"Pei Lei, temui aku di ruangan merokok," kata Xun yang memanggilnya dari agak jauh ke meja Pei Lei.
Pei Lei terdiam bingung dan berjalan ke sana.
Ketika sudah sampai di sana, dia masuk ke ruangan itu, tapi mendadak Xun menarik kerahnya, membuatnya tertarik dan terpojok di dinding dengan tertekan di bagian kerah.
"Kau sialan, Pei Lei... Kau memberitahuku untuk mengerjakan proposal sendiri tanpa bantuan siapapun! Tapi kenapa kau sendiri melakukannya dengan Luna?!" teriaknya dengan kesal.
"Apa maksudmu?" Pei Lei menjadi tidak mengerti.
"Proposal itu, kita bertiga yang mengerjakannya, Roiyan, aku, dan kau. Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa proposal itu bisa dibantu oleh Luna?! Kau benar-benar curang!" Xun menatap sangat marah.
"Apa?!! Tapi di sini sudah jelas apa yang seharusnya terjadi!! Kau jelas tidak mendengarkanku!! Apa kau ingat bagaimana caramu tidak mendengarkanku?!" Pei Lei ikut berteriak.
Lalu Xun terdiam mengingat. Itu saat ketika Pei Lei datang di meja Xun. "Senior Xun, kau mau membuat proposal? Tuan Beum meminta yang mau saja."
"Boleh saja..."
"Proposalnya digarap sendiri tanpa bantuan karyawan lain."
"Yah, aku tahu itu. Proposal digarap sendiri, dari dulu juga aku mengerjakan proposal pertama kali aku mengerjakannya sendiri, dan proposalku yang diterima..."
"Tapi, kita boleh meminta bantuan pada-
"Yah, aku sudah tahu itu. Sudahlah, aku yang akan memenangkan proposalnya..." balas Xun. Begitulah dia menolak mendengarkan Pei Lei.
Sekarang dia hanya bisa terdiam, tapi ia tetap ingin memojokkan Pei Lei. "Bodo amat, tetap saja itu curang!! Karena kau bekerja sama dengan Luna, kalian berdua naik ke pangkat berikutnya dan proposal kalian benar-benar terpilih. Itu tetap tidak adil, yang seharusnya menang itu aku!!" teriak Xun. Tapi Pei Lei mendorong Xun untuk berhenti.
"Ini semua sudah jelas, bukan?! Ini bukan salahku kenapa masih tetap menyalahkanku?! Apa aku harus salah di matamu agar kau bisa menemukan kesalahannya dengan jelas?!" Pei Lei menatap tajam.
"Kau!! Berani melawan ku!"
"Apa?! Jika aku berani melawanmu pun, aku juga yang akan menang di sini. Ajaklah aku bertengkar dan lihat siapa yang menang," tatap Pei Lei tanpa rasa takut, membuat Xun benar-benar kesal.
Tapi di sana itu juga, ada yang membuka pintu, membuat mereka menoleh. Rupanya Roiyan.
"Xun, kau mencoba membuat keributan di sini?! Aku hanya mengatakan informasi saja padamu. Kenapa kau sampai membinasakan karyawan kecil?!" tatap Roiyan dengan serius.
"Ini adalah sebuah masalah, jelas masalah, dan kau tak bisa ikut campur masalah kami. Ini antara aku dan Pei Lei," Xun menantang karena dia benar-benar masih kesal.
"Apa maksudmu? Aku sudah menjelaskannya secara detail bahwa ini bukan kesalahanku. Ini semua salahmu karena tidak mendengarkanku sampai akhir," Pei Lei juga melemparkan kalimat ribut.
"Aku sudah bilang biarkan masalah ini berlalu!!" teriak Roiyan langsung. "Apa kalian ingin membuat keributan di sini? Cepat kembali bekerja," tatapnya dengan tegas membuat suasana diam.
Hal itu membuat Xun kesal. "Cih..." dia langsung pergi duluan melewati Roiyan, tapi Pei Lei terdiam di tempat.
"Pei Lei..." Roiyan menatap membuat Pei Lei menoleh.
"Selamat... Kau mengisi posisi ku, langsung," kata Roiyan seketika, Pei Lei terkejut. Meskipun Roiyan mengatakan itu, dia menggunakan wajah yang begitu datar.
