Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

TERUS MENANGIS DAN MENDERITA.

🇮🇩NURULNUHANA
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
DILARANG PLAGIASI! KARYA INI DILINDUNGI HAK CIPTA!!! JIKA DITEMUKAN PLAGIASI, AKAN DIBAWA KE JALUR HUKUM!!! Alin Pentra melamar sebuah pekerjaan menjadi Asisten Rumah Tangga di sebuah Kastil bangsawan di negaranya, Auran. Keluarga Steharmand adalah sebuah keluarga bangsawan yang terkenal di negaranya, ia bisa diterima bekerja di kediaman keluarga Steharmand karena dibantu calo pekerja. Merasa hidupnya akan bahagia dan memiliki banyak uang karena bekerja di Kastil bangsawan, namun yang terjadi Alin harus mendapat penghinaan dan intimidasi dari anak majikannya. Aldo Amaro Steharmand sangat membenci Alin yang dinilainya sebagai gadis yang kotor dan bau. Kebiasaan yang dibawanya dari desa sangat membuat Aldo marah dan jijik. Beribu cara Aldo selalu membuat Alin terus menangis dan menderita agar gadis yatim piatu itu segera berhenti bekerja dan meninggalkan Kastilnya yang berkelas. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah Alin Pentra akan bertahan terhadap intimidasi dari Tuannya? Baca terus hanya di WEBNOVEL.
VIEW MORE

Chapter 1 - Lowongan Pekerjaan.

"Alin? Kamu tidak mau melamar pekerjaan di Kastil Tuan Steharmand?" tanya Mona teman Alin.

"Memangnya mereka membuka lowongan pekerjaan?" tanya balik saya sambil mengutip ranting kayu di hutan.

"Iya, saya membacanya di surat kabar tadi pagi," jawab Mona.

"Mereka mencari dua puluh pekerja, ayo Alin kita mendaftar," ajak Mona sangat antusias.

"Terlalu jauh ke kota seberang Mona. Biayanya juga mahal, perlu tiga ratus koin emas," ucap saya berusaha logis.

"Kitakan punya tabungan Alin, pakai saja dulu. Nanti ketika sudah gajian, kita ganti uang tabungannya," saran Mona.

Saya bernapas kasar dan menatapnya sendu,"Memangnya kamu yakin diterima? Tabungan kita juga masih seratus koin emas paling, mau cari tambahannya dimana?"

"Kita naik kereta kuda saja, pasti jauh lebih murah," balas Mona membuat saya menggelengkan kepala.

"Kamu ini, asal bicara saja. Semua itu pakai perhitungan dan perencanaan yang matang Mona. Jangan hanya sekadar napsu semata. Iya, mungkin seratus koin emas cukup buat perginya. Pulangnya? Mau naik apa? Mulung?" tanya saya.

"Posisikan diri kamu jika ditolak, jangan diterima. Jadi kamu tidak terlalu berangan-angan," nasehat saya dan lanjut mencari kayu bakar.

"Tapikan Alin, saya sudah yakin diterima. Apalagi ya, anak bangsawan Steharmand kan ganteng sekali," ucap Mona menari-nari salah tingkah memikirkan anak Tuan Steharmand.

"Memangnya kamu tahu wajah anaknya?" tanya saya memastikan.

"Tidak sih," jawab Mona.

"Jadi dari mana kamu tahu beliau ganteng?" tanya saya heran.

"Ya menebak saja. Biasanya kan, anak orang kaya itu selalu menawan dan tampan. Hidupnya bak manusia sempurna," jawab Mona sumringah.

"Itu hanya di dalam khayalanmu. Lagipula jika di dunia nyata, mungkin mereka berhati iblis," ucap saya asal.

"Is kamu ini, terlalu berpikiran negatif," celetuk Mona.

"Hanya firasat," balas saya.

