Dengan wajah yang serius Henry begitu ingin mengenal Erin, "ih, maaf saja aku tidak mau mengenalmu. Lepaskan aku dan Jangan muncul lagi di hadapan ku." Tegas Erin dengan raut wajahnya yang begitu marah.
Erin melepaskan tangan nya dari cengkraman Henry, lalu berlari dengan cepat lalu mengambil sepedanya mengayuhnya dengan cepat, " Cowok tidak tahu malu! Tdak punya etika, pasti dia seperti ayahnya yang egois dan tidak adil," Erin terus menggerutu sepanjang jalan.
Sampai lah kembali di rumah Erik pagi itu, Erik rupanya sudah datang. Dia senyum melihat Erin datang , "hey ada apa ?" Erin bertanya melihat wajah Erin yang cemberut.
"Tidak ada, iya apakah sudah selesai? Iya apakah gajinya di bayar tiap hari?"
Erik tertawa, karena Erin baru sehari kerja sudah menanyakan gaji. "ini seminggu sekali, kenapa? Kau tidak punya uang?"
Erin mengangguk, "kau bisa pinjam dulu ungaku. Mana ponselmu?"
"Ponsel?" Erin mendongak, karena dia tidak pernah punya. Dia terlihat kebingungan.
"Kau tidak punya? Yang benar? Oh iya kau bukan orang sini pasti tidak bisa." Erik terdiam sejenak menatap Erin dengan rambut sebahu, ikal, kulitnya yang putih, matanya besar. Erin terus Menatap wajah Erik memerah saat menatap nya Erin terus mengedipkan matanya.
"Ikut aku..." Berjalan Kerumahnya, teman-teman melihat Erik selalu bersama Erin. mereka membiarkan nya.
Masuk kedalam rumah, "mana uangnya?" Erin menadahkan tangan. Erik pun heran, "uang apa?"
" Uang yang ingin aku pinjam"
"Pakai ponsel ini, semua uang ada di ponsel, beli pun hanya tingga menempel kan ponsel secara otomatis uang kita akan di potong."
"Apa!!! Jadi tidak ada uang kesh?"
"Uang kes,apa itu?"
Erin duduk , dia berpikir percuma kerja Jika tidak ada gaji. "Lalu gajiku bagaimana akan turun jika aku tidak punya ponsel itu?" Protes Erin.
"Begini saja, ini pakailah ponselku. Dan Jika butuh sesuatu pakai saja nanti gajimu masuk ke rekening ku." Usul Erik.
"Tapi aku tidak tahu cara pakai nya,"
"Astagaa....kau ini sebenarnya lahir di dunia mana? Cantik-cantik kok bodoh."
Erin langsung mendongak dia marah dengan perkataan Erik. "apa!! Kau bilang aku bodoh. Hey ini bukan salah ku ini salah presiden, andaikan dia berbuat adil tidak akan seperti ini." Erin mendengus.
Telihat cemberut pada Erik, Erin marah. Menghela nafas, Erik duduk menenangkan diri. "Ok, maaf, sini aku ajari ."
Dengan sabar Erik mengajari, Erin tersenyum-senyum mulai mengerti, Erik tidak sadar hatinya merasa ada sesuatu saat melihat Erin tersenyum. Wajahnya memerah. Terlihat grogi.
"I~itu, hanya begitu saja..." Ucap Erik, dengan gugup.
"Oh, begitu....aku mengerti kau bilang aku bodoh,"
"Maaf, iya aku harus kerja lagi kau boleh pulang. Dan jangan beli yang tidak penting."
"Aku mau ikut..." Ucap Erin.
Erik langsung menoleh, "apa?! Tapi ini di pabrik? Di sana ketat, bagaimana jika kau ketahuan lalu di hukum?"
"Aku gak akan ikut kerja, aku hanya ingin lihat, boleh kan?"
Erik tampak begitu gugup saat Erin tesenyum di hadapan nya, menarik nafas panjang. "Baik, tapi jangan sentuh apapun dan diam."
"Baiklah..." Erin senaang bisa ikut.
Erik mengganti pakaiannya, "jangan mengintip berbalik,"
Di ruangan itu tidak ada sekat, rumah khusus untuk pekerja pria yang single.
Erin melihat dirinya di cermin, dia menata rambutnya. "Kau tidak usah mempercantik diri, kau pikir mau ke mana?" Ucap Erik.
Erin melihat Erik hanya mengenakan celana, tubuhnya terlihat berotot, perut nya six pack, Erin menunduk. Sesekali meliriknya.
"Iya aku tidak tahu, berapa umur mu?"
" 18 tahun jalan 19,"
"Masih muda, aku 22 , ayo..."
Saat melangkah kaki keluar, teman-temannya tertawa, mereka berbisik-bisik saat Erin mengikuti langkah Erik di belakang.
"Khm....Rik, dia istri mu?" Temannya bertanya karena heran Erin selalu mengikuti, Erik menoleh lalu dia menatapku dan tersenyum. "Bukan, dia Gadis pengganggu." Jawab Erik.
"Apa!! Aku pengganggu.." Erik melanjutkan langkahnya," hey, apakah aku mengganggu mu?" Tanya Erin serius.
"Iya, kau menggangguku."
"Kenapa kau gak bilang Jika aku mengganggumu. Ini, ambil saja ponselmu ini, sudah aku akan pulang..." Aku memberikan ponselnya di tangannya.
