombaknya dengan anggun, menyerang Luna, Peals, Isholdyenca, dan Flaura. Teman-teman Gurfeda berusaha bertahan dengan kemampuan terbaik mereka, namun tekanan dari Thalia membuat mereka kesulitan untuk bertahan lama.

"Lina, kau tak harus melakukan ini!" seru Gurfeda, mencoba menahan serangan demi serangan. "Aku tahu kau masih memiliki kebaikan di dalam dirimu!"

Namun, Lina tak menjawab. Ia terus menyerang, gerakannya semakin cepat dan kuat, memaksa Gurfeda untuk mundur selangkah demi selangkah.

Di sisi lain, Luna menggunakan sisa energinya untuk menciptakan perisai pelindung bagi teman-temannya. Namun, serangan Thalia dengan tombaknya membuat perisai itu mulai retak. Wajah Luna memucat, namun ia tidak menunjukkan tanda menyerah. "Flaura, bantu Gurfeda! Kami akan mencoba bertahan di sini."

Flaura ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan bergerak ke sisi Gurfeda, membantu menahan serangan Lina. "Gurfeda, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita harus menemukan cara untuk menghentikan mereka tanpa melukai mereka."

"Aku tahu," jawab Gurfeda, matanya tetap tertuju pada Lina. "Tapi mereka tidak akan berhenti sampai aku membuktikan sesuatu."

Lina berhenti sejenak, menatap Gurfeda dengan pandangan yang sulit diartikan. "Gurfeda, apa kau benar-benar yakin kau tahu apa yang sedang kau perjuangkan ? Kuil ini bukan tempat untuk mencari jawaban. Ia hanya akan menunjukkan kepadamu kebenaran yang mungkin tak ingin kau lihat."

Gurfeda menggenggam pedangnya lebih erat. "Jika itu yang harus ku lakukan, aku akan menghadapinya."

Mendengar itu, Lina dan Thalia kembali bersiap menyerang, kali ini dengan energi yang lebih besar. Aura mereka menyatu, menciptakan pusaran kekuatan yang perlahan-lahan menguasai medan.

Namun, Gurfeda menutup matanya. Ia mengingat suara lembut ibunya, kata-kata yang selalu menguatkannya. "Keberanian akan muncul ketika kamu merasa yakin."

Ketika ia membuka matanya, pedangnya bersinar terang, memancarkan cahaya yang lembut namun menyilaukan. Cahaya itu tidak hanya mematahkan serangan Lina dan Thalia, tetapi juga merasuk ke dalam hati mereka, mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di balik armor hitam mereka.

Lina dan Thalia terhenti. Armor mereka perlahan memudar, menunjukkan wajah yang lebih lembut, lebih manusiawi.

Lina jatuh berlutut, air mata mengalir di wajahnya. "Gurfeda… apa yang telah terjadi pada kami ? Aku… aku hanya ingin melindungi dunia ini."

Thalia menundukkan kepala. "Kegelapan merasuk ke dalam hati kami karena kami takut kehilangan segalanya. Tapi kau… kau mengingatkan kami bahwa masih ada harapan."

Gurfeda mengulurkan tangan kepada mereka, senyumnya penuh pengertian. "Kalian tidak pernah benar-benar hilang. Hati kalian hanya terluka, tapi aku tahu kalian masih memiliki kekuatan untuk kembali kepada cahaya."

Suasana hutan berubah. Cahaya hangat mulai menggantikan kabut gelap, dan pepohonan kembali tenang. Namun, suara Wälderion kembali terdengar dari kejauhan.

"Kau telah melampaui ujian yang sulit, Gurfeda, Bagus ! ."

Gurfeda menatap kuil yang kini terlihat lebih jelas, berdiri megah di hadapannya. Dengan teman-temannya yang kini bersatu kembali, ia tahu bahwa meskipun jalan ke depan penuh tantangan, ia tidak akan melangkah sendirian. "Apa pun yang terjadi, aku siap menghadapi semuanya."

