Pada tanggal 28 November 2032 kejadian di hari pertama akan muncul, tapi sebelumnya, biarkan aku mengenalkan diriku dan keseharian ku yang membosankan terlebih dahulu, tepatnya saat ini aku terlihat masih duduk di bangku sekolah, umurku masih 16 tahun dan dari semua siswa maupun siswi yang terlihat sangat rajin itu, tepatnya mereka sedang menulis materi di buku mereka, aku akan jadi salah satunya, yeah, salah satunya, di paling belakang tepatnya.
Itu aku, nama ku sangat keren di sini, Clarina Berezira yang lahir di San Diego Amerika Serikat dan sekarang tinggal di Indonesia, akan aku ceritakan kenapa begitu.
Aku masih di bangku ku, sedang duduk ngalamun, menyangga dagu hanya dengan tangan ku, membuka buku tapi tidak menulisnya, dan ini aku, siswi termalas di sini, tepatnya malas dalam artian sudah bosan dengan pengetahuan yang selalu sama.
Setiap kali ada pemikiran masuk yang menanyakan hal soal kenapa aku tidak menulis. Aku hanya akan menjawab sendiri. "Buat apa menulis materi yang bahkan belum tentu membantu kita keluar dari penderitaan uang..."
Sekarang itu, jaman nya dapat uang dengan pekerjaan yang pintar, bukan menghabiskan uang dengan membeli buku. Lagipula aku sudah sangat pintar di sini, meskipun hanya minus sedikit.
Kenapa minus sedikit? Itu karena, meskipun aku juga sudah paham dengan beberapa materi, aku bisa melalui ujian dengan mudah, semua mata pelajaran dapat aku pahami hanya dengan menggunakan logika maupun apapun yang aku baca satu kali. Apalagi aku yang sangat pandai bahasa Inggris dari pada orang orang di sekolah ini, padahal aku hanya dilahirkan di Amerika, setelah itu tinggal di Indonesia.
Tapi ada satu hal yang membuat ku begitu bodoh, setiap ada materi ini, aku selalu hanya bisa melongoh, ngelag, tak bisa berpikir, layaknya semua otak logika ku langsung hilang begitu saja, itu adalah materi Matematika. Sial, itu pelajaran paling tidak aku sukai sepanjang masa, aku harap aku tidak pernah bertemu dengan pelajaran ini seumur hidup ku, tapi nasibnya, setiap hari harus ada pelajaran ini.
Aku juga adalah tipe orang yang menerima keadaan itu itu aja, jika ada kejadian tidak enak ya, lewati aja, sama seperti sikap ku pada beberapa orang, aku sangat tidak peduli dan malas untuk mengobrol topik yang tidak penting, karena itulah, aku juga jarang bergaul dengan baik. Tapi bukan berarti aku malu di sini, gimana ya jelasin nya?
Jadi setiap ada beberapa orang yang mengajak ku bicara, aku hanya akan bicara, tidak terlalu panjang lebar, tidak memberikan kesan lama dan jangan lupa taburan taburan aura pertemanan yang akrab. Tapi begitu mereka mengakhiri obrolan dengan ku, aku langsung bernapas lega karena, tadi itu melelahkan.
Sebagian internet bilang, bahwa sikap ku ini introvert, tapi benarkah? Aku tidak merasa aku introvert, orang yang mengaku dia introvert hanya akan memberikan kesan yang begitu alay dan memalukan, jadi aku lebih menyebut diriku ini biasa biasa saja.
Tapi jika tanya keseharian ku di sekolah. Mungkin aku juga akan menjawab tanpa panjang lebar.
Aku berangkat jam 6, berjalan tenang ke kelas kemudian langsung duduk dan meng kosongkan pikiran ku untuk membuat cerita yang sangat hidup di dalam imajinasiku. Terkadang jika aku harus berkeinginan belajar menghadapi ujian harian ataupun ujian penting, aku akan belajar, tapi satu hal yang tidak akan pernah mau aku pelajari. "Aku tidak akan pernah belajar matematika!!"
