Cahaya matahari mulai memenuhi kamar ku. Rupanya pagi telah menyapa kembali. Aku tersadar, aku tertidur di lantai. Lebih tepatnya di depan pintu. Sepanjang malam aku menggedor-gedor pintu berharap dibukankan. Tetapi hasilnya nihil.
Aku bahkan merasa tenggorokan ku begitu sakit karena lelah berteriak meminta tolong. Aku bangkit dari tempatku lalu berjalan ke kasur untuk berbaring. Aku mencari air untuk aku minum, untungnya ada air minum yang disiapkan oleh pelayan Mr. right.
Dengan cepat aku bangkit kembali lalu berjalan ke meja untuk minum. Ugh! Rasanya menyegarkan. Ini membuat kesadaranku pulih kembali. Aku juga merasa lebih baik, gatal-gatal ku sudah hilang.
Karena dikuncikan, aku jadi lupa dengan gatal-gatal ku, ini membuat ku tidak menggaruknya. Aku kembali ke kasur dan berbaring. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Aku sangat bosan. Ketika aku ingin ke kamar mandi, aku mendengar suara pintu yang di buka.
"Anda sudah bangun Mrs. Benedetta?" Aku melihat ada Lilian yang datang sambil membawa nampan berisi makanan.
"Lilian! Aku mohon, biarkan aku pergi dari sini,"
Lilian tidak menggubris ku. Dia fokus menata makanan di meja tempat aku biasanya makan.
Aku beranjak lalu menghampirinya. "Lilian aku mohon, aku bisa gila berada di sini," pinta ku dengan lirih.
"Maafkan saya Mrs. Benedetta tetapi Tuan akan marah jika saya melakukan itu, saya masih menyayangi nyawa saya sendiri,"
SIAL! Lagi-lagi dia berkata tentang nyawa. Sebenarnya siapa Mr. Right itu. Lagipula dia siapa? Sampai-sampai nyawa orang menjadi taruhannya? Apa dia Tuhan? Dasar pria gila!
"Kalau begitu apakah aku bisa keluar? Aku merasa takut terkunci di sini, aku berpikir bahwa aku tidak akan bisa keluar lagi,"
"Maaf, Tuan menetapkan aturan untuk melarang Anda keluar dari kamar hingga beliau kembali,"
"Apa maksudmu? Kemana pria itu??!"
"Saya tidak memiliki wewenang untuk memberitahukannya pada Anda, tetapi Anda akan dikunci seperti semalam hingga Tuan kembali,"
"Apa-apaan?! Memangnya aku binatang?!! Aku gak mau! Aku ingin keluar!"
"Maaf Mrs. Benedetta tolong kerja samanya, nyawa kami berada di tangan Anda. Jika Anda gegabah maka kami bisa dibunuh,"
"Apa maksudmu itu?" Aku terkejut mendengarnya.
"Silakan dinikmati, saya ada di luar jika Anda membutuhkan sesuatu. Saya permisi," Lilian berlari kecil dan keluar dari kamar.
"Hei hei!!!"
Aku menyusulnya dan hendak membuka pintu, ketika aku membukanya ada dua orang bodyguard yang menjaga. Sial! Aku terpojok. Aku di paksa masuk dan mereka dengan cepat menguncinya kembali.
"AKH!!! SIALAN!" Aku berteriak frustasi.
Sepanjang hari aku habiskan di dalam kamar. Sesekali Lilian datang menengok ku dan memeriksa bekas alergiku yang masih ada ruam-ruamnya. Kedua kalinya dia masuk, aku masih menuntut jawaban tetapi entah dia disogok berapa hingga tidak berani memberitahukannya padaku.
Sebenarnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk kabur, apalagi pria itu tidak ada di rumahnya. Tetapi seolah tahu jika aku akan kabur bila tahu dia tidak ada di rumahnya, dia justru mengunciku. Apakah jika alergiku tidak kambuh, semuanya akan berubah?
Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Rasanya sangat menyebalkan untuk mendekam di ruangan yang masih terasa asing untuk ku.
"Lilian, coba kau ceritakan Mr. Right itu orangnya bagaimana?"
Lilian terdiam sejenak ketika dia sedang menyisir rambutku.
"Lilian?" Panggilku.
