Chereads / The Bride in the Painting / Chapter 1 - Prologue

The Bride in the Painting

🇮🇩Clairevoyance
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prologue

19xx

Apakah ini akhir dari kisah hidupku yang sudah sangat tragis sejak kecil? 

Di hadapanku berdiri seseorang dengan pakaian serba hitam, topi dan juga masker hitam yang menutupi wajahnya. Dari balik masker itu aku hanya melihat sebuah mata dengan pupil berwarna biru yang begitu cerah. Di tangannya, ada sebuah pisau kecil yang terlihat sangat tajam. 

"Hentikan..." ucapku dengan pelan. 

"Katakan apa yang kamu mau dan akan aku berikan. Uang? HP? Dompet? Ambil semua barangku tapi tolong jangan sakiti aku..."

Namun sepertinya apapun ucapanku tidak berarti baginya karena dalam sekejap mata aku merasakan cairan merah membasahi kemeja putih yang aku kenakan dan rasa sakit yang muncul dari dada kiriku, tepat di jantungku. Mataku terbelalak dan rasa sakit seketika menyerangku, sekujur tubuhku terasa sakit dan seketika semuanya terlihat kabur. 

Pisau yang tertancap di tubuhku masih menancap ketika tubuhku ambruk ke lantai gang yang basah karena air hujan. Walaupun pandanganku sudah kabur, aku bisa melihat figur yang melakukan ini padaku sudah pergi meninggalkanku sendiri. 

"Ke... na... pa..." 

Aku menutup mataku dengan perlahan dan bayang-bayang kehidupanku terputar di kepalaku seperti sebuah film. Semua kenangan dari aku membuka mataku sampai saat ini terputar sampai akhirnya semuanya menjadi gelap. 

Sepertinya memang ini akhir kisahnya? 

Sungguh sebuah akhir yang tragis. Kematian yang dihindari oleh semua orang, sebuah kematian yang menyakitkan. 

Pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah aku akan bereinkarnasi menjadi seseorang yang baru?

Galeri Seni 20xx

Suara derik pintu yang terbuka dapat terdengar di sepenjuru bangunan yang berbentuk seperti sebuah kapal berwarna putih dengan tembok-tembok yang terbuat dari kaca. Langkah kaki seseorang dapat terdengar memenuhi ruangan. Suara gemerincing kunci dan pintu dibuka dapat terdengar di sepenjuru ruangan. 

"Sungguh sebuah pagi yang begitu dingin!" pekik petugas keamanan dari bangunan itu. 

Dengan setumpuk kunci yang dijadikan satu, ia membuka setiap ruangan yang ada di dalam bangunan itu. Satu persatu pintu yang ada mengayun terbuka dan lampu-lampu sorot menyoroti setiap benda dan hal yang ada di dalamnya. 

"Pintu terakhir dan tugasku selesai. Aku lupa membeli kopi dan juga bagel." 

Petugas keamanan itu berjalan keluar dari bangunan ini dan tidak lupa mengunci pintu utama sebelum pergi. Sekali lagi ruangan itu berubah menjadi hening. Suasana yang begitu tenang tanpa ada suara sedikit pun. 

Waktu pun berlalu sampai akhirnya terdengar pintu dibuka dan beberapa langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Suara wanita dan pria yang berbincang membahas mengenai sebuah karya baru. 

"Bagaimana tuan?" 

"Bu, karya seni ini bernilai lebih dari 100 miliar, tidak bisa diletakkan di tempat yang biasa saja. Ia harus berada di tengah-tengah ruangan dengan berbagai lampu sorot yang menyorotnya seakan-akan dialah sang diva." 

"Mengenai hal itu… Sebenarnya ada satu tempat yang menurut saya cocok untuk meletakkan karya seni itu."

"Tunjukkan." 