Orang tuaku sering memberitahu ku bahwa matematika juga merupakan pelajaran yang penting, jika aku tidak mengerti satu angka saja, itu sudah termasuk sangat payah. Tapi Ayahku selalu mengatakan hal yang baik seperti.
"Kau tidak bodoh ataupun payah, tapi kau hanya malas belajar dan malas berhitung, sehingga kau memilih diam dan mengakui bahwa kau tidak suka materi itu, tak apa jika tidak paham, tapi berusaha itu penting, jika kau sudah berusaha tapi tak ada hasilnya, kau boleh membencinya tapi jangan melupakan nya"
Meskipun tak ada unsur sarkasnya, dia tetap mengakui penderitaan ku dan mendukung ku, berbeda dengan ibuku, dia orang yang sangat disiplin, dia bahkan bisa setiap hari memarahi ku hanya karena di setiap ujian matematika aku pasti dapat nilai kurang dari 30, tapi kenapa dia tidak lihat mata pelajaran lain, hampir semuanya aku dapat 99, bahkan termasuk olahraga fisik, aku yang paling lincah dan bugar, tapi malah yang dilihat kesalahan nya saja. Itu sama saja dia tidak pernah puas dengan usahaku, aku jadi lebih suka cara Ayah.
Yeah, tapi mau bagaimana lagi, meskipun ibu selalu menceramahiku, memarahiku, atau apapun itu yang membuat hatiku begitu jengkel, aku tahu dia juga pasti sayang padaku juga Ayahku, tentu saja aku memiliki keluarga yang hebat dan lengkap, tapi sekarang sudah tidak, kini yang di rumah hanya tinggal dua orang termasuk aku, jangan khawatir, itu sudah biasa untuk ku.
Ya, memang, dan kupikir itu akan jadi kehidupan ku yang sangat biasa, tapi, sesuatu terjadi, ini semua bukan soal matematika atau apapun itu, tapi ini soal kejadian yang akan terjadi pada beberapa hari ini.
Untung nya hari ini adalah hari libur, tepatnya sebelum tanggal 28 November dan aku tampak terduduk di sofa rumah sambil menonton televisi yang memperlihatkan acara kesukaan ku, film zombie. Entah mengapa aku selalu bertanya tanya, kenapa aku yang seorang gadis ini lebih suka film dengan hal yang berbau darah, kekerasan, pembunuhan dan yang lain nya.
Entahlah, rasanya seperti... Ada suatu kesan maupun pesan yang begitu nyata di dalam film itu, dari pada film romantis yang kebanyakan memiliki alur bertemu, konflik, setelah itu ending kontemporer, benar benar membosankan, meskipun film zombie juga membosankan bagian soal "menggigit, virus dan survival" Itu semua hampir dimiliki banyak dari film zombie, tapi tak masalah, aku lebih suka perjalanan survival nya.
Ketika malam hari, aku belum habis menonton televisi, kemudian ada seseorang yang masuk membuatku menoleh yang rupanya itu adalah seorang pria yang tampak kekar, dengan pakaian sederhana nya dan menatap ku dengan tatapan lelah. Aku menyebutnya. "Hei Ayah..." Tatap ku dengan mencoba mengobrol. "Bagaimana hari ini?" Aku menambah.
Tapi dia hanya menghela napas panjang dan langsung duduk di samping ku. "Hanya seperti bisanya, lelah, lapar, lelah, lapar...." Balasnya dengan nada agak bercanda.
"Oh, ok.... Baiklah, terserah, itu adalah kata kata yang selalu kau katakan, kupikir kau akan membawa sesuatu sepertu martabak atau apapun itu" Aku menatap biasa, tapi aslinya aku kecewa, aku ingin dia membawa makanan.
Tapi dia tampak tersenyum kecil. "Kau sungguh banyak maunya... Lihat ini" Dia menunjukan sesuatu dari tangan nya, yakni kotak martabak.
"Wiih...." Aku langsung senang.
