Chereads / Drop Blood: Amai Akai / Chapter 215 - Chapter 215 Display Cat

Chapter 215 - Chapter 215 Display Cat

"Ini..." Nampak Neko memasang wajah terkesan nya melihat hutan musim gugur dengan Felix di belakang nya.

Lalu sebuah daun kecil jatuh di kepala Neko.

"Tunggu, tahan sebentar," Felix menatap membuat Neko terdiam bingung. Lalu Felix mengambil daun itu membuat Neko terdiam agak berwajah merah.

--

Sebelumnya, Neko masih merenung di sofanya, dia biasanya membaca buku kini tidak lagi dan hanya fokus merenung hingga Felix membuka pintu menatapnya. "(Jika dia terus merenung, kesehatan nya bisa terganggu.....)" dia berjalan ke arah lain yang rupanya mengambil syal dan mantel wanita, dia memberikan nya pada Neko yang bingung menengadah menatapnya.

"Pakailah ini dan kita akan keluar, kau menginginkan untuk melihat keluar bukan," tatap Felix.

Neko terdiam sebentar, dia lalu menatap mantel yang di pangkuan nya. "Untuk apa memakai pakaian tebal?"

"Kita akan ke bagian arah angin musim semi setelah dingin, cuaca dan suasana nya agak dingin tapi aku pastikan, pemandangan nya bagus, lagi pula kita butuh istirahat sejenak," kata Felix sambil membelakangi nya memakai mantel nya.

Begitu bagaimana mereka bisa ada di sana dan sepertinya Neko menikmati hutan gugur itu.

--

"Baiklah, Mari..." Felix mengulur tangan setelah mengambil daun tadi dari kepala Neko, lalu Neko menerimanya dan mereka pergi ke sebuah tempat di rumah kediaman tradisional kuno. Rumah itu nampak seperti kediaman Yakuza di tengah hutan yang sangat rahasia.

Di sana Neko duduk bersama seorang wanita tua yang baik memberinya roti untuk di makan.

Awalnya mereka hanya membisu tapi wanita tua itu memberikan rotinya.

"Terima kasih," Neko menerimanya meskipun merasa agak aneh.

"Maaf... Apa kau... Ibu dari Felix?" tatap Neko tapi wanita tua itu terdiam bisu membuat Neko menjadi bingung.

Sementara itu Felix berdoa di makam abu seseorang. Entah siapa tapi dia benar benar sangat serius dalam berdoa untuk orang yang sudah mati itu.

Setelah itu ia mengambil kapak dan memotong beberapa kayu di halaman dengan Neko yang terduduk sendiri melihatnya dari teras rumah.

"Kau bilang kita kemari untuk istirahat tapi kenapa kau masih tetap bekerja?" tatap Neko.

"Hanya untuk penghangat, bahkan ini masih belum cukup untuk penghangatan nanti malam, jika kau bosan aku akan mengajarimu untuk mencoba ini."

". . . Aku tidak tertarik," Neko membuang muka.

"Kenapa? Apa kau takut akan hal ini?" Felix melirik mulai bercanda.

"Siapa yang takut.... Sebaiknya kau urus sendiri!!" balas Neko dengan kesal.

"Bukan kah ini juga senjata tajam, memang nya selama ini kau membunuh orang dengan apa jika tidak ingin mencoba ini?" tatap Felix sambil masih membelah batang pohon menjadi kecil.

"Aku tidak merepotkan diriku sendiri dengan senjata yang lebih besar."

"Bukan kah ini lebih enak?"

"Aku yakin kau membunuh orang dengan benda itu juga," Neko menjadi menatap dingin. Tentu saja, seorang Felix bisa menggunakan senjata apapun untuk membunuh orang.

Mereka menikmati kegiatan hal di sana seperti memakan biji biji dan buah lain yang tumbuh di sana.

"Untuk apa itu?" Neko menjadi bingung melihat Felix yang terus menerus mengambil biji biji pohon eik.

"Ini akan sangat enak jika di makan dengan di bakar," balas Felix.

"Kau selalu memakan itu dulu?"

"Tidak, hanya saja aku ingin mencoba sekarang."