Langkah kaki keduanya berjalan menjauh dari pintu utama dan menuju ke bagian utama dari bangunan itu. Sebuah tembok putih nan kosong berada di ujung ruangan dan kedua Langkah kaki itu terhenti tepat di hadapan tembok kosong itu. Raut wajah pria itu terlihat puas melihat tempat kosong yang dikatakan cocok untuk meletakkan karya seni yang dimaksud. 

"Sempurna. Terima kasih banyak, bu." 

"Sama-sama, tuan. Untuk estimasi kedatangan karya seni itu, apa tuan bisa memberitahu saya kapan kira-kira karya seni itu dapat kami pasang di tembok ini?" 

"Kebetulan karya seni itu saya bawa bersama saya. Jika anda sadar, selagi kita berjalan ke tempat ini, ada sebuah truk besar yang mengikuti kita. Di sanalah 'ia' berada." 

"Baik, tuan." 

Wanita itu mengeluarkan sebuah ponsel keluaran terbaru dan menekan sebuah nomor yang langsung dijawab oleh pemilik nomor satunya. 

"Tolong keluarkan karya seni yang berada di truk yang berada di depan galeri." 

Hanya sebuah kalimat dan telepon itu pun terputus. Wanita itu menyerahkan sebuah berkas pada pria yang ada di hadapannya dan pria itu menandatangani surat serah terima karya seni. Setelah itu keduanya pun berjabat tangan dan berjalan menuju pintu utama. Setibanya di pintu utama, pintu itu telah terbuka lebar dan berdiri empat orang beserta sebuah kotak container besar sudah terletak tepat di lantai dari lobi galeri seni itu. 

"Tolong dibuka." perintah wanita itu. 

Keempat orang itu dengan cekatan membuka container itu dan di dalamnya sebuah lukisan berukuran 100 x 60 cm. Semua orang yang ada di ruangan itu mengerubungi lukisan tersebut dan mengagumi keindahannya. 

"Sungguh sebuah maha karya yang begitu mempesona. Pantas saja harganya mencapai lebih dari 100 miliar." 

"Jujur, saya sendiri jatuh cinta pada pandangan pertama ketika saya melihat lukisan ini pertama kali di pelelangan."

"Siapa pelukisnya, tuan?" tanya wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari lukisan tersebut. 

"Tidak ada yang tau. Sampai sekarang tidak ada satu pun pelukis yang mampu membuat lukisan seperti ini." 

"Mungkin waktu yang akan menjawabnya. Tolong bawa lukisan ini ke ruangan utama. Di sana ada tempat kosong yang telah disediakan untuk memajang lukisan ini." 

"Baik nyonya."

Dengan berhati-hati, keempat orang itu membawa lukisan tersebut ke tembok kosong yang telah disediakan khusus untuk memajangnya. Lukisan itu dipajang dengan berhati-hati dan tidak lupa mereka memastikan bahwa lukisan itu telah terpasang dengan lurus tanpa ada kemiringan sedikit pun. 

"Sempurna." ucap wanita itu dengan terkagum-kagum. 

Tatapannya tidak bisa ia alihkan sedikit pun dari lukisan itu seakan-akan ada sesuatu yang menyihirnya sampai suara dari pria itu menyadarkannya. 

"Permisi?" 

"Eh? Maaf, ada yang bisa saya bantu tuan?" 

"Saya pamit dulu, ada urusan lain yang harus saya kerjakan. Terima kasih dan senang bekerja sama dengan anda." 

"Terima kasih banyak, tuan. Senang juga bekerja sama dengan anda. Mari saya antar keluar." 

Kedua orang itu berjalan keluar dari galeri seni diikuti dengan empat orang pekerja yang mengangkat lukisan itu dan sekali lagi suasana berubah menjadi hening. 

Waktu berlalu entah berapa lama berlalu sampai akhirnya ada begitu banyak orang yang masuk ke galeri seni. Pelajar, seniman, orang-orang biasa dan masih banyak lagi. Orang-orang itu berjalan mengelilingi galeri seni dan masing-masing dari mereka selalu menghabiskan waktu yang lama di depan lukisan baru itu. 

"Cantiknya!" 

