Chereads / 7 dosa besar / Chapter 3 - Undangan Misterius

Chapter 3 - Undangan Misterius

Di sebuah kafe kecil yang nyaman di pusat kota, tujuh sahabat duduk mengelilingi sebuah meja bundar, menikmati minuman dan camilan. Suasana kafe yang hangat dan ramah kontras dengan kegelisahan yang mereka rasakan sejak menerima undangan misterius tadi pagi.

Alif, pengusaha muda yang selalu berpakaian rapi dan penuh percaya diri, mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas kerjanya. Amplop itu berwarna krem dengan tepi yang mulai menguning, menunjukkan usianya. Tanpa banyak basa-basi, Alif membuka amplop tersebut dan mengeluarkan selembar kertas tebal dengan tulisan tangan yang indah.

"Ini dia," kata Alif, suaranya penuh teka-teki. "Undangan yang kita terima."

Bram, seorang broker saham yang selalu haus akan kekayaan, merebut kertas itu dari tangan Alif dan membacanya keras-keras. "Temukan dirimu di dalam dosa. Datanglah ke Mawar Neraka pada malam purnama."

Semua mata tertujupada Bram, dan keheningan menyelimuti meja mereka. Ketujuh sahabat itu saling pandang, mencoba mencerna arti dari pesan singkat namun menyeramkan tersebut. Chandra, seorang penulis yang selalu mencari inspirasi baru, adalah yang pertama berbicara.

"Apa ini semacam lelucon?" tanyanya, meskipun dalam hatinya ia merasakan dorongan penasaran yang kuat.

Devi, pengacara yang terkenal dengan sikapnya yang tegas dan temperamental, menggelengkan kepala. "Lelucon atau tidak, ini menarik. Sudah lama sekali tidak ada yang membicarakan rumah itu secara serius."

Evi, seorang koki yang selalu berusaha mencapai kesempurnaan dalam setiap hidangannya, menatap kertas itu dengan alis berkerut. "Aku mendengar cerita tentang rumah itu sejak kecil. Banyak orang bilang rumah itu berhantu."

Farah, seorang model yang selalu mencari kesenangan fisik, menambahkan, "Kita tahu ini berbahaya, tapi bukankah kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?"

Gino, mahasiswa yang lebih suka bermalas-malasan daripada menghadapi tanggung jawab, mendesah panjang. "Kita benar-benar akan pergi ke sana? Ini terdengar seperti rencana yang buruk."

Alif, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbicara lagi. "Aku merasa kita harus pergi. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengungkap misteri yang telah lama menyelimuti rumah itu. Lagipula, kita semua menerima undangan ini. Mungkin ada alasan di baliknya."

Setelah berdiskusi cukup lama, mereka akhirnya sepakat untuk menghadapi tantangan itu bersama-sama. Rasa penasaran mereka lebih kuat daripada ketakutan yang menyelimuti. Mereka memutuskan untuk berkumpul di depan rumah tua itu pada malam purnama, yang kebetulan jatuh pada malam itu juga.

Malam itu, langit terlihat cerah dengan bulan purnama yang memancarkan cahaya peraknya, menciptakan bayangan aneh di sekitar rumah tua yang besar. Ketujuh sahabat itu berkumpul di depan gerbang berkarat yang mengarah ke kebun liar di sekeliling rumah.

"Yah, ini dia," kata Bram dengan nada skeptis. "Semoga kita tidak menyesal."

Dengan hati-hati, mereka membuka gerbang yang berderit dan melangkah masuk ke kebun yang tampak seperti labirin. Setiap langkah mereka terasa berat, dihantui oleh cerita-cerita seram yang pernah mereka dengar tentang tempat itu.

Ketika mereka sampai di depan pintu besar yang terbuat dari kayu jati, Alif kembali mengambil inisiatif. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetuk pintu itu tiga kali. Ketukan itu menggema dalam keheningan malam, diikuti oleh detik-detik yang terasa seperti seumur hidup.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan lorong gelap yang seolah mengundang mereka masuk. Udara dingin menyapu wajah mereka, membawa serta bau lembap dan kegelapan yang pekat.

Satu per satu, mereka melangkah masuk, merasa seperti ditelan oleh kegelapan rumah. Pintu tertutup dengan keras di belakang mereka, seakan-akan menutup jalan kembali. Di dalam kegelapan yang pekat, hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela kecil di atas, memberikan penerangan yang cukup untuk melihat ruangan yang luas dan penuh debu.

"Baiklah, kita sudah di sini," kata Chandra, mencoba terdengar tenang. "Sekarang apa?"

"Temukan dirimu di dalam dosa," kata Alif, mengulangi kalimat dalam undangan. "Mungkin kita harus mencari petunjuk atau sesuatu yang bisa menjelaskan maksud dari undangan ini."

Dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran, mereka mulai menjelajahi rumah tua itu, tidak menyadari bahwa masing-masing dari mereka akan segera menghadapi sisi tergelap dari diri mereka sendiri. Rumah itu, dengan segala rahasianya, menunggu untuk mengungkap kebenaran yang telah lama tersembunyi.