,TRANG! TRANG! TRANG!
Dentingan pedang beradu memenuhi halaman belakang pekarangan sebuah rumah. Seorang pemuda berusia 18 tahun mundur satu langkah ke belakang.
"Hey, Luke, fokus perhatikan arah serangan lawanmu," seru seorang pria berbadan tinggi besar dengan kepala botak. Gerakannya yang luwes tidak terpengaruh oleh usianya yang hampir 50 tahun.
TAP. Dengan gerakan mantap, pemuda yang dipanggil Luke ini kembali memasang kuda-kudanya. Dalam dua langkah cepat, ia maju menyongsong lawannya, mengarahkan pedangnya ke perut lawan.
TRANG! Pedang yang diarahkan dengan penuh perhitungan itu ditangkis dengan mudah oleh lawannya. Tapi itu baru permulaan. Serangan kedua, ketiga, dan seterusnya dilancarkan mengarah ke area pinggang, bahu, kaki, hingga dada lawannya.
TRANG! TRANG! TRANG! TRANG!
Keempat serangan bertubi-tubi itu lagi-lagi ditangkis dengan mudah oleh lawannya. Peluh membanjiri tubuhnya. Luke memfokuskan pandangannya ke tubuh lawannya, lalu mengambil langkah cepat untuk berlari membelakangi lawannya dan menyerang area pinggul sembari menghindar.
"Sudah kuperingatkan berkali-kali, membiarkan area punggungmu terbuka dalam pertarungan sama saja dengan memberi mereka celah untuk menebasmu," teriak pria tua itu sambil mengayunkan pedangnya ke arah punggung Luke.
Namun, Luke memang tidak berencana untuk ditebas oleh pria tua ini pagi ini. Ia sengaja memberi celah dan berlari ceroboh untuk memancing lawannya menyerang area punggungnya. Maka, sebelum pedang perak panjang itu memotongnya, ia menahan gerakannya, mundur beberapa langkah, lalu menggunakan energi spiritnya dan menyalurkannya ke dalam Teknik Memotongnya. Dalam gerakan yang sangat cepat, pedangnya sudah tiba di area leher lawannya.
"Selesai sudah, Kakek Finn," Luke tersenyum penuh kemenangan sambil menyarungkan kembali pedangnya, menatap Kakek Finn yang masih mematung menyaksikan kekalahannya.
Hening sejenak.
"Huh, sungguh mengejutkan, Luke. Bocah yang dulunya sering kuhajar habis-habisan saat berlatih, kini untuk pertama kalinya mengalahkanku, orang terkuat di desa ini," seru Kakek Finn sambil terkekeh pelan, menyombongkan diri. Ia lalu menatap sinar matahari pagi yang mulai menyilaukan mata. Ia berjalan perlahan menuju kursi yang berada di beranda rumahnya dan berkata, "Kemarilah, Luke," panggil Kakek Finn sambil menepuk kursi kayu di sebelahnya, menyuruh Luke duduk di sampingnya.
"Kau tahu, bukan, para beast akhir-akhir ini pergerakannya semakin agresif dan brutal. Mereka tak henti-hentinya menyerang desa," lanjutnya.
"Oh ya? Kudengar beberapa ternak penduduk di daerah pinggir banyak yang tewas dengan kondisi perut sobek," Luke menyahut.
"Kau tahu, Luke, di luar kesibukanku akhir-akhir ini, gerakanmu semakin kuat dan cepat. Kau harus menjadi lebih kuat lagi untuk melindungi Lyna dan yang lainnya," intonasi kakek Finn kini berubah serius. "Aku yang sudah tua ini bisa saja sewaktu-waktu mati saat melindungi desa ini."
Mata Luke membulat, ia tahu arah pembicaraan ini akan kemana. Ia akan diajak untuk ikut berburu malam ini.
"Bersiap-siaplah, nanti malam kau akan ikut aku ke asosiasi pemburu," kata kakek Finn.
