Chereads / Partner life / Chapter 11 - Chapter 10

Chapter 11 - Chapter 10

Partner life chapter 10

Hari ini adalah hari dimana aku sudah tidak disekolah, karena sekarang adalah hari libur untuk kelas 12, dan besok adalah persiapan wisuda. Sekarang aku menjadi lebih dekat dengan Novi, karena dia adalah orang yang baik dan satu frekuensi denganku, kepribadiannya tidak jauh berbeda denganku, mungkin nasib saja yang membedakan, haha..

Aku menyenggol lengan Novi dengan keras saat berjalan, membuatnya terkejut dan sedikit kehilangan keseimbangannya. "Hey Novi, besok sudah waktunya wisuda." Tersenyum.

"Heh! Bisakah kau tidak mengejutkanku!? Kalau nyenggol pelan dong." Cemberut, dia membuang muka dariku.

Aku terkekeh melihat reaksinya yang berlebihan. Novi selalu seperti itu, dramatis tapi entah bagaimana tetap menyenangkan. "Maaf, maaf," kataku, mencoba terdengar tulus meskipun senyumku masih melebar. "Tapi serius, besok hari besar kita. Kau sudah siap?"

Novi melirikku sekilas, matanya menyipit curiga. "Siap apa? Berdiri selama satu jam di panggung hanya untuk menerima gulungan kertas? Aku rasa aku bisa bertahan." Dia tertawa kecil, tetapi kemudian melanjutkan dengan nada lebih serius, "Tapi... jujur saja, aku sedikit gugup. Wisuda artinya kita semua akan berpisah, kan? Semua ini... akan segera berakhir."

Aku terdiam sejenak, mengangguk pelan. "Iya. Rasanya aneh, ya? Semua kenangan di sekolah ini, semua orang yang kita temui... tiba-tiba kita harus melanjutkan hidup masing-masing, dan juga omong-omong setelah selesai dari SMA kamu akan melanjutkan kemana?"

Menyeringai. "Heh, tentu saja aku akan melanjutkan impian terbesarku, yaitu masuk universitas Tokyo! Aku hebat kan? Haha." Dia menyombongkan diri.

Aku mencengkeram kedua lengannya dan menggoyang-goyangkannya. "Apa!?"

"Kenapa kamu terkejut? Jangan iri yah, hehe."

"Aku sebenarnya juga akan ke universitas Tokyo, jadinya aku terkejut ternyata aku masih bisa bersamamu." Tersenyum.

"Wah itu bagus, aku tidak menyangka itu. Hey, Ace," Novi memecah keheningan, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Besok... kalau aku terlihat aneh di atas panggung, jangan tertawa, oke?"

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa kau berpikir begitu?"

Dia mengangkat bahu, sedikit gugup. "Aku tidak tahu. Aku hanya... aku tidak terbiasa jadi pusat perhatian."

Aku menatapnya, mencoba menahan senyum. "Novi, kau selalu jadi pusat perhatian, bahkan tanpa mencoba. Tapi baiklah, aku janji tidak akan tertawa. Tapi kalau kau jatuh, aku tidak bisa berjanji."

Dia memukul lenganku pelan, wajahnya memerah. "Dasar menyebalkan!"

Aku hanya tertawa, merasa lega karena bisa membuatnya melupakan kegelisahannya—setidaknya untuk sementara. Besok adalah hari yang besar, tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati momen ini bersama Novi, seseorang yang perlahan menjadi bagian penting dalam hidupku.

"Novi, aku senang kita masih bisa menghabiskan waktu bersama setelah lulus dari SMA, aku penasaran dengan masa depan yang akan tiba nanti, itu pasti akan terasa... Menyenangkan mungkin."

Novi menghela nafas sambil menatap Ace. "Kau jangan terlalu optimis Ace, seseorang pasti berubah, keadaan pasti berubah dan semuanya pasti bisa berubah suatu saat nanti, bahkan orang yang kamu percayai pun bisa saja mengkhianati kamu. Tapi tergantung perubahan itu memiliki dampak baik atau buruk."

Kata-kata Novi membuatku terdiam. Cara dia mengatakannya terdengar dingin, hampir seperti dia berbicara dari pengalaman pribadi. Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi dia terlihat tenang, meski matanya sedikit redup.

"Aku tahu perubahan itu tidak bisa dihindari," kataku akhirnya, mencoba menyeimbangkan nada percakapan. "Tapi aku percaya, selama kita berusaha mempertahankan apa yang penting, tidak semuanya harus berubah menjadi buruk."