Tanpa melanjukan cerita, Mona mulai mengutip ranting kayu yang berjatuhan. Beginilah keseharian kami, membantu orang tua mencari kayu bakar untuk memasak. Hidup di desa seperti kami, sangat sulit mendapatkan minyak tanah. Kalaupun ada, harganya sangat mahal.

Sore telah tiba, waktunya saya dan Mona pulang. Kami menjunjung dua rumpun besar kayu bakar, menuruni lereng bukit yang semak.

Sesampainya di persimpangan jalan, Mona kembali mengingatkan saya,"Jaga lupa ya Alin, izin sama nenekmu. Nanti kita berangkat bersama. Kalau kamu tidak mau, tolong temani saya untuk mendaftar ke kota."

"Iya, nanti saya musyawarahkan dengan nenek," jawab saya dengan peluh dan napas tersengal.

"Yaudah, sampai jumpa Alin," pamit Mona dan langsung berlalu ke jalur kiri.

Sementara saya terus ke depan, karena rumah kami berbeda gang. Sepanjang perjalanan pulang di senja hari ini, saya memikirkan tawaran Mona. Apa memang sebaiknya saya mendaftar lowongan pekerjaan itu?

Saya dan nenek memang sangat kekurangan, berbeda dengan Mona yang masih tercukupi karena orang tuanya yang masih hidup. Sementara saya, hanya membantu nenek mengecer gorengan dagangannya di pagi hari sampai siang. Jika sudah siang, saya pulang dan berangkat mencari kayu bakar. Meninggalkan nenek yang berkeliling desa sampai sore.

Untung yang didapat juga tidak banyak, jika dagangan nenek habis hanya mendapatkan keuntungan lima koin emas. Biasanya nenek memberikan upah kepada saya setiap harinya satu koin emas, sebab sudah membantunya. Itulah uang yang saya tabung setiap harinya, sekalian uang untuk berjaga-jaga jika kami membutuhkan.

Sesampainya di rumah gubuk milik nenek, saya sudah melihat nenek duduk di kursi teras menunggu saya pulang.

"Kok lama Alin?" tanya nenek khawatir sembari membantu saya menurunkan kayu bakar.

"Iya Nek, sekalian berbincang sebentar dengan Mona tadi," jawab saya.

"Yaudah, mandi terus kita makan ya Nduk," ucap nenek.

"Iya Nek," balas saya dan melenggang masuk ke kamar mandi.

Kayu bakar yang saya cari hanya kami letakkan di teras, seperti biasanya. Nenek mengunci pintu dan menyiapkan makan malam di lantai beralaskan tikar anyaman bambu. Tubuh bongkok dan rentanya itu, masih terlihat cukup kuat.

Nenek sudah duduk bersimpuh di depan lauk-pauk menunggu saya. Saya langsung menghampiri nenek setelah selesai mandi dan mengganti pakaian.

"Ayo makan," ajak nenek begitu saya duduk di samping kirinya. Saya dan nenek makan dengan lahap, dengan lauk dan pauk seadanya. Yang penting, masih ada makanan yang bisa mengisi perut kami.

Ditengah diamnya suasana makan, saya mulai membuka obrolan."Nek, Alin mau ke kota."

Nenek langsung menoleh,"Ngapain Alin?"

"Kata Mona, Kastil Tuan Steharmand membuka lowongan pekerjaan. Kami ingin melamarnya bersama Nek," jawab saya dengan jujur.

"Sebagai apa?" tanya nenek.

"Tidak tahu, pelayan mungkin," jawab saya acuh.

"Memangnya kamu sanggup? Bekerja di Kastil itu sama seperti di Kerajaan. Pekerjaannya banyak," tanya nenek.

"Tidak tahu, sebenarnya sedikit ragu. Tapi, pasti bayarannya besar Nek. Bisa membantu ekonomi kita, Nenek gak perlu jualan keliling lagi. Kita juga bisa memasak menggunakan minyak tanah," jawab saya antusia berusaha mengambil keyakinan nenek.