Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lucylle

🇮🇩StargairsTP
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.9k
Views
Synopsis
Lucylle dahulu adalah sebuah negeri yang makmur, sebelum terjadinya peperangan besar dengan Ezram, sang pembawa kebinasaan. Pertempuran demi pertempuran kian menghancurkan sebagian besar wilayah. Hingga akhirnya sesosok pahlawan membawa cahaya ke dalam kegelapan, serta mengusung bendera kedamaian untuk seluruh makhluk. Namun setelah sinar harapan terpancar kembali, raja manusia terus memimpikan neraka yang akan menghancurkan seluruh umat. Para reinkarnasi iblis yang hendak merayap dari dasar jurang kehampaan, agar dapat menguasai daratan Lucylle sekali lagi. Lima abad berlalu. Di sebuah ladang yang terpencil, hiduplah seorang anak bernama Ramiel, putra angkat dari keluarga Wealton. Sejak ia bertumbuh remaja, ia selalu merasa ada sesuatu yang aneh tentang dirinya, rahasia yang tak pernah ia temukan. Namun, tragedi menemukan jalannya. Takdir terus menuntunnya pada kehancuran, atau mungkin, harapan?
VIEW MORE

Chapter 1 - 1 - Family of Few

   Jorren Wealton hidup lima ratus tahun pasca peperangan besar berakhir. Pria yang penuh rasa syukur, representasi dari seseorang yang tekun dan bertanggung jawab. Ladang gandum terbentang luas, diikuti dengan langit yang berawan.

   "Makanan diciptakan untuk manusia menyambung asa mereka, hidup itu sendiri adalah berkat luar biasa yang ia berikan," pikir Jorren sembari mencium aroma roti yang baru saja dipanggang. Ia hidup bersama keluarga kecilnya, dengan Wenna sebagai putri sulungnya, putra keduanya yang bernama Edwart.

   Lalu si bungsu Ramiel, bayi laki-laki yang Jorren temukan menjelang tiga hari setelah kematian istrinya. Hari dimana Ramiel datang, anak itu dibungkus dengan kain kasar di luar pintu rumahnya, kedinginan, serta menangis tanpa henti. Jorren kemudian menggendong tubuh mungil Ramiel, memberi kehangatan dan perlindungan yang anak itu butuhkan.

   "Inilah yang akan kau lakukan jika masih berada di sampingku, Chlora." gumam Jorren, ia tersenyum kecil sembari menyeka tiap air matanya yang keluar.

   Ramiel dibesarkan ayah angkatnya sebagai petani pangan. Jorren sudah bertambah tua dan tubuhnya tidak sekuat dahulu, maka ia selalu menekankan betapa pentingnya untuk bekerja keras serta serta bersyukur, meskipun sering kali hasil tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

   Begitu juga dengan Wenna dan Edwart, Wenna mewarisi ilmu menjahit serta memasak yang ibunya ajarkan. Kemudian Edwart, anak laki-laki yang ahli dalam memanah dan gemar berburu di hutan liar. Kehidupan mereka di ladang kecil itu sederhana, dengan setiap anggota keluarga yang berkontribusi sesuai kemampuan mereka.

   Suatu hari, Ramiel diminta ayahnya untuk membeli biji-bijian serta sayuran di pasar kota, pusat perdagangan bahan pangan terbesar yang ada di benua. Karena musim ini panen sedikit, mereka terpaksa harus mengeluarkan perak untuk membeli bahan pangan.

   Ramiel yang sedang sibuk membersihkan kandang, berjanji akan berangkat setelah selesai dengan pekerjaannya. Sapi-sapi gemuk mengamati Ramiel yang sedang memindahkan jerami untuk membersihkan kandang mereka. Meskipun tugasnya berat, ia bekerja dengan ambisi, agar suatu saat ia bisa membeli banyak hewan ternak.

   Namun, pada saat Ramiel tengah menyekop jerami ke sudut kandang, ia merasa seolah-olah ada yang bergumam di samping telinganya. Sensasi ini membuat bulu kuduknya berdiri, perlahan, Ramiel menoleh ke arah jendela kandang yang menghadap ke luar.

   Di sana, di antara bayangan pepohonan dan sinar matahari yang memudar, terlihat sekilas sesuatu yang membuatnya khawatir. Ramiel menghentikan pekerjaannya sejenak, matanya menyipit untuk melihat lebih jelas. Di luar jendela, muncul sesuatu yang tampak seperti kepala manusia mengintip dari balik pohon.

✦✦✦

   Wajah itu hanya terlihat sekilas sebelum menghilang kembali di antara bayang-bayang. Ramiel mengerutkan kening, rasa khawatir mulai merayapi pikirannya. Akhirnya ia berpikir untuk memberi tahu pada ayah, atau salah satu saudaranya.

   Tidak jauh dari kandang ternak, mengalir sebuah sungai yang tenang, airnya yang jernih berkilauan di bawah sinar matahari. Seorang gadis sedang mencuci pakaian, rambutnya diikat longgar serta lengan bajunya yang digulung.

   Kemudian menggumamkan lagu lembut sambil menggosok dan membilas pakaian.