Keheningan yang baru saja tercipta hancur seketika oleh teriakan nyaring. Dari balik pepohonan, muncullah Ereubytes, sosok bayangan yang diselimuti aura kegelapan pekat. Gerakannya cepat dan mematikan, seperti kilat yang menyambar. Sebelum Gurfeda dan teman-temannya sempat bereaksi, Wälderion, yang suaranya baru saja terdengar, roboh ke tanah, tubuhnya tertusuk senjata Ereubytes yang memancarkan energi hitam yang mengerikan.

Kematian Wälderion membuat Gurfeda terpaku sejenak. Kesedihan dan kemarahan bercampur menjadi satu, membuatnya kehilangan kendali. Namun, Ereubytes tidak memberikan waktu untuk berduka. Dengan kecepatan luar biasa, ia menyerang Lina dan Thalia, yang baru saja kembali kepada kesadaran mereka. Aura hitam Ereubytes begitu kuat, mengalahkan cahaya yang baru saja muncul. Dalam sekejap, kedua wanita itu kembali diselimuti kegelapan, mata mereka kehilangan kilauan terakhir harapan. Tubuh mereka kini bergerak tanpa kendali, dipengaruhi oleh kekuatan jahat yang menguasai mereka.

Lina dan Thalia, yang kini menjadi boneka Ereubytes, menyerang dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Serangan mereka terkoordinasi dengan sempurna, memotong pertahanan Luna, Peals, Isholdyenca dan Flaura. Perisai yang diciptakan Luna hancur dalam sekejap, membuat keempat teman Gurfeda terluka parah. Darah mengalir dari luka-luka mereka, membasahi tanah hutan. Gurfeda melihat betapa lemahnya mereka, usaha mereka untuk melawan sia-sia dihadapan kekuatan Ereubytes yang luar biasa.

Gurfeda berjuang mati-matian, mencoba melindungi teman-temannya, namun setiap serangannya dipukul mundur. Ereubytes terlalu kuat, terlalu cepat. Gurfeda menyadari bahwa pertempuran ini telah melewati batas kemampuan mereka. Dengan berat hati, dia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur. Mereka tidak punya pilihan lain, pertempuran ini tidak akan di menangkan.

Mundur bukanlah pengecut, melainkan strategi untuk bertahan hidup dan mencari kekuatan baru untuk melawan Ereubytes. Dengan sisa-sisa kekuatan mereka, Gurfeda dan teman-temannya berlari secepat mungkin, meninggalkan medan pertempuran yang telah dipenuhi oleh bayangan kegelapan dan aroma darah. Hutan Elarion, yang baru saja dipenuhi dengan secercah harapan, kembali tenggelam dalam kesuraman yang tak terkira. Gurfeda tahu, pertempuran ini belum berakhir. Ini hanyalah awal dari sebuah perjuangan yang akan menentukan nasib dunia mereka. Ia harus mencari cara untuk mengalahkan Ereubytes dan menyelamatkan teman-temannya dan dunia dari cengkeraman kegelapan. Namun, sekarang, prioritasnya adalah menyembuhkan teman-temannya dan merencanakan langkah selanjutnya untuk menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari yang pernah dibayangkan.

Di tengah perjalanan untuk kembali ke rumah, Tiba-Tiba Gurfeda di halangi penguasa kegelapan bernama oblivion.

Gurfeda terpisah oleh teman-temannya, perjalanan ini berubah menjadi pertarungan melawan Oblivion, penguasa kegelapan yang menguasai kekuatan dimensi tipu muslihat. Bukan serangan fisik yang dilancarkan Oblivion, melainkan serangkaian ilusi yang dirancang untuk menghancurkan mental Gurfeda.

Pertama, Oblivion membentuk ilusi rumah Gurfeda yang hangat dan damai, lengkap dengan keluarga dan teman-temannya yang tersenyum bahagia. Gurfeda merasakan kelegaan dan kepuasan yang dalam, hampir lupa akan ancaman yang membayangi. Namun, sebuah detail kecil—sebuah cangkir teh yang retak—mengingatkannya pada realita pahit; bahwa ini hanyalah ilusi. Dengan tekad baja, Gurfeda mematahkan ilusi pertama.

