Chereads / Love story' / Chapter 4 - Masuk RS

Chapter 4 - Masuk RS

Di ruang UKS terdapat segelintir orang. Aisha mencantumkan nama Raka di buku daftar sakit setelahnya mengambil kotak p3k.

"Aku enggak pandai obatin luka, kita minta tolong pada ahlinya," kata Aisha mengaku.

"Lo bisa," balas Raka meyakinkan.

Sesaat Aisha terdiam menatap luka di beberapa titik wajah Raka yang berubah warna kebiruan.

"Katakan bila sakit," akhirnya Aisha pasrah duduk di sofa yang sama tempat Raka bersandar.

Aisha meletakkan kotak di atas meja, mengambil Betadine dan meneteskan cairannya ke kapas.

"Hadap sini," pinta Aisha.

Raka mencondongkan badan, menunggu proses pengobatan.

"Jangan gerak atau lukanya tambah parah," peringat Aisha.

"Fine," ucap Raka menurut.

"Sampai kapan bersikap begini, memperlakukan aku berlebihan dan tak peduli pada keselamatan sendiri," gumam Aisha.

"Hingga akhir hayat," jawab Raka.

"Jangan lakukan," geleng Aisha.

"Harus."

"Kakak enggak ngerti perasaan aku," miris Aisha.

"Gue tahu hal paling sulit dimengerti adalah memahami perasaan seseorang, itu sebabnya gue harus melakukan semua ini untuk menembus tembok hati Lo dan memahami segalanya," tutur Raka.

Kapas di tangan Aisha jatuh, speechless dengan perkataan Raka.

"Ck, enggak jadi diobatin deh. Ayok, gue antar ke kelas," putus Raka bangun berdiri.

"Lu–lukanya belum—"

"Enggak apa, Lo lebih penting." Raka memotong cepat kalimat Aisha.

*

"Raka Aglar Atmaja?" absen Pak Lexi pemegang buku agenda hadir seluruh kelas, kini mengabsen di ruang Xll MIPA.

"Ijin, Pak!" sahut Damian.

"Sakit? Mana suratnya?"

"Kencan di ruang BK," koreksi Haikal.

"Sudah gede tetap kelahi, debat soal apa?"

"Masalah sepele Pak cuma ego mereka aja kebesaran," kata Damian menyinggung Raka tempo pagi yang menurutnya dramatis menyikapi hal kecil sebenarnya bisa di sederhanakan cara mengatasinya.

"Dimintai jawab malah nyuruh Bapak mikir dua kali, apa masalahnya?" heran Pak Lexi.

"Cinta Pak. Karena cinta!"

Pak Lexi tepuk jidat.

*

Bel pulang berbunyi sekitar lima belas menit, seluruh siswa/siswi pada bubar meninggalkan ruang belajar masing-masing.

Fathur menghentikan langkahnya di tengah lorong kamar mandi, saat tiga cowok sepantarannya muncul menghadang jalan.

"Ada masalah?" tanya Fathur.

"Lo bilang urusan kita belum selesai, apa Lo takut?" sahut Raka maju selangkah.

Fathur menyeringai tipis, berpikir cepat memahami situasi sambil memandangi Damian dan Haikal.

"Kalian misahin perkelahian gue dan dia, dengan tujuan ini?" simpul Fathur.

Damian dan Haikal membuang pandang, tebakan Fathur benar adanya.

"Tak masalah, tiga lawan satu boleh dicoba," ucap Fathur meremehkan.

Raka mendengus kesal melambai tangan memberi sinyal rencana.

"Tangkap!"

Fathur menghindar gesit ketika Raka, Damian dan Haikal maju bersamaan.

"Lo semua sengaja gali kuburan!" hardik Fathur bergerak lincah menangkis beberapa pukulan yang memburu fisiknya.

"Omong kosong! Tentunya Lo kalah! Kami akan basmi lo dari peradaban!" sergah Raka.

Serangan brutalnya benar-benar di luar kendali, perut Fathur jadi taruhan kena tendangan. Melihat adanya celah, Haikal melayangkan bogem mentahnya namun meleset karena Fathur waspada mengantisipasi serangan datang dan balik menendang mereka bertiga secara bergilir.

Balasan Fathur bukanlah main hingga Raka terhempas menabrak salah satu pintu kamar mandi.

Damian tertawa hambar menikmati pergolakan tengah berlangsung. Fathur cukup sulit dikalahkan.

Sedangkan Haikal mengumpat nada pelan mengakui ketangguhan Fathur menghadapi tiga musuh sekaligus.

"Kalian tahu filosofi rintik hujan? Ya, kalian pecundang nyata, beraninya keroyokan!" cibir Fathur.

"Bangsat!" maki Raka, kemudian menerjang Fathur dan membantingnya.

Fathur mendesis ngilu merasakan kepala belakangnya menyentuh permukaan lantai amat keras.

