Chereads / Ingatan Tentangnya / Chapter 4 - 21 Agustus 2023

Chapter 4 - 21 Agustus 2023

Perayaan kemerdekaan 17 Agustus adalah hari yang banyak orang tunggu, tentu saja aku juga menunggunya.

Hari itu tepat pada beberapa hari setelah 17 Agustus, tepatnya pada tanggal 20, sekolah kami merayakan hari kemerdekaan. Sekolah kami memang mengundurkan acara kemerdekaan karena para siswa diharapkan mengikuti lomba di daerahnya masing masing. Banyak lomba yang diadakan di acara sekolah hari itu, seperti lomba lomba kemerdekaan pada biasanya, ada memasukkan paku ke dalam botol, membawa kelereng dengan sendok, dll.

Saat itu acara dimulai dengan lomba balap karung, tentu saja aku mengikutinya, faktanya adalah bahwa aku mengikuti hampir setiap lomba, bahkan di hal yang aku yakin pasti tidak akan menang, aku mengikuti lomba hanya untuk meriahkan acaranya.

Singkatnya banyak lomba telah berlalu. Di penghujung acara, sekolah mengadakan cerdas cermat per kelas. Orang yang terpilih untuk mewakilkan kelasku adalah aku, ahmad, dan keysa.

Saat itu kelasku melawan kelasnya dandi, tepatnya kelas 10D, peserta yang mewakilkan kelas itu perempuan semuanya. Kelas kami menang dengan mudah, dari 10 pertanyaan kami menjawab 5 pertanyaan benar dan mereka hanya menjawab 3. Aku menjawab tiga pertanyaan, keysa dua, dan ahmad salah menjawab.

Susunan pertandingan cerdas cermat itu adalah AvsC, BvsD, EvsF. Yang menang maju ke semi final, dan ini adalah hasil babak pertama A, B, F.

Saat itu kelasku melawan kelasnya shylvia, kelas BvsF. Peserta yang mewakilkan kelasnya adalah tiga orang perempuan termasuk shylvia.

Saat itu materi kami adalah ips, bisa dibilang aku mahir dalam mata pelajaran itu. Beberapa saat sebelum acara dimulai aku mendatangi shylvia yang sedang bersiap dengan dua siswi lainnya.

"Hai" sapaku padanya

"Hai" balas shylvia

"Ini cerdas cermat" ucapku

"Iya"

"Kamu ikut?"

"Iya"

Setelah dia menjawab itu aku mengeluarkan kantong kresek hitam dari saku dan kuberikan padanya. "Nih" ucapku

"Buat apa?" Tanya via penasaran

"Tutuplah wajahmu dengan ini"

"Agar?"

"Agar tidak ada yang suka padamu" jawabku sembari tersenyum "nanti aku kerepotan"

Beberapa orang di sana juga tertawa mendengarnya, karena mereka bilang aku tidak tau tempat, tapi siapa peduli? Jika aku bisa membuat via tertawa maka akan kulakukan.

Dia sedikit tersenyum malu saat itu, karena di sekitar kita memang banyak orang.

"Biarin" jawabannya sembari tersenyum

"Mau aku kerepotan?"

"Iya. Biar sedikit berjuang" balasnya

"Yaudah ini kreseknya buat kang adi aja" ucapku sembari memberikan kresek itu pada satpam sekolah yang sedang duduk.

"Kenapa dikasih ke saya?" Jawab kang adi

"Buat jaga jaga, biar istri akang ga keluyuran"

"Hahaha, yaudah sini" balasnya. Kuberikan kresek itu dan segera berjalan menjauh, karna lomba akan segera dimulai.

Akhirnya lomba dimulai, aku dan via saling berhadapan. Aku sedang bingung untuk memilih untuk menjadi terlihat pintar di depannya atau membiarkannya menang.

Juri mulai membacakan soal pertama

"Seperti peraturan tadi, kelompok yang menyentuh tombol dengan cepat maka dia yang menjawab, jika salah pertanyaan akan dilempar pada kelompok selanjutnya" ucap juri "Aspek utama yang dipelajari oleh sosiologi adalah interaksi antara.."

*DRRTT

Via menyentuh tombolnya

"Interaksi antara manusia dan manusia atau kelompok"

"Benar! Dua poin untuk kelas F!" Teriak juri meriah "sekarang kita lanjut ke pertenyaan ke-dua. Siapa orang yang mendapat julukan sebagai Bapak Sosiologi!"