Selanjutnya, Oblivion memanipulasi waktu dan ruang. Gurfeda mendapati dirinya terjebak dalam labirin tak berujung, dihantui oleh bayangan masa lalunya yang paling kelam, ketakutan terdalamnya muncul dalam bentuk nyata. Bayangan-bayangan itu mencaci, mengejek, berusaha menghancurkan semangatnya. Gurfeda melawan dengan mengingat semua keberhasilannya di masa lalu, menguatkan tekadnya untuk mencapai tujuannya pulang ke rumah. Ia menemukan jalan keluar dari labirin, bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan kekuatan mental yang tak tergoyahkan.

Oblivion tak menyerah. Kali ini, ia menciptakan ilusi masa depan yang menjanjikan, sebuah dunia sempurna di mana Gurfeda hidup bahagia tanpa hambatan. Kehidupan mewah, cinta sejati, dan kesuksesan yang luar biasa terhampar di hadapannya. Namun, Gurfeda menyadari bahwa kebahagiaan yang semu itu menipu. Kebebasan sejati bukanlah hidup tanpa tantangan, melainkan menghadapi tantangan dan meraih kemenangan dengan kekuatan sendiri. Ia menolak tawaran itu dan melangkah maju.

Pertempuran terakhir terjadi di sebuah medan perang ilusi yang terus berubah bentuk. Oblivion menampilkan berbagai macam ancaman mengerikan: monster mengerikan, musuh-musuh yang telah dikalahkannya, bahkan bentuk paling buruk dirinya sendiri. Namun, Gurfeda telah belajar dari setiap ilusi sebelumnya. Ia menyadari bahwa kekuatan Oblivion bergantung pada keraguan dan ketakutan Gurfeda sendiri. Dengan menerima rasa takutnya dan menghadapinya secara langsung, Gurfeda melemahkan kekuatan Oblivion secara perlahan. Akhirnya, dengan kekuatan tekad dan keberaniannya, Gurfeda berhasil menembus semua tipu daya Oblivion.

Oblivion, yang kekuatannya bergantung pada ilusi, melemah dan menghilang. Gurfeda berhasil melewati cobaan berat itu dan melanjutkan perjalanannya pulang, lebih kuat dan bijaksana daripada sebelumnya. Ia menyadari bahwa perjalanan pulang bukanlah hanya perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan batin untuk mengalahkan ketakutan dan keraguan dalam dirinya sendiri.

Ketika Gurfeda kembali ke rumahnya, langit berwarna oranye keemasan dari matahari terbenam mengiringi langkahnya. Angin lembut membawa aroma tanah basah setelah hujan, menambah rasa damai yang menyelimuti seluruh desa. Rumah-rumah di sekelilingnya berkilau dengan kehidupan dan kehangatan sejati yang tidak dapat ditiru oleh ilusi mana pun.

Di depan pintu rumah, Gurfeda disambut oleh senyum hangat dari teman-temannya: Luna, Peals, Idholdyenca, dan Veni. Pelukan erat dan percakapan ceria dengan mereka memberikan rasa kedamaian yang luar biasa. Tidak ada retakan dalam kebahagiaan ini, hanya ketulusan dan kehangatan yang nyata.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan penuh ketenangan, namun kenangan tentang pertempuran melawan Oblivion meninggalkan bekas di hati Gurfeda. Ia menyadari bahwa kehidupan adalah tentang memahami dan menghadapi tantangan. Setiap pagi, ia bangun dengan tekad untuk berbagi kisah dan pelajaran tentang keberanian dan keteguhan hati dengan orang-orang di desanya.

Untuk merealisasikan ini, Gurfeda menghidupkan kembali tradisi malam berkumpul di mana cerita-cerita kebijaksanaan dan keberanian dibagikan. Ia berharap, dari kisah-kisah itu, muncul keberanian dalam hati para pendengar muda untuk menghadapi "Oblivion" mereka sendiri.

