BRUMMMM...BRUMMMMM
Suara derum motor terdengar mendengung pada pagi ini, gerombolan kawanan remaja berjaket hitam sudah menghiasi jalanan. Mereka melakukan sunmori bersama kekasih masing-masing.
Jaket bernama berlambangkan singa dan dituliskan dengan jelas bernama WALERUS GANG.
"AYOKKK GASS!!! MAU KEMANAA!!" teriak salah seorang yang menjadi pemimpin dari depan.
"Sayang, kok perasaan ku gak enak, ya?" tanya seorang gadis di belakang
"Gak enak kenapa, hm? Kita harus happy-happy hari ini, sayang. Gak usah khawatir."
Gadis itu hanya diam mengangguk, suasana masih sangat ramai. Banyak orang memperhatikan gerak-gerik mereka yang seperti menguasai jalanan.
Namun saat memasuki sebuah gang, terlihat banyak gerombolan lelaki berjaket abu-abu menghadang mereka. Membuat para anggota geng Walerus panik.
"Sial, anak Wolviper!" umpat lelaki bernama Wave, selaku ketua geng di sana.
"BERHENTI ATAU LO MATI?!"
Sentak dalam beberapa meter jarak yang mereka tempuh, hanya sedikit dengan orang-orang yang menghadang mereka. Wave tetap memimpin dari depan.
"Urusan kita belum selesai," ujar lelaki di depannya. "Turun, atau lo pengecut?"
Mendengar itu, dada Wave kembang kempis. Emosinya langsung naik pitam, dan turun dari motor meninggalkan gadis yang disebut-sebut sebagai kekasihnya.
"Fuck!" umpatnya lalu langsung melayangkan serangan pada lelaki itu.
"Serang mereka!" pinta Wave pada anak buahnya yang sudah turun.
Lelaki yang menghadang mereka bersama segerombolan kawanan lainnya, hanya tersenyum sinis. Tanpa ragu juga meminta para pasukannya untuk menyerang balik.
Detik itu lah suasana jalanan gang kecil yang sunyi menjadi kacau balau tak terkendali, semuanya ribut dipenuhi tamparan, pukulan, hingga tendangan.
Para gadis yang menjadi pengikut mereka langsung mengasingkan diri sedikit lebih jauh dari lokasi, demi menghindari keributan yang terjadi.
"YA, LIHAT!"
BRAKKKKKKK....
BUGHHHΗΗΗ
Siapa yang tidak takut mendengarnya? Terlebih menyaksikan peperangan yang tidak diketahui apa penyebabnya. Niat sunmori malah mendapati bencana.
Semuanya menggunakan tangan kosong, sebab tawuran yang terjadi secara tiba-tiba ini tak ada rencana maupun instruksi apapun, semuanya kontras begitu saja.
"Astaga, Wave!"
"WAVE! HATI-HATI!!!" teriak gadis itu semakin panik dan cemas.
WIIIUUUUUUU....WIIIUUUUUUUUU
Indera pendengaran mereka semua menangkap sirine polisi akan datang, sentak semua anak Walerus maupun Wolviper panik dan menghentikan serangan.
"AGASKAR! ITU PASTI BOKAP LO!!!" teriak salah satu anak Wolviper.
"Oh, shit! Papoy ganggu aja, lagi tawuran juga."
"BUBAR WOYY!! BUBARR!!!"
Mendengar sirine itu semakin dekat, semuanya berusaha bubar dan kembali ke jalan masing-masing tanpa melanjutkan peperangan.
Para anggota Warelus menjemput pacar mereka masing-masing yang bersembunyi dibalik pohon besar dalam gang itu, semuanya dihemput terkecuali gadis bernama Zeya.
"Zey, sorry gue gak bisa bawa lo, Wave udah duluan tadi. Dan motor gak muat untuk bertiga," tutur Vano, salah seorang inti Warelus.
"Maaf ya, Zey. Kita ninggalin lo," sambung Syifa, pacar Vano.