Ia telah memikul tanggung jawab besar semenjak ayahnya semakin berumur. Namun pagi itu, ia melihat sang adik lari kearahnya dengan tergesa-gesa. Wajah Ramiel memerah, lalu ia mulai meraih tangan saudara perempuannya.

   "Aku merasa seperti diawasi dari luar kandang," ujar Ramiel dengan nafas yang tersengal-sengal.

   Wenna yang selesai mengerjakan kegiatannya mengerutkan kening.

"Apa maksudmu? Kau yakin Edwart tak sedang menggodamu?"

   Ramiel menggeleng. "Ia tak mungkin bangun lebih awal dariku, sebaiknya kau berhati-hati. Aku pun akan segera pergi ke kota." Dari ladang, Jorren menyaksikan kedua anaknya dengan senyuman. Pemandangan Ramiel dan Wenna bekerja bersama dengan giat, membuatnya sangat bangga.

   Kemudian tak lama dari momen hangat itu, "Permisi, apa kalian melihat sepatu kulit kesayanganku?" ucapnya sambil menguap, belum tersadar penuh dari tidurnya yang panjang.

   Serentak Ramiel dan Wenna menyahutinya. "Babi pemalas!!" membuat Jorren tertawa melihat tingkah Edwart yang paling mirip dengan dirinya dahulu. Namun dia mengerti Edwart adalah anak yang bekerja dengan cara yang berbeda, selalu menjaga ternak pada malam hari.

   Tidak jarang pula ia membawa pulang daging segar untuk disantap bersama.

"Kalian berisik dan bau sekali. Lihatlah pakaianmu, penuh dengan kotoran hewan." Edwart tertawa, menunjuk ke arah Ramiel yang berdiri diam disamping sungai.

   Wenna menyadari hal yang sama, kemudian ikut tertawa kecil, "tinggalkan dia sendiri Edwart, atau tidak ada susu selama seminggu penuh untukmu!" ledeknya. Setelah Ramiel mendengar mereka berdua, ia dengan sengaja melempar tanah lembab ke arah Edwart, membuat mereka bermain perang kotoran di pagi hari.

   "Hei! lepaskan pakaian kalian, memangnya siapa yang harus mencuci itu semua!" seru Wenna meneriaki saudara-saudaranya yang sedang asyik bermain dengan tangan di pinggang.

   Akhirnya mereka berhenti, Ramiel kini menghela napas sambil tertawa, lalu mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, aku akan berganti pakaian. Tidak ada gunanya pergi ke kota dengan pakaian penuh noda."

   Edwart menepuk punggung Ramiel. "Pastikan kau terlihat tampan kawan, kau harus menjaga nama baik ayah."

✦✦✦

   Ramiel mengganti pakaian selama beberapa saat sebelum kemudian berangkat bersama Edwart, yang juga ingin keluar untuk memburu beberapa kelinci di hutan. Edwart mempunyai rambut keriting berwarna coklat, mata yang gelap serta rahang yang tegas. Dengan berbekal bubur gandum, mereka berdua berjalan melintasi ladang rumput hingga desa-desa.

   "Ayah tinggal sangat jauh dari kota, dulu kudengar dia adalah seorang prajurit yang bertugas mengawasi hutan di barat." ujar Edwart membuka obrolan di tengah perjalanan.

   "Itulah mengapa kita harus berjalan hampir setengah hari hanya untuk pergi ke kota, sejujurnya aku pun tidak mengerti kenapa ayah keluar dari pekerjaannya yang terhormat." balas Ramiel menanggapi.

   "Jangan mempertanyakan keputusannya, Ramiel, meskipun penjaga hutan memang terdengar sangat hebat di kepalaku." balas sang kakak sambil menepuk pundaknya.

   Setelah perbincangan yang lama, mereka akhirnya harus berpisah pada pertengahan jalan. Dari kejauhan, tampak menara kota yang menanti mereka berdua, namun di sisi kiri, terdapat hutan yang lebat. Ramiel dan Edwart berjalan bersama di jalan setapak. "Jangan sampai tersesat di kota, anak cengeng." ucap Edwart sambil tersenyum lebar dan mulai menarik pedangnya.

   "Kau tetaplah pada jalan setapak, Edwart. Jika kau bertemu penyihir, aku tidak akan mencarimu." balas Ramiel dengan menarik kerah sang kakak dengan ringan.

   Dengan langkah ringan, Edwart berbalik dan memasuki hutan, sementara Ramiel melanjutkan perjalanan menuju kota yang menguras tenaganya. Membuatnya membayangkan berbagai masakan enak buatan saudarinya. Wenna mempunyai mata berwarna hijau bak zamrud, bintik indah di wajahnya, serta rambut yang coklat, persis seperti ayah.

   "Ah.. mengapa aku harus memikirkan makanan, matahari akan semakin terik." ucap Ramiel. Menara yang sebelumnya Ramiel perhatikan, kini terlihat dekat, hingga aroma khas kota pun telah sampai ke indera penciumannya.

   Sembari mengingat hal yang harus ia beli, Ramiel berjalan cepat menuju gerbang masuk yang dibuka lebar untuk para pengembara dan pedagang. Gerbang itu terbuat dari bebatuan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran indah yang menggambarkan sejarah.

✦━━━✦