"Apa maksudmu, senior?" Pei Lei menatap tak percaya.
"... Intinya.... Kau mengisi posisi ku atas izin dari Tuan Beum. Itu karena kau dipandang sebagai karyawan yang paling bekerja keras. Proposalmu diterima, itu sudah sangat jelas... Itu juga kebetulan posisi ku kosong karena aku akan kembali ke ayahku, ke Seoul..." kata Roiyan, membuat Pei Lei terdiam tak percaya.
Tak lama kemudian, terlihat dia berjalan buru-buru di kantor Neko. Dia langsung membukanya. "Luna!"
Tapi siapa sangka, Neko tak ada. "Eh... Kemana?" Dia bingung, lalu terdiam. "(Mungkin nanti saja aku memberitahukan padanya,)" ia kembali menutup pintu dan memutuskan untuk memberitahu Neko nanti.
Tapi sementara itu, di balkon gedung atas departemen itu, cahaya matahari tidak terlihat karena tertutup awan, membuat suasana agak sejuk dengan angin yang bertiup. Di sana ada Neko, dia menatap pemandangan tinggi itu sambil mengemut permen. Dia melihat sekitar dan menatap ponselnya yang bertuliskan pesan kontak dari Roiyan.
-Setelah ini bisa aku bertemu denganmu di balkon, aku ingin bicara sesuatu-
Dan begitulah kenapa Neko bisa ada di balkon. Lalu kemudian, ada suara memanggil. "Kau sudah ada di sini."
Neko terdiam dan menoleh perlahan dengan tatapan dingin. Rupanya memang Roiyan.
Dia datang dan berdiri di samping Neko dengan sedikit jarak, dia tak menatap Neko dan menatap di depan lalu menghembuskan napas panjang.
"Sebelumnya, terima kasih sudah kemari. Kupikir kau tidak akan kemari.... Aku ingin mengatakan sesuatu... Maafkan aku telah membuatmu seperti ini, maafkan aku juga telah membuatmu berpikir bahwa aku ini aneh, sangat aneh... Aku dulu memang aneh bahkan karena sebuah hal yang disebut cinta. Sikapku berubah sangat drastis untuk orang yang aku sukai, termasuk ketika aku bertemu denganmu... Aku ingin mengatakan bahwa aku memiliki tunangan yang harus aku nikahi. Dia telah menemaniku dengan setia di sini, dan aku ingin bilang, aku suka padamu sejak aku menganggapmu sebagai kakak yang sudah lama sekali ingin aku cari. Aku suka kau karena kau mirip dengan dia," kata Roiyan. Jadi masalah itu masih tetap ada.
Tapi Neko terdiam. "(Aku sudah menyangka bahwa dia akan mengatakan dan mengakui semua itu. Dia dari awal menganggapku Amai, padahal aku memang Amai... Sepertinya penyamaranku sebentar lagi akan terbuka kecuali Beum tidak atau belum mengetahuinya. Semoga saja dia belum mengatakan soal penyamaran ku ini pada Beum setelah aku mengaku di saat ini.)"
Roiyan ikut terdiam. "Aku tahu kau akan diam saja..." tatapnya membuat Neko menjawab.
"... Kau suka padaku dan kau menganggapku orang yang kau sukai dulu. Lalu jika perasaan itu sama, kenapa kenyataan harus berbeda? Tak perlu menganggapku orang lain jika memang kau yakin aku adalah kakakmu," kata Neko, membuat Roiyan terdiam kaku.
"Apa maksudmu?"
"... Aku sebenarnya orang yang menyamar. Informasi kematian itu palsu. Jika saatnya tiba, aku bisa menunjukkan dan mengatakan bahwa aku Amai Akai, bukan Luna," kata Neko. Dia lalu memegang mata miliknya sendiri dan melepas sesuatu, kemudian menatap Roiyan. Tak disangka-sangka dia menatap dengan mata merahnya karena tadi dia melepas kontak lensanya di depan Roiyan.
Hal itu membuat Roiyan terdiam kaku melihat itu. "Tidak mungkin... Kau.... Kau..." Dia langsung mundur gemetar, dan tiba-tiba berlutut sangat keras, membuat Neko terdiam dan mendekat.