Mau tidak mau Zeya mengangguk, ia tersenyum hambar dan hanya bisa pasrah. "I-iya, gak papa kok. Kalian duluan aja."
Tak lama mobil polisi melewati gang tersebut, seperti mencari keberadaan seseorang dan mengejarnya. Membuat Zeya semakin ketakutan, terlebih situasi gang sudah kian sepi.
"Melambai ke kiri, dengan siapa aku akan pulang?" dia bergumam dengan sangat ketakutan.
"Lo jahat, Wave..."
"Arghhhh, sial! Aku belum sempat membuat Gelombang babak belur!"
"Sabar, Kar. Nanti kan bisa, di lain waktu."
Karena bunyi sirine polisi itu, penyerangan mereka hentikan. Anak-anak geng yang biasa disebut dengan nama WOLVIPER GANG itu berkumpul di markas.
"Lagian kan, di sana ada Bokap lo."
Seorang pria bernama Agaskar Vakenzo Delvan, sebagai pemimpin geng Wolviper yang terkenal kejam, garang, dan brutal, tak kenal ampun, beralih ke salah satu anggota intinya.
"Arhez, ponselku ada di dekatmu, kan?" tanya Agaskar.
"Gak ada," jawab Arhez spontan, terkesan singkat namun begitulah sikapnya. Sangat jutek, bahkan sulit bersosialisasi, memang gambaran Arhezio Moritz Alkanders.
-ARHEZIO MORITZ ALKANDERS-
"Bukannya hp lo tadi pecah, Kar?" sahut Savion--- nama aslinya Alsavion Elmi Ragasvara, lelaki yang paling pemberani dengan siapa pun, di antara yang lain, dirinya lah paling banyak tanda-tanda luka selepas tawuran.
-ALSAVION ELMI RAGASVARA-
"What the fuck! Pecah?!" ulang Agaskar tak percaya, ia menepuk jidatnya.
"Astaghfirullah, akhi. Dilarang untuk berkata kasar di area sekitar sini, gue baru aja selesai sholat dhuha masa lo gituin," imbuh Javas.
Lelaki jawa ber spek wajah ala-ala bule asia, dengan nama Adzavas Hectorio Prince Bisa disebut alim, karena dalamLelaki jawa ber spek wajah ala-ala bule asia, dengan nama Adzavas Hectorio Prince Bisa disebut alim, karena dalam hal agama dia termasuk salah satu yang cukup tahu hukum-hukumnya.
-ALZAVAS HECTORIO PRINCE-
"Daripada misuh-misuh gak jelas, mending lo makan. Lumayan nih, ada nasi goreng ngisi perut. Mau, gak?"
Agaskar yang mendapat tawaran dari pria bernama Afgalen Hizeki Faldevion hanya menggelengkan kepalanya, Galen mengangkat bahunya lalu tak peduli, ia kembali melanjutkan makan.
-AFGALEN HEZEKI VALDEVION-
"gue mau cari hp gue dulu."
"Eh-eh, lo mau kemana?!" tahan Savion pada Askar.
"Lo budeg? Udah gue bilang mau cari hp," sahut Askar malas.
"Dedek mau ikut, Mas," balas Savion dengan puppy eyes nya.
Agaskar bergidik ngeri melihat Savion seperti itu. "Najis, minggir."
Melihat kepergian Agaskar yang mulai menuju ambang pintu membuat Arhez bertanya. "Dimana lo nyari?"
"Dari Kapadokia!"
Savion membuka matanya, ia langsung mencengkram erat kaki Agaskar. "IT'S MY DREAM, MOS!! NOT HER!!"
"Apa sih, bangke! Korban sinetron, lo!" tandas Agaskar memelas.
"Dalam salah satu surah Al-Qur'an disebutkan, biarlah mereka mempermainkan kesalahan-Nya," kata Javas sambil mengelus dadanya.
"Siapa yang tersesat?"
"Lo, lah!" jawab Javas spontan pada Agaskar.
"Sialan."
