Sebuah menggigil menyeruak tulang belakangku. Cara dia mengatakannya dan tatapannya memberitahuku bahwa dia serius.
"Kenapa kamu kaget? Jika aku bisa mengalahkanmu dan membunuhmu lalu kenapa tidak membakarmu?"
Tenggorokanku kering dan aku tak bisa membawakan diri untuk mengatakan sesuatu. Dengan tanda kekecewaan, dia berdiri dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Aku tidak melihatnya untuk sisa hari itu. Dia tidak hadir untuk sarapan atau makan siang dan saat tiba waktu makan malam aku bertanya pada salah satu pengawal dimana dia berada.
"Yang Mulia pergi dalam perjalanan bisnis, dia tidak akan kembali hingga besok," dia menjelaskan.
Meskipun dia marah, dia seharusnya memberitahuku. Malam yang lain aku tidur sendirian, tapi daripada merasa lega, aku merasa kesepian.
Ketika aku bangun di pagi hari hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah Lucian. Apakah dia masih dalam perjalanannya atau dia sudah tiba?
"Apakah Yang Mulia sudah tiba?" tanyaku pada pembantu saat dia menyisir rambutku.
"Belum, Yang Mulia," Aku menghela napas dalam kekecewaan. Bagaimana jika dia masih marah dan memutuskan untuk tidak datang?
Sebuah ketukan di pintu membuatku melompat dari kursi. Lucian!! Mungkin pembantu datang untuk memberitahu kedatangannya tapi tidak ada yang membuka pintu. Aneh.
"Masuk," kataku dan pintu terbuka.
"Siapa kamu?" tanyaku pada pembantu. Aku menoleh dan menarik napas dalam-dalam.
"Lidia!! Ylva!!" aku berteriak lari dan memeluk mereka seperti anak kecil
"Nona saya, tolong jangan memeluk kami," Ylva memohon tapi aku mengabaikannya.
"Apa yang kalian lakukan disini? Bagaimana kalian bisa kesini?"
"Yang Mulia yang membawa kami kesini," kata Lidia. Lucian melakukannya? "Sepertinya dia benar-benar peduli padamu" Tiba-tiba aku merasa bersalah telah berkelahi dengannya.
"Tapi itu tidak diperbolehkan. Bagaimana ayah bisa mengizinkan itu?" tanyaku bingung.
"Kami benar-benar tidak tahu nona saya." Aku bertanya-tanya apa yang Lucian lakukan sampai ayah membiarkan dia membawa pembantunya. Ini sesuatu yang tidak pernah diperbolehkan. Bagaimanapun aku sangat senang karena aku tidak sendirian lagi. Menyuruh pembantuku pergi, aku duduk bersama Lidia dan Ylva dan memberitahu mereka segala yang terjadi sejak aku datang kesini.
"Jadi kamu masih perawan?" tanya Ylva terkejut. "Dia pasti pria yang baik jika dia setuju untuk menunggu." Dia memang, terkadang. Aku tidak memberitahu mereka tentang bagian dimana dia bilang dia akan membakarku. Aku masih bingung tentang apa maksudnya dengan itu.
Ketika tiba waktunya makan siang aku pergi ke ruang makan mengharapkan Lucian sudah menunggu di sana tapi dia tidak ada. Apakah dia menghindari aku? Selera makanku hilang seketika.
"Dimana Yang Mulia?" tanyaku pada pengawal merasa seperti istri yang putus asa menanyakan suaminya setiap waktu.
"Yang Mulia ada di ruangannya dan tidak ingin diganggu." Mengabaikan dia, aku pergi ke ruang kerja. Aku membuka pintu dan masuk tanpa mengetuk. Tidak ada orang di dalam saat aku masuk dan menelusuri sekitar. Mataku tertuju pada sebuah surat di meja kerjanya. Dari rasa penasaran, aku membukanya tapi hanya ada beberapa kata yang ditulis di sana.
'Waspadalah. Kematian datang.'