"Bagaimana jika itu tidak bisa di makan?"

"Bisa saja," Felix lalu membakar biji biji itu di halaman teras dan mengupasnya setelah terbakar hangat. "Ini cobalah," ia memberikan satu pada Neko yang terdiam bingung.

Lalu perlahan membuka mulutnya dan memakan nya dari tangan Felix. Ia mengunyah dengan rasa enak.

"Itu enak bukan, aku sudah bilang," kata Felix.

"Yah," balas Neko. Angin sore di halaman benar benar sangat dingin. Mereka berdua memakai mantel yang bisa menutupi tubuh mereka, lalu Felix duduk di depan api pembakaran tadi dengan Neko yang sudah duduk di hadapan nya dengan memakan biji tadi.

"Kau suka itu?" tatap Felix.

"Apa.... Ini hanya enak," balas Neko. Lalu Felix tersenyum kecil. Di pandangan nya, Neko benar benar manis saat memakan biji itu.

Tapi ada sesuatu di pipi Neko, yakni ada noda hitam di pipi nya karena mungkin dia terkena asap hitam bakar tadi. Lalu Felix mendekatkan tangan nya mengusap pipi Neko dengan tangan nya membuat Neko terdiam menatapnya.

Tapi bukan nya hilang, malah semakin parah membuat Felix terdiam kaku, dia akhirnya mengambil kain kecil dan mengusap pipi Neko. Tapi tanpa ia tahu, Neko sedang berwajah merah dengan wajah kesal.

Hingga malam tiba, lebih nyaman jika berbaring di bawah langit penuh bintang. Mereka melakukan nya, ada papan kayu besar menghadap langit langit di sana.

Neko yang masih duduk menatap langit sementara di samping nya Felix berposisi tidur menatapnya.

"Tidakkah ini pertama kalinya untukmu, atau tidak?" tatap nya.

" . . . Entahlah, terakhir kali aku tidak ingat dengan siapa aku menatap bintang," kata Neko membuat Felix terdiam menatapnya.

Lalu Neko menoleh padanya. "Wanita tua tadi, dia siapa?" tanya Neko, dia bertanya soal wanita tua yang memberikan nya roti tadi dan hanya bicara bisu.

"Dia hanya seorang pengurus rumah, aku membayarnya."

"Jadi, rumah ini apa, kenapa bisa seperti di sayangkan?" Neko menatap.

"Kau akan tahu nanti..." Felix membalas sambil kembali menatap langit.

Tapi Neko menjadi kembali merenung membuat Felix menatap nya. "Apa kau mencoba menyalahkan ku mengambil ingatanmu dengan merubah warna matamu saat itu."

"Berhentilah bercanda, aku tidak tahu apapun," Neko menyela lalu Felix bangun duduk membuat Neko menengadah menatapnya.

"Dengar ini, kau adalah milik ku," kata Felix sambil mendekat dan memakaikan sesuatu di leher Neko membuat Neko terdiam, ia melihat bahwa itu adalah kalung.

"Apa ini, dari mana?"

"Penyuapan," balas Felix seketika Neko terkaku.

"Ingat saat kau mengatakan untuk pertama kali padaku bahwa kau tidak pernah berhubungan dengan lelaki secara dalam?"

". . .Yeah."

"Saat aku mendengar itu kupikir kau benar benar telah rusak, tak bisa merasakan tubuh muda mu yang masih bersih, apa rasamu ketika aku melakukanya padamu. Kau tidak membunuhku bukan berarti kau takut dengan tubuhku yang besar bukan.

Aku sudah lama hidup disini, aku di bawa kemari pada seorang pria yang aku panggil ayah, dia memaksaku menjadi lelaki Jepang hingga aku tak mau menerima ini semua dan lebih merumuskan ke dunia yang sekarang, aku pikir kau juga sama... Aku membunuh orang tuamu karena suatu alasan tersendiri, mereka berdua... Tidak menyukaimu. Apa kau benar benar tidak ingat bahwa pertemuan kita bukanlah yang pertama kali tapi setelah sekian lama tak bertemu, itulah yang terjadi.