"Hati-hati Kar. Nanti ketemu Bokap, mana tahu polisi masih ada, berbahaya kalau ketahuan basah, apalagi kalau ketahuan tawuran," Galen memperingatkan.
Beberapa menit kemudian, Agaskar kembali menuju lokasi tempat dimana Wolviper dan Walerus berperang tadi. Dengan penampilan yang sudah usang, ditambah kaki yang sedikit luka.
Agaskar berjalan, meneliti setiap jalanan berharap ada sebuah hp yang terjatuh. Akibat panik sirine polisi lah, miliknya itu terjatuh.
"Sial, pecah. Mana bisa lagi dipake," gumam Agaskar
Butuh waktu cukup lama Agaskar mencari ponselnya kemana-mana, dan ternyata tersingkir ke selokan. Ponselnya benar-benar rusak fatal, dan tak bisa diperbaiki lagi.
"Lo jahat…."
Saat ingin pulang, Agaskar tak sengaja mendengar gurauan perempuan yang tengah menangis. Itu membuat dirinya penasaran, apakah itu hantu?
"Yakali ada hantu siang bolong gini,' monolognya.
Indera pendengaran nya menangkap sang empu dari balik pohon besar, Agaskar melangkah penuh hati-hati. Dengan kesabaran yang terunggah, dirinya mendekat.
"Lo ngapain disini?!"
Mendengar suara teguran, membuat gadis itu terkejut bukan main. Refleks kedua kakinya menghindar dari posisi Agaskar yang mulai mendekat.
"L-lo, siapa?!"
Agaskar sedikit heran, pasalnya jarang sekali ada yang memasuki kawasan ini, namun mengapa bisa ada perempuan?
"Gang ini sepi, ngapain lo diem? Gak pulang?"
"Gue ditinggal," sahut gadis itu tanpa ragu.
"Ditinggal? Apa dia cewe yang ngikut sunmori anak Walerus tadi?" batin Agaskar yang sudah dapat menebak matang.
"Masih jaman nangisin cowo di tahun 2022 ini?" tanya Agaskar seperti mengejek.
Gadis itu menyinis. "Kakak gak tahu apa-apa mending diem."
Agaskar tertawa kecil, ia menggeleng. "Gak tahu apaan? Buktinya lo nangis, galau mulu. Di bawah pohon lagi, mau jadi monyet?"
PLAKKKKKK!!!!
"Omongan Kakak di jaga ya! Jangan sampai batu-batu yang ditanah ini gue masukin ke usus Kakak!" tegasnya usai menampar pipi kanan Agaskar.
Wajah Agaskar seketika menoleh ke samping akibat tamparan yang cukup keras, ingin sekali untuk membalasnya. Namun Agaskar sadar, bahwa dia adalah perempuan.
"Shit, sadis juga ni cewe."
"Kalau lo bukan cewe udah gue bales lo!" tandas Agaskar tajam.
"Bodo amat, aduh!!"
Agaskar menggeleng, ia lalu mundur dan ingin pergi. "Terserah, dasar cewe prik!"
"Eh bentar!" tegur gadis itu lagi.
Mendengar panggilan membuat langkah Agaskar kembali terhenti, lelaki itu mendecak kasar. Ia menghela napasnya pelan lalu berbalik badan kembali.
"Nama gue bukan bentar."
"Namanya sia--- "
"Agaskar."
"Kalau lo?" tanya Agaskar balik.
"Azey."
"Kenapa manggil gue?"
"G-gue gak tahu jalan pulang, Kak. Boleh ikut nebeng?" Sebenarnya Zeya ragu untuk meminta, namun daripada dia diam di sini menunggu jemputan yang tidak pasti.
"Boleh, ada ketidakseimbangannya," sahut Agaskar mengangkat sebelah kening.
"Gue mau paha sama dada."
Netra Zoya sontak mendelik tak percaya. "Dasar mesum lo, Kak!"
Mendengar itu membuat Agaskar bingung sekaligus heran, penanda bertautan. "Gue cuman mau paha ayam sama dada ayam, gak bisa?"