Jiwa petualang Gurfeda tetap menyala. Suatu pagi, saat embun masih membasahi dedaunan, ia naik ke puncak bukit tertinggi yang menghadap desanya. Dari sana, dia memutuskan untuk menulis kisah pengalamannya. Bukan hanya untuk berbagi, tetapi untuk mencatat pelajaran hidup yang telah mengajarinya keberanian dan kebijaksanaan.

Hari-hari Telah Berlalu Sangat Cepat.

Di bawah sinar bulan purnama yang bercahaya, Gurfeda, bersama Luna, Peals, Idholdyenca, dan Veni, berkumpul di tepi sungai Moontales. Suara gemericik air mengalun lembut, menyatu dengan tawa ceria mereka, menciptakan suasana malam yang hangat dan intim.

Gurfeda duduk di sebelah Luna, merasakan kehadirannya yang seolah membawa cahaya. Dengan pelan, ia mengambil tangan Luna dan menggenggamnya. Tangan Luna terasa hangat dan lembut, seolah memberi ketenangan dalam jiwanya. Luna menatapnya dengan senyuman lembut, matanya berkilau seperti bintang, memberi semangat untuk mengungkapkan perasaannya yang dalam.

"Luna," Gurfeda mulai berbisik, "setiap momen bersamamu adalah keajaiban. Kau membuatku melihat dunia dengan cara yang baru."

Luna menunduk, merasakan jantungnya berdebar. Ia membalas dengan lembut, "Dan kau, Gurfeda, mengajarkanku arti keberanian. Dalam setiap perjalanan, kau selalu ada di sampingku."

Keduanya berbagi tatapan dalam keheningan, seolah waktu berhenti sejenak. Peals, yang berada di sisi lain, menggoda mereka dengan suara cerianya. "Hei, jangan lupa kita juga ada di sini!" sambil melompat ke batu besar di dekat sungai, menarik perhatian semua dengan kelincahannya.

Veni dengan tangkas menghampiri Peals.

Saat bunga liar yang Veni kumpulkan menjatuhkan kelopak-kelopak indah, Gurfeda mengamati keakraban antara mereka. Idholdyenca tertawa, lalu berdiri di tengah-tengah, menyalakan obor kecil, dan menerangi wajah teman-temannya.

"Ini malam yang sempurna untuk berbagi kisah," kata Idholdyenca sambil menggenggam erat sisi obor. Dan dengan kebijaksanaannya, ia mulai bercerita, mengisahkan petualangan mereka sambil sesekali mencuri pandang ke arah Gurfeda, seolah mengetahui perasaan yang bertumbuh di antara mereka.

Di antara cerita dan tawa, Gurfeda tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Luna, Ia memutuskan untuk berani lebih jauh. "Luna," katanya, "aku ingin menciptakan kenangan ini, bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai sesuatu yang lebih dari itu."

Menarik napas dalam-dalam, Gurfeda meraih kayu tipis di dekatnya dan mulai menggambar hati di tanah. "Ini adalah lambang harapanku untuk kita," ujarnya sambil membaca ekspresi pada wajah Luna yang bersemangat. Tanpa ragu, Luna menggenggam tangan Gurfeda dan menariknya mendekat.

"Aku ingin itu juga, Gurfeda. Merangkai masa depan bersama."

Saat bulan semakin tinggi, mereka mendekat dan saling berbagi impian, di penuhi dengan rasa cinta yang kian mendalam.

Peals dan Veni saling melihat, tersenyum ke gurfeda..

Gurfeda mengalihkan pandangannya sejenak dari Luna. Malam yang pekat di sekitar mereka terasa syahdu, ditemani suara gemerisik dedaunan dan cahaya obor yang menerangi wajah Isholdyenca. Ia tertawa riang, sosoknya tampak hangat dan bijaksana, seperti pusat dari harmoni malam itu. Idholdyenca selalu memiliki cara untuk membuat semua orang di sekitarnya merasa nyaman, bahkan di tengah keheningan.

