"Rean, mau kemana lagi kamu, hah!"
Reanna terus berlari kencang di bawah guyuran air hujan yang sangat deras. Kegelapan malam hari tanpa adanya penerangan cahaya sama sekali, membuat kaki mungil Reanna sesekali tergelincir karena jalanan yang begitu licin.
Teriakan pamannya dari kejauhan, terdengar samar-samar melalui gendang telinganya. Suara itu tertelan oleh derasnya rintik hujan yang turun.
"Reanna, berhentiii! Atau paman tembak kakimu!!"
Reanna semakin mengencangkan langkah kakinya. Ia sudah ketakutan setengah mati. Tak perduli lagi apa yang akan dihadapinya di depan sana nanti, yang terpenting saat ini ia bisa kabur dari kejaran paman dan bibinya yang keji itu.
Isak tangis kecil terdengar mengiringi langkah kakinya yang berlari secepat kilat. Tak perduli dengan waktu yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih, ia terus berlari sekencang-kencangnya.
Hiks hiks hiks!!
Reanna jadi teringat dengan almarhum kedua orang tuanya yang meninggal beberapa waktu lalu. Kaki nya tidak berhenti berlari dan terus menapak cepat tak tentu arah.
'Tuhan tidak adil padaku!' Hati Reanna menjerit pilu.
Gadis kecil itu kini berasumsi demikian. Kalau saja Tuhan tidak mengambil orang tuanya, mungkin keadaan Reanna tidak akan seperti sekarang. Dia tidak mungkin menerima perlakuan buruk dari orang seperti paman dan bibinya yang menyiksanya setiap hari. Puncaknya, malam ini mereka ingin membunuh dirinya hanya karna ingin merebut harta warisan milik Reanna. Beruntungnya Reanna masih diberi kesempatan untuk mendengar bocoran rencana jahat itu.
Padahal sudah ia katakan, jika memang paman atau bibinya meminta harta warisan padanya tentu akan dia serahkan dengan senang hati, hanya saja mereka harus melakukan sesuatu sebagai timbal balik untuknya. Misal, mau merawat dan menghidupi Reanna hingga ia dewasa nanti. Bukankah itu sudah seimbang? Pekerjaan yang memang sudah sepatutnya dilakukan oleh bibinya selaku adik kandung almarhum sang ayah, jadi kurang apa lagi?
Reanna hanya butuh kasih sayang dan diberi kehidupan yang layak.
Dorr!
"Aaakh!" Lutut nya tiba-tiba bergetar dan mendadak lemas. Reanna menghentikan langkah seketika, bahunya terasa panas dan nyeri akibat benturan benda kecil bernamakan peluru yang menancap masuk kedalam bahunya.
Charil, sang paman, dengan teganya menembakkan pistol ke arah tubuh gadis itu, dan tepat mengenai bahu kanan Reanna.
Ia mulai menangis terisak menahan kesakitan yang ia rasakan. Tapi mengingat dua orang kejam ada di belakangnya, kakinya kembali ia paksakan untuk melangkah dan berlari menjauh.
"ARRRGH, REANNA!! HENTIKAN LANGKAHMU, MAU LARI KEMANA LAGI KAMUU SIALAN?!" Reanna sontak terlonjak kaget ketika suara lengkingan bibinya terdengar begitu dekat dan memenuhi gendang telinganya. Ternyata wanita paruh baya itu memotong jalan dari arah barat dan nyaris berhasil menangkap tubuh mungilnya.
Dengan cepat gadis kecil itu mengelakkan tubuh dan kembali berlari kencang, hingga beberapa kali kakinya hampir tersandung batu- batu kecil yang ada di jalan. Seluruh tubuh nya sudah terasa sangat sakit saat ini, terutama di bagian bahu yang kini telah tercium bau anyir. Darah segar merembes keluar menembus pakaian tipis yang dikenakannya.
"Huaaa, hiks hiks hiks...." isak tangis Reanna begitu memilukan. Tubuhnya memang lemah, tapi tekadnya untuk kabur tak boleh lemah untuk saat ini.
"Ayahh, ibuuu, tolong Anna..." rintih gadis kecil itu sambil berlari tertatih tatih. Kakinya sudah tak sanggup lagi berlari semakin jauh.
Reianna menolehkan kepala nya ke belakang. Samar-samar dilihat olehnya bayangan Charil dan Kartika semakin dekat. Ada gunanya juga mereka memiliki tubuh yang tambun hingga lambat dalam berlari demi menyamai langkah Reanna.
"Hiks hiks hiks... Anna harus kemana lagi?" lirih gadis kecil itu. Ia menolehkan kepala ke samping kanan dan kiri, ternyata Bianna tengah berada di sebuah jembatan besar. Di bawahnya terdapat sungai yang mengalirkan air cukup deras.