"O-oh ayam .... "Zeya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "B-bilang dong, hehehe"
Agaskar memelas bola matanya dan menggeleng. "Lo yang mesum, bukan gue."
Lelaki itu meneliti penampilan Zeya dari bawah hingga atas, tak hanya sampai disana. Tatapan Agaskar seolah mengisyaratkan bahwa sorot matanya itu nakal.
"Baju lo terlalu terbuka, ngundang pikiran pembohong termasuk gue," katanya jujur.
"Btw, lo pacarnya siapa di antara mereka?"
"G-gak ada, Kak."
Agaskar menarik sebagian sudut bibirnya, ia sudah tahu bahwa gadis di depannya berbohong. Perlahan kakinya mendekat, diiringi jemari yang siap melepas kemeja putihnya.
"Gak mau jujur, hm?" tanya Agaskar.
"Atau lo mau gue perkaos di si---"
"Gue udah punya kaos sendiri, Kak!" sahutnya meneguk air liur kasar.
"Oh cewe polos, gue suka yang kaya gini, lebih enak diinstruksikan."
BERENGSEK!!! TARGET ZEYA SALAH!
Hari sudah menuju sore, selepas mengantarkan sosok perempuan yang baru saja dikenalnya tadi, Agaskar mendapatkan tugas untuk mengantar bekal makanan ke kantor polisi.
Ya, ayahnya bernama Hugo Vakenzo adalah seorang polisi bagian AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi).
"Bekal dari Mamoy, dimakan. Jangan dibuang," tutur Agaskar.
"Oke, anak manusia. Makasih bekalnya.
Maka dari itu, Agaskar sangat takut ketika mendengar bunyi sirine polisi tadi. Sebab, pasti itu adalah anak buah sang Ayah yang sedang patroli kawasan.
"Askar, kenapa jalan mu seperti itu?" tanya Hugo heran ketika Agaskar ingin duduk di salah satu bangku.
Agaskar menatap ke arah bawah, dan langsung memperbaiki jalannya. "Gak papa, Poy. Santai aja."
"Tapi jalan mu kaya abis ketabrak kuda, apa kaki kamu panjang sebelah?" 508
"Buset! Gimana bisa kaki gue panjang sebelah, anj?!"
"Sana pulang, ngapain masih di sini? Mau menikam di jeruji besi?" tawar Hugo pada puteranya.
Agaskar menarik nafasnya singkat. "Papoy, Askar baru aja sampe, masa diusir gitu aja?"
"Papoy bosan lihat kamu dimana-mana."
Tak mengerti, demi apapun Agaskar tidak mengerti. Raut wajahnya benar-benar kesal mendengar pengutaraan sang ayah, ia hanya menepi ke tembok.
"Hp Askar pecah," ujar Agaskar kembali mengadu.
"Beli, lah. Kaya orang susah aja, ngapain ngadu-ngadu kaya anak kecil, cuih," sahut Hugo tanpa menoleh, pria itu fokus pada kerjanya.
"Anjir?!" Agaskar semakin dibuat kaku. "Argh udahlah, mau pulang."
"Bagus, sana-sana.
Agaskar menghentakkan kakinya beberapa kali, layaknya anak kecil yang diminta pulang saat senja hari. Langkah kakinya berat, melewati beberapa lorong.
Hingga tak sengaja Agaskar mendengar sebuah percakapan, antara dua sejoli yang berbeda posisi. Dimana salah satunya menikam di balik jeruji besi.
"Maafkan aku, sayang. Aku gak bermaksud ninggalin kamu, aku takut karena dikejar tadi."
"Salah siapa? Salah kamu juga, kan? Kenapa sih, Wave?! Kenapa kamu harus pakai narkoba?!"
"I-itu kan.... Cewe yang gue anter pulang tadi," celetuk Agaskar ketika melihat sosok perempuan itu dari samping.
"wafe?!"
"Jadi, dia pacarnya Wave?!"
