Daisy sekali lagi mematut bayangannya di cermin. Cermin besar setinggi dua meter yang merupakan satu-satunya benda yang bisa jadi petunjuk jika pemilik kamar ini adalah seorang wanita. Di dalam kamar gadis itu memang hanya terdapat benda-benda standar yang pasti selalu ada pada kamar setiap orang. Satu buah single bed, satu buah lemari pakaian, satu buah meja belajar lengkap dengan kursinya, dan yang terakhir adalah cermin tadi yang memiliki ukir-ukiran rumit di setiap sisinya. Cermin besar peninggalan nenek moyang yang pastinya sangat sayang jika harus ditelantarkan.
Daisy kini memperhatikan penampilannya. Sebuah kaos berwarna hitam yang sedikit kedodoran, jaket jins yang warnanya mulai pudar, celana jins belel dan sepatu boot yang sudah terlihat usang. Perfect!
Gadis itu kemudian melangkah ke ruang duduk dan meraih sebuah senapan laras panjang yang tersimpan dengan rapi di atas perapian. Senjata kesayangan yang selalu menemaninya di setiap akhir pekan. Daisy mengusap-usap senapan itu sesaat untuk membersihkan sedikit debu yang menempel pada permukaannya.
"Baiklah, siap memulai petualangan!" seru gadis itu sambil dengan langkah setengah berlari menghampiri Cleo yang tengah merumput di halaman depan. Kuda betina berwarna cokelat tua itu meringkik dan menghentakkan kakinya beberapa kali ketika melihat Daisy berjalan menghampirinya. Seolah menanti kedatangan gadis itu untuk membawanya berjalan-jalan.
"Kau merindukanku, teman?" gumamnya kemudian sambil mengusap bulu di leher Cleo yang lebat dan panjang. Kuda itu hanya meringkik sambil menghentakkan sebelah kakinya menjawab sapaan Daisy.
"Ya... ya, aku tahu. Aku juga merindukanmu." Ujarnya kemudian sambil menepuk punggung kuda itu berkali-kali.
Daisy mengambil sebuah pelana kuda dan memasangkannya di punggung Cleo. Menggantungkan sebotol air mineral dan beberapa buah roti isi yang masih hangat untuk perbekalannya seharian ini.
Daisy baru saja mendaratkan bokongnya di atas punggung Cleo ketika pandangan gadis itu bersirobok dengan tubuh mungil nan berisi nyonya Hemelton yang tampak berkacak pinggang di depannya.
"Well, selamat pagi Ma." Ujar Daisy sambil mengangkat tali kekang Cleo dan bersiap memacu kuda itu.
"Selamat pagi sayang, jadi... apakah kau berencana sibuk pagi ini?" Daisy merasakan bulu-bulu halus di belakang lehernya meremang. Sindiran halus tentu saja. Daisy tahu dengan pasti, pagi ini rumah mereka akan kedatangan tamu agung yang wajib mereka sambut dan jamu dengan baik.
Namun gadis itu berpikir tak ada pentingnya dia melakukan hal semacam itu. Toh ada ataupun tidak dirinya, tak akan terlalu berpengaruh terhadap kesan yang akan diterima oleh sang tamu agung. Sang tamu bahkan mungkin tak akan menyadari keberadaannya di tengah kecantikan kelima saudarinya yang lain.
Jadi, dari pada membuang waktu untuk sesuatu yang tak perlu, lebih baik Daisy menggunakan waktu liburnya ini untuk berjalan-jalan di hutan. Sekedar menembaki burung yang terbang rendah, atau melempari tupai yang sedang mencuri telur di sarang burung hantu.
"Tidak juga, seperti akhir pekan biasanya. Aku akan menghabiskan hari ini dengan berburu di hutan." Jawab Daisy setelah beberapa menit terdiam.
"Jadi, hal bagus apa yang akan kau dapatkan setelah kembali dari hutan nanti? Apakah kau bisa membawakan Ibumu yang tua ini seorang calon menantu idaman?"
Oh... tidak lagi, kenapa ibunya harus selalu meributkan hal yang tak bermutu seperti ini? Calon menantu? Suami ideal? Oh... ayolah. Jangan buat Daisy tertawa! Ia bahkan baru dua puluh satu tahun! Odelia, rekannya di perpustakaan desa bahkan hanya bersikap santai saja padahal usianya tahun ini sudah genap tiga puluh tahun. Dengan statusnya --yang dengan bangga ia akui- masih belum menikah. Lantas kenapa ia yang baru dua puluh satu tahun, justru terus menerus dikejar seperti ini?
"Hem... sepertinya itu permintaan yang agak sulit Ma," Daisy meringis melihat ibunya yang langsung melebarkan mata, menatap jengkel kepadanya. "Tapi aku bisa membawakanmu beberapa ekor burung, tupai, musang atau kalau beruntung aku bisa membawakanmu satu ekor kijang untuk menu makan malam!"
"Sayang, kau akan lebih membuat Ibumu ini bahagia jika saat ini kau bersedia mengganti pakaianmu dengan hal yang lebih pantas. Kemudian bergabung dengan kelima saudarimu di ruang duduk untuk menyambut kedatangan Tuan Muda Vermouth yang akan tiba sebentar lagi."
