Satori membuka mata, ia melihat Mocha menjilati wajahnya dari tadi. Ia terkejut dan mundur, namun ia merasakan sesuatu disampingnya, ketika menoleh ia terkejut karena Neko tidur miring disampingnya. Ia terduduk dan menatap Neko. "(Apa.... Apa yang terjadi... Kenapa dia ada di sini... Ini seperti sebuah Dejavu. Aku dan dia ada di ranjang yang sama. Tapi saat itu dia bangun dengan membaca buku sekarang dia tertidur di sini...)" Satori terdiam.
Lalu dia menoleh ke Mocha yang menatapnya juga. "Meong..." tatapnya.
Lalu Satori baru ingat bahwa dia tadi pingsan.
"(Benar, aku tadi pingsan dan dia....)" ia memegang bibirnya sendiri dan ingat soal ciuman itu.
"(Apa dia mencium ku, dia bermaksud apa...?)" Satori tidak tahu dan lupa bahwa Neko memberikan darah nya hanya beberapa teguk untuk menyelamatkan nya.
Lalu Satori kembali menatap Neko yang masih tertidur miring dengan tubuh tengkurap, itu sangat menawan.
"(Dia bahkan sangat cantik ketika tidur,)" ia menatap lalu berdiri sambil menggendong Mocha. Namun ada suara bel berbunyi, Satori mencoba melihat dari kamera pintu.
Rupanya itu Roiyan, Ia terkejut mengetahui bahwa Roiyan akan datang, lalu segera membukanya. "Apa kau tidur, aku menekan bel beberapa kali," kata Roiyan.
"E... Maafkan aku," Satori membalas sambil berkeringat, ia lupa masih ada Neko di ranjangnya yang ada di atas. "(Astaga.... Aku lupa kalau ada dia... Bagaimana ini, bagaimana jika dia melihat nya?!) Um..." Satori tampak panik sendiri.
"Ada apa, kau terlihat tidak baik baik saja?" Roiyan mengusap bibir Satori.
"Ada apa?" Satori terkejut.
"(Darah?)" Roiyan bingung mengusap darah yang ada di mulut Satori.
"Apa anda libur, datang kemari?"
"Aku akan berangkat bekerja lagi, aku hanya bingung kemana Luna, dia tidak berangkat tadi," Roiyan menatap sambil berjalan masuk.
"E... Tuan Roiyan, apa yang kau lakukan, kau harus bekerja," Satori menghentikan nya agar tak melihat Neko.
"Aku hanya mengambil jas ku yang tertinggal di kasur milikmu," Roiyan menaiki tangga.
"(Hah... Ini gawat!)" Satori panik dan menyusul Roiyan, tapi rupanya di kasur tak ada Neko. Satori agak bingung. "(Kemana Nona Akai, dia bukan nya disini tadi, apa yang terjadi?)"
"Baiklah aku pergi dulu, jaga dirimu baik baik," kata Roiyan sambil berjalan keluar setelah mengambil jasnya.
Sementara itu rupanya Neko ada di balkon miliknya, sepertinya dia keluar melewati balkon. Ia memasuki rumahnya dan masuk ke kamar mandi.
"(Aku sudah lelah dengan ini,)" ia menatap dirinya di kaca lalu melepas kontak mata yang ia pakai, kontak mata itu berwarna hitam, dia memakainya agar mata merahnya tak teridentifikasi.
Lalu bel berbunyi, ia membuka pintu dan melihat Satori. "(Ah... Nona Akai,)" Satori menatap tapi ia terkejut melihat mata Neko.
"(. . . Hah, mataku?!)" Neko menutup pintu membuat Satori terdiam, lalu ia membuka pintu lagi, kali ini Neko memakai kacamata hitam. "Ada apa?"
". . . Pfr..." Satori tertawa kecil membuat Neko bingung.
"Ada apa?" Neko menatap bingung.
"Hehe ini baik baik saja, hanya saja kenapa Kamu memakai kaca mata, itu agak tampak tidak cocok untuk mu," tatap Satori.
". . . Apakah begitu," Neko terdiam.
"Ya, maaf ya, aku akan melepas nya," Satori mendekat dan melepas kaca mata itu tapi ia terkejut dan menjatuhkan kacamata itu secara tak sengaja.