Novi tertawa kecil, nada suaranya terdengar skeptis. "Kau terlalu percaya pada idealismemu, Ace. Tapi aku rasa, itu salah satu hal yang membuatmu menarik."

Aku tersenyum tipis. "Dan kau terlalu sinis, Novi. Tapi mungkin itu salah satu hal yang membuatku tetap ingin bicara denganmu."

Dia menoleh, terlihat terkejut sejenak, lalu terkikik. "Kau semakin pintar membalas omonganku. Aku mulai berpikir kau ini muridku, bukan temanku."

Aku tertawa kecil, merasa percakapan itu kembali ringan. Namun, di balik tawa kami, aku tidak bisa menghilangkan rasa penasaran. Ada sesuatu tentang Novi yang selalu terasa tersembunyi, seperti dia tidak pernah benar-benar menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

Kami melanjutkan berjalan, berbicara tentang hal-hal ringan—tentang apa yang akan kami lakukan di universitas nanti, bagaimana kehidupan di Tokyo mungkin akan terasa berbeda, hingga rencana kecil untuk menjelajahi kota bersama jika ada waktu luang. Novi tampak ceria, tetapi aku tetap merasa ada sesuatu yang mengganggu di pikirannya.

Menjelang sore, kami tiba di sebuah taman kecil dekat rumahnya. Novi berhenti, menatap langit yang mulai berubah jingga. "Ace," katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin. "Apa kau pernah merasa... bahwa hidup ini seperti permainan?"

Aku mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaannya. "Maksudmu?"

Dia menoleh padaku, matanya menyipit, seolah sedang menilai reaksiku. "Seperti ada aturan yang tidak tertulis, peran yang harus dimainkan, dan pilihan-pilihan yang harus kau buat untuk menang... atau setidaknya bertahan."

Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku tidak pernah memikirkannya seperti itu. Hidup bagiku lebih seperti perjalanan, kadang lancar, kadang sulit, tapi selalu ada tujuan di ujungnya, aku hanya menjalani seperti air yang mengalir, walaupun terkadang airnya menjadi keruh."

Novi tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Kau memang selalu melihat sisi terang, ya? Tapi bagiku, permainan ini tidak pernah adil. Beberapa orang mendapatkan kartu yang bagus, sementara yang lain harus bermain dengan kartu yang buruk. Dan tidak peduli seberapa keras kau berusaha, kadang kau tetap kalah."

Aku ingin menjawab, tetapi kata-katanya terlalu berat untuk dibantah begitu saja. Aku hanya berdiri di sana, menatapnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya dia rasakan.

"Ace," katanya lagi, suaranya lebih lembut. "Aku harap kau tetap jadi dirimu sendiri, apa pun yang terjadi nanti. Dunia butuh orang-orang seperti kau... yang tidak menyerah pada harapan, meskipun kadang harapan itu terasa bodoh."

Aku menelan ludah, merasa berat mendengar kata-katanya. "Dan aku harap kau tidak kehilangan kepercayaan pada orang lain, Novi. Kau mungkin melihat dunia ini seperti permainan, tapi aku yakin... kau lebih dari sekadar pemain. Kau bisa mengubah aturan kalau kau mau."

Dia tertawa kecil, meski nada itu terdengar getir. "Kau selalu punya cara membuatku merasa kalah, Ace. Tapi tidak apa-apa. Aku akan ingat itu."

Kami berpisah di depan rumahnya, dan saat dia masuk, aku masih berdiri di sana, menatap pintu yang sudah tertutup. Rasanya seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi tidak pernah keluar. Aku hanya bisa berharap, apa pun yang dia sembunyikan, dia akan membiarkanku membantu suatu hari nanti.

Sore itu, aku berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Besok adalah wisuda, awal dari perjalanan baru. Tetapi di sudut pikiranku, bayangan Novi dan kata-katanya terus menghantui, seperti teka-teki yang belum selesai.

Aku memasukkan tanganku ke saku sambil berjalan menunduk. "Apa-apaan yang dia katakan itu. Huft... Walaupun dia tidak sepenuhnya salah, tapi kenapa dia mengatakan hal seperti itu, apakah dia hanya ingin mengingatkanku? Ah sudahlah tidak usah memikirkan hal seperti itu, itu hanyalah hal yang sederhana."

Aku sampai didepan rumah dan membuka pintu, melangkah masuk dengan senyum. "Tidak peduli apapun itu aku akan merindukan rumah ini, ini adalah tempat seribu kenangan.., rasanya berat jika harus meninggalkan kota ini, tapi ini demi impianku memasuki universitas Tokyo."

"Kakek, aku pulang!"