"Tak perlu memaksakan diri untuk mengetahui semuanya. Dari awal firasatmu sudah benar bahwa aku adalah kakakmu yang paling aneh, bukan kakak. Kita bahkan tak ada aliran darah yang benar. Dari dulu aku memang membencimu karena kau membuatku terusir dari keluarga Ezekiel, meskipun tak ada hubungan darah di keluarga Ezekiel..." kata Neko masih dengan tatapan datar.
"Ba... Bagaimana kau bisa memperlakukan ini padaku, kenapa kau baru bilang sekarang? Kenapa baru bilang ketika aku akan pergi seperti ini??!!" Roiyan berdiri dan berteriak dengan histeris.
"Aku mengatakan ini juga demi tunanganmu."
"Apa, apa maksudmu itu?"
"Aku yakin karena aku dulu, kau masih memiliki rasa yang tak bisa dihilangkan. Kau seharusnya bisa menghilangkan rasa itu dengan suka pada tunanganmu. Kau benar-benar lelaki yang buruk. Apa kau tahu dia benar-benar sangat tertekan karena kau tidak pernah peduli padanya? Berhenti menganggapnya tidak ada dan katakan padanya mari menikah," kata Neko.
Roiyan terdiam. "(Benar sekali..... Seharusnya aku lebih peduli padanya, hanya karena aku tergila-gila oleh obsesiku padanya....)" dia menatap Neko yang masih terdiam, dia memasang kontak lensanya.
Lalu Roiyan menundukkan wajah. "Baiklah... Aku benar-benar begitu bodoh dan aku mengakui kesalahanku.... Aku akan meminta maaf padanya... Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku akan berangkat dua hari lagi karena besok aku menyerahkan posisi ku pada Pei Lei," kata Roiyan.
Lalu Neko mengangguk. "Sebaiknya jaga perasaanmu tetap utuh padanya..."
Tapi Roiyan tiba-tiba memegang tangan Neko dan mengangkatnya, mencium tangan Neko. "Sebelumnya, aku minta maaf.... Aku benar-benar minta maaf padamu, telah membuatmu terusir... Aku tak pernah tahu akan hal itu. Aku berjanji, melakukan sesuatu hingga kau tak akan mengatakan aku lelaki buruk," kata Roiyan, membuat Neko terdiam dan kembali mengangguk kecil.
"Luna," panggil Pei Lei masuk ke kantor Neko yang duduk di kursinya.
"Luna, kamu tadi di mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana," tatapnya sambil berjalan mendekat dan berdiri di hadapannya.
"Ada apa? Aku tadi hanya bertemu seseorang saja. Apa yang ingin kamu katakan?" Neko menatap.
"Ah, proposal kita diterima, dan kamu, apa yang paling baik, aku akan mengisi posisi senior Roiyan sebagai Direktur sementara untuk pengawasan...." Pei Lei menatap dengan senang.
Lalu Neko tersenyum kecil. "Itu bagus. Sekarang usahamu itu bisa terbayarkan, bukan?" Neko menatap.
"Ya, aku benar-benar sangat senang.. Aku juga berterima kasih padamu, Luna... Kau benar-benar membantuku."
Neko terdiam, dia lalu berdiri dan berjalan mendekat. "Tak perlu mengucapkan terima kasih. Aku saja tidak melakukan apapun di depanmu. Justru kau terlalu banyak berusaha dan ini adalah hasilnya. Kau tak perlu diinjak-injak lagi, kau tak perlu lembur setiap hari lagi, dan menikmati gaji yang lebih tinggi dari posisi mu, aku tahu, kau yang selalu bekerja keras jika dibandingkan dengan mereka," kata Neko.
Pei Lei tersenyum senang dan mengangguk. "(Aku tak tahu lagi harus menilai gadis ini seperti apa, dia bisa terlihat dingin, tapi dia juga mencoba untuk bersikap peduli... Dia membantu ku sangat banyak bahkan aku sendiri tidak bisa membantu diriku apalagi ingin membantu nya jika dia ada masalah... Aku harusnya membantunya... Tapi sikap nya benar benar hebat... Dia gadia yang kuat dan aku berharap dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan untuk keuntungan semua orang termasuk aku sendiri...)"