*DRRTT

Aku menekan tombol

"Pa rahman" jawabku, membuat hampir seluruh penonton, bahkan juri tertawa. Karena nyatanya pa rahman adalah guru ips kami di sekolah.

Aku melihat muka via saat itu, dia tersenyum padaku, senang bisa melihatnya tersenyum dengan candaan kecilku itu.

"Sudah sudah. Minus dua poin untuk kelas B, pertanyaan akan dilempar pada kelas F!"

Via menjawab pertanyaan itu segera.

Singktanya aku menjawab semua pertanyaan dengan salah, supaya kelasnya menang. Karena faktanya jika aku serius melawan kelasnya via, aku akan menang, aku tau itu memang terdengar sombong.

Hari itu aku menjuarai setidaknya 5 hingga 7 lomba, walaupun tidak semuanya juara satu.

Acara telah berakhir, aku mendatangi via yang sedang berjalan sendiri menuju halaman depan sekolah.

"Senang?" Tanyaku pada via

"Ngga" balasnya

"Kenapa?

"Kamu ga serius"

"Aku cuma serius sama hubungan kita"

"..." Dia tak menjawab, melanjutkan jalannya yang sedikit melambat itu

"Bunganya sudah mekar?" Tanyaku tentang benih yang saat itu kubelikan

"Belum, baru tumbuh 15cm"

"Rawat itu dengan baik"

"Iya"

Kami berjalan dalam keheningan saat itu, sampai bangku halaman sekolah tempat dia menunggu dijemput. Dia pun segera duduk diikuti olehku yang juga duduk di sebelahnya.

"Kenapa ikut duduk?" Tanya via

"Aku ingin meminta izin" jawabku

"Ke siapa?"

"Siapapun orang yang menjemputmu"

"Izin apa?"

"Liatlah nanti"

"Iya"

"Siapa yang jemput?"

"Kakak"

Beberapa saat datanglah orang yang dia sebut sebagai kakaknya itu. Mukanya sedikit garang, aku sempat takut, tapi tak apalah.

"Via, ayo" ucap kakaknya

"Sore, kak" sapaku pada kakaknya

"Siapa?" Tanya kakaknya pada via

"Temenku"

"Yang sering kamu ceritain itu?"

Mendengar itu aku sedikit terkejut, antara senang dan bingung.

"Cerita?" Tanyaku

"Eh" via sedikit panik

"Iya" balas kakaknya

"Boleh tau cerita apa?" Tanyaku

"Jangan" balas via "biar kamu penasaran"

"Hahaha kapan kapan main ke rumah"

"Iya" balasku pada ajakan kakaknya itu

Singkatnya mereka telah pergi, aku pergi sendirian menuju parkiran, karna randy tidak sekolah hari itu.

Setelah percakapan itu aku menyimpulkan bahwa via sering bercerita tentangku pada keluarganya, tapi apa yang diceritakannya aku tidak tau.

Setelah pulang sekolah aku melihat ibuku tiduran di kasur dengan mengenakan selimut berlapis dua dan tubuh yang menggigil.

"Kenapa, mah?" Tanyaku pada ibu. Aku memangmemanggilnya dengan sebutan mamah, ya.

"Ga enak badan" jawabannya lesu

Aku tidak berpikir itu baik baik saja, karena nyatanya ibuku jarang sakit.

"Ayo ke rumah nenek" tegasku

Nenekku adalah orang yang paling perhatian, penyayang dalam hidupku. Bahkan jika aku sakit atau sedang sedih, aku lebih memilih tinggal di rumah nenek. Nanti akan kuceritakan lebih tentangnya

"Gausah, di sini aja" jawab ibuku

"Ayo"

"..."

"Bangun, nanti tambah parah" tegasku.

Karena memang jika dia diam di sini hanya akan membuat keadaannya memburuk, tetapi jika dibawa ke rumah nenekku, dia pasti akan mengurusnya.

Dia pun segera bangun dan mengenakkan jaket tebal, jika tidak salah dia menggunakan dua lapis jaket dan celana tebal, karena udara dingin saat itu, tidak ada sinar matahari yang membuatnya hangat, jika di sunda kami menyebut cuaca seperti ini "aleum".

Singkatnya sampailah kami di rumah nenekku, dia langsung membuat jamu untuk ibuku yang sedang sakit itu.

Aku lupa membawa ponsel, jadi aku hanya berjalan jalan hingga malam tiba. Aku juga menginap di sana, sekalian.