"Mr. Right adalah orang yang baik, beliau memperkerjakan saya dengan layak, beliau juga sering membantu orang-orang di sekitarnya,"
Keningku mengerut. Mengapa dia menceritakan yang sisi baiknya? Ini seperti sisi yang tidak kuharapkan ada pada pria itu.
"Aku meragukannya,"
Lilian terlihat tersenyum kecil. "Walaupun tampang Tuan sangat garang tetapi beliau adalah orang yang baik, saya harap Anda akan menjadi wanitanya,"
"Apa maksudmu?"
"Rambut Anda sudah selesai, saya akan keluar untuk membawakan Anda camilan, ada permintaan?" Lagi-lagi dia mengalihkan pertanyaan ku.
Aku menggeleng.
Lilian keluar dari kamar tanpa berbicara lagi. Aku kembali di himpit kesunyian. Bahkan tv pun tidak ada di kamar ini. Aku sungguh seperti kembali ke zaman di mana internet tidak ada. Ini seperti di kerajaan. Tetapi mereka masih bisa keluar sedangkan aku tidak.
Selagi menunggu Lilian, aku duduk di tepi jendela. Ini spot kesukaan ku di dalam kamar ini. Setidaknya aku bisa melihat pemandangan di luar.
"Kira-kira kapan aku bisa keluar ya? Aku kira aku akan baik-baik saja di kunci di sini tetapi nyatanya tidak, aku terlalu terbiasa berinteraksi dengan orang-orang di bar hingga membuatku merasa aneh hanya berbincang dengan Lilian dua hari ini," gumam ku.
Ingatan pada saat masih bekerja di bar terputar. Walaupun baru seminggu bekerja di sana dan karena terpaksa, aku tidak dapat berbohong jika menikmatinya juga. Aku tidak di gaji sih tetapi berinteraksi dengan orang-orang, mendengar keluh kesah mereka, membantu mereka membuatku ikut senang.
Setidaknya aku tidak menjadi wanita penghibur yang merendahkan diriku. Tetapi sekarang aku mulai takut, apakah nantinya Mr. Right akan menyentuh ku? Pria tampan sepertinya tidak mungkin hanya menyimpan perempuan seperti ku saja tanpa mencobanya.
Aku mendengar suara pintu kembali di buka. Aku berharap orang itu adalah Mr. Right tetapi nyatanya bukan. Sejak kapan aku mulai mengharapkan pria itu? Aku hanya ingin di keluarkan saja.
Aku melihat Lilian membawa nampan berisi camilan. Ada berbagai camilan. Sungguh, itu sangat menarik perhatian.
"Ini camilan Anda, katakan jika ada yang kurang. Dan tidak perlu khawatir, ini tidak mengandung udang,"
Aku tersenyum kecil. "Terima kasih,"
Lilian mengangguk lalu ingin pergi tetapi aku menahannya.
"Apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Aku menggeleng. "Temani aku, aku bosan di sini,"
"Tuan akan marah jika tahu akan ini,"
Keningku mengerut. "Loh kenapa dia mau marah? Kan aku cuma minta di temani,"
"Maafkan saya, tetapi saya bersungguh-sungguh, Tuan meminta kami agar tidak sering masuk ke kamar Anda,"
"Akh sial! Sebenarnya apa mau pria itu hah? Aku bisa gila di sini,"
"Saya permisi,"
"Hei tunggu!" Brak!
Suara pintu di tutup terdengar. Aku berteriak frustasi. "Akh! Sial! Sebenarnya kenapa pria itu mengurungku? Padahal sebelumnya aku tidak berbuat sesuatu yang salah? Kalau pun karena alergiku itu, tetapi kan itu bukan salahku? Harusnya itu salahnya,"
Aku berbaring dan mataku melihat cctv. Aku mengerut, sejak kapan ada cctv di sana. Aku beranjak dan mendekatinya.
"Aku harap kamera cctv ini tersambung dengan ponsel atau komputer pria gila itu,"
Aku segera mengambil kertas dan pulpen lalu menuliskan kalimat 'Dasar pria gila! Sampai kapan kau mengurungku bajingan?!' aku memegangnya lalu menghadapkannya pada cctv. Sesekali juga aku menunjukkan jari tengahku tanda jika aku benar-benar emosi.
Walaupun dia tidak akan mendengar ucapan ku, setidaknya dia pasti bisa membaca ini. Kecuali jika dia buta.