"Mhp... Mp..." tampak Direktur Geun tak bisa memberontak dari kursi ikatnya. Dia diikat tali, dan Kim berdiri menghadapnya dengan tatapan datar, menyilang tangan.
Di sekitar tempat itu, pengawal yang telah kalah masih terbaring tak berdaya di sana, dan Kim yang melakukannya bahkan masih berada di tempat yang sama.
"Hoaammm!!" Kim menguap seenaknya, lalu melihat sekitar. "Apakah hanya ini? Ini tidak lebih dari cecunguk kecil," dia berlutut, mengusap lantai, dan duduk di bawah, masih menatap Tuan Geun yang mencoba memberontak.
"Wah, wah... Sepertinya aku memang harus melepaskan ini," Kim berdiri lagi dan berjalan mendekat. Dia langsung mencabut isolasi di bibir Tuan Geun.
Seketika, Tuan Geun langsung berteriak, "Kau sialan!!"
Namun mendadak Kim langsung menarik kerah Tuan Geun, membuatnya terkejut. "Cepat katakan sekali lagi, huh! Ngomong apa kau!!" Kim menatap tajam, membuat Tuan Geun gemetar dan menggeleng panik. Kim lalu melepasnya dengan kesal.
"Berteriak seperti itu lagi, kau akan mati di sini..." kata Kim, lalu ponselnya berbunyi. Dia berjalan agak jauh, membelakangi Direktur Geun, dan melihat ponselnya yang hanya bertuliskan nomor, membuatnya bingung. Lalu, ia mengangkatnya.
"Halo? Kau menghubungi orang yang salah," dia langsung mengatakan itu, tapi ada suara.
"Senior Kim, ini aku..." suara itu terdengar polos.
Kim terdiam sebentar dan seketika memasang wajah baru, ingat. "Ah, Yohan!! Sudah lama tidak mendengar suaramu, gimana kabarmu, Man... Kau baik-baik saja, kan?" Kim sepertinya menghubungi kenalannya.
Ia bahkan mengobrol sangat lama, hanya tertawa dan mengobrol basa-basi, membuat Direktur Geun menatap bosan.
"He... Apa yang kau lakukan di sana? Sebenarnya apa yang terjadi di sini?" dia menatap kesal.
Lalu Kim meliriknya. Sambil melirik, dia mengatakan sesuatu di ponsel. "Aku hubungi nanti lagi." Ia menutup panggilan dan berjalan mendekat ke Direktur Geun yang merasakan aura kebencian pada Kim, membuatnya sendiri benar-benar gemetar.
"He, dengar ini, Direktur. Aku sedang menunggu dua pengawal Nona Akai yang lain agar aku bisa pergi mencari Direktur Hao, karena mereka di sini harus mengawasimu," kata Kim.
"... Direktur Hao? Mau apa kau padanya?"
"Asal kau tahu, dia berhutang sangat banyak pada Nona Akai. Pastinya ini akan cepat selesai masalahnya jika Nona Akai menjalankan rencana sesuai dengan kematangan sempurna. Jadi kau hanya harus diam dan patuh saja. Lagipula ini bukan kerugian untukmu. Nona Akai juga tak akan mengambil bisnismu. Dia hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi hak dan tanggung jawabnya," tatap Kim, membuat Direktur terdiam.
"(Astaga.... Aku benar benar sudah masuk ke dalam sebuah perangkap mematikan, aku tak mau mati begini... Aku masih ada keluarga... Apalagi bisnis bersama Direktur Hao itu sangatlah penting, kenapa mereka harus melibatkan banyak orang juga?!)"
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki datang, membuat mereka menoleh.
"Tuan-tuan, mohon bantuannya," kata Kim, rupanya dia menatap Hyun dan Jun yang datang.
"Bos sudah menunggu," kata Jun.
"Tentu, aku akan ke sana. Jangan ditanggapi jika orang itu bicara," kata Kim, lalu dia berjalan pergi.
"He! Kau mau ke mana! Hei!" Direktur menatap kesal, tapi ia terkejut ketika dikelilingi mata Hyun dan Jun yang waspada menatapnya.