Ingatan Gurfeda melayang pada saat Isholdyenca pertama kali mengajak gurfeda menjelajah hutan misterius.

Kisah-kisah penuh semangat, selalu menjadi perekat persahabatan mereka.

Malam itu, Gurfeda merasa waktu yang tepat untuk kembali merayakan.

"Isholdyenca," ucapnya, suaranya lembut tetapi penuh harap.

"Ceritakan lagi tentang petualangan kita di hutan biru. Ada banyak pelajaran yang tak ingin kulupakan."

Senyuman Isholdyenca melebar, matanya berbinar seperti purnama di atas kepala mereka. "Ah... ! Kisah itu selalu membuatku merasa salah bertingkah ketika dengan mu.", aroma bunga menyelimuti udara.

Peals, yang sedari tadi mendengarkan sambil memakan buah, tak bisa menahan diri untuk ikut berkomentar. "Dan jangan lupa waktu kita terjebak bersama laki-laki itu!, Aku jatuh ke pelukan mu yang sangat hangat. Hahaha! Itu luar biasa konyol!" (Pipi Peals Merona), Peals tertawa hingga suaranya bergema, membuat gurfeda terlarut.

Di tengah tawa yang berderai, Gurfeda melirik Luna yang duduk tenang di sisinya. Luna menoleh dan tersenyum kecil, lalu perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Gurfeda.

Sentuhan itu sederhana, namun membuat hati Gurfeda berdebar. Ia tak bisa menahan diri untuk memandangi Luna, menyadari betapa kehadirannya adalah pusat duniawi. Tapi di saat yang sama, pandangan Gurfeda bertemu dengan Peals. Ada kebanggaan yang tulus di mata Peals saat menatap mereka semua—sebuah penghargaan terhadap persahabatan yang mereka bangun bersama.

"Gurfeda!" seru Peals tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita ke puncak KaLapa? Ku dengar dari seseorang bahwa senja dari sang mataharinya dua kali lebih indah." Antusiasme Peals dengan senyuman mengikat hati Gurfeda.

"Semangatmu ini seperti angin," jawab Gurfeda ringan, "selalu membawa ku ke hal yang baru."

"Dan angin itulah yang menjaga api, kebersamaan kita akan tetap menyala," tambah Isholdyenca sambil mengangguk bijak. "Setiap kenangan adalah sejarah , dan setiap sejarah adalah momen terindah."

Luna, yang sejak tadi diam, menggenggam tangan Gurfeda dengan lembut. "Jika kita terus bersama," katanya pelan, "tidak ada tempat di dunia ini yang terlalu jauh untuk kita jangkau."

Kata-kata itu terasa seperti janji— tetapi untuk hubungan.

Gurfeda menatap Luna lebih lama, membiarkan perasaan itu mengalir tanpa perlu kata-kata tambahan.

Malam semakin larut, cahaya obor perlahan meredup, tetapi suasana semakin hangat. Gurfeda menyadari bahwa malam ini adalah momen langka—sebuah malam di mana persahabatan dan cinta terasa seperti bagian dari harmoni yang sempurna. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan menjaga semuanya: cinta untuk Luna, dan persahabatan yang tak tergantikan dengan Idholdyenca dan Peals.

Saat suara malam semakin sunyi, Gurfeda berbisik kepada Luna, "Mari kita ciptakan kenangan baru bersama, di mana pun itu. Aku ingin menjalani setiap detik dengamu, dan dengan mereka."

Luna mengangguk, dan senyum kecilnya memberikan jawaban yang lebih dari cukup. Di bawah sinar bulan yang menerangi sungai, Gurfeda merasakan ikatan mereka semakin kuat.

Dengan keberanian baru, ia tahu bahwa hari berikutnya bukan hanya tentang menjelajahi dunia, tetapi juga menjelajahi perasaan yang semakin dalam.

Malam itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar—kisah yang tidak hanya mereka bagi, tetapi mereka tulis bersama, untuk selamanya.