". . . Aku ingin bilang ini, tapi kau sudah melakukan nya," kata Neko sambil membungkukan badan mengambil kaca mata itu, Satori terkejut karena sudah jelas, bahwa mata Neko berwarna merah.
"Mata... Mata merah... Tapi bukankah warna nya Abu abu!" Satori menatap kaku.
Neko terdiam dan membuka kacamata itu lalu memakaikan nya pada Satori yang bingung.
"Sekarang kau masih bisa melihat warna merah?" Neko menatap.
"Um.... Tidak.... Semuanya gelap."
"Bagus, kalau begitu pakailah itu ketika melihat warna mata ku," kata Neko.
"Tapi...." Satori melepas kacamata itu. "Aku lebih suka jika tidak memakai ini maupun kamu memakai ini, aku terkejut karena mata merah itu sangat cantik, aku tak pernah melihat nya karena itulah aku berekspresi lain," kata Satori membuat Neko terdiam dan tersenyum kecil. "Jika kau menyukai nya, jangan katakan pada siapapun, itulah sebab nya aku menggunakan kontak warna mata," tatap Neko.
"Ah, iya, aku mengerti.... (Kenapa dia menutupi mata cantik itu?)" Satori mengangguk meskipun dia agak bingung. Dia hanya tak tahu bahwa Jika Roiyan juga melihat mata merah Neko, dia akan kehilangan kendali dan mulai memanggil Neko dengan sebutan dulu.
"Kau ingin mampir atau ingin berdiri di sana saja," tatap Neko.
"Ah, um.... Jika boleh.... Aku ingin masuk," kata Satori dengan wajah agak merah.
Lalu Neko mundur dan membuat Satori berjalan masuk. "(Ini kedua kalinya aku kemari hanya untuk berkunjung karena yang pertama adalah mencari kucing ku,)" pikirnya lalu berhenti berjalan ketika melihat sesuatu.
Terlihat Satori melihat rak besar Neko. "(Itu rak yang sangat besar... Rupanya dia suka membaca, apakah di sana ada banyak novel?)" Satori melihat Neko yang ada di dapur.
Ia lalu mengambil salah satu buku secara diam diam dan tak disangka buku itu berjudul
= Kematian Vampir =
"(Vampir?)" Satori bingung lalu menoleh ke Neko yang menyajikan teh di meja, Neko menoleh padanya dengan mata merah nya, Satori terkejut dan menutupi wajahnya dengan buku itu. Saat ia mengintip rupanya Neko ada didepanya.
"Ah!!" Satori menjadi terkejut membuat Neko terdiam bingung. "Apa yang sedang kau baca?"
"Hm...." Satori menatap bukunya sambil menunjukan nya pada Neko.
"Kau suka buku itu, penulisnya adalah orang prancis tapi dia menggunakan bahasa Korea dalam menulis, dia membuat banyak novel seperti itu, jika kau mau kau bisa mengambilnya," kata Neko dengan tatapan dingin.
"Em... Terima kasih."
Lalu Neko berjalan pergi tapi Satori berteriak memanggilnya membuatnya berhenti. "Nona Akai, eh... Em apa kau yang menyelamatkanku tadi?"
". . . Bagaimana dengan yang kau pikirkan?" Neko menatap sambil tersenyum kecil. Seketika Satori terkejut dengan wajah merah.
"Tapi, kenapa bisa?" Satori menatap.
Neko menjadi terdiam sebentar hanya melemparkan tatapan tajam lalu mengatakan. "Bahwa aku hanya tertarik, sebenarnya aku tak mau menghabiskan waktu," balasnya membuat Satori tertusuk dengan kalimat itu.
"(Huf.... Aku akan memaklumi bahwa itu memang sikap nya...)"
Hari berikutnya, Neko berjalan ke kantor, ketika membuka kantor, dia terdiam karena melihat Pei Lei meletakan kopi di meja Neko, dia menoleh dan melihat. "Ah, Luna," tatapnya. "Aku baru saja ingin meletakan kopi sama seperti biasanya."
". . . Kenapa kau selalu melakukan itu?" Neko menatap.