"Tapi..." Dia menyela membuat ku terdiam menatap.
"Kau harus memasakkan ku mie instan dulu, cepat.." Tampaknya dia lapar, dengan rasa berat hati, aku melakukan nya dengan kesal, mengambil apron dan mulai memasak air.
Karena dapur yang dekat dengan ruang tamu, Ayah mulai bertanya sesuatu. "Bagaimana pelajaran mu di sekolah? Kau aman aman saja bukan?" Tanya dia sambil meletakan kotak martabak itu di meja dan menonton televisi yang menampilkan film yang bahkan masih berlanjut.
Mendengar pertanyaan itu membuat ku menjawab. "Yeah, tak ada apa apa.... Hanya seperti biasanya..." Ya.. Hanya seperti biasanya, hari hari membosankan yang bahkan tidak menyenangkan.
"Kau sudah membuat tabungan mu?" Tanya kembali dia membuat ku teringat yang berkaitan dengan pertanyaan nya.
Maksud darinya adalah, aku bekerja sambilan dan ini sangat mudah dilakukan untuk ku, yakni menulis naskah cerita, aku seorang penulis di usia muda dan meskipun pendapatan ku hanya sedikit, aku paling tidak mendapatkan uang. Setiap bulan, aku diminta membuat satu cerita naskah dengan adanya 30 bab, ketika selesai, aku tinggal menjualnya dan diberikan uang, tergantung, kadang 150 sampai 300 ribu saja. Tapi aku senang, aku di berikan karunia ini untuk menulis cerita dan mendapatkan uang meskipun karya ku tidak akan tertulis nama ku.
"Kupikir, yeah.... Aku sudah membuatnya... Sekarang sudah ada 900 ribu, apa kau ingin mengambilnya, Ayah?" Tatap ku dan tak sadar bahwa air sudah mendidih.
Aku hanya melihat Ayah tampak menatap televisi sambil menyangga kepalanya di samping sofa. "Tidak perlu, kau bisa mencukupi kebutuhan mu sendiri... Rupanya kau benar benar nekat ketika ibumu melarang mu untuk menulis..." Tatapnya.
Mendengar itu jelas membuat ku sangat setuju, karena dulu aku pernah bilang pada ibu bahwa aku bercita cita menjadi penulis terkenal, tapi dia malah membentak ku dan meminta ku untuk menjadi Dokter atau Guru saja, memang nya kenapa.
"Memang nya kenapa, sekarang dia juga sudah tak ada" Kata ku membuat Ayah sekarang menatap ku serius.
Yeah, maksud dari penjelasan awalku tadi adalah ini, jadi yang sekarang di rumah hanya aku dan Ayahku seorang.
"Lihatlah sisi baiknya selama dia masih ada, dia bisa memasakkan makanan, dia bisa mencuci baju, mengurus rumah, sementara kau, di sini hanya malas malasan, kau harus belajar seperti ibumu"
"Yeah, aku tahu, aku akan mencobanya..." Dengan cibiran ku, aku benar benar merasa kesal, tapi ya mau bagaimana lagi, mungkin memang sudah saat nya menjadi seperti ibu ketika di rumah.
Ketika sudah selesai membuat mie instan, aku menyajikan nya pada Ayah dan dia memberikan martabak untuk ku. Yeah, aku suka pada martabak telur, rasanya sangat gurih tapi Ayah pasti akan bilang.
"Jangan terlalu banyak makan makanan seperti ini, jangan beli sendiri dan pastikan, apa yang kau beli ada di pengawasan ku" Liriknya membuatku tidak nyaman memakan martabak.
Sekali lagi harus aku tautkan, dia begitu menjaga kesehatan ku ini, tapi aku mulai kesal dan langsung membalas. "Ih, memang nya Ayah tidak makan makanan tidak sehat? Lihat saja mie itu!"
"Ini juga bergizi, tauu..." Dia membalas dengan tatapan bercanda dan tanpa rasa bersalah, membuatku kesal dan membuang wajah mengunyah martabak dengan keras.