---
"Nona Akai, mari. Aku akan mengantar," Kim menunjuk mobil hitam di depan Neko yang berdiri. Lalu Neko berjalan masuk ke mobil. Mereka akan ke suatu tempat yang disebut sebagai tempat persembunyian Direktur Hao. Waktu penagihan sudah tiba, siap atau tidak, termasuk waktu yang ditakdirkan.
Hingga ketika sampai pada tempatnya, mobil itu berhenti di depan hutan gelap. Neko terdiam bingung melihat itu.
"Baiklah... Um... Nona Akai, sebelumnya maafkan aku, mobilnya tak akan bisa masuk, jadi mari jalan kaki," kata Kim, dia mengambil senter terang.
Neko masih terdiam hingga ia keluar dari mobil. Tapi ia hampir menginjak sesuatu, yakni lubang kecil, membuatnya hampir jatuh, tapi Kim menahan tangannya dan menariknya berdiri. "Anda baik-baik saja?" Kim menatap.
"Yeah, aku baik-baik saja," Neko melepas tangan Kim.
"... Nona Akai, aku bisa membawa Anda jika Anda tidak suka berjalan, karena jalan di depan itu berbahaya seperti tadi," tatap Kim.
"Aku baik-baik saja. Cepat jalan dan jelaskan kenapa kita di sini?" Neko menatap.
"Ah, Anda ingat aku memberikan banyak dokumen satelit di mana tempat itu pernah ditinggali Direktur Hao untuk lari dari Anda. Tapi ketika aku kehilangan dia, aku mencoba mencari di sini, dan yang benar saja, dia benar-benar memilih tempat tanpa terdeteksi," kata Kim.
Setelah itu, mereka keluar dari hutan di sisi lain. Di sana ada vila besar, membuat Neko terdiam.
"Vila di tengah hutan?" Ia masih bingung.
"Yeah, namanya juga Direktur. Mari, Nona Akai," Kim memegang tangan Neko dan mengajaknya masuk ke dalam vila itu.
Sebelum mereka masuk, Kim memberitahu sesuatu. "Nona Akai, aku ingin memperjelas keadaan Direktur Hao. Di dalam vila ini ada keluarganya, istri maupun putrinya yang masih berumur 18 tahun. Mereka bertiga ada di sini. Apakah kita langsung menyergapnya?" Kim menatap.
"Yeah, lakukan saja," Neko membalas.
Sementara itu, di dalam, Direktur Hao sedang menatap CCTV vilanya. "(Kenapa aku merasa ada orang di luar? Apa itu bahaya...)" Dia fokus menatap komputer itu, tapi mendadak, dia terkejut karena salah satu CCTV di luar memperlihatkan bahwa CCTV telah rusak sehingga tak bisa merekam apa pun, disusul teriakan wanita.
"Hah..." Ia terkejut, berpikir istri dan putrinya dalam bahaya. Ia segera berlari keluar dari ruangan itu.
Tapi siapa sangka, di hadapannya, ketika sudah keluar dari ruangan itu, Neko berdiri menghalangi jalannya dengan tatapan datar.
"Direktur Hao," tatap Neko.
Seketika, Direktur gemetar. Dia tak bisa bergerak dan langsung berlutut, menempelkan kedua tangannya dan memohon. "Nona Neko... Aku mohon... Aku mohon..." dia benar benar seperti hewan kecil yang sangat ketakutan bahkan di depan Neko yang hanya terlihat seperti gadis yang melemparkan tembakan tatapan tajamnya.
Neko terdiam masih dengan tatapan datar, lalu dia menatap ke bawah tangga, membuat Direktur juga ikut menoleh. Dia terkejut karena istrinya dan putrinya ditahan Kim di sofa. Mereka sudah terikat di sana dengan isolasi menutupi bibir mereka.
"Aku mohon lepaskan mereka! Mereka tak salah apapun! Aku mohon!" dia berteriak dari tangga pada Kim. Tapi Kim mengeluarkan sesuatu dari kedua sakunya dan menariknya keluar. Itu adalah dua belati hitam di kedua tangannya, siap mengarahkannya ke kepala istri dan putrinya.
"Direktur Hao, dia tidak akan melakukannya kecuali jika kau hanya mengarahkan pandanganmu padaku," tatap Neko.