Daisy meniup poni yang menjuntai di keningnya dengan gusar. "Itu terdengar sangat membosankan Ma, Mama tahu sendiri. Aku paling tak bisa disuruh berdiam diri atau menunggu seseorang yang belum tentu benar-benar akan datang ke rumah ini." Daisy menghela nafas lelah. Seolah perintah untuk berdiam diri di rumah sama saja dengan perintah untuk menceburkan diri ke dalam lautan lepas yang dipenuhi ikan pari ataupun ubur-ubur mematikan.
"Lagi pula Mama masih memiliki lima orang anak gadis yang mungkin tak akan keberatan untuk menikah dan melanjutkan keturunan Mama tak lama lagi. Mungkin saja Tuan Muda keturunan Vermouth itu akan melirik salah satu dari mereka." Lanjut gadis itu kemudian.
"Kau benar, tapi yang saat ini paling Mama khawatirkan justru dirimu Daisy. Kau sama sekali tak pernah tertarik dengan seorang lelaki. Bahkan ketika di sekolah menengah saat semua temanmu mulai tertarik dengan lawan jenis, kau hanya sibuk dengan senapan dan seekor kuda. Jangan buat Mama mempertanyakan orientasi seksualmu sayang."
Ini dia. Meski benci untuk mengakui, Daisy sendiri juga kerap bertanya-tanya dengan orientasi seksualnya sendiri. Bagaimana tidak? Meski penampilannya tidak sespektakuler saudarinya yang lain, Daisy memiliki wajah yang cantik dan tubuh semampai yang proporsional. Banyak lelaki di desa ini ataupun desa tetangga yang menaruh hati padanya. Bahkan ketika si sekolah menengah, Daisy menjadi salah satu primadona yang menjadi idaman hampir setiap pria yang menatap wajahnya.
Namun dari sekian banyak lelaki yang menyukainya, mengagumi dan menaruh perasaan diam-diam atau bahkan sempat mencoba peruntungan dengan mendekati gadis itu secara terang-terangan. Tak ada satupun yang mampu menggerakkan hati Daisy. Gadis itu tak pernah merasakan ketertarikan berlebih seperti yang sering dirasakan remaja pada umumnya.
"Mungkin aku hanya belum menemukan orang yang tepat Ma," Daisy meremas pelana Cleo dengan gusar. Tak bisakah pembicaraan tak penting ini diakhiri sampai di sini saja?
"Karena itu! Cobalah temui Tuan Muda Vermouth ini. Mungkin saja hatimu akan tergerak setelah melihatnya." Seperti mendapatkan angin segar, Nyonya Hemelton langsung berbicara dengan menggebu-gebu. "Kau tahu sayang? Jika kau bisa menjadi calon pengantin keluarga Vermouth, kau pasti akan sangat bahagia. Kau akan menjadi lady yang paling dihormati dan disegani di sepenjuru Skotlandia ini. Tak akan ada yang berani menatap sebelah mata kepadamu sayang, hidupmu akan terjamin dan yang paling utama, kau bisa mengangkat derajat keluarga kita. Bukankah itu hal yang akan sangat membanggakan?"
Daisy menggeleng, "kurasa para saudarikulah yang akan bisa mewujudkan impianmu itu Ma," gadis itu menatap ibunya dengan raut bersalah. "Maaf..." gumamnya lagi sebelum menyentakkan tali kekang Cleo sehingga kuda betina itu berjalan pelan.
"Daisy! Mama bahkan belum selesai bicara!" Daisy hanya mengangkat tangan kanan sebagai jawaban atas teriakan Nyonya Hemelton itu. Daisy bahkan tak merasa perlu untuk sekedar berbalik untuk melihat ekspresi kecewa yang tergambar jelas di wajah ibunya.
"Hai Daisy! Kau mau kemana?" bahkan Henry yang baru saja memasuki pekarangan kediaman Hemelton dan berbaik hati menyapanya, hanya mendapat balasan berupa lambaian tangan.
"Mau kemana gadis itu pagi-pagi begini?" Henry menatap heran ke arah Daisy yang sudah menjauh dan memacu kudanya dengan lebih cepat.
"Ah! Nyonya Hemelton! Selamat pagi, pagi yang cerah bukan?" pria periang itu menyapa dengan senyumnya yang secerah matahari pagi, namun tampaknya tak cukup mampu menghilangkan mendung yang menyelimuti wajah Nyonya Hemelton saat ini.
"Ada sesuatu yang salah, Nyonya Hemelton?" tanya pria itu kemudian.
Nyonya Hemelton menghela nafas sebelum akhirnya menatap Henry dengan tatapan mengiba. "Henry, kau sudah bersahabat dengan putriku itu sejak kecil bukan? Tak bisakah kau membujuk gadis keras kepala itu untuk pulang dan membatalkan niatnya ke hutan?"
"Maksudmu, Daisy?" Henry mengangkat alis.
"Tentu saja, hanya dia satu-satunya putriku yang menuruni sifat keras kepala Ayahnya."
Henry nyaris tersedak salivanya sendiri. sebuah komentar kurang ajar hampir terlontar dari bibirnya, namun terhenti dalam waktu yang tepat ketika mengingat jika wanita paruh baya di depannya ini, adalah salah satu orang yang paling ia hormati dalam hidupnya. Tak mungkin bukan ia berkata dengan blak-blakan jika sifat keras kepala itu Daisy turuni dengan sempurna dari ibunya? Nyonya Hemelton sendiri.