Aku berjalan menjauh darinya. "Hey.... Bukan begitu maksudku.."
"Arghhh.... Dia memang gampang sekali merajuk," gumam Erik, dia kembali berjalan ke tempat kerjanya. Maksudnya bercanda malah Erin jadi marah.
Sampai di rumah, Erin kesal, dia berbaring kembali. Perutnya lapar, "cowok itu menyebalkan, aku tidak akan lagi kesana." Gumamnya.
Suara mesin berdesing, di tempat kerja, Erik dia terus memikirkan Erin. Terlihat senyum-senyum sendiri saat mengingat nya . "Gadis pemarah."
Robot-robot yang sedang di produksi, yang akan menggantikan tugas manusia kedepan. Iya itu kerjaan Erik .
Mereka tidak tahu dalam bahaya, Jika semua tugas manusia di gantikan robot.
Hari beranjak siang, Erik pulang jam kerja di sana hanya 4 jam, Erik gegas ke rumahnya Erin. Dia naik ke atas, dia melihat Erin Sedang berbaring.
Tok....tok....
Suara ketukan, Erin melihat Erik dia berdiri di depan pintu. Erin beranjak keluar dengan wajah masam.
"Ternyata cewek memang gampang sekali marah ya, aku minta maaf tadi hanya bercanda."
Terdengar perut Erin bunyi, Erik tertawa pelan. "Ayo, jika kau ingin beli sesuatu. Ayo aku bayarin."
"Baiklah, tapi kau bayarin semua?"
Masih memakai pakaian kerja, Erik berjalan dengan Erin sore itu ke supermarket yang tampak Megah, terlihat Gedung tinggi." Ayo masuk," Erin begitu takjub melihat megahnya gedung supermarket ini.
Banyak sekali barang-barang yang tidak ada di luaran sana. Robot-robot penjaga dan petugas kebersihan hilir mudik.
"Cepat ambil lah yang kau perlukan."
Tak butuh waktu lama, Erin dengan cepat memasukan semua belanjaan nya. Erik hanya melongo dia tidak percaya begitu banyak barang yang di beli Erin.
"Kau mau merampok ku?" Tanya Erik menatap tumpukan belanja.
"Iya, ini adalah balasan Karena kau sudah membuat ku marah. Sana bayar.."
Menghela nafas, Erik tidak mengerti dengan sifat wanita.
Robot kasir itu dengan cepat berhitung, Lalu Erik menempelkan ponselnya dan begitu saja tidak sampai dua menit.
"Terima kasih ya..." Ucap Erin, Erik tersenyum. Kami pun pulang. Berjalan berdua membawa keranjang.
"Iya. Kau kerja di bagian apa?" Tanya Erin.
"Kami memproduksi robot, kau tahu semua kerjaan manusia semua nantinya akan di gantikan robot."
"Terus kalo robot yang kerja, manusia ngapain?"
"Bersantai, atau bisa tiap hari jalan-jalan, tapi bagiku itu membosankan."
Erin tersenyum membuat Erik penasaran, " kenapa tertawa?"
Erin mengehela nafas, "manusia Jika tidak ada ujian , seperti di sini tiap hari hanya mengandalkan robot, bersenang-senang tiap hari, bosan juga ya. Tidak ada orang miskin. Kesannya hidup ini lurus-lurus saja. "
"Makanya, aku bosan, Bisakah kita ke sana ke tempatmu aku ingin kesana?"
"Baik, tapi aku ingin kerja dulu. Di sana tidak ada robot, semua di kerjakan manusia."
"Yang benar, semua di kerjakan manusia termasuk kasir?"
Erin mengangguk, duduk berdua di dekat danau lagi. Setiap sore danau ini rame. "Aku tadinya takjub dengan kota ini, tapi entah kenapa aku jadi kasihan dengan orang-orang di sini. Mereka hanya lihat ini-ini saja tiap hari. Hey, Dunia luas lho.."
Langit yang terlihat jingga, Erin melihat dari kejauhan dinding pembatas itu begitu tinggi seperti penjara.
"Hey, Erik Jika sudah di ciptakan robot banyak, apakah kau tidak takut jika suatu hari di kuasia robot? "
Erik tertawa, "hey, robot itu yang kendalikan kita. Mana mungkin bisa berontak." Jawabnya.
"Aku hanya takut saja, karena sebagian kerjaan manusia di sini sudah di ganti mesin. Ayo pulang aku lapar.." ajak Erin.
Kami melanjutkan perjalan Kembali, saat berjalan Henry lewat, dia mendekati ku lagi. "Kau gadis pengantar susu?" Tanya nya.
Erik menoleh, dia tahu itu anak presiden. "Ayo, Erik hiraukan orang gila itu...." Erin menarik tangan Erik.
Erin berlari bersama Erik, Henry dia mengajar sampai di rumah nya dengan nafas Terengah-engah.
"Oh, itu rumahnya." Henry senyum lalu pergi.
"Dia Anak presiden," ucap Erik.
"Iya memang, tapi dia menyebalkan,"
"Dia pencipta robot-robot itu,"
"Apa, dia yang menciptakan robot-robot itu! " Erin begitu terkejut, rupanya dia yang menciptakan semua ini. "Ini pasti ayahnya yang minta." Gumamku.