"Luar biasa! Pesonanya sangat memikat!" 

"Tidak ada yang bisa menandinginya!" 

"Benar-benar menggambarkan sebuah kecantikan yang sesungguhnya!" 

"Siapa pelukisnya? Tidak diketahui? Siapa pun itu yang melukis lukisan ini benar-benar berbakat!" 

Pujian-pujian penuh kekaguman akan lukisan yang baru dapat terdengar di sepenjuru galeri bahkan petugas galeri sampai harus memasang pembatas antara lukisan tersebut dengan pengunjung demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. 

Hari demi hari berlalu dan lukisan itu pun semakin terkenal sampai-sampai sosok yang ada pada lukisan itu menjadi wajah dari galeri tersebut. Semua orang memuji kecantikan dan keindahan lukisan itu. Ketenarannya terdengar sampai ke seluruh dunia dan berbagai orang-orang penting pun datang demi melihat lukisan itu. Sampai-sampai ada orang yang menawarkan ingin membeli lukisan itu dengan harga yang sangat fantastis hingga suatu malam… 

Aku membuka mataku dan melihat hamparan putih tepat di depan mataku. Penglihatanku yang buram perlahan-lahan mulai menjadi jelas dan aku menyadari apa yang ada di hadapanku. Lantai. Selain lantai marmer yang berwarna putih, aku melihat sesuatu yang memiliki bentuk. Iya, sesuatu yang ramping dengan lima buah benda yang terpasang di ujungnya. Aku semakin bingung dibuatnya karena aku tidak mengerti apa yang ada di hadapanku dan bend aitu bergerak. 

Seketika aku terbelalak dan terdiam mematung. Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan menyadari bahwa lantai yang tadinya berada di bawahku kini sejajar denganku. Apakah lukisan itu terjatuh dari dinding?

Butuh beberapa lama sampai akhirnya aku melirik ke kanan dan melihat lukisan-lukisan beserta karya seni lain yang masih terpajang di tembok dan podium. Mengapa benda-benda itu terlihat begitu tinggi dan juga jauh? Apa yang terjadi? Aku melirik ke arah lain dan memfokuskan pandanganku pada pintu yang terletak di ujung ruangan dan aku melihat sesuatu pada pantulan pintu kaca tersebut. 

Sebuah badan yang tergeletak di lantai. 

Galeri, 20xx 

Aku masih tidak bisa mempercayai apa yang aku lihat. Badan seseorang yang berbaring di atas lantai marmer. Badan siapa yang terbaring di lantai marmer di malam hari? Aku berkedip dan aku menyadari mata pada pantulan itu juga berkedip. Seketika aku sadar bahwa itu adalah pantulanku yang berbaring di atas lantai marmer dari galeri. 

Aku menatap ke bawah dan melihat tubuh seorang manusia, seorang gadis yang begitu ramping dengan gaun berwarna putih. Aku menyadari bahwa benda ramping yang aku lihat sebelumnya adalah tanganku sendiri. Dengan perlahan aku berusaha menggerakkan tanganku dan benar saja tangan itu bergerak dengan pelan. 

Aku kembali melihat ke tubuhku sendiri dan menatap ke arah sepasang kaki yang saling bertindihan. Kakiku terlihat begitu ramping dan putih lalu aku teringat akan para manusia yang berjalan di museum setiap harinya. Mereka semua berjalan dengan dua kaki mereka. Aku pun berusaha menggerakkan kakiku dan dengan perlahan aku mulai mencoba untuk berdiri. Percobaan pertama gagal dan aku terjatuh lagi ke atas lantai marmer itu. 

"Uh…" 

Pantang menyerah, sekali lagi aku mencoba berdiri dan kali ini aku berhasil. Aku berdiri dengan kedua kakiku dan aku bergerak perlahan-lahan, berputar di tempat. Ketika badanku berputar seratus delapan puluh derajat menghadap ke tembok, aku terbelalak. 