"Zeya, ayo pulang, Nak. Papi mau menunjukkan sesuatu sama kamu nanti." Beriringan dengan seorang pria yang masuk ke ruang penjara itu, Agaskar segera bersembunyi.
"Tapi, Pi. Wave gimana?"
"Wave harus bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya, sesuai pasal yang berlaku."
"Berapa, Pi?" lirih Zeya semakin takIırın Zeya semakin tak bersemangat. "Apa gak bisa dipercepat atau dapat keringanan?"
"1,5 tahun, tidak bisa ditawar sama sekali."
Mendengar itu Zeya semakin tak kuasa menahan tangis, kekasih yang disayanginya menikam dalam penjara selama itu. Sanggupkah Zeya menunggu Wave kembali.
"Maafkan aku, Zey. Maafkan saya, Om."
Heru Alexander--- ayah Zeya yang biasa dipanggil dengan sebutan Papi itu adalah seorang pengacara.
Heru hanya mengangguk ringan mendengar permintaan maaf dari Wave, oa merangkul Zeya untuk pergi keluar meninggalkannya.
"Ayo pulang ikut Mami, Papi masih ada urusan di sini."
Terlepas dari semua kejadian yang ia temui hari ini, Agaskar lebih memilih untuk pulang ke rumah dibanding harus kembali ke markas. Ia akan beristirahat setelahnya.
Motor yang baru saja ia kendarai langsung masuk ke dalam ruangan pencuci, dimana ada beberapa karyawan sudah siap untuk mencucinya di sana.
Saat masuk melalui pintu belakang pun, Agaskar disambut hangat oleh beberapa asisten rumah tangga, yang membantu dirinya melepaskan jaket serta sepatu.
"Udah saya bilang, saya bisa sendiri," beber Agaskar pada ART-nya.
"Maaf, Tuan. Tapi kami di sini memang bekerja untuk Tuan, dan memenuhi semua kebutuhan Tuan Agaskar," sahut salah satu di antara mereka.
Agaskar menghembuskan napas kasar, ia hanya bisa pasrah dengan jawaban yang selalu terlontar setiap harinya. Lelaki itu kemudian bergegas membersihkan diri.
"AGASKAR! WOY AKAR RANTING RAMBUTAN!!"
"AKAR RAMBUTAN!!!" teriak seseorang dari bawah yang langsung menaiki anak tangga.
Agaskar yang baru saja mandi merasa heran, suara yang tak asing menembus telinganya dari jauh. Itu adalah suara Erland, nama aslinya Erland Pragista Sevagio.
Sepupu sepantarannya, namun karena Agaskar lebih dulu sekolah, maka perbedaan pendidikan dengannya terpaut 1 tahun.
"Ada apaan teriak-teriak?" Tanpa menjawab, Erland dengan senyum lebar langsung menarik Agaskar menuju ke bawah.
Tarikan yang cukup gencang dan cepat itu membuat Agaskar tak bisa menepis apalagi menghindar, ia hanya diam mengikuti langkah Erland yang menariknya ke bawah.
"Ngapain lo di sini?" tanya Agaskar datar, ia lalu melirik ke ruang tengah, dimana terdapat keluarganya berkumpul disana. Tak hanya Erland.
Erland menoleh, mengikuti pandangan Agaskar. "Ikut rapat keluarga."
"Mau ngapain?"
"Lo gak tau?" tanya Erland ikut bingung. "Tapi gue yakin, lo bakal setuju aja, sih."
"Mau apaan bego?! Lo mau buka toko lelang barang?" timpal Agaskar kesal.
"Nganu itu...."
"Anak ganteng, ke sini, sayang," ujar Selina--- Selina Farasya ialah istri Hugo sekaligus Ibu dari Agaskar.
"Mau ngapain, sih?" sungut Agaskar malas, berbeda dengan Erland yang sangat antusias.
"Ke sini dulu," tambah Selina memintanya.
Erland kemudian menepuk pundak Agaskar. "Ayo, lah! Tante Selina nungguin lo, Kar!"