"Nona Neko, aku mohon," dia tampak seperti pengecut di depan Neko dan memohon tanpa memikirkan harga dirinya.
"Istrimu dan putrimu itu sangat cantik ya, mereka cocok mengisi pekerjaan di barku," kata Neko.
"Apa?! Tidak!! Jangan lakukan itu. Aku... Aku akan memberikan uangnya... Aku akan melakukannya sekarang..." Direktur menatap.
"Aku beri kau waktu 10 detik. Serahkan secara bersih," Neko menatap tajam. Lalu Direktur mengangguk cepat dan langsung berlari pergi ke ruangannya.
Neko terdiam, lalu dia berjalan turun melalui tangga dan menatap Kim yang menatap serius padanya.
Lalu Direktur Hao berlari buru-buru mendekat pada mereka. Dia memberikan tas ransel kotak besar, dan langsung berlutut mendorong tas itu pada Neko yang menatapnya.
"Totalnya sesuai yang diinginkan... Jika kurang, beri aku waktu karena aku sudah menjual apa yang aku bisa... Aku sudah tak punya apa-apa... Selain vila ini dan mereka," Direktur menatap istri dan putrinya yang tak berdaya.
"Ini cukup. Sekarang ikutlah denganku," tatap Neko.
"Apa?! Tapi... Tapi..."
"Ikut saja denganku. Kita ke tempat di mana kau bertemu kembaranmu," kata Neko.
"Tapi putri dan istriku..."
"Jangan khawatir, aku akan melepas mereka. Duluan saja, aku akan menyusul kalian di mobil," kata Kim dengan ramah.
Direktur Hao terdiam dan dia berjalan mengikuti Neko.
Ketika mereka sudah pergi, Kim menatap kedua perempuan itu. "Hei, maaf ya," tatap Kim pada mereka yang mulai mengalirkan air mata tanpa bicara apa pun karena isolasi itu.
"Sebelumnya kalian sudah dengar perintah atasan ku tadi, aku diminta membunuh kalian di sini setelah dia membawa wali kalian... Sekarang, katakan permintaan maupun perkataan terakhir kalian padanya..." Kim membuka isolasi mereka dan membuka rekaman ponselnya, meletakkannya di paha istri Direktur Hao yang terdiam menangis. Layaknya mereka tahu ajal mereka sekarang dan pasrah dengan menangis.
"Ayah... Jaga diri ayah baik-baik saja. Kami sudah baik-baik saja di sini. Terima kasih sudah bekerja keras untukku dan ibu. Kami tidak akan pernah meninggalkan ayah sampai kapan pun," kata putrinya.
Ibunya masih menangis dan menghirup napas mengatakan pesannya. "... Suamiku... Tetaplah menjaga harga dirimu... Aku tak akan malu jika kau dipaksa begitu. Jangan khawatir... Kami tak akan meminta apa pun lagi padamu."
Kim yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Dia lalu menutup rekamannya dan menyimpan kembali ponselnya.
Dia mengeluarkan dua belati tadi di kedua tangannya. Kedua perempuan itu masih mengalirkan air mata dan menutup kedua mata mereka. Seketika darah mengalir dari tubuh mereka dan Kim melemparkan kedua belati penuh darah itu. Dia benar-benar cepat membunuh, lalu mengambil tas penuh uang tadi dan berjalan pergi dari sana.
Setelah itu, langsung ke tempat di mana Direktur Geun menunggu bersama Jun dan Hyun. Mereka menoleh ketika Kim datang membawa Direktur Hao yang didorongnya.
Direktur Hao terkejut melihat sekitar, apalagi melihat Direktur Geun di sana.
Lalu Jun mengangkat kursi di samping Direktur Geun. "Direktur Hao, mohon patuh dan duduk di sini," tatap Jun, lalu Direktur Hao, dengan ketakutan, duduk di sana. Seketika, Kim langsung mengikatnya dengan erat tak peduli dia kesakitan.
"Akh..."
"Hehe, Direktur Hao, kau benar-benar patuh ya, tidak seperti ini," Kim melirik Direktur Geun yang terkejut. "Sialan--"
Dia akan berteriak, tapi terdiam gemetar karena Kim sudah menodongkan belati padanya, bermaksud diam.