"…" 

Pada tembok itu, aku melihat sebuah lukisan yang kosong. Hanya ada warna gelap yang memenuhi kanvas itu. Aku melihat deskripsi yang terpampang di sebelah lukisan itu dan melihatnya. 

THE BRIDE OF THE ANGEL

???

???

Tunggu dulu… Kenapa lukisan ini kosong? Bukankah… 

Seketika seperti sebuah film yang diputar kembali, sedikit bagian dari ingatanku muncul. Lautan manusia sambil memegang hp yang mengarah padaku. Suara dan pujian-pujian mereka dapat aku dengar dalam benakku. 

"Cantiknya!" 

"Luar biasa! Pesonanya sangat memikat!" 

"Tidak ada yang bisa menandinginya!" 

"Benar-benar menggambarkan sebuah kecantikan yang sesungguhnya!" 

Kenangan lain terputar dalam benakku. Kala itu suasana galeri sedang sepi dan aku melihat tidak banyak orang yang datang. Di hadapanku berdiri beberapa pasangan yang terlihat bahagia. Bagaimana rasanya menjadi manusia? Apakah kehidupan seorang manusia itu menyenangkan? 

Seketika semuanya buyar dan aku tidak mengingat apapun lagi. Sekali lagi aku melihat pantulan diriku pada cermin. Apa itu artinya aku menjadi manusia saat ini? Apa aku keluar dari lukisan yang ada di dinding belakangku? 

Aku memutuskan untuk berjalan menuju pintu kaca itu dan memegang gagang pintunya. Tidak terbuka. Aku mencoba sekali lagi dan tetap saja tidak terbuka. 

"…?" 

Aku melihat ke kanan dan kiri. Pada ruangan itu terdapat dua buah tangga berbentuk spiral yang terletak di sisi kanan dan kiri dari ruangan itu. Tangga itu mengarah ke lantai dua dari galeri dan mungkin saja di atas sana aku dapat menemukan jalan keluar. 

Masih belum sepenuhnya terbiasa dengan dua kaki ini, aku pun melangkah menaiki tangga dengan perlahan-lahan hingga akhirnya aku mencapai lantai dua dari galeri tersebut. Di hadapanku, ada sebuah pintu kaca lagi yang menghalangi langkahku. Aku mencoba untuk membuka pintu itu namun nihil, tampaknya semua pintu di galeri ini terkunci.

Tidak ada hal lain lagi yang dapat aku lakukan selain menanti sampai pintu-pintu dari galeri terbuka. Aku berjalan mengelilingi galeri itu dan menemukan sebuah ruangan yang berisi bilik-bilik dan sebuah cermin besar pada salah satu temboknya. Aku membuka salah satu bilik dan di dalamnya, aku melihat sebuah podium berwarna putih yang berlubang pada bagian tengahnya. 

"?"

Aku melihat sesuatu pada benda itu dan mengulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Dingin dan basah. Aku terkejut dan memandangi tanganku yang terasa basah. Aku mengerti, benda itu dapat membuatku menjadi basah. Aku melihat ke benda itu sekali lagi dan menyadari bahwa benda itu memiliki tutup. Aku menurunkan tutupnya dan duduk di atasnya. 

"…" 

Keheningan. Hanya itu yang ada pada bangunan besar ini. Rasa kantuk perlahan-lahan mulai menghantam diriku dan perlahan-lahan aku pun memejamkan mata. 

Suara orang-orang dan musik membangunkanku. Aku membuka mataku dan melihat ke sekelilingku. Aku masih berada di bilik tempatku berdiam semalam. Apa hari sudah berganti? Aku harus melihat keluar dari ruangan ini untuk mengetahuinya. 

Ketika aku membuka pintu, aku melihat beberapa pengunjung telah datang di galeri itu dan mereka semua terlihat tengah sibuk mengamati keindahan dari setiap karya seni sampai tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seorang wanita yang terdengar dari lantai bawah. Teriakan itu terdengar sangat kencang sampai-sampai semua pengunjung yang datang langsung menoleh dengan wajah bertanya-tanya. Beberapa petugas keamanan berlarian menuju ke sumber suara dan hal itu membuatku menjadi semakin penasaran. Aku pun berjalan mengikuti sumber suara sampai akhirnya aku tiba di ruanganku. 

