"Ra, ke kantin yuk" Ajak Arin
"Duluan aja Rin, gue ngga nafsu makan." Tolak Ara, ia menelungkupkan kepalanya di meja.
"Dih.. lo kenapa? Gegana? Gelisah galau merana" tanya Arin bernada sambil menggeolkan bokongnya.
"Hufttt gue juga ngga tau, perasaan gue tiba-tiba sesak."
"Lo galau gara-gara Gerald ngga jadi jemput lo?"
Ara menghembuskan nafasnya kasar
"Ya Allah Ra, kan ada gue yang jemput lo. Ngga usah galau gitu ah, si Gerald juga katanya ada urusan kan" bujuknya
"Ngga tau, bukan karena itu sih kayaknya. Gue juga ngga ngerti." Ara memiringkan kepalanya, menatap Arin dengan mata sayu.
"Yaudah, mau nitip ngga? Ntar magh lo kambuh kalo telat makan. Ngga usah mikirin hal-hal yang ngga penting." Arin khawatir dengan sahabatnya, sepertinya Ara memang sedang di mabuk cinta sekaligus merana.
"Nitip susu dancow cokelat dikasih es batu yang banyak ya Rin hehe"
"Nyengir lo kalo soal es batu, heran gue. Lo kok demen banget minum susu dancow sih Ra?" Tanya Arin bingung
"Enak tau, lo belum pernah cobain sih. Awalnya emang enek gitu, tapi lama-lama suka." Jelas Ara
"Hm iya deh. Gue pergi ke kantin dulu ya, lo diem di sini jangan kemana-mana" Arin melangkahkan kakinya keluar kelas
Bel sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu, namun Ara masih duduk di bangku kemudi tanpa menyalakan mesin mobilnya. Ia perlahan sadar akan perasaannya, ia melamun memikirkan bagaimana hubungannya dengan Gerald. Apakah Gerald sudah merasa bahagia? Gerald mencintainya? Tapi dia merasa Gerald hanya menganggapnya sebatas adik, dia takut jika terlalu percaya diri dan menganggap Gerald juga menyukainya.
Bunyi ponsel membuyarkan lamunanya, Ara membaca pesan WhatsApp.
Gerald
Nanti malam abang jemput, kita ke pameran buku. Ara suka baca novel kan?
Ara mengirimkan balasan pesan, lalu melajukan mobilnya keluar dari area sekolah. Sesampainya di apartemen, ia melihat Aca sedang berkutat dengan laptopnya.
"Sibuk banget kak, lagi banyak tugas kah?" Tanya Ara
"Iya nih, lagi review materi buat persiapan UTBK" jawabnya
"Lo mah udah pinter, ngga usah belajar juga lolos" canda Ara. Ya tapi ia tidak bohong, Ara dan Aca pernah merupakan siswi kebanggaan SMA Harapan. Mereka selalu pulang membawa medali dan penghargaan, mengharumkan nama SMA Harapan dengan prestasi-prestasinya.
"Yee, ngga gitu juga kali Ra. Gue tetep mau belajar, ngga percaya diri gue sumpah." Ujarnya menangkupkan tangan di meja ruang tamu.
"Gue yakin lo lolos kak, semangat. Jangan pesimis gitu dong" Ara menepuk pundak Aca menyemangati.
"Gue ke atas dulu ya kak, mau istitahat."
"Okeee"
Ara merasa tak bersemangat hari ini. Ia ingin mengistirahatkan dirinya agar fresh kembali. Ia merebahkan dirinya di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Mata cantik itu mulai terlelap.
"Bang Gerald?" Panggil Ara
Merasa ada yang memanggilnya, Gerald menoleh ke belakang. Ia menatap Ara dengan pandangan kosong, tanpa ekspresi, begitu dingin.
"Abang kenapa?" Ara merasa takut dengan raut wajah Gerald yang terlihat tidak bersahabat. Wajah yang akhir-akhir ini terlihat bahagia, senyumnya yang mulai merekah, dan pandangan matanya yang meneduhkan, kini hilang digantikan dengan sosok Gerald yang menyeramkan. Tubuhnya sulit di gapai, yang ada di sini adalah Gerald, tiba-tiba Ara merasakan perasaan asing, dadanya sesak. Matanya kembali menatap Gerald, laki-laki itu berlali menjauh. Ara berlali mengejarnya, namun ada tangan yang mencekalnya sebelum ia bisa mencegah Gerald pergi.