••••

Hari ini senin, aku tidak sekolah karena sedang di rumah nenekku, juga sedikit malas. Aku menetap di rumah nenekku hingga siang menjelang sore, setelah itu aku pun pulang, karena sudah bosan.

Saat sampai di rumah, aku segera membuka ponsel, mendapati banyak pesan dan beberapa panggilan tidak terjawab.

Ternyata itu dari via, nampaknya dia tidak sekolah, melihat dari pagi hingga siang dia menelepon beberapa kali. Mengetahui itu aku langsung balik menghubunginya, dan segera diangkat olehnya.

"Hai" sapaku

"Kenapa baru jawab?"

"Kamu nunggu? "

"Aku kesal"

"Maaf"

"Bukan karenamu"

"Lalu?"

"Ajak aku keluar. aku lagi gamau di rumah"

"Ada ayahmu? Aku takut dia akan marah"

"Kamu bilang berani sama ayahku. Kenapa sekarang takut?"

Mendengar itu aku diam sejenak. Sepertinya dia sedang ada masalah di rumahnya, karena itulah dia ingin keluar untuk menghilangkan beban pikirannya.

"10 menit aku sampai di sana" balasku

"Cepat"

"Iya"

Segera aku mematikan telepon itu dan mengganti baju, nyatanya aku masih mengenakan seragam saat itu.

Singkatnya aku sudah sampai di sana.

°Sudah sampai

Kukirim pesan pada shylvia, dia tidak membalasku sekitar tiga menit. Tiba tiba pintu rumahnya terbuka, ternyata itu shylvia.

Paras cantiknya benar benar membuatku hilang fokus, jika kau merasa pernah bertemu perempuan paling cantik, maka kau belum melihat kecantikan shylvia sore itu.

"Mau kemana?" Tanyaku padanya

"Sesukamu" balasnya sembari naik ke jok belakang motorku

Kunyalakan motorku dan berjalan tanpa arah tujuan. Aku ingin menghiburnya, kutahu dia pasti sedang banyak pikiran, tapi aku tak tahu harus membawanya ke mana.

Aku sempat ingin bertanya apa yang dia inginkan, tapi dia pasti marah. Perempuan tidak ingin ditanya saat seperti ini, dia ingin kita yang menentukan. Sempat terpikir aku akan membawanya ke tempat makan, tapi dengan perasaannya sekarang dia pasti tidak dalam perasaan untuk bisa makan.

Kita sudah berjalan sekitar 15 menit, karna kesepian ini sangat canggung, jadi aku yang akan memulai percakapan.

"Kamu jangan tau kita akan kemana" ucapku

"Kenapa?"

"Supaya kamu penasaran"

Dia diam dan tidak menjawab perkataan ku tadi.

"Kau tau jika bensin motor habis itu perlu diisi?" Tanyaku lagi

"Bensin mu habis?"

"Ngga"

"Terus apa?"

"Ingin tahu?"

"Iya"

"Akan kuberitahu, tapi tidak sekarang"

"Kapan"

"Saat perasaanmu sudah tenang dan ingin bercerita"

"Aku sudah tenang"

"Aku bisa mencium kebohongan"

"Jika kamu mencium kebohongan, maka aku akan marah"

"...." Dengan candaan seperti itu aku menganggap bahwa dia memang benar sudah tenang

Aku pun segera menepi ke pinggir jalan dan mematikan motorku.

"Turunlah dan jangan katakan apapun sebelum aku bertanya padamu" kataku padanya

Dia pun turun dari motor, aku segera berjalan menjauh dari jalan diikuti oleh dirinya dari belakang. Kala itu langit sangat redup tanpa sinar matahari.

Kami menapaki rumput, berjalan mendekat ke arah tebing, tapi sebelum mencapai ujung tebing itu aku duduk di kursi yang memang sudah disediakan untuk pengunjung jalan, diikuti olehnya.

Suasana dingin menusuk kulit lembutnya, kabut menutupi jalan dan tebing seakan di sekitar hanya ada kami berdua tanpa ada benda maupun makhluk hidup yang lain yang akan menganggu kenyamanan kami berdua.

"Ciwidey" ucapku pelan. "Tau kenapa aku membawa mu ke sini?"

"Kenapa?

"Supaya kamu kedinginan dan meminjam jaketku" balasku sembari mulai melihat wajahnya "mau?"

"Boleh"

"Mau kupakaikan atau pake sendiri?"

