Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Naira Bukan Kaira

PurpleLove_18
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.4k
Views
Synopsis
Naira Kahfa gadis yang baru lulus SMA, memutuskan untuk bekerja dan menunda kuliahnya. Naira mendapatkan pekerjaan mudah dan posisi yang bagus, akan tetapi Naira harus terlibat dengan masalah pribadi Bosnya sendiri. Kehadiran Naira berhasil mengembalikan kesehatan jiwa Mama dari Bosnya itu, tapi Naira dituntut untuk menjadi sosok pribadi diluar dirinya sendiri. Selama keterlibatan itu, Naira menjadi sosok Kaira demi menjaga kewarasan Jihan Mama dari Bosnya. Sepanjang kebersamaan itu, lambat laun justru membuat serpihan rasa dihati Naira timbul manis untuk sosok Zian sang Bos. Seperti memiliki dua keluarga, Naira disayang keluarganya dan keluarga Zian. Akan tetap lama waktu berjalan membuat Naira lelah menjadi orang lain, Naira memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi Naira bukan lagi Kaira. Dan tanpa diduga keputusan Naira justru membuatnya dilema, lepas dari sosok Kaira itu Naira pun nyaris kehilangan kasih sayang keluarga keduanya. Parahnya lagi, keputusan Naira itu turut juga menjauhkan Naira dari Zian. Lantas harus bagaimana Naira bersikap, jika Naira lelah menjadi orang lain, tetapi tidak mau juga kehilangan dambaan hati.
VIEW MORE

Chapter 1 - Aku Harus Bayar?

Kring..... Dering jam cantik di meja itu sudah terulang berkali-kali, Naira terperanjat ketika sadar sinar matahari telah berhasil menembus gordeng kamarnya. Dengan terburu-buru Naira memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri, bersiap dengan segala rutinitas pagi hari sebelum beraktivitas.

"Sial!" Umpat Naira yang telah berhasil membuat penampilannya sempurna. Naira melemparkan sisir dan meraih tas slempangnya, kemudian berlari keluar hingga akhirnya meninggalkan rumah.

Hari ini adalah panggilan interview untuknya, Naira berhasil mendapatkan panggilan interview dalam waktu singkat. Lulus SMA ini Naira memilih langsung bekerja karena tidak mau merepotkan orang tuanya terus, mungkin Naira akan kuliah jika sudah punya uang sendiri, tapi itu juga masih kemungkinan kecil karena Naira memang tidak berniat untuk kuliah.

"Astaga!" Gumamnya yang seketika menghentikan langkah. Naira bercermin dilayar ponselnya dan melihat bibirnya yang masih pucat, bukankah Naira sudah merasa semuanya sempurna, bagaimana bisa Naira melupakan lipstik untuk mempercantik bibirnya itu.

"Ahh, selalu seperti ini." Ucapnya kesal pada diri sendiri. Naira melihat didekatnya ada mobil yang terparkir, kacanya gelap dan itu memudahkan Naira untuk bercermin. Sesaat Naira memastikan jika tidak ada orang yang melihatnya, dan dengan santainya Naira bercermin memoles bibirnya yang belum diwarnai itu.

"Haaa...." Naira menahan nafasnya dengan mulut menganga dan mata yang membulat. Kaca yang digunakan bercermin itu tiba-tiba saja turun terbuka, Naira menelan ludahnya serat karena merasa syok sekaligus malu sama pemilik mobil tersebut.

"Ahh dasar bodoh, kenapa tidak dipastikan dulu jika mobil ini kosong." Gerutu batin Naira.

"Sudah selesai? Apa kau tidak memiliki cermin di tas yang kau bawa?"

"Cermin? Tas? Ahh.... Benar sekali, aku melupakannya begitu saja."

"Perlu ku tutup lagi?"

"Ah tidak tidak, tidak perlu sama sekali. Emm.... Apa aku harus bayar untuk waktu bercermin ku tadi?"

Pemilik mobil justru tersenyum dengan manisnya, senyuman itu membuat Naira terpesona. Bak di sinetron dimana seseorang terpeson, termangu dengan hembusan angin yang membuatnya semakin indah.

Tid.... Tid.... Seketika itu Naira mengerjap dan menjauh dari mobilnya, Naira mengangguk hormat ketika mobil itu melaju begitu saja.

"Waahh bukankah itu manis, apa dunia tahu betapa tampannya dia dengan senyumannya itu?!" Naira menggeleng cepat, apa yang difikirkannya itu, bagaimana bisa justru memikirkan hal bodoh seperti itu. Naira memasukan lipstiknya dan kembali melanjutkan perjalanannya, Naira menghentikan taxi untuk bisa mengantarnya lebih cepat ke tempat yang dituju.

"Permisi, saya Naira, saya ada panggilan kerja hari ini."

"Panggilan kerja? Apakah maksud Anda panggilan interview?"

"Ahh itulah, benar sekali!"

"Silahkan sudah ditunggu di lantai 4, ruangannya dipaling ujung."

Naira mengangguk paham dan segera pergi setelah mengucapkan terimakasih, apa Naira terlambat, ya itu sudah sangat jelas kebenarannya. Sampai di depan pintu yang dimaksud, Naira mengetuk pintunya dan memasuki ruangan setelah dipersilahkan masuk oleh empu ruangannya.