Orang pertama yang kau lihat adalah aku, dan lagi... Tempat ini hanya aku dan kau sekarang yang tahu.

Kau mengerti apa yang aku ucapkan barusan bukan?" tatap Felix.

Neko terdiam menatap ucapan Felix tadi. "(Jadi.... Memang benar, dia membunuh orang tuaku.... Apa benar.... Dia adalah PCS?)"

"Saat waktunya nanti, aku akan memberitahumu kenapa dan alasan apa aku membunuh mereka untukmu, tapi yang pastinya bukan sesuatu yang buruk," bisik Felix lalu mencium bibir Neko dalam langit malam penuh bintang.

"(Sekian kalinya aku melakukan ini pada gadis ini, mencium bibirnya yang lembut. Aku beberapa kali mengusap telinga nya yang cantik dengan adanya anting kristal biru yang aku berikan saat itu, dia masih tetap memakainya dan akan selalu memakainya. Aku membawa nya ke tempat yang bagus dan akan selalu menjadi bagus di sini.)"

Tapi siapa sangka saat Felix akan menghentikan ciuman itu, Neko malah menjadi agresif seketika mereka langsung menatap.

"Apa aku merasakan sesuatu tadi?" tatap Felix.

Sementara wajah Neko sudah terlihat merah. "A.... Aku pikir itu tadi durasinya akan lama... Jangan salah paham!!" dia menjadi terbata bata dan merona.

"Baiklah, sudah terlihat bahwa kau lebih suka ciuman di bawah bintang," kata Felix, seketika ia menarik pinggang Neko mendekat padanya membuat Neko terkejut.

"Tu... Tunggu...." Neko menjadi menutup mulut Felix membuat Felix terdiam melirik dingin.

"Aku tidak bisa," tambah Neko sambil melihat ke arah yang lain dengan wajah yang memerah, wajahnya semakin memerah ketika merasakan bahwa Felix mencium tangan yang menutupi mulutnya.

"Apa yang?!" Neko langsung menyingkirkan tangan nya dengan terkejut. Di saat itu juga Felix langsung mencium bibirnya.

Tangan Felix ikut masuk ke sela baju Neko. Mereka berdua menikmati sensasi ciuman di angin dingin.

"(Dia... Tangan nya yang masuk itu sangat dingin,)" Neko menjadi merasa tidak nyaman karena tangan Felix yang dingin masuk meraba pinggang nya.

Tapi Felix terdiam dan menatap Neko. "Aku sudah mulai merasakan perutmu lebih membesar dari sebelumnya," ia memegang perut Neko dari luar baju Neko karena tangan Felix sudah keluar.

"Sudah hampir satu bulan, itu sudah jelas jika perutku akan semakin membesar nantinya," balas Neko.

Lalu Felix tersenyum kecil membuat Neko berwajah merah melihat itu. Seketika Felix membaringkan Neko membuat Neko terdiam bingung.

Lalu Felix membuka baju Neko ke atas hingga memperlihatkan perutnya.

"Apa yang kau lakukan!!" Neko menjadi terkejut.

"Kau menginginkan bayi lelaki atau perempuan?" tatap Felix, tapi Neko menjadi terdiam sebentar dan mengatakan sesuatu. "Aku tidak peduli jika itu lelaki atau perempuan."

"Khekeke kau tidak memperhatikan bayi mu nantinya jika tidak memilih dari sekarang," kata Felix, tiba tiba saja ia mencium perut Neko membuat Neko terdiam menutup mulutnya sendiri dengan rasa malu.

Felix terus beberapa kali mencium perut Neko yang lembut. Tapi angin malam di luar sana membuat Neko gemetar kedinginan.

"Apa ini sudah waktunya untuk menghangatkan diri?" tatap Felix.

"Menghangatkan apa?" Neko menjadi panik sekaligus terkejut. Tiba tiba Felix menggendong nya di dada.

"Apa.... Kau tidak bermaksud akan melakukan nya di sini?!" Neko menatap dengan panik.

"Aku sekaligus juga akan menunjukan sesuatu, yang pasti kau akan nyaman nantinya," balas Felix seketika Neko berpikir yang lain lain.