Dengan langkah yang begitu berat, Agaskar yang ingin bermanja dengan kasur harus tertunda akibat panggilan ini
"Menurut kamu, gimana cewe dalam foto ini?" tanya Selina menunjukkan sebuah foto padanya.
Agaskar berdeham. "Hm, cukup bagus."
"Menurut kamu, cantik, gak?" tanya Selva, yang merupakan Kakak ipar Selina, selaku ibu dari Erland.
"Hmm, cantik."
"Mamoy ingin menjadikannya sebagai menantu,"
"HAH MENANTU?!" ulang Agaskar setelah menyadari ucapan Selina.
"MAMA ARA BERARTI?!"
"Lo....." Erland menunjuk Agaskar. "Ingin menikah."
Spontan tenggorokan Agaskar mengering, seperti ada yang menghambar pergerakan salivanya untik terteguk. Bergegas Agaskar kembali melihat foto perempuan itu.
"Permisi, assalamualaikum .... "
"Nah, itu orangnya dateng, waalaikumsalam."
Baik Selina maupun Selva bersama anak mereka yang lain langsung berdiri, menyambut kedatangan keluarga yang tengah mereka tunggu-tunggu.
Sedangkan Agaskar mematung di tempat, ia duduk di hamparan sofa yang empuk dengan mulut membisu. Tak bisa berbuat apa-apa karena masih shock.
"A-apakah aku cocok?" tergagap Agaskar gemetar.
"Mari duduk dulu, kita perkenalan juga bisa," usul Selina mempersilahkan untuk masuk
"Itu, cewe yang mau dijodohin sama lo," bisik Erland pada Agaskar.
Sentak Agaskar pun melirik pada orang yang ditujukan, foto itu terjatuh dari jemarinya. Sekarang hanya netranya yang membulat, mulutnya pun terbuka lebar.
"cewe itu?! kok cantik banget di foto ini? Beda sama aslinya," desis Agaskar tak percaya.
"Biasa pasukan, filter," jawab Erland.
Sosok gadis yang melihat Agaskar pun juga ikut terkejut, namun di tengah situasi yang tidak tepat ia berusaha menahan segala kepanikannya dan membuang pandangan.
"Ayo, silahkan berkenalan."
"Hallo, semua. Untuk Tante Selina, dan Tante Selva yang ada di sini. Saya Arazey Henessy Elthea, biasa dipanggil Azey atau Zeya."
"Ah ... Arazey, sangat cocok untuk Agaskar," kekeh Selva sangat setuju.
"Inisial namanya A, sial gue baru inget," batin Agaskar. "Pantes gue dijodohin sama dia."
"Ayo, kenalkan diri kamu lagi," pinta Selina pada anaknya.
"H-Hallo, s-saya Agaskar. Agaskar Vakenzo Delvan," ucap Agaskar singkat tanpa mau menambahkan apapun lagi.
"Ma, ini serius?"
Selina mengangguk mantap. "Sekarang, kita atur tanggal pernikahannya
"MA! AGASKAR GAK MAU DIJODOHIN!" pekik Agaskar tidak terima.
"Sssttt, Agaskar. Gak boleh gitu, ini sudah kesepakatannya Papa sama Om Heru. Untuk menjodohkan kalian berdua," jawab Selina.
Agaskar mendecak, ia tidak menyerah. "Ma, coba tanya cewe ini. Dia mau gak dijodohin sama Askar?"
"Bagaimana dengan kamu, Zeya? Apa kamu siap menjadi istri dari anak saya dan menjadi menantu di keluarga besar ini?"
Zeya berbalik, menatap Agaskar. Butir mata pria itu memberi isyarat agar dia menolak dan tidak menerima tawaran konyol itu.
"Tolak anjir! Tolak!" batin Agaskar memberi kode.
"Iya, Tante. Saya sangat siap."
"SIAL! GUE BAKAL NIKAH SAMA CEWE DARI MUSUH TERBESAR GUE?!"