"Apa aku harus lompat ke dalam sungai yang deras itu? Tapi kalau aku mati karena hanyut, bagaimana?"
"Hikss... sepertinya mati tidak buruk juga. Aku tidak akan menerima perlakuan buruk lagi dari paman dan bibi, kan? Di surga nanti aku juga akan kembali bertemu ayah dan ibuu."
"Ayahh...ibuuu... tunggu Anna!"
"Reanna! Reanna! Kemana kamu?!"
Bianna menolehkan kepalanya ke belakang, menatap sekilas pada bayangan dua orang yang tampak semakin dekat di sana sambil tersenyum tipis. Lalu tanpa aba - aba...
Charil berteriak kalang kabut ketika tidak lagi melihat bayangan Reanna. Ia kini berhenti tepat di jembatan tempat terakhir kali Reanna menjejakkan kaki.
"Charil, kamu keterlaluan! Kenapa kamu tembak dia?!" pekik Kartika tidak terima. Hati kecilnya seketika tersentuh begitu mengetahui suaminya itu menembak bahu Reanna sang keponakannya.
"Diam lah Kartika! Kamu banyak bicara!" Charil yang sudah kepalang emosi, menampar keras pipi istrinya.
PLAKK!
"Aaakh, sakit! Apa yang kau lakukan, hah! Kenapa kau menamparku?! Keterlaluan kamu, Charil! Akan ku laporkan kejahatanmu ini ke polisi!"
Merasa semakin emosi dengan ucapan Kartika, akhirnya Charil menjambak rambut panjang sang istri yang malam ini tergerai dengan indah dan menyeret wanita berusia tiga puluh tahun itu hingga membuatnya sontak menjerit keras.
"Aaaaaaaghh, awas! Lepaskan rambut ku! Lepas!" Kartika melawan dengan menggigit keras lengan Charil yang berada tepat di depan mulutnya. Hingga gigitan itu mengeluarkan darah segar dan terasa nyeri tatkala terkena rintikan air hujan.
"Br€ngs€k! Wanita si4lan! Berani sekali kau menggigit aku!" Charil menarik kasar bahu Kartika dan menyeret nya kuat-kuat ke pinggiran jembatan.
"Charil, jangan gila kamu!" pekik Kartika ketakutan ketika melihat derasnya air sungai.
"Kau sudah berani melawanku, maka sudah tak ada lagi gunanya aku membiarkanmu hidup!!" Charil yang sudah sangat emosi karena tidak berhasil menangkap keponakannya, kini malah melampiaskan emosinya itu pada sang istri.
"Charil lepas, nanti aku bisa jatuh!" pekik Kartika tertahan. Ia berusaha memegang erat pinggiran jembatan agar tidak jatuh ke bawah sana.
"Tidak akan wanita si4lan! Memang itu yang kuharapkan!"
"Aaaaaaaaaaagh!"
Tanpa aba-aba, Charil mendorong keras tubuh Kartika ke dalam derasnya air sungai. Hingga benturan dahsyat menyebabkan air sungai yang bergejolak hebat.
BYURRR!
"Hahaha.... Memang wanita seperti mu itu pantas mati, Kartika! Pergi lah ke neraka menyusul keponakan dan kakak-kakakmu yang b0d0h disana!" Charil tertawa kencang menyaksikan tubuh berisi istrinya hanyut terbawa arus yang deras. Wanita itu gelagapan di dalam air, sesekali tubuhnya timbul tenggelam karena ia benar-benar tidak pandai berenang.
"Charil... T-tolong a-aku...! Maaf...kan, a-akuu...!" teriakan pilu Kartika menggema di bawah lorong jembatan, membuat Charil semakin tertawa puas.
"Tidak akan! Hahaha, mudah sekali bagiku membunuh satu persatu anggota keluarga bodoh seperti kalian! Ternyata tidak semuanya orang kaya itu pintar, buktinya kalian bisa ku bodohi dengan kelicikanku!" Charil tertawa tawa sendirian di atas jembatan bagaikan orang gila. Ia merentangkan tangannya dan mendongakkan kepalanya ke atas.
"Aku kaya! Aku akan jadi kaya! Hahaha!"
"Charill... T- tolonggh upphh a- akuuu!!!" jeritan pilu dari Kartika tak lagi ia hiraukan, malah kini Charil berjalan menjauh meninggalkan jembatan itu dengan senyum puas yang terukir di bibirnya.
Di balik rimpunan pohon bambu yang terletak di sebelah kiri sungai, Reanna yang bersembunyi disana mengepalkan tangan dengan kuat. Ia menatap penuh benci dan dendam pada pamannya itu.
"Akan kuingat semua ini... Charil..!" geram Reanna seraya menjambak kuat rumput yang ada di sekitarannya.
Reanna bersumpah akan membalaskan dendam keluarganya!
Bersiaplah untuk mati, Charil.