Di hadapan lukisan yang berwarna gelap, berdiri seorang wanita berpakaian rapi terlihat begitu panik dan takut. Di belakangnya berdiri petugas keamanan yang baru saja datang dan aku mengamati mereka dari kejauhan. Para pengunjung yang berada di dekat sana juga terlihat menoleh dan memperhatikan apa yang terjadi. 

"Bu, ada apa?" tanya salah seorang petugas keamanan.

"L-Lukisannya!" pekik wanita itu. "DIRUSAK!" 

Bisik-bisik dari para pengunjung terdengar di sepenjuru ruangan sedangkan wanita itu dan para petugas keamanan sibuk mencari-cari bagaimana lukisan itu bisa rusak. Ada yang sibuk mengamati area dari lukisan itu, ada yang mencari-cari ke sepenjuru galeri dan ada yang memasang tali pembatas. Petugas keamanan mulai menanyai setiap orang yang datang dan galeri itu ditutup untuk mencegah pelaku dari perusakan lukisan itu kabur. 

Tidak seorang pun tidak ditanya sampai seorang petugas keamanan menghampiriku yang tengah berdiri di kejauhan.

"Permisi nona." 

"…" Aku hanya menatapnya dengan bingung. 

"Boleh saya menanyakan beberapa hal pada anda?"

"Boleh." 

Spontan tanganku bergerak menutup mulutku dengan mata yang terbelalak. Apa aku baru saja menjawab pertanyaan dari petugas keamanan itu? 

"Baik, boleh saya tau dimana nona sejak awal musem dibuka?" 

"Saya berada di atas, melihat-lihat pameran yang ada di atas dan sebelum saya kemari, saya habis dari kamar mandi." 

"Baik. Apa nona melihat adanya orang yang mencurigakan selama berada di dalam galeri?" 

"Tidak." 

"Baik. Nona, boleh saya lihat tiket masuk galerinya?" 

Seketika aku terdiam. Tiket masuk galeri? Aku saja dari semalam berada di dalam galeri ini. Apa yang harus aku sampaikan padanya? Aku benar-benar diam membisu dan petugas itu mulai melihatku dengan curiga. 

"Nona?" 

"Umm…" 

"Nona, apa anda kehilangan tiket masuk anda? Apa anda lupa jika anda harus menyimpan tiket anda jika anda mau keluar dari galeri ini?" 

"Aku…" 

"Nona, mari ikut saya." 

Petugas keamanan itu memberikan sinyal pada rekannya dan kedua orang itu. Seketika dua orang petugas keamanan memegang tanganku dari sisi kanan dan kiri. Aku berusaha melepaskan diri tapi kedua tangan petugas keamanan itu begitu kuat. 

"Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa, pak…" 

"Tidak mungkin. Ayo ikut." 

"Dia datang bersamaku." 

Galeri, 20xx

"Gadis itu datang bersamaku. Lepaskan dia." 

Suara seseorang yang berseru membuat kedua petugas keamanan itu menoleh dan melonggarkan cengkramannya pada lenganku. 

"Tuan Desmond?" Wanita itu terkejut dan segera menghampiri pria yang memiliki nama Desmond itu. Aku memperhatikan pria yang tengah berdiri di depanku. Ia mengenakan pakaian rapi, jas berwarna hitam dengan dasi berwarna merah. Rambutnya yang berwarna hitam terlihat begitu halus dan mengkilap. Matanya yang berwarna ungu terlihat begitu indah dan mempesona. 

"Tuan Desmond! Ada yang merusak lukisan 'THE BRIDE OF THE ANGEL' anda!" pekik wanita itu dengan raut wajah ketakutan. 