***
Sinar matahari terik menyinari desa, membuat para penduduk yang tadinya beraktivitas memilih berteduh sebentar. Sepanjang perjalanan, senyum Luke tak henti2nya mengembang. Malam ini ia akan ikut Kakek Finn dan penduduk desa berburu. Ia membayangkan dirinya berdiri di barisan depan bersama Kakek Finn, memimpin serangan terhadap para beast. Senyumnya mengembang membayangkan wajah para beast yang ketakutan, disergap oleh sepasukan orang yang dipimpin oleh sosok gagah perkasa bak pahlawan dalam syair-syair yang biasa diceritakan Thalea. Mereka pasti akan terkencing-kencing saat melihatnya membawa pedang tepat di depan mereka, pikir Luke. Tiba-tiba...
"Hey, Luke, apa yang terjadi padamu? Kau tampak sangat aneh pagi ini, begitu menakutkan," seru seorang gadis di depannya.
Luke terbangun dari lamunannya dan menatap sekeliling. "Eh, Lyna, mengapa kau di sini?" tanyanya heran.
"Ini," kata Lyna sambil menunjukkan barang yang dibawanya—dua botol kecil dari keramik berwarna ungu tua dan biru pucat, dengan pola geometri rumit pada badannya. "Thalea memintaku untuk membeli ekstrak serat arunika," jarinya menunjuk botol berwarna ungu tua, "dan racun kalajengking gurun," sambil menunjuk botol berwarna biru pucat. "Kemarin malam ada korban dari serangan beast, seluruh ternaknya hilang tak bersisa," Lyna menjelaskan.
Suasana perjalanan terlihat lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berlalu-lalang, kadang menyapa, dan Luke serta Lyna membalas dengan anggukan.
"oh begitu, aku juga ingin bertemu dgn bibi thalea, kurasa dia orang yg cukup merepotkan ya" ujar Luke, dan
"Heh, sejak kapan racun kalajengking bisa menyembuhkan? Bukankah justru racun itu yang paling banyak membunuh orang-orang di daerah gurun?" tanya Luke heran.
"Tidak semua racun langsung membunuh manusia, Luke. Itu tergantung pada dosis dan cara penggunaannya. Kau ini tidak tahu apa-apa tentang pengobatan, ya?" Lyna menjelaskan dengan ketus, sedikit jengkel dengan keluguan Luke, lalu berbisik "heh, kurasa kau harus berhenti menyebutnya bibi,
karna dia itu nenekku"
"Sudahlah, musim panas kali ini sangat menyiksa. Setelah mengantar pesanan Thalea, aku akan mandi lagi dan tidur. Huh, itu sungguh enak," kata Lyna sambil mempercepat langkahnya. Luke menatap punggungnya, rambut keemasannya berkibar seiring langkahnya yang cepat.
Luke menghela napas. Ia dan Lyna adalah anak yatim piatu, dan mereka sudah berteman sejak kecil. Lyna adalah cucu kepala desa, sedangkan Luke bahkan tidak tahu siapa Orang tua kandungnya.
Cerita bermula dengan Kakek Finn, sosok guru berpedang Luke. Finn adalah tokoh yang dihormati penduduk desa, meskipun penampilannya mirip kepala perompak yang kejam, dengan badan tinggi besar, satu mata tertutup kain, kepala botak, dan janggut panjang. Finn adalah mantan bangsawan sekaligus komandan pasukan dari kota seberang yang hancur diluluhlantakkan para makhluk iblis 18 tahun silam.
Makhluk iblis bukanlah merujuk pada sebuah ras; mereka adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang bermuatan energi terkutuk. Menurut cerita Kakek Finn, energi terkutuk adalah pecahan bintang kegelapan akibat perang para dewa, yang sekarang tersebar di seluruh wilayah. Energi terkutuk inilah yang melahirkan makhluk-makhluk perusak yang dinamai makhluk iblis.