"Pake sendiri"

Kulepas jaketku dan kuberikan padanya. Sepertinya dia sudah sangat kedinginan sedari kita di jalan, yasudahlah, lagian sudah kuberikan jaketku padanya.

"Hangat?" Tanyaku

"Iya"

Kami menjelma kebisuan saat itu, hanya diam dan memandangi lautan daun yang hijau dengan kabut yang membuatnya sedikit buram.

Jika ingin jujur, aku sangat kedinginan saat itu karena kuberikan jaketku pada via. Lain kali lebih baik kusuruh dia membawa jaket daripada aku harus kedinginan seperti ini. Jika kamu bilang aku tidak romantis, cobalah ke Ciwidey saat sore tanpa jaket, kau akan mati kedinginan, jujur.

Setelah saling diam selama beberapa menit, mungkin hampir setengah jam, via membuka percakapan.

"Ayahku marah karena aku tidak juara ke-1 saat cerdas cermat kemarin"

Benar, setelah pertandingan aku melawan kelasnya, via melawan kelas A, dan dia kalah.

"Padahal itu bukan lomba wajib dan hanya bersenang-senang" lanjut via

Aku diam dan hanya mendengar, karena aku belum pernah dituntut untuk menjadi juara seperti itu.

"Tapi dia bilang 'lomba ga serius aja kamu kalah, apalagi serius'" lanjut via kembali

Faktanya adalah saat kuberitahu nenekku aku juara 3 cerdas cermat dia senang, dan saat kuberitahu aku menjuarai 5 hingga 7 lomba dia benar benar sangat senang.

Kami diam selama beberapa detik, hingga aku lanjut membalas perkataannya tadi.

"Cerita padaku, tentang apapun, kapanpun, walaupun mungkin aku tidak memberikan respon yang baik, percayalah bahwa aku mendengarkanmu dengan serius" ucapku

Mendengar itu via mulai melihat wajahku, sedangkan aku masih melihat ke arah tebing itu.

"Jadikan aku rumah tempatmu bercerita, datangi aku saat tidak ada orang yang memperhatikanmu, hubungi aku saat kamu bosan" lanjutku. "Aku akan membawamu kemanapun tempat yang kamu mau, jika kamu sedih aku akan menghiburmu"

Setelah itu kita diam selama beberapa detik, via masih melihat kearahku, juga aku mulai melihat kearahnya.

"Kamu hebat" ucapku. "Bisa bertahan dari tuntutan tuntutan berat dari ayahmu. Kalo kamu mikir ga ada yang peduli, ingat bahwa aku memperdulikanmu"

Lagi lagi kami membisu selama beberapa saat.

"Iya. Makasih" balasnya seraya mengalihkan pandangannya dariku

"Bunganya sudah mekar?" Tanyaku sembari mulai menatap wajahnya

"Sedikit"

"Bunganya lambat, aku lebih cepat"

"Cepat dalam hal apa?"

"Dalam menepati janji"

"..." Dia melihatku dengan sedikit bingung

"Aku pernah janji kamu akan menjadi milikku saat bunganya mekar, ingat?"

Mendengar itu dia tersenyum dan mengalihkan pandangannya lagi "ingat"

"Tapi tadi kubilang bahwa aku lebih cepat" balasku sembari mulai mengalihkan pandangan darinya "Shylvia, mau menjadi milikku?" Kutanyakan itu sembari mulai menatapnya lagi

Dia menatapku perlahan dan mulai tersenyum "mau"

Mendengar itu aku juga tersenyum "harusnya tadi aku ke sekolah"

"Kenapa?" Tanya dia bingung

"Aku akan mengumumkan hubungan kita saat upacara"

"Hahahaha" dia tertawa seraya mengalihkan pandangannya "umumkanlah besok"

"Pada dunia?"

"Emang bisa?"

"Ya paling aku menjelajah setiap negara, terus kusebar koran tentang kita"

Dia tertawa kecil mendengarnya "coba aja kalo emang bisa"

"Eh tapi jangan"

"Kenapa?"

"Nanti aku gabisa dekat denganmu" jawabku tersenyum

"Yaudah jangan" balasnya "kalo kamu menjauh nanti akan sedih"

"Iya, gabakal"

Setelah beberapa percakapan kecil, kami segera pulang karena langit sudah mulai gelap, nanti ayahnya marah.

Malam harinya aku tidur dengan perasaan senang dan bahagia, dengan fakta bahwa aku dan via telah berpacaran, dan hari berakhir saat itu.