Ia sungguh khawatir. Ia melihat ke sekeliling tempat ini, seperti hutan, namun gelap. Ia khawatir Gerald merasa sendiri. Ara merasa sesak, ia merasa gagal menyelamatkan Gerald.
Tiba-tiba tubuhnya terhempas ke suatu tempat. Ara ling lung, ia menengok kanan kiri. Pandangannya jatuh pada dua orang yang saling bercengkrama. Sesosok manusia yang tak asing di pandangannya, ya.. dia Gerald
Gerald mengayunkan ayunan itu dengan pelan, membuat wanita yang berada di ayunan itu tertawa. Ara tak tau wanita itu siapa, semua terlihat buram. Tempat yang ia tapaki semakin gelap, hingga membuatnya sesak, ia takut kegelapan.
"Hosh hosh" Ara bangun dengan keringat yang membanjiri tubuhnya, ia seperti merasakan hal yang nyata. Dadanya naik turun, nafasnya seperti akan habis.
Ara mengambil air putih yang ada di nakasnya. Meneguknya dengan terburu-buru hingga membuatnya hampir tersedak. Ia menormalkan detak jantungnya.
"Mimpi apa itu? Kenapa gue merasa seakan itu nyata?" Gumam Ara dengan pandangan kosong. Ia menampik pemikiran buruk yang terlintas di otaknya. Namun, ia jadi takut. Dulu ia sering bermimpi dan terus terjadi. Semoga saja mimpinya kali ini hanya bunga tidur.
Ara melirik jam di dinding kamarnya, menunjukkan pukul 16.30
Ia sudah tertidur cukup lama, segara Ara mengambil handuk lalu membersihkan diri. Melakukan shalat Ashar dan menyiapkan makan malam.
Gerald sampai di apartemen Ara, ia menekan ponselnya dan mendial nomor Ara.
"Abang udah di depan"
"Okey. Sebentar, Ara kedepan sekarang." Sahut Ara di seberang telpon
Ara membuka pintu apartemennya, tampak sosok Gerald dengan pakaian casual nya. Malam ini ia terlihat tampan, tubuh tegap, tinggi, kulit eksotis, hidung mancung, mata tajam dan memiliki alis tebal. Benar-benar perpaduan yang sempurna.
"Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan Ara" batinnya menjerit
"Ra? Ara? Heiii" panggil Gerald kesekian kalinya
"Hah? Eh ah apa kenapa?" Ujar Ara gugup
"Kamu kenapa? Bengong gitu, lagi ngga enak badan? Kalo ngga enak badan ngga papa, kita bisa pergi besok aja yang penting kamu sehat." Gerald khawatir, pasalnya muka Ara terlihat pucat.
"Ngga kok, ngga. Ara sehat, nih lihat." Ara memajukan wajahnya ke depan Gerald. Mereka bersitatap cukup lama. Ara menatap mata Gerald, tiba-tiba ia teringat mimpinya.
"Bang, jangan asing ya? Ara takut abang tiba-tiba berubah" Ara berkata sambil memilin bajunya, ia sungguh takut. Sepertinya Ara sudah menaruh harapan cukup besar ke Gerald. Apalagi sikap Gerald yang kian lembut. Ara mengaku kalah, namun untuk mengungkapkannya, ia belum seberani itu. Harga diri dan gengsinya masih tinggi, ia menunggu Gerald mengatakan perasaannya terlebih dahulu. Ara sempat berpikir bahwa Gerald juga menyukainya, melihat bagaimana perubahan sikap Gerald sejak kejadian di rooftop. Sudah cukup lama, bagaimana mungkin ia tak menaruh rasa?
"Kenapa hm?" Gerald memperhatikan Ara yang terlihat gelisah
"Ara mimpi abang di hutan gelap, Ara mau nolong abang tapi ngga sempat. Disitu abang bukan abang yang Ara kenal. Ara takut.." ujar Ara jujur
"Itu cuma mimpi Ara. Jangan terlalu dipikirin ya? Abang ngga akan jauh-jauh dari Ara." Jawab Gerald menenagkan. Ia mengelus surai Ara, tersenyum hangat. Mereka saling menyalurkan ketenangan. Ara mengangguk mengerti.