Finn tiba di desa ini pada malam hari. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah kekacauan: api besar berkobar di antara rumah penduduk, orang-orang berteriak ketakutan, darah berceceran di mana-mana. Para beast—sebutan bagi predator hutan yang memuat energi terkutuk—menyerang pemukiman ini, melukai orang dewasa hingga memangsa anak-anak dan hewan ternak. Beberapa penduduk dan kelompok pejuang mencoba melawan, tetapi jumlah mereka kalah jauh.
Finn pertama-tama bergerak menolong penduduk yang melawan. Empat tebasan cepatnya memukul mundur makhluk itu. "BERGERAKLAH BERSAMA, KUMPULKAN SELURUH PENDUDUK KE PUSAT DESA!" Finn berteriak, mengalahkan ingar bingar kekacauan. Para pejuang bingung dengan kehadirannya, tetapi beberapa yang menyaksikan ketangkasannya dan posturnya yang meyakinkan mencoba menurut, berpegangan pada satu-satunya harapan.
Finn, sebagai mantan komandan pasukan, berhasil mengatur strategi dengan baik. Ia membagi formasi menjadi dua bagian: bagian pertama yang dipimpin olehnya, bertugas menerima benturan serangan; bagian kedua melakukan serangan balik. Ketika beast menyerang, bagian pertama memasang perisai untuk menghadapi benturan, sementara bagian kedua maju menyerang mengisi celah-celah yang kosong. Para beast yang fokus menyerang area depan tidak menduga akan mendapat serangan dari sisi-sisi lain, dan dengan cepat mereka terpukul mundur.
Finn dan yang lainnya tiba di gerombolan beast terakhir, berjumlah tiga, di depan sebuah rumah besar. Di beranda rumah itu, sepasang suami istri muda tergeletak dengan tubuh tercabik-cabik. "Itu, mereka adalah William dan Oliv!" salah seorang pejuang berseru histeris. "William adalah anak kepala desa dan malam ini, istrinya harusnya sedang bersalin," penduduk yang baru saja berseru menjelaskan.
Finn memfokuskan pandangannya ke depan, mengangkat pedangnya ke bahu kanan dan mengatur kuda-kudanya dengan kaki kanan satu langkah di depan. Ia mengalirkan energi spiritnya ke pedangnya dan dalam gerakan yang sangat cepat, ia maju menebas tiga beast itu sekaligus.
Mereka menelusuri rumah William dan mendengar tangisan bayi dari dalam sebuah lemari yang tersegel. Dengan bantuan tiga penduduk lainnya, Finn mendobrak lemari dan mendapati bayi perempuan yang baru saja lahir. Mereka membawa bayi itu ke kepala desa. Kepala desa yang mendapati cucunya selamat mengucapkan terima kasih berkali-kali, mengatakan bahwa jika Finn tidak punya tempat tinggal, ia bisa tinggal di desa ini dan diberi salah satu rumahnya. Finn, yang memang berniat mengungsi, senang mendapat rumah gratis. Itulah mengapa Finn tinggal di desa ini dan dihormati, bahkan oleh kepala desa.
Itulah cerita panjang lebar yang diceritakan Kakek Finn kepada Luke ketika masih kecil. Entah dia melebih-lebihkan atau tidak, tapi yang pasti, Finn memang dihormati oleh penduduk desa.
Lalu, bagaimana cerita Luke? Itu dimulai malam berikutnya, di bawah guyuran hujan deras. Finn, yang tinggal di rumah barunya, mendengar pintu diketuk-ketuk. Saat ia membuka pintu, tidak ada siapa-siapa, hanya sebuah keranjang rotan kecil berisi bayi laki-laki yang sedang tertidur. Besoknya, ia pergi ke pusat desa bertanya apakah ada yang kehilangan bayi laki-lakinya. Kepala desa tersenyum dan berkata, "Kasihan bayi kecil ini yang tidak punya orang tua. Alangkah baiknya jika kau saja yang mengurusnya."
Maka, Finn pun menjadi pengurus Luke, melatihnya berpedang dan teknik menggunakan energi spirit. dan jadilah Luke sejauh ini.