"(Ah, dia bertanya seperti itu, apa yang harus aku jawab, sebenarnya aku melakukan ini agar aku bisa lebih dekat dan akrab dengan nya, tapi tidak mungkin aku bilang begitu.) Aku... Aku senang jika memberikan mu kopi dan aku tambah senang jika kamu menerima nya dengan senang hati," kata Pei Lei.
Neko terdiam dan menghela napas panjang. "Baiklah, terserah... Bagaimana dengan proposal kemarin, kau sudah menyelesaikan nya?"
"Belum, aku nanti mau lembur untuk mengerjakan nya."
"Lembur? Kau akan lembur hanya karena pekerjaan itu?" Neko menatap bingung.
"Itu karena banyak yang memberikan tugas padaku, jadi aku harus mengerjakan semuanya termasuk menyelesaikan proposal nya," balas Pei Lei membuat Neko kembali terdiam.
"(Dia terlalu bekerja keras bahkan untuk karyawan yang bahkan hampir tidak di anggap...)" Neko terdiam, dia merasa bahwa di posisi Pei Lei memang sangat susah.
"Kalau begitu, aku akan menemani mu nanti malam," tatapnya.
Seketika Pei Lei terkejut kaku. "Apa.... Apa kamu yakin, kamu mau menemani ku, benarkah ini," Pei Lei menatap tak percaya.
"Yeah, santai saja, ini seperti kau tak pernah dapat teman lembur."
"Hehe... Itu memang benar, aku memang tak pernah mendapatkan teman lembur... Lembur sangat tidak nyaman, harus sendirian di sini di antara gelap nya ruangan dan hanya komputer sendiri yang menyala membuat mata akan sakit," balas nya.
Neko terdiam kembali memikirkan itu. "(Yeah, kau memang benar.... Lembur memang tidak nyaman....)"
"Kalau begitu aku pergi, aku tunggu nanti malam," kata Pei Lei, dia lalu berjalan pergi.
Neko terdiam sebentar, dia lalu menatap kopi cup itu dan di sana ada kertas tulisan, bukan nama Pei Lei tapi suatu kata.
-Latte memang tidak akan manis selamanya, tetapi aku harap pemberian ku yang begitu sederhana bisa membuat senyuman manis padamu-
Neko yang melihat itu menjadi tersenyum kecil. "Oh, aku baru saja melakukan nya..." dia sadar bahwa dia telah tersenyum kecil, lalu menggeleng dan meminum kopi itu.
Hingga malam harinya, ada yang mengetuk pintu Neko lalu masuk. "Halo Luna," rupanya Pei Lei.
"Masuk saja," balas Neko.
"Apa ini beneran? Semuanya sudah pulang, kamu beneran ingin menemani ku?" Pei Lei menatap.
"Yeah, memang nya apa yang aku lakukan di rumah juga," balas Neko.
"Baiklah, terima kasih sekali lagi."
--
Tampak mereka duduk di sofa masing masing dengan Pei Lei yang fokus pada laptopnya dan Neko duduk bersandar di sofa menatapnya dengan menyangga kepalanya.
"Luna," tiba tiba Pei Lei menatap membuat Neko juga menjadi menatap.
"Apa kamu pernah merasa suka pada seseorang, tapi pada akhirnya kau di tinggalkan?" tatap Pei Lei membuat Neko terdiam dan ingat pada Cheong.
Kenapa dia hanya ingat pada Cheong, itu karena sesuatu. "(Dia yang merawat ku sebagai orang kedua, aku dulu hampir sekali menganggap diri ku akan di sisi nya, tapi, dia mengatakan kalimat yang membuat ku harus meninggalkan nya... Dia memang memuji ku, tetapi, dia juga berpihak pada hal lain yang membuat ku berpikir dia sama seperti mereka yang menganggap ku monster...) Ada," kata Neko membuat Pei Lei terdiam.
"(Sudah aku duga.... Dari mulai sikap nya yang tenang apalagi pada lelaki, dia benar benar tak memiliki rasa yang sama seperti kita yang tertarik padanya, itu karena dia trauma... Dia tak percaya lagi dengan cinta dan gadis yang seperti itu, sangat sedikit,)" Pei Lei menjadi kembali fokus pada laptopnya.