"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat datang karena bangun kesiangan, saya tidak akan mengulanginya lagi." Jelas Naira tak mau kena marah. Lagi, Naira dibuat terkejut oleh sosok yang semula berdiri membelakanginya itu kemudian berbalik.

"Kamu rupanya, jadi kamu terlambat karena kesiangan atau karena bercermin untuk mewarnai bibirmu itu?"

Naira tersenyum kikuk, apa yang harus dikatakannya karena keduanya memang kebenarannya. Keduanya lantas duduk, Naira diam menunggu sampai lelaki di depannya itu selesai membaca data diri Naira.

"Kamu baru lulus?"

"Iya, Pak. Tapi saya tipe orang yang mau belajar dan berusaha, meski saya tidak ada pengalaman bekerja, tapi saya akan berusaha bekerja sesuai tuntutan."

"Benarkah?"

Naira mengangguk meyakinkan, lama berbicara akhirnya Naira tahu jika lelaki di depannya adalah pimpinan Perusahaan tersebut. Bukankah itu sesuatu yang istimewa, karena Naira bisa bertemu langsung dengan bosnya.

"Baiklah, besok kamu mulai bekerja."

"Apa? Besok?"

"Saya butuh Sekretaris pribadi, dan saya tidak punya banyak waktu untuk seleksi yang panjang. Kalau kamu percaya diri bisa diandalkan, saya akan percaya sama kamu."

Naira menahan nafasnya sesaat, ternyata keterlambatannya tidak memberinya kesialan. Naira justru mendapatkan keberuntungan yang sangat istimewa, bak mendapat bintang dilangit tanpa harus terbang Naira mendapatkan pekerjaan dengan mudah, dan bahkan dengan posisi istimewa.

"Besok jangan telat, kamu harus urus semuanya!"

"Baik, Pak. Saya akan datang pagi."

Naira lantas pamit meninggalkan ruangan tersebut, ini akan jadi kabar gembira bagi kedua orang tuanya. Naira benar-benar beruntung dan semoga saja keberuntungannya itu akan berlangsung selamanya.

*

"Naira sudah pulang?"

"Belum, baru juga pergi berapa jam."

Nisa dan Raka yang tak lain orang tua Naira sedang duduk sambil berbincang, mereka tidak tahu ketika Naira pergi sehingga mereka tidak tahu kapan Naira juga akan pulang.

"Bunda, Ayah." Teriak Zahra yang melompat ke pelukan Nisa.

"Kamu kenapa, Sayang?"

"Kakak mana, ini sudah siang katanya mau ajak aku jajan ice cleam."

Nisa tersenyum seraya melirik Raka, Zahra adalah anak bungsu mereka, adik Naira yang begitu manja. Setiap hari Zahra akan meminta atau bahkan menghabiskan jatah uang jajan Naira yang tersisa, tapi meski begitu Naira tidak keberatan sama sekali.

"Kakak, belum pulang dan mungkin sore hari baru pulang. Bagaimana kalau Zahra jajan sama Ayah saja?" Ucapn Raka.

"Aku gak mau, aku maunya sama Kakak."

"Kenapa sih, merengek lagi?" Tanya Naira yang menghampiri ketiganya. Zahra seketika menghambur ke pelukan kakaknya itu, dan mengajaknya untuk kembali pergi dari rumah.

"Naira, gimana hasilnya?" Tanya Nisa. Naira tersenyum dan mencium tangan Nisa juga Raka bergantian.

"Aku berhasil, besok aku mulai kerja."

"Alhamdulilah, kamu serius?" Tanya Raka.

"Tentu saja, aku diterima dan langsung jadi Sekretaris Pak Bos!" Jelas Naira penuh penekanan.

Senyum senang dari Nisa dan Raka terlihat jelas, tentu saja mereka sangat bahagia mendengar kabar baik itu. Mereka mendukung pekerjaan yang didapatkan Naira, mereka juga berdoa untuk segala kebaikan kedepannya.

"Kakak, ayo beli ice cleam!" Ajak Zahra seraya menarik tangan Naira.

"Ih bocah ini ya, gak lihat apa Kakak lagi bicara sama Bunda dan Ayah?"

"Gak, aku mau beli ice cleam dulu!"

Naira menghembuskan nafasnya pasrah, baiklah dari pada adik satu-satunya itu rewel berkepanjangan, sudah paling benar kalau Naira mengikuti maunya. Naira lantas pamit dengan membawa Zahra, mereka berkeliling untuk mendapatkan semua yang diinginkan Zahra, besok Naira akan mulai kesibukan dan mungkin akan kehilangan banyak waktu dengan Zahra.

"Dek, besok kalau Kakak jadi jarang di rumah, kamu jangan rewel ya!"

"Kakak harus di lumah, aku mau main sama Kakak."

Naira tersenyum seraya mengusap kepala Zahra, adik 4 tahunnya itu kerap membuat Naira jengkel, tapi Naira begitu menyayanginya. Setiap hari mereka selalu bersama, menghabiskan waktu dengan banyak hal yang dilakukan.