 

Desmond yang ada di hadapanku hanya menatap ke arah wanita itu dengan datar. Ia tidak menunjukkan emosi apapun. Wanita itu terlihat begitu ketakutan dan semakin takut melihat Desmond yang menatapnya seperti itu. 

Desmond menatap ke arah dua petugas keamanan yang masih memegang lenganku. "Apa yang kalian lakukan? Bukannya udah kubilang gadis ini bersamaku?" 

Kedua petugas keamanan itu saling bertatapan kemudian keduanya menatap ke arah wanita itu dengan bingung.

"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan gadis itu!" 

"T-Tapi bu…" 

"Tidak ada tapi tapi! Lepaskan sekarang juga!" 

Kedua petugas keamanan itu melepaskan tanganku dan mundur teratur. Aku menatap ke arah Desmond yang tengah melihat ke arahku dengan tatapan tajam. 

"Tuan Desmond… Lukisannya…" ucap wanita itu dengan gemetaran. 

"Cari dan laporkan. Kalau tidak bisa, aku meminta ganti rugi lima kali lipat." 

Wanita itu beserta para petugas keamanan kembali sibuk mencari tahu apa yang terjadi pada lukisan itu. Para pengunjung yang datang berkerumun di lukisan yang rusak itu dan saling bertanya-tanya apa yang terjadi. Aku melihat ke arah Desmond dan memutuskan untuk berjalan menghampirinya. 

"Aku…" 

Desmond mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berhenti tepat di hadapan telingaku, "Sama-sama. Anggap saja apa yang saya lakukan sebagai amal untuk membantu orang yang kesusahan. Saya hanya kasihan sama kamu."

Galeri 20xx

'Kasihan?' tanyaku dalam hati. Kasihan itu apa? Kata apa itu? Aku menatap ke arah pria yang dipanggil Desmond itu. Iris ungunya menatapku dengan begitu tajam seakan-akan menusuk menembus jiwaku. 

"Ikut aku." 

Nada bicaranya begitu dingin dan tegas membuat kakiku yang baru bisa digerakkan dalam satu malam spontan berjalan mengikuti pria itu menuruni tangga menuju ke lantai satu. Tatapan semua pengunjung tertuju padaku dan entah mengapa tatapan semua orang membuatku merasa tidak nyaman. 

Aku terus berjalan mengikutinya sampai akhirnya aku tiba di depan sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuat dari kaca yang terlihat seperti kristal. Desmond mengeluarkan sebuah kumpulan kunci, memilih sebuah kunci berwarna hitam dan membuka pintu itu. Ketika pintu itu mengayun terbuka, sebuah ruangan berwarna putih dengan beberapa pilar menyambutku. Rak buku dari kayu jati yang berjajar di pinggir menghiasi ruangan kerja tersebut. 

"...", Aku terus berjalan mengikuti Desmond sampai akhirnya ia duduk di kursi kerja yang terbuat dari kulit dan kedua tangannya terlipat di depan dada. 

"Siapa namamu?" tanya Desmond sambil menatapku dengan tajam. 

"..."

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya karena aku sendiri tidak tau siapa namaku yang aku ketahui hanyalah kenapa aku bisa berada di sini. Semua kejadian aneh yang tiba-tiba terjadi dan tidak bisa dijelaskan dengan logika. 

"Aku tanya sekali lagi. Siapa namamu?" tanyanya lagi sambil terus menatapku dengan tajam. 

"Aku... gatau..." 

Desmond menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban dariku. Aku paham pasti orang normal akan bingung mendapatkan jawaban seperti itu. Lagipula orang mana yang jika ditanya siapa namanya akan menjawab tidak tau? Pantas reaksi dia seperti itu. Aku hanya bisa terdiam karena memang jawaban apalagi yang harus aku beri? Tidak ada nama yang terlintas di pikiranku. 

"... Ga ada orang di dunia ini yang gatau namanya sendiri." jawab Desmond dengan dingin.

Aku hanya bisa diam sambil menatapnya kemudian menggelengkan kepala. Tiba-tiba terlintas di pikiranku cara untuk memberitahu