"Jangan ganggu Aisha, apalagi menyentuhnya tanpa seizin gue!" bentak Raka.

Mata menyala Raka dan Fathur berserobok, menyiratkan ketidaksukaan yang mendalam.

Fathur tersenyum devil mendapat ide gila melintas dibenaknya.

"Darah, dibayar, darah!" desis Fathur.

Kemudian ...

"Lo kacau, sat!" jengkel Damian.

"Gue, oke!" ujar Raka diambang menjaga kesadaran.

"Hidung Lo berdarah, Lo bisa lepas nyawa detik ini. Kita ke RS minta obatin lukanya ke dokter," saran Haikal.

"Gue enggak butuh penanganan dokter!" tolak Raka mentah-mentah.

Lama-lama penglihatannya semakin buram, kepalanya berdenyut nyeri, langkah sempoyongannya tak tentu arah seiring energinya terkuras.

"Argh!" erang Raka kesakitan, lalu jatuh terkapar.

Kedua temannya membantu Raka bangun, memapahnya menuruni tangga.

"Bawa ke RS aja Kal, sayang kalau menghembuskan nafas terakhir di sekolah entar arwahnya gentayangan," usul Damian.

"Teman sekarat do'a'in tamat, stres!" ujar Haikal.

"Abisnya ngerepotin, sok-sokan balas dendam ke bocah bernama Fathur, ujung-ujungnya malah kalah!" dumel Damian, sejak awal tercetusnya rencana memberi perhitungan kepada Fathur, setujunya setengah hati.

"Anggap aja kita menang walau kenyataannya Raka tumbang di tangan Fathur ribet banget mulut Lo," kata Haikal.

"Serius, Lo emang rabun!" caci Damian.

"Serah!"

Tiba di parkiran, Damian menggaruk pipinya yang tidak gatal begitu melihat Aisha menunggu dekat motor Raka.

"I–ini kenapa?" tanya Aisha terbata.

"Ceritanya panjang, kita bawa Raka ke RS, dia harus segera mendapat penanganan dari tim medis!" tegas Haikal.

"Iya. Lo tenang aja teman kita yang satu ini ajaib punya sembilan nyawa, luka kecil begini cetek," hibur Damian.

Panik, Aisha menangkup dagu Raka mengecek kesadaranya.

"Buka matanya, Kak!" cemas Aisha.

"Sebaiknya Lo bantu pesan taxi buat angkut Raka ke rumah sakit," tambah Haikal.

Damian turut bersedih dengan kondisi temannya, tapi bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.

Aisha merogoh ponsel dari kantung seragam untuk memesan taxi online.

Mobil datang tepat waktu. Haikal menyuruh Aisha menemani Raka di dalam, keputusannya ia dan Damian mengikuti perjalanan mereka menuju RS menggunakan motor masing-masing.

Pak sopir melajukan mobilnya membelah jalanan siang hari dibuntuti kendaraan Damian dan Haikal.

"Hal konyol apa udah Kakak perbuat di belakang punggungku sampai-sampai bertaruh nyawa?" isak Aisha.

"Bangun Kak, katanya Kakak balik lagi dengan selamat, buktinya?" Aisha tak sanggup menggerutu.

*

"Gimana, Dok?" Damian tidak sabar mendengar hasil pemeriksaan.

"Akibat benturan keras dialami pasien, teman kalian mengalami cedera kepala efeknya terjadi mimisan, hal itu wajar. Pasien bisa segera pulang setelah pulih secara keseluruhan," jelas Dokter.

"Adakah obat khusus perlu di tebus?" tanya Aisha.

"Udah gue tebus," sahut Haikal mengangkat plastik berisi obat.

"Dok, boleh kami jenguk pasien?" ijin Aisha.

"Silakan."

Tiga anak pelajar memasuki ruangan bernuansa putih tulang. Mereka menatap prihatin kondisi Raka terbaring lemah di brankar.

Raka menyambut dua teman absurd nya dengan senyuman lemah.

"Thanks atas kebaikannya," kata Raka.

"Bagi kita berdua, Lo bagai keluarga sendiri," balas Haikal.

"Cepat sembuh, gue kangen tawuran," sendu Damian.

"Stres," gumam Haikal.

"Aisha juga ada di sini," lanjut Haikal.

"Mana?" beo Raka.

"Orang semanis ini enggak kelihatan? Berjam-jam nangisin Lo takut ditinggal mati, baru reda nih!" sewot Damian sambil menunjuk ke samping.

Raka tersenyum lembut mendapati Aisha menutup mulut terisak kembali.

"Gue butuh privasi," tandas Raka, matanya terpaku pada gadis nampak kusut.

Haikal menarik baju Damian menyeretnya ke luar.

Pintu tertutup.

Raka mengumpulkan keberaniannya untuk menceritakan kronologi dari mana semua lebam ini didapatinya. Feelingnya mengatakan, Aisha wajib tahu.

"Luka ini hasil latihan gue ..."